Saat itu menjadi hari-hari yang sulit. Papa dan mama nyaris bercerai. Tak ada kedamaian di rumah. Selalu saja ribut dan ribut. Ah, sebenarnya mama saja yang mengamuk. Papa hanya diam karena merasa bersalah.
Pada akhirnya mereka tidak jadi bercerai. Mama memikirkan reputasi yang bakalan hancur lebur. Orang-orang di luar sana menganggap kedua orang tuaku adalah pasangan yang serasi dan harmonis. Demi selalu dianggap sempurna, sampai mama sanggup bertahan dengan sesuatu yang menyakitkan ini. Aku kasihan. Meski mama selalu pilih kasih.Mama mengajukan syarat, bahwa sampai kapanpun tidak akan mau menandatangani surat pernyataan izin poligami. Jadi Bu Eri akan tetap menjadi istri siri dan tidak boleh di akui di depan publik.Namun setelah sekian lama, pasti sebagian relasi, partner bisnis, sudah tahu. Hanya saja mereka diam atau menggunjing di belakang.Dulu saat mama hamil aku, beliau menginginkan anak laki-laki. Supaya ada yang meneruskan tahta perusahaannya. Tapi ternyata lahir perempuan lagi. Mungkin karena itu, mama selalu membandingkan aku dengan kedua kakakku yang cerdas dan berprestasi.Kadang tidak percaya ada ibu yang seperti ini. Namun aku mengalaminya.Setengah jam ngobrol dan bercanda, laki-laki yang usianya seumuran dengan Mbak Sinta itu pamitan pulang.***L***Sungguh terasa sangat lelah sekujur badan. Hampir Maghrib tadi aku baru selesai beberes. Namun melihat hasil kerjaku, aku sangat puas. Ini sambil duduk aku mengedit foto cup cake tadi. Kuedit semenarik mungkin dengan hiasan sepadan, perpaduan dari beberapa aplikasi. Hingga tampilannya mirip seperti yang kulihat di media sosial.Iseng ku-upload di akun media sosialku yang menggunakan nama samaran. Titip di sana biar tidak hilang.Sambil menatap langit malam musim kemarau di balkon kamar. Ribuan bintang tampak kelap-kelip di angkasa. Aku rindu masa kecilku. Rindu liburan ke rumah nenek disaat cuti sekolah. Di desa kecil itu aku menemukan kedamaian. Kalau boleh, aku ingin sekali tinggal di sana. Tapi anehnya mama melarang, walaupun beliau tidak bisa memberikan perhatian secara adil pada anak-anaknya. Hanya papa yang membuatku merasa disayangi.Tapi aku tak lagi menyesali semua ini. Andai aku cerdas, mungkin aku akan menjadi perempuan yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan kakak dan mama. Sebab mama pasti akan memperlakukan aku seistimewa kedua kakakku.Aku yang dibilang paling cantik, pintar, akan menjadi manusia yang sombong, angkuh, tak mengenal empati, glamor, karena mama akan membuatku menjadi seperti itu. Bukan Anastasya seperti sekarang ini."Bersyukurlah menjadi dirimu sendiri. Jangan menyesali apapun yang terjadi. Allah sudah menjadikan dirimu terbaik dengan cara seperti ini." Kalimat ini yang pernah dikatakan Mas Fauzi padaku. Kata-kata yang bermaksud untuk menghiburku. Tapi memiliki makna yang begitu dalam. Sekarang aku baru menyadarinya.Dia hanya kakak tiri, anak Bu Eri dengan suamiya terdahulu. Namun baiknya mengalahkan kedua kakak kandungku sendiri.Tadi sore ia menyemangatiku untuk kursus memasak. Rasanya aku tak sabar untuk itu. Aku ingin menjadi diriku sendiri seperti yang kuinginkan.Aku tersenyum pada udara hampa. Pada malam yang pekat menjelaga. Tapi seolah menerbitkan cahaya baru dalam hidupku."Kamu bisa, Nas. Aku yakin kamu bakalan sukses. Kabari secepatnya ya. Nanti kuantar ke Cila Culinary Education. Semoga Mas Yoshi mengizinkan," ucap Mas Fauzi saat kuantarkan hingga ke teras depan tadi.Jam digital di ponsel sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Mas Yoshi belum