Anne berpegangan pada setiap dinding yang ia lewati. Perasaannya begitu hancur. Kalimat dari Austin yang barus saja terlontar terngiang-ngiang di dalam ingatannya. Tidak ada lagi airmata yang mengalir pada pipinya. Terasa kering dan kosong seperti hatinya.
‘Kau pikir, aku sudi menikahimu?’
‘Kalau bukan karena Elena yang memohon padaku sampai aku muak karena setiap hari harus mendengar namamu, aku tidak akan pernah menikahimu! Tidak akan pernah, Anne!’
‘Wanita kotor!’
‘Wanita licik!’
‘Jangankan memiliki perasaan untukmu, aku bahkan merasa jijik saat aku berpapasan denganmu!’
Sumpah serapah yang Austin katakan begitu tegas tanpa adanya keraguan. Perasaan Anne sudah hancur lebur tanpa sisa. Anne tidak bisa mengelak karena pada kenyataannya, ia menerima sejumlah uang atas pernikahannya dengan Austin. Anne tidak memungkiri hal itu.
Anne seharusnya diam, menerima dan tidak terluka saat Austin menghinanya. Pada dasarnya, ia menikah karena uang. Ia menerima takdirnya menjadi istri kedua karena uang. Lagi-lagi tentang uang. Anne sudah seperti menjual dirinya sendiri. Namun, apakah hanya itu alasannya?
“Anne!”
Anne menoleh. Sosok yang begitu baik, sosok yang selama ini peduli denganya. Hanya Elena yang akan selalu hadir pada masa terpuruknya. Anne malu untuk menyapa. Anne malu karena gagal mejadi wanita yang kuat seperti Elena.
“Maaf, Kak. Aku sedang ingin sendiri,” ujar Anne sembari memalingkan wajahnya.
“Apa kau akan menyerah, Anne?” tanya Elena.
Anne ingin sendiri untuk menjernihkan kembali otaknya yang sedang kacau. Namun, pertanyaan Elena seperti mengundang emosinya. Anne menarik napasnya dalam-dalam. Elena tidak layak untuk mendapatkan amarahnya.
“Kak Elena inginkan anak, bukan? Aku akan berikan,” kata Anne.
Elena terbelalak. Ia tidak menyangka kalau Anne akan mengatakan itu di saat dirinya sedang kacau. Namun, Elena menunduk dan tersenyum getir.
“Maaf kalau aku membebanimu, Anne.”
“Kak!” panggil Anne. “Bagaimana jika aku menyerah?” lanjutnya.
“Terserah!”
Anne merasa ada nada kemarahan dalam suara Elena. Elena tidak melihat ke arah Anne. Hal itu membuat hati Anne lebih sakit dibandingkan sebelumnya. Elena yang terdiam seperti itu, membuat Anne merasa dirinya begitu egois.
Anne mendekati Elena. Memegang lengan Elena sembari menatap sayu tanpa paksa. Sulit dijelaskan menggunakan kata-kata. Semuanya terasa begitu rumit.
“Kak, aku minta maaf. Maaf sudah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak aku katakan,” ucap Anne.
“Kau benar. Kau tidak perlu minta maaf,” ujar Elena. “Kenyataannya, aku memanglah istri yang gagal,” sambungnya.
Elena menyingkirkan tangan Anne yang menyentuhnya. Ia tersenyum pahit dan mengambil langkah pergi. Dada Anne semakin sesak saat melihat punggung Elena yang semakin jauh meninggalkannya. Torehan luka yang Austin berikan, ternyata bukan apa-apa.
“Kak!” teriak Anne memanggil Elena. “Aku tidak akan menyerah!” lanjutnya.
Terdapat sebuah kekecewaan yang belum larut dalam diri Elena. Keegoisan diri yang berdasar keinginan atau kasih sayang. Mereka berdua merupakan dua wanita yang berbagi suami. Sama-sama saling membutuhkan. Namun, bagaimana jadinya kalau keduanya sudah terluka?
“Kau boleh menyerah sesuai dengan keinginanmu, Anne. Aku sama sekali tidak ingin memaksamu,” sahut Elena tanpa menoleh meski langkahnya terhenti beberapa saat.
“Aku menyadari sesuatu,” kata Anne. “Alasan kenapa aku menerima pernikahan ini,” lanjutnya.
Elena memutar tubuhnya. Ia kembali pada Anne dan memeluknya yang sedang menangis seperti seorang adik yang merengek pada kakaknya. Elena memberikan kenyamanan yang selama ini belum pernah ia rasakan.
