"Aku tahu kok, Mas menyesal bercerai dengan Mbak Mayang. Ternyata dia nggak berselingkuh. Kalau kalian masih saling mencintai, aku ikhlas kok, Mas. Urus saja perceraian kita dengan cepat. Mas, bisa balikan lagi dan menebus rasa bersalah.
"Kenapa aku nggak cari pengacara lain? Karena aku ingin Mas sendiri yang menyelesaikan urusan kita. Biar nggak diketahui orang lain. Biar mereka tahunya setelah kita sah bercerai. Jangan bawa aku pulang. Aku nggak ingin pulang. Aku sudah pergi dari sana, aku nggak akan kembali."Pada saat itu ponsel Mas Yoshi yang ada di cup holder berdering. Jelas kulihat kalau nama Mbak Mayang tertera di sana. Untuk apa jam kerja begini dia menelepon. Apa urusan anak lagi?Memang perlu bertanggungjawab pada anak-anak meski sudah bercerai. Tapi apa harus sejauh ini. Apa perempuan itu tidak tahu bagaimana menjaga perasaan pasangan mantannya. Dia perempuan terpelajar, loh."Mas, turunkan aku di depan saja."Mas Yoshi tidak menanggapi. Mobil terus melaju di kepadatan lalu lintas. Dia juga tidak menerima telepon dari Mbak Mayang. Kalau tidak ada rahasia, kenapa tak dijawab saja.Ponsel kembali berdering."Angkat saja. Mungkin ada hal penting."Mas Yoshi masih diam hingga pendar itu padam."Kalau Mas nggak mau menyelesaikan perceraian kita. Biar aku cari pengacara lain saja. Mas, nggak usah datang di sidang. Supaya urusan kita cepat selesai." Perkataanku juga tidak diresponnya. Apa sebenarnya yang dia mau. Sungguh dia membuatku sangat kesal luar biasa. Jengkel, ingin menangis, dan menjerit.Mobil berhenti di lampu merah. Aku nekat turun tanpa bicara apapun."NASTASYA!" Aku masih mendengar panggilannya saat melangkah ke tepi melewati mobil yang berhenti.Aku tak peduli dengan umpatan para pengendara motor yang kaget dengan kemunculanku disaat mereka terburu-buru. Aku terus menelusuri trotoar yang berlawanan arah dengan hati yang paling hancur. Apa yang sebenarnya dia inginkan. Menyiksaku saat bersama, minta pisah dipersulit juga. Aku tak lagi menoleh ke belakang. Yang jelas Mas Yoshi tidak mungkin putar balik. Posisinya sulit untuk keluar dari kerumunan kendaraan.Langkahku terhenti saat ada taksi kosong berhenti karena lampu merah menyala lagi.***L***[Sa, papa di loby hotel, Nak. Turun ya, papa tunggu!]Tergesa aku segera keluar kamar hotel. Tidak peduli mataku yang mungkin bengkak habis menangis.Lelaki berkacamata yang paling peduli padaku, tersenyum saat aku muncul. Tangannya terentang untuk menyambutku.Mbak resepsinis memperhatikan kami. Tapi dia tahu kalau Pak Bastian ini papaku. Hampir setiap hari papa datang dan kebetulan resepsionis itu masuk yang masuk shift sore."Kamu nangis lagi?"Aku tersenyum."Kenapa kamu turun dari mobil di tengah kemacetan. Gimana kalau terjadi apa-apa sama kamu?""Papa, tahu dari mana?""Tadi siang, Yoshi menemui papa. Dia sudah cerita semuanya.""Papa, bilangin saja ke Mas Yoshi. Lebih baik segera memproses perceraian kami."Papa menarik napas berat. "Besok kamu pindah ke apartemen. Papa jemput jam tujuh pagi karena siangnya papa ada meeting. Apartemen ini sudah lengkap dengan perabotan.""Makasih, Pa. Jangan lupa, bilang sama dia agar segera menyelesaikan urusan perceraian kami."Papa merangkulku. Tidak lama setelah itu beliau pulang dan meninggalkan goodie bag berisi makanan.