pulang. Sore tadi menelepon kalau akan pulang agak malam. Aku sudah terbiasa dengan semua ini sejak kami menikah.Tepat jam sepuluh malam Mas Yoshi pulang.Dia menghampiriku yang tengah meringkuk dan berselimut. Dikiranya aku sudah tidur. Saat dia mendekat, aku mencium sisa aroma parfum bercampur bau obat di tubuhnya. Pasti dia mampir ke rumah sakit tadi."Sorry, mas membuatmu terbangun," ucapnya saat aku membuka mata."Aku belum tidur." Aku bangun dari pembaringan. Seperti biasa aku siapkan pakaian ganti, tanpa menyiapkan makan malam. Yakin kalau dia sudah makan di luar.Ponsel Mas Yoshi yang tengah di charge berpendar. Inilah untuk pertama kalinya aku penasaran. Dari layar utama yang menyala, notifikasi itu terbaca.[Mas, jangan lupa besok jemput kami jam 10.]Aku menghela nafas berat dan mundur ke tepi ranjang. Rasa sakit mencabik hati. Mereka kan sudah bercerai, kenapa semuanya harus Mas Yoshi. Memang suamiku papanya Ayunda, tapi apa semuanya harus ada dia. Bukankah kalau sekedar pulang dari rumah sakit, Mbak Mayang bisa membawa anaknya pulang sendiri. Kenapa dia tidak memikirkan perasaan pasangan mantannya? Kalau bercerai bukankah harus siap melakukan semuanya tanpa pasangan?Wangi sabun menguar saat Mas Yoshi keluar dari kamar mandi. Handuk putih itu membelit di pinggangnya. Aku menunduk tanpa menatapnya yang sedang ganti pakaian."Kamu sudah makan?" Mas Yoshi duduk di sebelahku.Aku mengangguk pelan. Tanpa bertanya balik. Kemudian aku berbaring."Beneran kamu sudah makan?" tanyanya lagi. Sebab biasanya malam pun aku selalu menunggunya pulang, walaupun kami tidak makan, tapi masih sempat duduk berdua makan cemilan."Aku mau tidur, Mas," kataku langsung memejam.***L***Ini kali pertama juga aku menjadi penguntit. Jam sepuluh lebih lima belas menit, aku melihat Mas Yoshi melangkah ke parkiran rumah sakit sambil menggendong Ayunda. Di sampingnya ada Mbak Mayang. Mereka bertiga ngobrol begitu mesranya. Dari balik pagar rumah sakit aku melihat semuanya. Ternyata ini yang terjadi di belakangku. Adakah yang lebih dari ini?Dadaku makin perih di antara kepedihan-kepedihan sebelumnya.Setelah mobil itu bergerak, aku buru-buru kembali naik taksi yang memang kusuruh menunggu. Aku sengaja tidak membawa mobil agar tak dikenali."Ikuti mobil putih itu, Pak!" Tunjukku pada mobil Mas Yoshi yang keluar dari rumah sakit."Njih, Neng," jawab bapak setengah baya yang tampak iba melihatku menangis.Rupanya mereka tidak langsung pulang, tapi berbelok ke sebuah pusat perbelanjaan."Tunggu saya ya, Pak. Nanti antarkan saya pulang lagi. Berapapun ongkosnya nanti saya bayar.""Njih. Saya tunggu, Neng." Lelaki itu mengangguk.Next ....(Bukan) Istri Pilihan - Keputusan Besar Aku kehilangan jejak. Padahal jarak antara mereka dan aku saat masuk mall tidak lama. Lagian kenapa anak baru sembuh sudah diajak nge-mall. Apa tidak takut typus-nya kambuh lagi.Dadaku bergemuruh. Sungguh ini lebih sakit daripada sebelumnya. Aku terlalu terlena dengan kata 'baik-baik saja' selama ini. Aku yang polos atau aku yang bodoh.Mungkin mereka tengah makan. Aku naik eskalator ke lantai empat. Di mana pusat game dan food court berada.Ternyata benar. Mereka duduk di kedai western food. Karena pengunjung belum seberapa ramai, jadi gampang untuk mencari. Potret keluarga bahagia terpampang di depan mata. Dari balik pilar besar aku melihat mereka. Dipuncak rasa sakit ini, justru aku tidak bisa menangis. Dipuncak rasa kecewa, aku begitu tenang, tidak gemetar seperti biasanya. Walaupun aku sangat bisa merasakan sesakit apa ini. Kulihat Mas Yoshi berdiri untuk mengambilkan air mineral buat anaknya. Seorang pelayan datang mencatat pesanan. K