“Jadi, kau menerima pernikahan ini bukan karena kau menyukai Austin?” tanya Elena.
Anne menggeleng. “Aku menerima karena demi membuatmu menjadi istri sempurna,” jawab Anne.
‘Anne, andai hubungan kita tidak dipertemukan dalam keadaan seperti ini, tentu saja aku sangat bahagia. Sayangnya, meski kau melakukan semuanya demi aku, tapi—‘ batin Elena tanpa meneruskan apa yang sedang ia pikirkan.
“Anne, aku akan membuatmu memiliki waktu untuk bulan madu bersama Austin. Tapi, kau harus belajar memahami apa yang Austin sukai. Bagaimana?” tanya Elena.
Anne ingin menolak, tapi ia sudah mengatakan dengan yakin kalau ia tidak akan menyerah. Anne hanya bisa mengangguk dan menepis keinginannya sendiri.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Anne.
“Buatlah Austin merasa senang. Rebut segala perhatian yang membuatnya bangga dan tersipu.”
Apakah sebesar itu keinginan Elena, sehingga mengalahkan cintanya? Bagaimana bisa seorang istri meminta wanita lain untuk merebut perhatian suaminya tanpa ada luka yang terlihat? Pikir Anne. Namun, isi hati seseorang hanyalah diri mereka yang mengetahuinya. Anne tidak bisa menebak seberapa besar Elena menahan kesakitannya demi sebuah harapan.
“Heuh!” Anne tersenyum hambar. “Semua hal yang aku lakukan, hanyalah sebuah kesalahan baginya. Aku sampai enggan untuk mendekat lagi,” ucap Anne. Sekujur tubuhnya terasa merinding membayangkan bagaimana Austin akan mencaci-makinya.
“Terkadang, ungkapan yang sulit dikatakan membuat semuanya runyam. Kau harus membuat Austin bicara, sampai akhirnya dia bisa baik padamu meski hanya sedikit.”
“Apa Kak Elena akan membantuku?” tanya Anne.
Terdengar suara langka kaki seseorang. Elena dan Anne sama-sama menoleh secara bersamaan. Sosok yang datang membuat Anne menelan salivanya.
“Apa kau akan terus menggadaikan suamimu, Elena?”
Deg!
Austin kembali masuk ke dalam. Berusaha melupakan perasaan sesak yang tidak juga kunjung hilang dari hatinya.Austin membiarkan Anne pergi, tapi Anne memenuhi benak Austin. Bayangan-bayangan buruk melintas dengan keji."Austin!" Seorang pria paruh baya memanggilnya. "Austin!" teriak pria itu sembari membentak."Ah!" pekik Austin. Ia melangkahkan kakinya dengan pikiran kosong, sehingga tidak mendengar saat ada orang lain yang memanggilnya. "Ayah!" panggil Austin."Ayah tunggu di ruang kerja. Panggil Elena karena ada yang mau Ayah bicarakan dengan kalian," ucap Tuan Harold."Baik, Ayah."Austin baru sadar kalau Elena tidak ada di aula perjamuan. Acara sudah hampir selesai. Apa yang terjadi pada Anne seakan-akan tidak ada satu orang pun yang mengingatnya."Elena!" panggil Austin.Elena menoleh. "Austin," balas Elena."Ayah memanggil kita," ucap Elena."Kenapa tidak kau bawa Anne saja?" tanya Elena. "Bukankah kau baru saja mengejarnya?" imbuhnya dengan perasaan cemburu yang tidak lagi ia
Saat ini, Mattew sangat marah dengan sikap Austin. Baginya, cara memperlakukan Anne kali ini sudah sangat keterlaluan.Bagaimana mungkin, seorang suami menatap hina pada istrinya sendiri? Bahkan ia seperti bisu dan lumpuh tanpa memberikan bantuan ketika semua menginjak harga diri Anne."Nona Anne, ayo pergi!" ucap Mattew sembari memegang lengan Anne. Jari Anne bahkan berdarah karena ia dipaksa memungut pecahan gelas menggunakan tangannya secara langsung."Tapi, pekerjaaan saya ...""Anda di sini sebagai tamu. Tidak layak Anda melakukan sesuatu yang bukan menjadi bagian Anda," ucap Mattew. "Jika mereka tidak bisa menghargai Anda, biar saya yang menghormati Anda, Nona," sambungnya."Kenapa saya harus mendengarkan Anda?" tanya Anne untuk meyakinkan pilihannya."Apa yang sedang Anda lakukan di sini? Apa Anda sedang mencari sebuah pengakuan?" ucap Mattew.Ucapannya terdengar sangat menohok. Menampar pikiran jernih Anne. Anne berdiri mengikuti gerakan Mattew.Anne membutuhkan pundak untukny
