Share

Part 14 Harga Diri 2

"Aku tahu kok, Mas menyesal bercerai dengan Mbak Mayang. Ternyata dia nggak berselingkuh. Kalau kalian masih saling mencintai, aku ikhlas kok, Mas. Urus saja perceraian kita dengan cepat. Mas, bisa balikan lagi dan menebus rasa bersalah.

"Kenapa aku nggak cari pengacara lain? Karena aku ingin Mas sendiri yang menyelesaikan urusan kita. Biar nggak diketahui orang lain. Biar mereka tahunya setelah kita sah bercerai. Jangan bawa aku pulang. Aku nggak ingin pulang. Aku sudah pergi dari sana, aku nggak akan kembali."

Pada saat itu ponsel Mas Yoshi yang ada di cup holder berdering. Jelas kulihat kalau nama Mbak Mayang tertera di sana. Untuk apa jam kerja begini dia menelepon. Apa urusan anak lagi?

Memang perlu bertanggungjawab pada anak-anak meski sudah bercerai. Tapi apa harus sejauh ini. Apa perempuan itu tidak tahu bagaimana menjaga perasaan pasangan mantannya. Dia perempuan terpelajar, loh.

"Mas, turunkan aku di depan saja."

Mas Yoshi tidak menanggapi. Mobil terus melaju di kepadatan lalu lintas. Dia juga tidak menerima telepon dari Mbak Mayang. Kalau tidak ada rahasia, kenapa tak dijawab saja.

Ponsel kembali berdering.

"Angkat saja. Mungkin ada hal penting."

Mas Yoshi masih diam hingga pendar itu padam.

"Kalau Mas nggak mau menyelesaikan perceraian kita. Biar aku cari pengacara lain saja. Mas, nggak usah datang di sidang. Supaya urusan kita cepat selesai." Perkataanku juga tidak diresponnya. Apa sebenarnya yang dia mau. Sungguh dia membuatku sangat kesal luar biasa. Jengkel, ingin menangis, dan menjerit.

Mobil berhenti di lampu merah. Aku nekat turun tanpa bicara apapun.

"NASTASYA!" Aku masih mendengar panggilannya saat melangkah ke tepi melewati mobil yang berhenti.

Aku tak peduli dengan umpatan para pengendara motor yang kaget dengan kemunculanku disaat mereka terburu-buru. Aku terus menelusuri trotoar yang berlawanan arah dengan hati yang paling hancur. Apa yang sebenarnya dia inginkan. Menyiksaku saat bersama, minta pisah dipersulit juga. Aku tak lagi menoleh ke belakang. Yang jelas Mas Yoshi tidak mungkin putar balik. Posisinya sulit untuk keluar dari kerumunan kendaraan.

Langkahku terhenti saat ada taksi kosong berhenti karena lampu merah menyala lagi.

***L***

[Sa, papa di loby hotel, Nak. Turun ya, papa tunggu!]

Tergesa aku segera keluar kamar hotel. Tidak peduli mataku yang mungkin bengkak habis menangis.

Lelaki berkacamata yang paling peduli padaku, tersenyum saat aku muncul. Tangannya terentang untuk menyambutku.

Mbak resepsinis memperhatikan kami. Tapi dia tahu kalau Pak Bastian ini papaku. Hampir setiap hari papa datang dan kebetulan resepsionis itu masuk yang masuk shift sore.

"Kamu nangis lagi?"

Aku tersenyum.

"Kenapa kamu turun dari mobil di tengah kemacetan. Gimana kalau terjadi apa-apa sama kamu?"

"Papa, tahu dari mana?"

"Tadi siang, Yoshi menemui papa. Dia sudah cerita semuanya."

"Papa, bilangin saja ke Mas Yoshi. Lebih baik segera memproses perceraian kami."

Papa menarik napas berat. "Besok kamu pindah ke apartemen. Papa jemput jam tujuh pagi karena siangnya papa ada meeting. Apartemen ini sudah lengkap dengan perabotan."

"Makasih, Pa. Jangan lupa, bilang sama dia agar segera menyelesaikan urusan perceraian kami."

Papa merangkulku. Tidak lama setelah itu beliau pulang dan meninggalkan goodie bag berisi makanan.

***L***

Aku mulai kursus seminggu setelah pindah ke apartemen. Mas Fauzi ternyata adik kelasnya Mbak Aci waktu kuliah dulu, pengelola Celi Culinary Education. Orangnya ramah, baik, dan ngebimbing banget. Teman-teman kursus juga ramah-ramah. Sebagian besar mereka adalah ibu rumah tangga yang ingin mengembangkan bakatnya di bidang kuliner.