"Ibu nggak bisa memaksamu bertahan atau membenarkanmu berpisah. Ibu tahu kamu akan mengambil keputusan yang terbaik. Empat tahun kamu bertahan seperti ini. Ibu akan selalu berada di belakangmu, Nak. Apapun pilihanmu.""Makasih banyak, Bu.""Lanjutkan niatmu untuk kursus. Ibu dukung. Tadi malam Fauzi sudah cerita ini ke ibu.""Aku akan memulai secepatnya.""Iya.""Gitu aja, Bu. Nanti kukabari lagi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Baru saja kuletakkan ponsel di mini bar, terdengar suara mobil Mas Yoshi memasuki garasi. Aku malas melihatnya. "Maaf, mas harus nganterin Ayun pulang dulu," ucapnya sambil duduk di depanku.Aku tak menjawab. "Nas, maafkan mas. Jangan salah paham."Apa selama menikah aku nggak cukup paham? Bukankah selama ini aku selalu memahami semuanya, bahkan yang menyakitkan sekalipun."Sayang," panggilnya. Untuk kali pertama aku muak dengan panggilan itu. "Maafkan mas. Maafkan Ayun yang berkata seperti tadi.""Siapa yang ngajarin dia bilang seperti itu? Kami hamp
(Bukan) Istri Pilihan - Surprise Ada telepon masuk saat aku keluar dari kamar mandi. Kujangkau benda pipih yang berpendar di atas tempat tidur."Halo, Pa.""Papa sudah transfer uang ke rekeningmu.""Iya. Sebenarnya aku masih punya uang, Pa." Sebab Mas Yoshi selalu tepat waktu memberikan uang tiap bulannya. "Nggak apa-apa. Papa sudah mendapatkan tempat tinggal untukmu. Ada dua pilihan. Di apartemen atau perumahan? Papa lebih setuju kalau kamu tinggal di apartemen. Di sana lebih aman, Sa.""Aku ikut saja pilihan, Papa.""Oke. Nanti papa kabari lagi kalau sudah beres dan kamu bisa pindah. Yoshi ada menghubungimu?""Mengirimkan pesan, tapi nggak kubuka. Jam segini dia belum pulang dari kantor."Terdengar papa menghela nafas panjang di seberang."Ya sudah. Kalau ada apa-apa kabari papa.""Iya."Setelah menutup telepon aku segera Salat Asar. Usai salat aku menyibak gorden jendela.Dari balik jendela kaca, aku menatap langit barat yang merona keemasan. Tampak matahari terlihat indah, bula
Yoshi menelepon Pak Bastian. Namun tidak dijawab juga. Ingin menelpon Ruli, Yoshi juga tidak tahu nomernya. Dia mana peduli dengan teman istrinya. Namun saat masih bersama Mayang, dia kenal beberapa teman sosialita wanita itu. Bahkan mereka sering mengadakan acara kumpul bersama dengan mengajak pasangan masing-masing. Circle pertemanan Mayang dan Anastasya jauh berbeda.Setelah diam beberapa saat, Yoshi melangkah keluar kamar. Mengambil kunci mobil kemudian pergi ke rumah Bu Eri. Wanita yang paling dekat dengan Anastasya.Bu Eri dan Fauzi kaget dengan kedatangan Yoshi yang tengah mencari istrinya. "Anas nggak datang ke sini, Nak Yoshi," kata Bu Eri. Wanita itu tidak bilang kalau tadi siang, Anastasya sempat meneleponnya. Ia juga ingat apa yang diomongkan tadi, kalau Anastasya ingin bercerai. Berarti permasalahan mereka memang sudah fatal sampai Anastasya pergi dari rumah.Fauzi juga tidak mengatakan kalau sore tadi sempat berkomunikasi dengan adik tirinya untuk membahas tentang kursu
