Share

Part 13 Harga Diri 1

(Bukan) Istri Pilihan

- Harga Diri

"Apa maksudnya?" Mas Yoshi menegakkan duduknya dan wajahnya mulai tegang.

"Saya ingin bercerai, Pak. Karena suami saya sepertinya ingin balikan dengan mantannya. Mungkin dia menyesal telah menikahi saya. Karena mantan istrinya jauh lebih sempurna. Dia kelihatan lebih nyaman dengan mantan. Mereka juga punya anak, sedangkan dengan saya tidak ada anak. Pernahlah. Lagian saya ini bukan ibu tiri yang baik."

Aku berhenti sebentar. Menarik napas panjang untuk melonggarkan tenggorokan. Semalaman aku tak bisa tidur demi memikirkan apa yang ingin kukatakan hari ini.

"Apa-apaan, Nastasya."

"Bapak, jangan menyela dulu. Biar bapak tahu alasan apa yang membuat saya menggugat cerai. Saya sudah cukup lama hanya diam dan mengalah. Lama-lama saya hanya sebagai tempat persinggahan saja. Tempat pelarian disaat dia sedang patah hati. Sekarang hubungan mantan itu membaik, mantan istrinya juga perempuan baik-baik tentunya. Mereka juga memiliki putri yang cantik dan sholehah. Jadi saya yang memilih mundur. Lagian di belakang saya, mereka diam-diam sangat bahagia.

"Dia lelaki yang membuat saya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Lelaki yang saya harapkan bisa menjadi pelindung saya. Pria yang bisa mencintai saya apa adanya. Jujur, Pak. Saya ini memang bodoh. Persis seperti kata mama saya. Dibanding mantannya, saya ini nggak ada apa-apanya. Jauuuuh banget. Mantan istrinya itu seorang terpelajar dan wanita karir yang sukses. Cocoklah sama suami saya. Memang sudah sepantasnya mereka bersama. Saya saja yang terlalu berharap banyak."

Aku menyeka air mata yang luruh ke pipi. Aku benci ini. Kenapa aku menangis.

Mas Yoshi bangkit dari duduknya dan menghampiriku.

"Bapak, nggak usah iba sama saya. Saya sudah biasa kok seperti ini. Bahkan sejak kecil." Aku menahan tangannya yang hendak menyentuhku.

"Saya kan cuman cerita tentang alasan saya menggugat cerai. Biar Pak Yoshi bisa membantu saya semaksimal mungkin. Agar perceraian kami berjalan lancar. Itu saja. Saya nggak ingin mendapatkan simpati dari, Bapak. Saya yakin Anda bisa membantu menyelesaikan permasalahan saya. Anda pengacara yang tidak pernah gagal."

Aku bangkit dari duduk. Dan tiba-tiba pria itu memelukku.

"Lepasin, Pak. Saya ini calon klien Anda, loh. Jangan sampai Anda saya tuntut atas tindakan pelecehan. Bapak, boleh iba. Tapi jangan peluk saya." Dengan sekuat tenaga aku melepaskan diri. Aku tidak peduli dengan kata-kata konyol yang terlontar keluar. Untuk hal begini, aku butuh kekuatan melakukannya.

"Nas, kita bisa bicarakan ini."

Senyumku merekah di antara sesaknya napas. "Ini berkas saya, Pak. Tolong ditangani sesegera mungkin. Suami saya sudah menunggu untuk momen ini. Selesaikan secepatnya agar suami saya nggak tersiksa lagi hidup dengan saya. Dan saya pun bisa melanjutkan hidup saya." Aku menepuk map warna biru di atas meja kerjanya.

"Saya tunggu kabarnya."

"Kamu tinggal di mana sekarang?" Mas Yoshi menatapku dengan matanya yang mulai memerah. "Kenapa tidak menjawab telepon dan membaca pesan."

"Di map itu sudah tertera alamat dan nomer phone saya. Alamat yang sama dengan suami saya. Dia lelaki yang baik. Pasti bakalan enak diajak kerjasama. Lagian dia juga menunggu momen ini. Tolong ya, Pak. Bapak, seorang pengacara yang profesional. Saya percaya kasus saya akan selesai dengan baik dan damai. Soal biaya, saya ikut saja. Berapapun itu. Kalau Bapak terlalu sibuk, tapi Bapak kan punya banyak lawyer. Mereka pasti pengacara-pengacara handal. Saya yakin, Anda pasti melayani dengan baik klien-klien, Anda.