Dengan hati yang dipenuhi luka, Anne meraih seragam pelayan yang terjatuh di atas lantai. Ia menahan air matanya yang berharga.Anne mencoba kembali menyadarkan dirinya sendiri. Ia tidak boleh larut ke dalam kenikmatan sesaat yang tidak seharusnya.'Benar. Seperti inilah seharusnya aku diperlakukan,' batin Anne.Gaun mahal, heels, semua barang yang melekat ditubuh Anne, sudah ia tanggalkan. Ia menggantinya dengan seragam pelayan yang sudah usang.Elena masih menunggu. Ia ingin tahu, apakah Anne akan benar-benar kembali pada dirinya dulu yang sangat miskin atau akan berbalik membantahnya.Anne dan Elena, hubungan keduanya semakin memanas. Elena yang tidak siap dengan kecemburuannya, sedangkan Anne yang tidak ingin melewati batasannya.Keduanya memiliki pemikiran berbeda. Bertolak belakang antara ketakutan dan kebutuhan."Pakaian itu jauh lebih cocok untukmu," kata Elena sedikit mencibir Anne.Elena berbalik. Ia keluar dari ruang ganti tanpa menunggu jawaban atau bantahan dari mulut Ann
Anne keluar dari taksi. Ia langsung dipanah oleh tatapan orang-orang yang menyambutnya.Deg!Deg!Deg!Semuanya menatapnya asing, jijik, dan mengintimidasi. Anne menjadi takut untuk melangkah semakin jauh. Langkahnya seperti diam di tempat.Apalagi, jantungnya terus berdebar tidak tenang. Saat tubuh Anne berada dekat dengan bibir pintu, ia merasa menjadi sangat kecil.Pintu itu seperti ingin menelannya. Tubuh Anne gemetaran. Ia dipandang sebelah mata, bahkan sebelum dirinya masuk dan berbaur ke dalam acara tersebut.'Sepertinya, lebih baik aku pergi,' batin Anne.Tap!Anne menoleh pada seseorang yang menepuk bahunya. Seorang pria tampan yang saar ini sudah berdiri di sampingnya."Tuan Mattew!" pekik Anne."Apa yang Anda lakukan dengan berdiri sendirian di sini?" tanya Mattew. "Di mana Austin?" sambungnya."Dia terlalu sibuk. Bisakah Anda singkirkan tangan Anda dari pundak saya?" pinta Anne dingin.Tidak tahu bagaimana harus merespon. Mattew ingin menuruti keinginan Anne, tapi sayangny
Anne duduk diam menatap dinding yang kosong. Semuanya terasa hambar. Gaun mahal yang indah itu tidak menghilangkan fakta bahwa dirinya tidak diharapkan di dalam keluarga Austin."Kenapa aku semakin merasa kesepian?" gumam Anne.Anne beranjak dari tempatnya. Ia keluar dari rumah mewah yang nyatanya, juga bukan miliknya.Tap ... Tap ... Tap ...Heels itu menghentak di atas lantai. Membuat suara yang cukup nyaring di tengah kesunyiannya.Rambut Anne digulung ke belakang. Ia hanya menyisakan sedikit poninya. Make up tipis, juga gaun mewah yang Elena berikan untuknya."Ka ..." Tangan Anne melambai dan bibirnya hendak memanggil, tapi ia menariknya kembali.'Aku tidak seharusnya ada di antara mereka,' batin Anne.Anne membalikkan tubuhnya. Ia tidak ingin menjadi pengganggu antara hubungan Elena dan Austin yang nampak sangat harmonis.Mereka terlihat bercengkerama dan saling bercerita dengan bibir yang tersenyum lebar. Keindahan itu akan berlangsung lama, andai saja Anne tidak muncul di tenga