***L***Aku mulai kursus seminggu setelah pindah ke apartemen. Mas Fauzi ternyata adik kelasnya Mbak Aci waktu kuliah dulu, pengelola Celi Culinary Education. Orangnya ramah, baik, dan ngebimbing banget. Teman-teman kursus juga ramah-ramah. Sebagian besar mereka adalah ibu rumah tangga yang ingin mengembangkan bakatnya di bidang kuliner.Sejak pindah, aku memakai nomer ponsel yang berbeda. Perceraianku di urus oleh staf papa. Karena Mas Yoshi sendiri tidak ingin mengurusinya.Entahlah, aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Mungkin ingin menjaga reputasinya sebagai pengacara ternama, jadi kegagalan pernikahan kali kedua bisa saja membuat nama baiknya hancur. Akhirnya dia memilih mendiamkanku.Minggu depan adalah sidang pertama kami.Saat keluar dari tempat kursus, papa sudah menungguku. Beliau memang ingin mengajakku pulang sebentar ke rumah. Mama ingin bertemu."Mama sudah tahu kamu menggugat cerai suamimu." Papa memberitahu ketika di perjalanan."Tahu dari mamanya Mas Yoshi, Pa," tebakku."Ya. Nanti kalau mama bicara apapun, cukup dengarkan saja."Aku mengangguk. Bukankah itu yang aku lakukan selama ini?Turun dari mobil dadaku sudah berdebar-debar. Entah sudah berapa lama aku tidak pulang."Duduk!" perintah mama yang baru saja kucium tangannya. Wajahnya sudah tegang menahan kemarahan."Apa sih maumu. Kenapa nggak mau bersabar lagi. Kamu ini sudah beruntung mendapatkan Yoshi. Hanya permasalahan anak saja kamu perbesar hingga perceraian. Toh, anak itu juga tinggal sama ibunya, nggak sama kalian. Jangan baperan jadi perempuan."Nggak mungkin Yoshi balikan sama mantannya itu. Mereka sudah lama bercerai. Keluarga Yoshi membenci perempuan itu. Suka playing victim, memutar balikkan fakta. Kalau hubungan mereka masih baik, itu karena demi anak. Kamu tahu itu."Kamu jangan mempermalukan mama di hadapan keluarga Yoshi, Nas. Di hadapan para relasi kita. Pokoknya kamu cabut tuntutan itu atau kamu nggak usah datang lagi ke rumah ini."Mendengar kalimat terakhir itu, air mataku luruh. Setega itu mama padaku. Aku ini anaknya, kan? Kenapa berkata seperti itu padaku. Mama lebih mementingkan apa tanggapan orang nanti, daripada harga diri putrinya sendiri.Mama terus berkata tanpa memberiku kesempatan untuk bicara, membela diri. Apa mama tahu bagaimana sakitnya hati ini? Aku yang merasakan empat tahun ini serasa di nomer duakan, padahal akulah istrinya Mas Yoshi saat ini.Aku bertemu mama hanya untuk mendengarkam dia marah dan mengancam. Papa yang membelaku malah kena damprat.Sekarang aku tambah paham, kenapa akhirnya papa mendua. Di rumah ini papa tak punya kuasa. Sejelek-jeleknya lelaki, pasti tidak ingin disetir oleh istrinya sendiri. Semua diatur dan tidak dihargai."Yoshi kan nggak ingin bercerai. Kamu saja yang kegatelan ingin pisah. Mau cari lelaki yang bagaimana lagi, hah!"Tidak ingin bercerai, tapi nyaman dengan mantannya. Apa ini namanya? Kalau bercerai lagi, kredibilitasnya sebagai pengacara akan terjejas. Aku yakin itu yang tengah dipikirkannya. Bukan karena cinta. Selama ini dia terlalu nyaman, bisa menjaga nama baiknya karena masih bertahan denganku, tapi di sisi lain ia leluasa tetap bisa berhubungan dengan mantan istrinya."Kalau kamu nggak cabut tuntutan itu. Jangan pernah lagi pulang ke rumah ini," ancamnya lantas masuk ke dalam.Di sinilah aku sadar. Di depan mama, harga diriku masih mahalan harga gincu yang dipakainya. Beliau melahirkanku, tapi tidak menyayangiku.Aku bangkit dari dudukku dan melangkah keluar.