(Bukan) Istri Pilihan - Cinta yang Indah Author's POVMobil Agung langsung masuk ke dalam carport rumahnya. Hujan masih deras mengguyur malam. Mereka turun. Agung membuka pintu samping yang terus terhubung dari area carport ke ruang keluarga.Masuk ke dalam suasana rumah sepi. Ruang tamu hanya ada lampu malam yang menyala. Setelah mengunci pintu, ia menggandeng tangan istrinya menaiki tangga. "Mbak ART ke mana, Mas?" tanya Lidia sambil melangkah di samping suaminya."Aku suruh pulang sore tadi. Selama tiga hari dia nggak akan ke sini. Kita habiskan waktu tiga hari hanya berdua saja," jawab Agung sambil memandang sang istri. Tatapannya begitu jahil dan menyiratkan rencana besar dalam benaknya.Lidia bisa menangkap apa yang akan terjadi tiga hari ke depan. Siap-siap saja kalau ia akan dibuat tak berdaya oleh Agung.Mereka berdua masuk kamar. Agung mengunci pintu. Meski tiada sesiapa di sana, ia tidak ingin dibuat was-was. Kamar menguarkan wangi vanila, aroma kesukaan Lidia. Harumny
Baru tiga menit memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Lidia muncul dari sana. Agung kembali duduk."Kutelepon nggak kamu angkat tadi," ujar Agung. "Aku lagi meeting, Mas. Selesai meeting kutelepon nomer Mas nggak aktif. Aku telepon rumah, katanya Mas sudah pulang." Lidia menjelaskan seraya melepaskan blazer yang dipakainya."Ponselku kehabisan baterai tadi."Agung menarik lengan istrinya supaya duduk di dekatnya. "Aku mau mandi dulu, Mas. Terus nyiapin pakaian. Setelah Lili pulang ngaji kita langsung berangkat, kan?""Iya. Kalau gitu kita mandi bareng.""Jangan. Biasanya Lili nyelonong masuk setelah pulang ngaji. Mas, duluan saja yang mandi. Biar aku nyiapin pakaian." Lidia membuka lemari. "Aku sudah bilang ke mbak yang nganterin Lili ngaji. Kita akan ngajak dia staycation sore ini," kata Agung sambil melepaskan kancing kemeja."Kenapa ngajak si mbak, Mas?""Aku sudah booking dua kamar. Tidak mungkin kita biarkan Lili tidur sendirian, kan?"Lidia diam sejenak. "Mas, memang nggak
(Bukan) Istri Pilihan Part 1 Sepi"Mas, nggak mau mengajakku bertemu Ayunda?" tanyaku pada lelaki yang baru saja duduk di kursi meja makan."Nanti saja kalau Ayun sudah sembuh. Dia sakit. Mas khawatir kalau kamu ikut, dia tambah histeris," jawab Mas Yosi sambil tersenyum.Histeris? Kenapa dia memilih satu kata yang tak masuk akal ini.Apa selain bodoh, aku ini terlihat seperti hantu yang menakutkan? Atau seperti ibu tiri yang jahat hingga membuat anak suamiku sampai histeris? Padahal sedikit pun aku belum pernah berkata kasar pada anak tiriku itu. Jangankan berkata kasar, menatapnya dengan tajam saja belum pernah. Aku selalu lembut dan ramah padanya. Walaupun ia tidak menyukaiku.Aku sadar akan posisiku, hanya sebagai ibu tiri. Selalu mengalah dalam kondisi apapun. Bahkan saat Mas Yosi harus mendampingi acara sekolahnya Ayunda bersama Mbak Mayang, mantan istrinya. Atau acara lain, jika Ayunda menginginkan papanya ikut serta bersama mereka.Sebenarnya apa sih fungsiku di sini? Usiaku
Akan tetapi Ruli memiliki otak yang cerdas. Encer menerima pelajaran. Berbeda jauh denganku yang bebal. Sering Ruli memberikan contekan padaku. Padahal aku nggak pernah meminta imbalan apapun setelah aku membantunya membayar uang sekolah.Mungkin Ruli kasihan padaku karena selalu salah menjawab dan menjadi bahan ejekan teman dan guru.Kami menjadi dua sahabat yang selalu bermasalah di sekolah. Ruli dengan keterlambatannya membayar biaya sekolah, sedangkan aku karena kebodohanku."Rencanamu apa sekarang?" tanyaku pada gadis yang diam memandang angkasa. Ruli baru saja berhenti kerja di sebuah toko, karena gajinya sangat kecil dan sering terlambat dibayar."Belum tahu. Mungkin mencari pekerjaan di pabrik.""Pabrik mana?""Mana saja yang ada lowongan. Aku masih pesen ke teman-teman. Kalau ada lowongan kusuruh ngabarin."Kami kembali terdiam di balkon kafe."Daripada nikah muda, gimana kalau kamu ikut kerja di pabrik saja. Cari pengalaman. Siapa tahu karirmu bagus di sana." Ruli menoleh ke