Sejak pindah, aku memakai nomer ponsel yang berbeda. Perceraianku di urus oleh staf papa. Karena Mas Yoshi sendiri tidak ingin mengurusinya.

Entahlah, aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Mungkin ingin menjaga reputasinya sebagai pengacara ternama, jadi kegagalan pernikahan kali kedua bisa saja membuat nama baiknya hancur. Akhirnya dia memilih mendiamkanku.

Minggu depan adalah sidang pertama kami.

Saat keluar dari tempat kursus, papa sudah menungguku. Beliau memang ingin mengajakku pulang sebentar ke rumah. Mama ingin bertemu.

"Mama sudah tahu kamu menggugat cerai suamimu." Papa memberitahu ketika di perjalanan.

"Tahu dari mamanya Mas Yoshi, Pa," tebakku.

"Ya. Nanti kalau mama bicara apapun, cukup dengarkan saja."

Aku mengangguk. Bukankah itu yang aku lakukan selama ini?

Turun dari mobil dadaku sudah berdebar-debar. Entah sudah berapa lama aku tidak pulang.

"Duduk!" perintah mama yang baru saja kucium tangannya. Wajahnya sudah tegang menahan kemarahan.

"Apa sih maumu. Kenapa nggak mau bersabar lagi. Kamu ini sudah beruntung mendapatkan Yoshi. Hanya permasalahan anak saja kamu perbesar hingga perceraian. Toh, anak itu juga tinggal sama ibunya, nggak sama kalian. Jangan baperan jadi perempuan.

"Nggak mungkin Yoshi balikan sama mantannya itu. Mereka sudah lama bercerai. Keluarga Yoshi membenci perempuan itu. Suka playing victim, memutar balikkan fakta. Kalau hubungan mereka masih baik, itu karena demi anak. Kamu tahu itu.

"Kamu jangan mempermalukan mama di hadapan keluarga Yoshi, Nas. Di hadapan para relasi kita. Pokoknya kamu cabut tuntutan itu atau kamu nggak usah datang lagi ke rumah ini."

Mendengar kalimat terakhir itu, air mataku luruh. Setega itu mama padaku. Aku ini anaknya, kan? Kenapa berkata seperti itu padaku. Mama lebih mementingkan apa tanggapan orang nanti, daripada harga diri putrinya sendiri.

Mama terus berkata tanpa memberiku kesempatan untuk bicara, membela diri. Apa mama tahu bagaimana sakitnya hati ini? Aku yang merasakan empat tahun ini serasa di nomer duakan, padahal akulah istrinya Mas Yoshi saat ini.

Aku bertemu mama hanya untuk mendengarkam dia marah dan mengancam. Papa yang membelaku malah kena damprat.

Sekarang aku tambah paham, kenapa akhirnya papa mendua. Di rumah ini papa tak punya kuasa. Sejelek-jeleknya lelaki, pasti tidak ingin disetir oleh istrinya sendiri. Semua diatur dan tidak dihargai.

"Yoshi kan nggak ingin bercerai. Kamu saja yang kegatelan ingin pisah. Mau cari lelaki yang bagaimana lagi, hah!"

Tidak ingin bercerai, tapi nyaman dengan mantannya. Apa ini namanya? Kalau bercerai lagi, kredibilitasnya sebagai pengacara akan terjejas. Aku yakin itu yang tengah dipikirkannya. Bukan karena cinta. Selama ini dia terlalu nyaman, bisa menjaga nama baiknya karena masih bertahan denganku, tapi di sisi lain ia leluasa tetap bisa berhubungan dengan mantan istrinya.

"Kalau kamu nggak cabut tuntutan itu. Jangan pernah lagi pulang ke rumah ini," ancamnya lantas masuk ke dalam.

Di sinilah aku sadar. Di depan mama, harga diriku masih mahalan harga gincu yang dipakainya. Beliau melahirkanku, tapi tidak menyayangiku.

Aku bangkit dari dudukku dan melangkah keluar.

* * *

Comments (14)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
kok bisa emak kandung bersikap seperti itu. tega banget sama anaknya. gk menghargai dan mengerti kesakitan anaknya. udah Natasya. mending gk usah ketemu emakmu yg kayak Dajjal..
goodnovel comment avatar
Heni Hendrayani
semoga natasya gak kaya vi ananda ya pengen cerei nangis nangis akhir nya rujuk juga
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
hug for natasya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status