* * *Baru tiga menit memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Lidia muncul dari sana. Agung kembali duduk."Kutelepon nggak kamu angkat tadi," ujar Agung. "Aku lagi meeting, Mas. Selesai meeting kutelepon nomer Mas nggak aktif. Aku telepon rumah, katanya Mas sudah pulang." Lidia menjelaskan seraya melepaskan blazer yang dipakainya."Ponselku kehabisan baterai tadi."Agung menarik lengan istrinya supaya duduk di dekatnya. "Aku mau mandi dulu, Mas. Terus nyiapin pakaian. Setelah Lili pulang ngaji kita langsung berangkat, kan?""Iya. Kalau gitu kita mandi bareng.""Jangan. Biasanya Lili nyelonong masuk setelah pulang ngaji. Mas, duluan saja yang mandi. Biar aku nyiapin pakaian." Lidia membuka lemari. "Aku sudah bilang ke mbak yang nganterin Lili ngaji. Kita akan ngajak dia staycation sore ini," kata Agung sambil melepaskan kancing kemeja."Kenapa ngajak si mbak, Mas?""Aku sudah booking dua kamar. Tidak mungkin kita biarkan Lili tidur sendirian, kan?"Lidia diam sejenak. "Mas, memang nggak
(Bukan) Istri Pilihan - Cinta yang Indah Author's POVMobil Agung langsung masuk ke dalam carport rumahnya. Hujan masih deras mengguyur malam. Mereka turun. Agung membuka pintu samping yang terus terhubung dari area carport ke ruang keluarga.Masuk ke dalam suasana rumah sepi. Ruang tamu hanya ada lampu malam yang menyala. Setelah mengunci pintu, ia menggandeng tangan istrinya menaiki tangga. "Mbak ART ke mana, Mas?" tanya Lidia sambil melangkah di samping suaminya."Aku suruh pulang sore tadi. Selama tiga hari dia nggak akan ke sini. Kita habiskan waktu tiga hari hanya berdua saja," jawab Agung sambil memandang sang istri. Tatapannya begitu jahil dan menyiratkan rencana besar dalam benaknya.Lidia bisa menangkap apa yang akan terjadi tiga hari ke depan. Siap-siap saja kalau ia akan dibuat tak berdaya oleh Agung.Mereka berdua masuk kamar. Agung mengunci pintu. Meski tiada sesiapa di sana, ia tidak ingin dibuat was-was. Kamar menguarkan wangi vanila, aroma kesukaan Lidia. Harumny
Usai makan malam, Pak Bastian, Bu Mega, Lidia, dan Agung duduk di ruang keluarga. Sedangkan Lili sedang belajar bersama guru lesnya di ruangan lain yang biasanya digunakan juga untuk bersantai karena langsung menghadap ke taman samping yang ada miniatur air terjun di sana."Papa dan mama merestui kalian berdua jika ingin rujuk. Segera menikah, sama-sama saling mendukung dan memperbaiki diri. Menjadi orang tua yang bisa jadi panutan anak kalian. Tapi papa menyarankan, Agung tetap mengajak Lidia untuk menemui kedua orang tuamu. Minta restu apapun tanggapan mereka. Yang terpenting pada orang tua, jika nggak ingin bertemu keluarga yang lain.""Bener apa kata papamu. Kalian berdua tetap harus menemui kedua orang tuamu, Gung." Bu Mega setuju dengan pendapat sang suami. Apapun tanggapan mereka, yang terpenting tetap meminta restu."Kapan rencana kalian akad nikah?" tanya Pak Bastian."Minggu depan, Pa," jawab Agung spontan. Membuat Lidia menatapnya karena kaget. Sebab mereka belum membahas t
