Home / Rumah Tangga / (Bukan) Istri Pilihan / Part 8 Siap Berperang 2

Share

Part 8 Siap Berperang 2

last update Last Updated: 2023-12-22 14:45:40

Saat itu menjadi hari-hari yang sulit. Papa dan mama nyaris bercerai. Tak ada kedamaian di rumah. Selalu saja ribut dan ribut. Ah, sebenarnya mama saja yang mengamuk. Papa hanya diam karena merasa bersalah.

Pada akhirnya mereka tidak jadi bercerai. Mama memikirkan reputasi yang bakalan hancur lebur. Orang-orang di luar sana menganggap kedua orang tuaku adalah pasangan yang serasi dan harmonis. Demi selalu dianggap sempurna, sampai mama sanggup bertahan dengan sesuatu yang menyakitkan ini. Aku kasihan. Meski mama selalu pilih kasih.

Mama mengajukan syarat, bahwa sampai kapanpun tidak akan mau menandatangani surat pernyataan izin poligami. Jadi Bu Eri akan tetap menjadi istri siri dan tidak boleh di akui di depan publik.

Namun setelah sekian lama, pasti sebagian relasi, partner bisnis, sudah tahu. Hanya saja mereka diam atau menggunjing di belakang.

Dulu saat mama hamil aku, beliau menginginkan anak laki-laki. Supaya ada yang meneruskan tahta perusahaannya. Tapi ternyata lahir perempuan lagi. Mungkin karena itu, mama selalu membandingkan aku dengan kedua kakakku yang cerdas dan berprestasi.

Kadang tidak percaya ada ibu yang seperti ini. Namun aku mengalaminya.

Setengah jam ngobrol dan bercanda, laki-laki yang usianya seumuran dengan Mbak Sinta itu pamitan pulang.

***L***

Sungguh terasa sangat lelah sekujur badan. Hampir Maghrib tadi aku baru selesai beberes. Namun melihat hasil kerjaku, aku sangat puas. Ini sambil duduk aku mengedit foto cup cake tadi. Kuedit semenarik mungkin dengan hiasan sepadan, perpaduan dari beberapa aplikasi. Hingga tampilannya mirip seperti yang kulihat di media sosial.

Iseng ku-upload di akun media sosialku yang menggunakan nama samaran. Titip di sana biar tidak hilang.

Sambil menatap langit malam musim kemarau di balkon kamar. Ribuan bintang tampak kelap-kelip di angkasa. Aku rindu masa kecilku. Rindu liburan ke rumah nenek disaat cuti sekolah. Di desa kecil itu aku menemukan kedamaian. Kalau boleh, aku ingin sekali tinggal di sana. Tapi anehnya mama melarang, walaupun beliau tidak bisa memberikan perhatian secara adil pada anak-anaknya. Hanya papa yang membuatku merasa disayangi.

Tapi aku tak lagi menyesali semua ini. Andai aku cerdas, mungkin aku akan menjadi perempuan yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan kakak dan mama. Sebab mama pasti akan memperlakukan aku seistimewa kedua kakakku.

Aku yang dibilang paling cantik, pintar, akan menjadi manusia yang sombong, angkuh, tak mengenal empati, glamor, karena mama akan membuatku menjadi seperti itu. Bukan Anastasya seperti sekarang ini.

"Bersyukurlah menjadi dirimu sendiri. Jangan menyesali apapun yang terjadi. Allah sudah menjadikan dirimu terbaik dengan cara seperti ini." Kalimat ini yang pernah dikatakan Mas Fauzi padaku. Kata-kata yang bermaksud untuk menghiburku. Tapi memiliki makna yang begitu dalam. Sekarang aku baru menyadarinya.

Dia hanya kakak tiri, anak Bu Eri dengan suamiya terdahulu. Namun baiknya mengalahkan kedua kakak kandungku sendiri.

Tadi sore ia menyemangatiku untuk kursus memasak. Rasanya aku tak sabar untuk itu. Aku ingin menjadi diriku sendiri seperti yang kuinginkan.