(Bukan) Istri Pilihan Part 2 Bertahan Sampai Kapan?Kurang sabar apa aku. Sudah empat tahun terlewati tapi tidak ada perubahan sama sekali. Anak itu makin besar, makin tahu caranya membenci.Kadang aku curiga akan kebersamaan Mas Yoshi dan mantan istrinya. Ini bukan sekedar demi anak. Jika mereka masih saling mencintai, untuk apa dulu bercerai."Jangan-jangan mereka selingkuh, Nas." Ruli berkata suatu hari. Saat aku main ke rumahnya."Nggak ada yang mencurigakan dari Mas Yoshi," jawabku menutupi kegundahan sendiri."Biasanya seorang istri itu, adalah orang yang paling terakhir tahu tentang perselingkuhan suaminya."Ruli benar. Karena mamaku mengalami hal itu. Beliau orang terakhir yang tahu tentang pernikahan kedua papa.Apa aku juga akan mengalaminya? Dadaku berdenyut nyeri. Terkoyak oleh pemikiran sendiri. Apa mungkin suamiku setega itu? Aku memang bukan wanita karir yang punya nama besar seperti mama, seperti kedua kakakku, dan seperti mantan istrinya Mas Yoshi. Tapi aku berusah
Mataku memejam, tapi aku masih bisa mendengar percakapan Mas Yoshi dan Ayun di seberang sana. Mereka memang melakukan video call. Gadis kecil itu ngotot supaya besok papanya datang lagi membawakan mainan. "Papa, harus datang besok!" teriaknya di akhir kalimat sebelum Mas Yoshi menyudahi panggilan.Setelah meletakkan ponselnya di nakas, Mas Yoshi memeluk dari belakang tanpa bicara apa-apa. Tidak juga memberitahuku kalau anaknya menginginkan papanya datang lagi besok.Sampai kapan kehidupan rumah tanggaku seperti ini. Apa karena aku hanya diam dan diam, jadi mereka merasa aku baik-baik saja. Apa karena di sana ada anak, makanya selalu diprioritaskan meski sudah bercerai?Sebab aku belum bisa memberikan keturunan, harus terus mengalah. Begitu?Kadang merasa sakit begini, aku tetap harus melaksanakan tanggungjawabku disaat ia mulai beraksi tak hanya sekedar memeluk. Apa aku selemah itu, hanya sekali saja untuk berkata 'tidak', aku tak mampu. Tetap meladeni dan dia menganggap aku baik-bai
(Bukan) Istri Pilihan Part 3 Maaf Salahku juga. Aku memaksakan diri memberikan sesuatu yang orang lain tidak mau. Namun, tidakkah Mas Yoshi pun tidak bisa menjaga perasaanku? Andai dia buang puding ini, malah lebih aman bukan? Tidak akan ada yang tahu. Pasti aku mengira, Ayunda bisa menerima pemberianku.Dengan hati yang tercabik, aku membawa Tupp*rware masuk ke dalam rumah. Kulihat puding belum basi dan kumasukkan ke dalam kulkas. Besok aku akan memakannya.Beberapa lauk aku keluarkan dari lemari penyimpan makanan. Kupanaskan sebentar, lalu menyiapkan makan malam.Astaga! Kenapa aku tidak tanya dulu dia sudah makan apa belum. Ini kan sudah malam."Mas, sudah makan?" tanyaku pada suami yang kembali turun beberapa saat kemudian.Mas Yoshi mengangguk dengan tatapan penuh rasa bersalah. Tanpa pikir panjang, segera kukembalikan piring ke dalam lemari makanan."Kamu belum makan?" tanya Mas Yoshi sambil menahan lenganku. "Ayo, mas temani. Mas makan habis maghrib tadi. Yuk, kita makan lag
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pergi atau bertahan. Kalau pergi alasanku apa. Tak ada bukti perselingkuhan Mas Yoshi. Dia selalu pulang setiap hari meski kadang larut malam. Jika ke luar kota selalu mengajakku ikut serta. Memang ada beberapa kali dia pergi bersama timnya, tanpa aku.Jika alasanku anak, apa itu alasan yang tepat? Aku yang sudah seumur segini kalah sama anak kecil. Apa cemburu, suami kurang perhatian, sudah pantas kujadikan alasan.Mbak Mayang memang sering menelepon Mas Yoshi saat suamiku itu di rumah. Hanya untuk menceritakan tentang putri mereka. Dan aku hanya diam, karena selalu percaya semua itu demi anak. Mereka tetap menjadi orang tua yang baik setelah berpisah.Pagi-pagi sekali tadi perempuan itu juga sudah menelepon. Aku harus maklum karena anak mereka sedang sakit.Apa aku kurang sabar? Kalau seperti ini dikatakan kurang sabar, lalu sabar itu seperti apa?Aku lelah, tapi aku mencintainya.Aku meraih ponsel di minibar. Panggilanku langsung dijawab."Assal