21Cukup lama Elena terbelenggu dalam perasaan cemburu yang membutakan mata hatinya. Hingga ia tidak ingin lagi bertegur sapa dengan Anne.Kali ini, mata hatinya terbuka lagi untuk memulai semuanya kembali. Elena mencoba menghilangkan rasa sakit yang terus melukai hatinya.Elena bersiap pergi menemui Anne. Namun, kakinya baru saja menuruni tangga, ia harus berhadapan dengan Austin."Elena, kau mau ke mana?" tanya Austin menoleh pada istrinya. Padahal, ia sedang merapikan pakaiannya di depan cermin besar dekat kamar tamu.Elena diam sesaat. Ia tidak ingin menjawab ke mana tujuannya. "Tidak, aku hanya sedikit lapar Austin," elaknya."Oh, aku kira mau menemui wanita itu," desis Austin."Tidak." Elena tersenyum tipis. "Elena, nanti malam ada acara keluarga di rumah Ayah. Aku harap, kau tidak punya alasan untuk menolak datang ke sana," kata Austin."Aku akan usahakan, Austin," jawab Elena."Oke." Austin melangkah mendekati Elena. Manik mata hitam mereka saling beradu. Tangan Austin mengus
Pagi hari, Elena keluar dari rumahnya untuk menghirup udara segar. Malam panjang bersama Austin sudah ia lalui meski hanya sekadar saling menatap di atas ranjang.Elena melirik ke arah rumah Anne. Rumah itu nampak sepi. Hatinya bertanya-tanya, apakah Anne baik-baik saja dalam kesunyian itu? Ada rasa khawatir di benak Elena, tapi ia masih enggan menemui Anne.Tidak berselang lama, Anne keluar dari rumah. Mereka saling menatap dengan perasaan canggung. Sebelum kemudian saling memalingkan wajah."Ternyata, kesalahanku fatal. Kak Elena pasti membenciku sekarang," gumam Anne lirih.Anne melangkahkan kakinya dan berniat bicara pada Elena. Namun, belum sampai tangannya menggapai, Elena sudah masuk ke dalam rumah lebih dulu. Hati Anne berdenyut nyeri, sikap dingin Elena begitu menyiksanya.Elena berdiri di balik pintu. Wanita itu melihat dari celah jendela. Anne masih berdiri mematung, wajahnya nampak gelisah. Elena merasa bersalah, tapi ego nya menahan Elena untuk bicara pada Anne.Elena ber
19Elena duduk meringkuk memeluk lutut di depan jendela. Menatap rintik hujan yang mengguyur bumi sejak sore hari membuat hati Elena sedikit tenang.Dua sisi dirinya terus bermonolog mengatakan bahwa sikapnya pada Anne salah. Tapi sisi lain dirinya juga mengakui bahwa Elena cemburu. Dadanya terasa kian sesak, ada sedikit rasa sesal di dalam hatinya.Kenapa ia meminta Austin menikah lagi, sementara pria itu tidak pernah menuntut anak darinya.Pikiran Elena melayang pada saat mereka sedang berdebat kala itu."Austin, aku ingin kau menikah lagi," ucap Elena menatap lekat pada Austin yang duduk di hadapannya."Apa maksudmu, Elena?" Austin mengernyitkan dahi keheranan."Aku tidak akan bisa mengandung anakmu, tapi kau bisa memiliki keturunanmu." Elena mengubah posisi duduknya."Kau pikir, apa definisi kebahagiaan bagiku?" Austin meradang hingga nada bicaranya mulai sengit."Austin, pikirkan untuk masa depan kita. Kau harus memiliki keturunan yang akan meneruskan semua bisnismu. Bukankah rum
Anne ketakutan karena semalam Austin hampir memaksanya untuk menyerahkan mahkota kesucian yang ia jaga. Ia butuh ketenangan sehingga menunggu Elena. Sayangnya, respon yang Elena berikan diluar bayangannya.Anne merasa sesak tanpa bisa berkata-kata. Kakinya yang lemas semakin tidak mampu menompang tubuhnya.Elena menuduh Anne dengan sengaja menemuinya untuk memamerkan apa yang telah dilakukan Anne dengan Austin tanpa mengetahui seberapa takutnya Anne dan memilih untuk kabur.Anne bingung. Ke mana ia harus bersandar? Elena menatapnya dengan kebencian. Bahkan, Elena masuk ke dalam rumah tanpa menolah sedikitpun.'Bagaimana bisa jadi seperti ini?' batin Anne.**Elena menyandarkan punggungnya pada daun pintu. Kakinya juga lemas dan berangsur turun hingga Elena merasakan dinginnya lantai.Elena memeluk lututnya. Ia mulai tenggelam ke dalam emosi. Elena begitu egois. Ia merasa hanya dirinya sendiri yang terluka tanpa ingin tahu bagaimana stress dan frustasinya Anne maupun Austin.Elena meli