Aku tersenyum pada udara hampa. Pada malam yang pekat menjelaga. Tapi seolah menerbitkan cahaya baru dalam hidupku.

"Kamu bisa, Nas. Aku yakin kamu bakalan sukses. Kabari secepatnya ya. Nanti kuantar ke Cila Culinary Education. Semoga Mas Yoshi mengizinkan," ucap Mas Fauzi saat kuantarkan hingga ke teras depan tadi.

Jam digital di ponsel sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Mas Yoshi belum pulang. Sore tadi menelepon kalau akan pulang agak malam. Aku sudah terbiasa dengan semua ini sejak kami menikah.

Tepat jam sepuluh malam Mas Yoshi pulang.

Dia menghampiriku yang tengah meringkuk dan berselimut. Dikiranya aku sudah tidur. Saat dia mendekat, aku mencium sisa aroma parfum bercampur bau obat di tubuhnya. Pasti dia mampir ke rumah sakit tadi.

"Sorry, mas membuatmu terbangun," ucapnya saat aku membuka mata.

"Aku belum tidur." Aku bangun dari pembaringan. Seperti biasa aku siapkan pakaian ganti, tanpa menyiapkan makan malam. Yakin kalau dia sudah makan di luar.

Ponsel Mas Yoshi yang tengah di charge berpendar. Inilah untuk pertama kalinya aku penasaran. Dari layar utama yang menyala, notifikasi itu terbaca.

[Mas, jangan lupa besok jemput kami jam 10.]

Aku menghela nafas berat dan mundur ke tepi ranjang. Rasa sakit mencabik hati. Mereka kan sudah bercerai, kenapa semuanya harus Mas Yoshi. Memang suamiku papanya Ayunda, tapi apa semuanya harus ada dia. Bukankah kalau sekedar pulang dari rumah sakit, Mbak Mayang bisa membawa anaknya pulang sendiri. Kenapa dia tidak memikirkan perasaan pasangan mantannya? Kalau bercerai bukankah harus siap melakukan semuanya tanpa pasangan?

Wangi sabun menguar saat Mas Yoshi keluar dari kamar mandi. Handuk putih itu membelit di pinggangnya. Aku menunduk tanpa menatapnya yang sedang ganti pakaian.

"Kamu sudah makan?" Mas Yoshi duduk di sebelahku.

Aku mengangguk pelan. Tanpa bertanya balik. Kemudian aku berbaring.

"Beneran kamu sudah makan?" tanyanya lagi. Sebab biasanya malam pun aku selalu menunggunya pulang, walaupun kami tidak makan, tapi masih sempat duduk berdua makan cemilan.

"Aku mau tidur, Mas," kataku langsung memejam.

***L***

Ini kali pertama juga aku menjadi penguntit. Jam sepuluh lebih lima belas menit, aku melihat Mas Yoshi melangkah ke parkiran rumah sakit sambil menggendong Ayunda. Di sampingnya ada Mbak Mayang. Mereka bertiga ngobrol begitu mesranya. Dari balik pagar rumah sakit aku melihat semuanya. Ternyata ini yang terjadi di belakangku. Adakah yang lebih dari ini?

Dadaku makin perih di antara kepedihan-kepedihan sebelumnya.

Setelah mobil itu bergerak, aku buru-buru kembali naik taksi yang memang kusuruh menunggu. Aku sengaja tidak membawa mobil agar tak dikenali.

"Ikuti mobil putih itu, Pak!" Tunjukku pada mobil Mas Yoshi yang keluar dari rumah sakit.

"Njih, Neng," jawab bapak setengah baya yang tampak iba melihatku menangis.

Rupanya mereka tidak langsung pulang, tapi berbelok ke sebuah pusat perbelanjaan.

"Tunggu saya ya, Pak. Nanti antarkan saya pulang lagi. Berapapun ongkosnya nanti saya bayar."

"Njih. Saya tunggu, Neng." Lelaki itu mengangguk.

