Austin pergi dengan Elena tanpa mempedulikan apakah Anne akan kecewa atau tidak. Awalnya, Elena kepikiran dengan Anne tapi keramaian menghiburnya. Apalagi, Elena sedang berada di tengah-tengah keluarga yang mencintainya.
Anne menunggu Austin. Ia tidak menyerah dan terus menunggu seperti orang bodoh. Tidak ada lagi bus malam. Anne sampa ketiduran di halte karena menunggu dan menunggu. Kakinya bahkan terluka karena mengenakan heels dengan ukuran yang tidak terlalu tinggi.
“Nona!”
Anne mengernyitkan keningnya. Ia merasa ada seseorang yang menyentuh bahu dan juga memanggilnya.
“Austin!” pekik Anne.
“Apa saya mengejutkan Nona? Maaf, tapi ini sudah pukul tiga dini hari. Saya petugas kebersihan di sini, jadi saya membangunkan Nona.”
Anne tersenyum masam. “Tidak apa-apa, Bibi. Terima kasih, sudah membangunkan saya,” balas Anne dengan ramah.
Semalaman, hujan cukup deras. Tubuh Anne menggigil, gemetaran, rasanya seperti membeku. Bersyukur seseorang membangunkannya. Hujan belum sepenuhnya berhenti. Masih ada rintik-rintik air yang terjatuh.
“Austin, dia sama sekali tidak menjemputku,” gumam Anne.
Anne pulang dengan membawa kekecewaan. Ia berusaha menyingkirkan bayangan tentang apa yang sedang Austin lakukan saat hujan turun bersama Elena. wajah Anne pucat pasi. Bahkan ia berjalan gontai dan terhuyung-huyung.
Anne takut terjatuh. Ia melepaskan heels yang membuat kakinya terlihat indah. Lukanya semakin bertambah karena kakinya bersentuhan langsung dengan aspal yang basah.
Anne membuka pintu rumahnya. Rasanya enggan memasuki rumah mewah yang sudah atas nama dirinya. Anne jauh lebih bahagia menempati sepetak ruangan sebagai rumahnya sebelum ia menikah.
“Apa kau sangat suka membuatku menunggu?”
Deg!
Anne langsung menoleh. Suara keras itu menghentaknya. Pertanyaan yang bercampur bentakan, bukan kekhawatiran atau sekedar sapaan ringan.
“Austin, aku—“
“Apa kau tahu, gaun siapa yang sedang kau pakai? Heels siapa yang sedang kau bawa? Apa kau sudah berkaca sebelum memakainya? Apa kau merasa pantas?” bentak Austin sembari berjalan mendekati Anne.
“Austin!” pekik Anne.
Mata Anne memerah. Ia menangis di hadapan Austin karena Austin mengambil kasar heels yang ada di tangannya dan membantingnya cukup keras. Bahkan Austin menginjak-injaknya sampai rusak. Bibirnya bahkan terus berceloteh dengan kalimat kejam.
“Kenapa kau merusaknya?” tanya Anne dengan tatapan putus asa. “Aku bisa mencucinya. Aku bisa mengembalikannya,” sambungnya.
Austin melototi Anne. Ia menarik tali gaun yang Anne pakai. “Kau pikir, istriku layak memakai pakaian bekasmu?” bentak Austin.
“Apa kau tidak bisa bicara dengan sedikit lembut, Austin? Kau tidak perlu berteriak karena aku pasti mendengarnya,” jelas Anne.
“Jangan menunjukkan airmatamu itu. Kau bukan Elena yang bisa meluluhkanku dengan tangisan.”
“Jika aku bisa, jika aku mampu, jika aku sanggup, aku tidak akan menangisimu karena kau tidak layak,” jawab Anne. “Akh! Lepaskan aku, Austin! Tanganku sakit, Austin,” rintih Anne.
Austin menyeret Anne. Bibi Anh tidak mungkin tidak tahu, tapi ia hanya bisa diam dan bersembunyi supaya ia tidak melihatnya.
Austin membawa Anne masuk ke dalam kamar. Ia membuka lemari Anne dan mengambil sembarangan pakaian yang bisa ia raih dengan tangannya. Anne terjatuh di atas lantai. Austin melemparkan pakaian tersebut di atas kepala Anne.
