Share

Part 8 Siap Berperang 2

Saat itu menjadi hari-hari yang sulit. Papa dan mama nyaris bercerai. Tak ada kedamaian di rumah. Selalu saja ribut dan ribut. Ah, sebenarnya mama saja yang mengamuk. Papa hanya diam karena merasa bersalah.

Pada akhirnya mereka tidak jadi bercerai. Mama memikirkan reputasi yang bakalan hancur lebur. Orang-orang di luar sana menganggap kedua orang tuaku adalah pasangan yang serasi dan harmonis. Demi selalu dianggap sempurna, sampai mama sanggup bertahan dengan sesuatu yang menyakitkan ini. Aku kasihan. Meski mama selalu pilih kasih.

Mama mengajukan syarat, bahwa sampai kapanpun tidak akan mau menandatangani surat pernyataan izin poligami. Jadi Bu Eri akan tetap menjadi istri siri dan tidak boleh di akui di depan publik.

Namun setelah sekian lama, pasti sebagian relasi, partner bisnis, sudah tahu. Hanya saja mereka diam atau menggunjing di belakang.

Dulu saat mama hamil aku, beliau menginginkan anak laki-laki. Supaya ada yang meneruskan tahta perusahaannya. Tapi ternyata lahir perempuan lagi. Mungkin karena itu, mama selalu membandingkan aku dengan kedua kakakku yang cerdas dan berprestasi.

Kadang tidak percaya ada ibu yang seperti ini. Namun aku mengalaminya.

Setengah jam ngobrol dan bercanda, laki-laki yang usianya seumuran dengan Mbak Sinta itu pamitan pulang.

***L***

Sungguh terasa sangat lelah sekujur badan. Hampir Maghrib tadi aku baru selesai beberes. Namun melihat hasil kerjaku, aku sangat puas. Ini sambil duduk aku mengedit foto cup cake tadi. Kuedit semenarik mungkin dengan hiasan sepadan, perpaduan dari beberapa aplikasi. Hingga tampilannya mirip seperti yang kulihat di media sosial.

Iseng ku-upload di akun media sosialku yang menggunakan nama samaran. Titip di sana biar tidak hilang.

Sambil menatap langit malam musim kemarau di balkon kamar. Ribuan bintang tampak kelap-kelip di angkasa. Aku rindu masa kecilku. Rindu liburan ke rumah nenek disaat cuti sekolah. Di desa kecil itu aku menemukan kedamaian. Kalau boleh, aku ingin sekali tinggal di sana. Tapi anehnya mama melarang, walaupun beliau tidak bisa memberikan perhatian secara adil pada anak-anaknya. Hanya papa yang membuatku merasa disayangi.

Tapi aku tak lagi menyesali semua ini. Andai aku cerdas, mungkin aku akan menjadi perempuan yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan kakak dan mama. Sebab mama pasti akan memperlakukan aku seistimewa kedua kakakku.

Aku yang dibilang paling cantik, pintar, akan menjadi manusia yang sombong, angkuh, tak mengenal empati, glamor, karena mama akan membuatku menjadi seperti itu. Bukan Anastasya seperti sekarang ini.

"Bersyukurlah menjadi dirimu sendiri. Jangan menyesali apapun yang terjadi. Allah sudah menjadikan dirimu terbaik dengan cara seperti ini." Kalimat ini yang pernah dikatakan Mas Fauzi padaku. Kata-kata yang bermaksud untuk menghiburku. Tapi memiliki makna yang begitu dalam. Sekarang aku baru menyadarinya.

Dia hanya kakak tiri, anak Bu Eri dengan suamiya terdahulu. Namun baiknya mengalahkan kedua kakak kandungku sendiri.

Tadi sore ia menyemangatiku untuk kursus memasak. Rasanya aku tak sabar untuk itu. Aku ingin menjadi diriku sendiri seperti yang kuinginkan.

Aku tersenyum pada udara hampa. Pada malam yang pekat menjelaga. Tapi seolah menerbitkan cahaya baru dalam hidupku.