Next ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Berdamai dengan masa lalu tetapi sakit juga melihat mereka masih selalu bersama
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cinta itu diperjuangkan sampai berhasil sesuai keinginan. bukannya menye2 dan berharap dimengerti. suami pengertian dan bisa jaga perasaan istri hanya ada dlm dunia sinetron.
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
ada waktu buat mantan tapi gk ada waktu buat istri sendiri. trus ngapain nikah? knp gk balikan aja Ama mantan?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 146 Cinta yang Indah 2

    Baru tiga menit memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Lidia muncul dari sana. Agung kembali duduk."Kutelepon nggak kamu angkat tadi," ujar Agung. "Aku lagi meeting, Mas. Selesai meeting kutelepon nomer Mas nggak aktif. Aku telepon rumah, katanya Mas sudah pulang." Lidia menjelaskan seraya melepaskan blazer yang dipakainya."Ponselku kehabisan baterai tadi."Agung menarik lengan istrinya supaya duduk di dekatnya. "Aku mau mandi dulu, Mas. Terus nyiapin pakaian. Setelah Lili pulang ngaji kita langsung berangkat, kan?""Iya. Kalau gitu kita mandi bareng.""Jangan. Biasanya Lili nyelonong masuk setelah pulang ngaji. Mas, duluan saja yang mandi. Biar aku nyiapin pakaian." Lidia membuka lemari. "Aku sudah bilang ke mbak yang nganterin Lili ngaji. Kita akan ngajak dia staycation sore ini," kata Agung sambil melepaskan kancing kemeja."Kenapa ngajak si mbak, Mas?""Aku sudah booking dua kamar. Tidak mungkin kita biarkan Lili tidur sendirian, kan?"Lidia diam sejenak. "Mas, memang nggak

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 145 Cinta yang Indah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Cinta yang Indah Author's POVMobil Agung langsung masuk ke dalam carport rumahnya. Hujan masih deras mengguyur malam. Mereka turun. Agung membuka pintu samping yang terus terhubung dari area carport ke ruang keluarga.Masuk ke dalam suasana rumah sepi. Ruang tamu hanya ada lampu malam yang menyala. Setelah mengunci pintu, ia menggandeng tangan istrinya menaiki tangga. "Mbak ART ke mana, Mas?" tanya Lidia sambil melangkah di samping suaminya."Aku suruh pulang sore tadi. Selama tiga hari dia nggak akan ke sini. Kita habiskan waktu tiga hari hanya berdua saja," jawab Agung sambil memandang sang istri. Tatapannya begitu jahil dan menyiratkan rencana besar dalam benaknya.Lidia bisa menangkap apa yang akan terjadi tiga hari ke depan. Siap-siap saja kalau ia akan dibuat tak berdaya oleh Agung.Mereka berdua masuk kamar. Agung mengunci pintu. Meski tiada sesiapa di sana, ia tidak ingin dibuat was-was. Kamar menguarkan wangi vanila, aroma kesukaan Lidia. Harumny

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 144 Akad Nikah 2

    Usai makan malam, Pak Bastian, Bu Mega, Lidia, dan Agung duduk di ruang keluarga. Sedangkan Lili sedang belajar bersama guru lesnya di ruangan lain yang biasanya digunakan juga untuk bersantai karena langsung menghadap ke taman samping yang ada miniatur air terjun di sana."Papa dan mama merestui kalian berdua jika ingin rujuk. Segera menikah, sama-sama saling mendukung dan memperbaiki diri. Menjadi orang tua yang bisa jadi panutan anak kalian. Tapi papa menyarankan, Agung tetap mengajak Lidia untuk menemui kedua orang tuamu. Minta restu apapun tanggapan mereka. Yang terpenting pada orang tua, jika nggak ingin bertemu keluarga yang lain.""Bener apa kata papamu. Kalian berdua tetap harus menemui kedua orang tuamu, Gung." Bu Mega setuju dengan pendapat sang suami. Apapun tanggapan mereka, yang terpenting tetap meminta restu."Kapan rencana kalian akad nikah?" tanya Pak Bastian."Minggu depan, Pa," jawab Agung spontan. Membuat Lidia menatapnya karena kaget. Sebab mereka belum membahas t