(Bukan) Istri Pilihan - Akad Nikah Author's POV"Beneran kamu mau rujuk sama Lidia? Kamu nggak dengar mama bilang apa sama kamu?"Agung masih diam mendengarkan kemarahan sang mama, saat ia memberitahu akan rujuk dengan Lidia. Sedangkan -Pak Ringgo- papanya diam menatap layar televisi yang menampilkan acara berita."Kenapa kamu keras kepala? Sedangkan keluarga sudah sepakat dengan perjodohanmu dan Grace.""Sejak awal aku nggak setuju dengan rencana, Mama. Aku hanya akan menikah lagi dengan Lidia. Kami punya Lili, Ma. Keluarga setuju atau pun tidak, aku akan kembali menikahi Lidia."Bu Ringgo menatap marah pada putranya. "Mengenai Lili, kamu kan masih bisa menemuinya. Atau ambil dia dan ajak tinggal bersamamu."Tidak semudah itu. Apa mamanya pikir, Lidia akan diam saja kalau Lili diambil darinya?"Kamu nggak ingat apa yang terjadi dua tahun kemarin? Kita harus menanggung malu atas semua yang terjadi," lanjut Bu Ringgo."Itu salahku, Ma," bantah Agung. "Bahkan keluarga Lidia yang telah
"Mas mau meeting di kantor papa nanti jam dua. Makanya mas mampir pulang dulu." Yoshi mengusap pipi Yasha dan mengecupnya. "Yusa, mana?""Barusan tidur.""Kamu belum makan?" Yoshi memandang piring yang masih berisi penuh di atas nakas."Belum. Mau makan keburu Yasha nangis."Yoshi mengambil piring. "Mas suapi."Anastasya makan dari tangan Yoshi hingga makanan di piring tandas. Yasha kembali terlelap dan ditidurkan di atas tempat tidur. Untuk sementara ini kedua anaknya memang tidur di pisah. Khawatir akan saling ganggu jika salah satunya terbangun lebih dulu."Mas, mau makan apa sholat zhuhur dulu?" Anastasya bangkit dari duduknya."Mas sudah sholat sebelum masuk kamar tadi.""Ya udah, kalau gitu aku ambilin makan dulu." Anastasya keluar kamar dan kembali dengan nasi, lauk, potongan buah semangka, dan minum di nampan."Makasih, Sayang." Yoshi mengecup kening istrinya. Kemudian duduk di karpet ditemani Anastasya."Besok mas ada seminar tiga hari di Malang.""Nginep?" tanya Anastasya un
(Bukan) Istri Pilihan - Kita Akan Menikah Author's POVLidia bangkit dari duduknya sambil membenahi ikatan kimononya. "Aku nemui Sinta dulu, Mas. Ada hal penting yang akan kami bahas." Selesai bicara Lidia langsung keluar kamar. Sedangkan Agung bangkit dari duduknya dan berdiri di dekat jendela kamar. Menatap langit kelabu di atas sana.Sinta berdehem ketika Lidia masuk ke ruang kerja papanya. Ruangan yang lumayan luas. Ada meja panjang dengan kursi-kursi yang mengitarinya. Juga ada layar proyektor di sana. Biasa digunakan untuk meeting dadakan jika ada sesuatu yang harus dibahas segera."Pasti kamu mikir yang enggak-enggak tadi," ucap Lidia sambil duduk di depan adiknya.Dengan gaun se*si, tipis, dan dibalut kimono luarnya, rambut diikat asal-asalan dan terkesan semrawut, belum lagi wajah dan leher yang basah berpeluh, otomatis pikiran Sinta sudah terbang ke mana-mana. Apalagi jika ingat bagaimana Agung begitu agresif belakangan ini. Mereka manusia dewasa yang pernah hidup bersam