"Kamu bisa, Nas. Aku yakin kamu bakalan sukses. Kabari secepatnya ya. Nanti kuantar ke Cila Culinary Education. Semoga Mas Yoshi mengizinkan," ucap Mas Fauzi saat kuantarkan hingga ke teras depan tadi.

Jam digital di ponsel sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Mas Yoshi belum pulang. Sore tadi menelepon kalau akan pulang agak malam. Aku sudah terbiasa dengan semua ini sejak kami menikah.

Tepat jam sepuluh malam Mas Yoshi pulang.

Dia menghampiriku yang tengah meringkuk dan berselimut. Dikiranya aku sudah tidur. Saat dia mendekat, aku mencium sisa aroma parfum bercampur bau obat di tubuhnya. Pasti dia mampir ke rumah sakit tadi.

"Sorry, mas membuatmu terbangun," ucapnya saat aku membuka mata.

"Aku belum tidur." Aku bangun dari pembaringan. Seperti biasa aku siapkan pakaian ganti, tanpa menyiapkan makan malam. Yakin kalau dia sudah makan di luar.

Ponsel Mas Yoshi yang tengah di charge berpendar. Inilah untuk pertama kalinya aku penasaran. Dari layar utama yang menyala, notifikasi itu terbaca.

[Mas, jangan lupa besok jemput kami jam 10.]

Aku menghela nafas berat dan mundur ke tepi ranjang. Rasa sakit mencabik hati. Mereka kan sudah bercerai, kenapa semuanya harus Mas Yoshi. Memang suamiku papanya Ayunda, tapi apa semuanya harus ada dia. Bukankah kalau sekedar pulang dari rumah sakit, Mbak Mayang bisa membawa anaknya pulang sendiri. Kenapa dia tidak memikirkan perasaan pasangan mantannya? Kalau bercerai bukankah harus siap melakukan semuanya tanpa pasangan?

Wangi sabun menguar saat Mas Yoshi keluar dari kamar mandi. Handuk putih itu membelit di pinggangnya. Aku menunduk tanpa menatapnya yang sedang ganti pakaian.

"Kamu sudah makan?" Mas Yoshi duduk di sebelahku.

Aku mengangguk pelan. Tanpa bertanya balik. Kemudian aku berbaring.

"Beneran kamu sudah makan?" tanyanya lagi. Sebab biasanya malam pun aku selalu menunggunya pulang, walaupun kami tidak makan, tapi masih sempat duduk berdua makan cemilan.

"Aku mau tidur, Mas," kataku langsung memejam.

***L***

Ini kali pertama juga aku menjadi penguntit. Jam sepuluh lebih lima belas menit, aku melihat Mas Yoshi melangkah ke parkiran rumah sakit sambil menggendong Ayunda. Di sampingnya ada Mbak Mayang. Mereka bertiga ngobrol begitu mesranya. Dari balik pagar rumah sakit aku melihat semuanya. Ternyata ini yang terjadi di belakangku. Adakah yang lebih dari ini?

Dadaku makin perih di antara kepedihan-kepedihan sebelumnya.

Setelah mobil itu bergerak, aku buru-buru kembali naik taksi yang memang kusuruh menunggu. Aku sengaja tidak membawa mobil agar tak dikenali.

"Ikuti mobil putih itu, Pak!" Tunjukku pada mobil Mas Yoshi yang keluar dari rumah sakit.

"Njih, Neng," jawab bapak setengah baya yang tampak iba melihatku menangis.

Rupanya mereka tidak langsung pulang, tapi berbelok ke sebuah pusat perbelanjaan.

"Tunggu saya ya, Pak. Nanti antarkan saya pulang lagi. Berapapun ongkosnya nanti saya bayar."

"Njih. Saya tunggu, Neng." Lelaki itu mengangguk.

Next ....

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cinta itu diperjuangkan sampai berhasil sesuai keinginan. bukannya menye2 dan berharap dimengerti. suami pengertian dan bisa jaga perasaan istri hanya ada dlm dunia sinetron.
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
ada waktu buat mantan tapi gk ada waktu buat istri sendiri. trus ngapain nikah? knp gk balikan aja Ama mantan?
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
Mayang sama Yoshi ga bisa menghargai perasaanmu Nas..lebih baik pergi aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status