Dan saya mohon pamit dulu. Terima kasih atas waktunya." Aku mengabaikan semua ucapannya yang mengarah tentang kami.

Selesai bicara aku melangkah ke pintu, tapi lengan itu menarikku dan hampir saja membuatku terjatuh. Dia bisa menahan tubuhku hingga kami begitu dekat. Bahkan aku bisa merasakan dadanya yang bergemuruh.

"Pak, saya akan bayar Anda pakai uang. Bukan dengan tubuh saya. Mentang-mentang saya calon janda, tapi saya bukan janda murahan." Kulepaskan dekapannya dan aku melangkah cepat keluar ruangan.

Di lorong kantor aku melangkah anggun meski telah hancur lebur dan nyaris tumbang. Tersenyum pada staf di sana yang menyapaku.

Dari mana aku mendapatkan kekuatan ini. Dari mana aku bisa bersikap seperti ini? Ya Allah, inilah yang aku inginkan. Tidak muluk-muluk. Aku bisa membela diriku sendiri. Aku tidak ingin secerdas mama dan dua kakakku yang akhirnya menjadi manusia jumawa. Aku ingin seperti ini. Tahu apa yang harus aku lakukan.

Walaupun menjadikan dia pengacaraku memiliki resiko yang besar. Bisa jadi dia akan mempersulit perceraian kami, membuang berkas itu, atau tidak menanganinya sama sekali. Tak mengapa, yang penting dia tahu kalau aku juga bisa membuat keputusan untuk langkahku. Tapi untuk mempersulit itu jelas tidak mungkin. Dia pasti senang jika aku ingin bercerai. Secara leluasa, Mas Yoshi bisa bersama lagi dengan mantan dan anaknya.

"Maaf, Bu Anastasya. Silakan duduk dulu." Seorang security di depan menghadang langkahku. Bahkan tangannya memegang kuat handle pintu kaca.

"Kenapa, Pak?" tanyaku heran.

"Bapak yang meminta saya agar Ibu mau menunggu beliau."

Akhirnya aku mundur dan duduk di sofa. Daripada ribut dan menjadi pusat perhatian staf dan beberapa tamu di loby kantor.

Tak lama berselang, lelaki gagah itu muncul menghampiriku. Baru saja meraih tanganku, asisten pribadinya mengejar. "Pak, ada telepon dari Multi Finance. Mereka akan sampai kantor kira-kira lima menit lagi."

"Kamu temui mereka. Saya mau keluar."

Kupikir Mas Yoshi hendak menemui tamunya, tapi dia justru mengandengku keluar kantor.

"Mau ke mana, Mas. Kamu lagi kerja, loh."

Tanpa menjawab pertanyaanku, Mas Yoshi membuka pintu mobil. "Masuklah, kita perlu bicara."

Mobil melaju di jalan kota Pahlawan. Beberapa saat lamanya kami dalam diam. Rupanya dia hendak membawaku pulang ke rumah.

"Mas, aku berhenti di halte depan sana saja," kataku.

"Kenapa sih denganmu?"

"Nggak usah menutupi apa yang kamu lakukan di belakangku, Mas. Selama ini siapa yang Mas prioritaskan. Bukan aku. Memang setiap hari Mas pulang, tapi sebelum pulang aku tahu Mas ke mana?"

"Aku punya Ayunda. Aku pergi ke sana untuk dia. Jangan salah paham."

"Dan sesering itu? Apa setelah bercerai setiap orang tua akan melakukan itu. Bertemu setiap hari dan mengabaikan bahwa di rumah juga ada pasangan barunya."

"Kamu salah paham, Nastasya."

Lucu. Begini salah paham katanya.

Комментарии (2)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
God Natasya kali ini kamu bertindak benar. ternyata mamamu yg nganggep bodoh itu salah besar. kamu itu berkelas
goodnovel comment avatar
Indya
mbak lis , sepinter itu bikin cerita sampai ak nangis bacanya.... ah nastasya......nyesek bacanya
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status