Sambil nyetir, Agung memperhatikan Lidia yang ketiduran bersandar pada jok. Wanita itu tidak bisa menahan kantuknya. Terbesit pula pikiran konyol ingin membawa Lidia pulang saja ke rumah mereka. Sampai mobil berhenti di depan pagar rumah, Lidia tidak terbangun. Akhirnya Agung pun bersedekap dan memejam, karena sudah ngantuk berat. Keduanya sama-sama tertidur hingga azan subuh berkumandang. Lidia yang terbangun lebih dulu, kaget dengan posisinya yang ternyata masih di dalam mobil. Di sebelahnya Agung masih lelap. Kenapa ia tidak dibangunkan ketika mereka sampai?"Mas." Lidia mengguncang pelan lengan mantannya.Dua kali panggilan, Agung membuka mata. Laki-laki itu menegakkan duduknya."Sudah subuh. Kenapa tadi malam mas nggak bangunin aku?""Kamu pules banget tidurnya."Lidia mengambil ponsel dari dalam tas, kemudian menelepon salah satu ART supaya membuka pintu pagar. Tak lama pintu pagar terbuka perlahan secara otomatis."Mas, aku turun dulu, ya. Hati-hati kalau nyetir," pesan Lidia
(Bukan) Istri Pilihan - Menikahlah Denganku Author's POVSuasana bahagia di restoran hotel sejam yang lalu berubah menjadi ketegangan di bangsal rumah sakit. Di akhir acara, Anastasya membisiki sang suami kalau perutnya terasa mulas tak tertahankan. Tanpa banyak bicara, Yoshi pamitan membawa Anastasya ke rumah sakit dan semua keluarga mengikuti. Sampai di rumah sakit sudah bukaan dua ketika diperiksa oleh bidan yang berjaga. Pak Bastian, Deny, Sinta, membawa anak-anak pulang. Sedangkan yang tinggal di rumah sakit, Yoshi, Bu Mega, Lidia, dan Agung. Jarak setengah jam kemudian Bu Nana dan Pak Yudi datang.Yoshi gelisah menemani Anastasya yang berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Ia ingat saat sang istri melahirkan anak pertama mereka waktu itu. Begitu menegangkan karena keadaan Anastasya yang sedang down. Malah sempat berwasiat pula pada kakaknya yang nomer dua. Semoga kali ini tidak ada drama lagi. Sekarang ini Yoshi menyarankan cesar, tapi Anastasya memilih lahiran pervaginam.
Bu Mega meninggalkan ruangan putrinya. Dia tidak bisa memaksa Lidia harus mengubah keputusannya. Biar putri sulungnya itu membuat keputusan sendiri. Walaupun sebagai nenek, ia sangat kashian pada Lili. Sebab dulu ia bertahan dengan rasa sakit demi melihat anak-anaknya tetap memiliki keluarga yang utuh. Sosok ayah yang ada untuk mereka. Broken home efeknya sangat luar biasa untuk psikologi seorang anak.Setelah sang mama pergi, Lidia membuka map yang diletakkan asistennya di atas meja. Namun jujur saja, pikirannya tidak bisa berkonsentrasi. Adakalanya ia ingin bisa hidup seperti kedua adiknya atau wanita lain di luar sana. Lifestyle yang sangat balance dan no overwork. Tapi kesendirian membuatnya gila kerja untuk menghilangkan kesepian.Sepertinya dialah penerus jejak nasib mamanya. Karena perselingkuhan papanya, sejak awal Lidia sudah dipersiapkan sang mama untuk menjadi wanita kuat, tangguh, dan mandiri. Persis seperti masa muda sang mama. Hanya saja, mamanya hidup dalam keluarga tan