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 143 Akad Nikah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Akad Nikah Author's POV"Beneran kamu mau rujuk sama Lidia? Kamu nggak dengar mama bilang apa sama kamu?"Agung masih diam mendengarkan kemarahan sang mama, saat ia memberitahu akan rujuk dengan Lidia. Sedangkan -Pak Ringgo- papanya diam menatap layar televisi yang menampilkan acara berita."Kenapa kamu keras kepala? Sedangkan keluarga sudah sepakat dengan perjodohanmu dan Grace.""Sejak awal aku nggak setuju dengan rencana, Mama. Aku hanya akan menikah lagi dengan Lidia. Kami punya Lili, Ma. Keluarga setuju atau pun tidak, aku akan kembali menikahi Lidia."Bu Ringgo menatap marah pada putranya. "Mengenai Lili, kamu kan masih bisa menemuinya. Atau ambil dia dan ajak tinggal bersamamu."Tidak semudah itu. Apa mamanya pikir, Lidia akan diam saja kalau Lili diambil darinya?"Kamu nggak ingat apa yang terjadi dua tahun kemarin? Kita harus menanggung malu atas semua yang terjadi," lanjut Bu Ringgo."Itu salahku, Ma," bantah Agung. "Bahkan keluarga Lidia yang telah

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 142 Kita Akan Menikah 2

    "Mas mau meeting di kantor papa nanti jam dua. Makanya mas mampir pulang dulu." Yoshi mengusap pipi Yasha dan mengecupnya. "Yusa, mana?""Barusan tidur.""Kamu belum makan?" Yoshi memandang piring yang masih berisi penuh di atas nakas."Belum. Mau makan keburu Yasha nangis."Yoshi mengambil piring. "Mas suapi."Anastasya makan dari tangan Yoshi hingga makanan di piring tandas. Yasha kembali terlelap dan ditidurkan di atas tempat tidur. Untuk sementara ini kedua anaknya memang tidur di pisah. Khawatir akan saling ganggu jika salah satunya terbangun lebih dulu."Mas, mau makan apa sholat zhuhur dulu?" Anastasya bangkit dari duduknya."Mas sudah sholat sebelum masuk kamar tadi.""Ya udah, kalau gitu aku ambilin makan dulu." Anastasya keluar kamar dan kembali dengan nasi, lauk, potongan buah semangka, dan minum di nampan."Makasih, Sayang." Yoshi mengecup kening istrinya. Kemudian duduk di karpet ditemani Anastasya."Besok mas ada seminar tiga hari di Malang.""Nginep?" tanya Anastasya un

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 141 Kita Akan Menikah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Kita Akan Menikah Author's POVLidia bangkit dari duduknya sambil membenahi ikatan kimononya. "Aku nemui Sinta dulu, Mas. Ada hal penting yang akan kami bahas." Selesai bicara Lidia langsung keluar kamar. Sedangkan Agung bangkit dari duduknya dan berdiri di dekat jendela kamar. Menatap langit kelabu di atas sana.Sinta berdehem ketika Lidia masuk ke ruang kerja papanya. Ruangan yang lumayan luas. Ada meja panjang dengan kursi-kursi yang mengitarinya. Juga ada layar proyektor di sana. Biasa digunakan untuk meeting dadakan jika ada sesuatu yang harus dibahas segera."Pasti kamu mikir yang enggak-enggak tadi," ucap Lidia sambil duduk di depan adiknya.Dengan gaun se*si, tipis, dan dibalut kimono luarnya, rambut diikat asal-asalan dan terkesan semrawut, belum lagi wajah dan leher yang basah berpeluh, otomatis pikiran Sinta sudah terbang ke mana-mana. Apalagi jika ingat bagaimana Agung begitu agresif belakangan ini. Mereka manusia dewasa yang pernah hidup bersam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status