(Bukan) Istri Pilihan - Harga Diri "Apa maksudnya?" Mas Yoshi menegakkan duduknya dan wajahnya mulai tegang."Saya ingin bercerai, Pak. Karena suami saya sepertinya ingin balikan dengan mantannya. Mungkin dia menyesal telah menikahi saya. Karena mantan istrinya jauh lebih sempurna. Dia kelihatan lebih nyaman dengan mantan. Mereka juga punya anak, sedangkan dengan saya tidak ada anak. Pernahlah. Lagian saya ini bukan ibu tiri yang baik."Aku berhenti sebentar. Menarik napas panjang untuk melonggarkan tenggorokan. Semalaman aku tak bisa tidur demi memikirkan apa yang ingin kukatakan hari ini."Apa-apaan, Nastasya.""Bapak, jangan menyela dulu. Biar bapak tahu alasan apa yang membuat saya menggugat cerai. Saya sudah cukup lama hanya diam dan mengalah. Lama-lama saya hanya sebagai tempat persinggahan saja. Tempat pelarian disaat dia sedang patah hati. Sekarang hubungan mantan itu membaik, mantan istrinya juga perempuan baik-baik tentunya. Mereka juga memiliki putri yang cantik dan shole
"Aku tahu kok, Mas menyesal bercerai dengan Mbak Mayang. Ternyata dia nggak berselingkuh. Kalau kalian masih saling mencintai, aku ikhlas kok, Mas. Urus saja perceraian kita dengan cepat. Mas, bisa balikan lagi dan menebus rasa bersalah."Kenapa aku nggak cari pengacara lain? Karena aku ingin Mas sendiri yang menyelesaikan urusan kita. Biar nggak diketahui orang lain. Biar mereka tahunya setelah kita sah bercerai. Jangan bawa aku pulang. Aku nggak ingin pulang. Aku sudah pergi dari sana, aku nggak akan kembali."Pada saat itu ponsel Mas Yoshi yang ada di cup holder berdering. Jelas kulihat kalau nama Mbak Mayang tertera di sana. Untuk apa jam kerja begini dia menelepon. Apa urusan anak lagi? Memang perlu bertanggungjawab pada anak-anak meski sudah bercerai. Tapi apa harus sejauh ini. Apa perempuan itu tidak tahu bagaimana menjaga perasaan pasangan mantannya. Dia perempuan terpelajar, loh."Mas, turunkan aku di depan saja."Mas Yoshi tidak menanggapi. Mobil terus melaju di kepadatan l
(Bukan) Istri Pilihan- Bangkit, Nastasya Author's POV"Papa, sembunyikan di mana Nastasya? Bisa-bisanya Papa mendukung dia untuk cerai?" Bu Mega sewot malam itu. Sepulangnya sang suami dari mengantarkan Anastasya."Papa nggak nyembunyiin Sasa. Dia nggak melakukan salah apa-apa kenapa harus disembunyikan. Kayak residivis saja. Sasa hanya butuh tempat untuk berlindung dan menenangkan diri.""Pantesan dia besar kepala karena Papa mendukungnya. Papa, memfasilitasi Nastasya menggugat cerai Yoshi, kan?"Pak Bastian menarik napas dalam-dalam. Tiga puluh dua tahun ia menikahi Bu Mega. Luar dalam semuanya dia sangat paham. Kalau ada reward untuk suami paling sabar. Dia lah yang akan memegang pialanya sepanjang zaman.Siapapun yang paham bagaimana rumah tangga mereka, mengatakan Pak Bastian lelaki paling nerimo dan sabar. Kalau lelaki lain, Bu Mega pasti sudah ditinggalkan sejak dulu. Kurang sabar apa dia sebagai suami. Malah ada yang bilang, Pak Bastian ini type suami yang berada di bawah ke
Iseng aku membuka akun media sosial yang kubuat dengan nama samaran. Dan ... wow, ini membuatku terkejut. Ternyata postingan cup cake waktu itu mendapatkan respon yang luar biasa. Bahkan follower-ku naik drastis. MasyaAllah. Berbagai komentar positif memenuhi postingan. Banyak yang memuji karena sebagai orang yang belajar secara otodidak, aku bisa membuat karya yang lumayan.Begini saja sudah sangat membahagiakan. Aku kembali bangkit dan menuju pantry. Menyiapkan masakanku tadi untuk kufoto. Setelah mengganti wadah yang lebih bagus, aku mengambil gambar dari segala sisi sampai aku merasa puas dan sempurna. Kembali ku-upload foto masakan itu. Sekarang aku tahu caranya untuk bahagia. Aku tersenyum, lantas masuk kamar. Persiapan untuk mandi, agar aku tidak terlewat untuk melihat sunset di balkon apartemen sore ini. Sesuatu yang sekarang menjadi kebiasaanku sehari-hari.Ketika tengah wudhu setelah selesai mandi, aku baru ingat. Sejauh ini aku belum absen salat. Kenapa aku tidak menstrua