“Cepat ganti pakaianmu itu!” ujar Austin.
Nada suaranya sangat tinggi. Anne mengepalkan erat tangannya. Ia tidak berdaya untuk membantah. Gaun yang ia pakai sudah sobek dan juga kotor. Anne berjalan masuk ke dalam kamar mandi tanpa energi. Jalannya terseok-seok pelan dengan darah yang mengikuti tapak kaki Anne.
Austin tidak mengubah ekspresinya. Anne menutup pintu kamar mandi. Ia bersandar. Bibirnya tertutup rapat dengan airmata yang mengalir deras. Anne menangis tanpa suara. Rintihan sakit terdengar sangat sesak.
“Tuhan, sejauh mana aku bisa bertahan?” gumam Anne.
Beberapa menit ia sesenggukan tanpa ada tangan hangat yang merangkulnya, tanpa ada seseorang yang memeluknya. Pahitnya teramat sangat pahit. Hubungan segitiga, seolah-olah menyakiti semua tapi sebenarnya, hanya dirinya yang terluka.
Anne menanggalkan gaunnya. Ia memakai kaos dan juga celana pendek yang asal ia ambil dari tumpukan pakaian yang menguburnya. Anne membasuh wajahnya yang merah karena tangis, juga matanya yang tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang ia telan.
Anne keluar dari kamar mandi. Ia merasa rumah sebesar itu sangat sempit karena tidak ada oksigen yang bisa ia hirup dengan leluasa. Austin merebut gaun yang ada di tangan Anne. Ia juga mengambil heels yang sudah ia rusak.
“Austin, apa yang akan kau lakukan dengan gaun itu?” tanya Anne.
“Aku akan membuangnya!”
“Austin, jangan!”
Anne tertatih-tatih dengan kakinya yang terluka mengejar langkah Austin yang sangat cepat. Austin menyalakan api untuk membakar gaun tersebut. Ditambah dengan tumpukan sampah lainnya.
“Austin, kenapa?” tanya Anne. “Kenapa kau membakarnya?” lanjutnya.
“Barang mahal itu lebih layak dibakar dari pada harus kau kenakan,” jawab Austin.
Austin menyeringai. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya. Selembar kertas yang mungkin terlihat biasa, tapi membuat Anne langsung berusaha untuk merebutnya.
“Austin, kembalikan!” teriak Anne sembari berusaha mengambil barang miliknya.
“Kalau kau kehilangan foto ini, bukankah impas, Anne? Sama sepertiku yang kehilangan ketenangan,” ujar Austin.
“Tidak! Austin, aku mohon, jangan membakarnya,” pinta Anne. “Aku hanya memiliki selembar itu saja. Hanya itu yang tersisa dari keluargaku, Austin. Aku mohon, kembalikan,” lanjutnya.
“Aku tidak peduli, Anne!” bentak Austin. “Kehadiranmu itu membawa kesialan untuk orang lain,” imbuhnya.
Austin tidak tahu, kesepakatan apa yang sudah Anne buat dengan Elena. Austin tidak tahu, bagaimana Anne terluka dan menderita. Anne bungkam. Ia menerima semua olokan yang mengarah padanya.
“Kau hanya sampah, Anne!” kata Austin sembari menunjukkan sebuah cek dengan nominal yang cukup besar. “Kau menikah denganku demi uang ini. Jangan berpura-pura terlihat kau adalah wanita baik yang aku lukai,” lanjutnya.
Cek itu masih utuh. Cek yang Elena berikan pada Anne. Padahal, sedikitpun uang yang Elena berikan untuknya, tidak ia sentuh.
Anne mengusap airmatanya. Ia tersenyum. Mengubah ekspresi wajahnya dalam seketika. Ia akan membenarkan tuduhan Austin kalau ia hanya wanita yang gila akan uang. Ia lelah mengelak, ia lelah menjelaskan, ia lelah untuk terlihat baik.
“Benar. Aku, wanita seperti yang kau pikirkan, Austin. Apa kau sudah puas dengan pengakuanku?” tanya Anne.
“Seharusnya aku memperingati Elena untuk tidak dibodohi oleh wanita murahan sepertimu. Jangan-jangan, kau sudah beberapa kali menikah untuk menipu uang para pria kaya?” Austin melontarkan kata yang semakin pedas terdengar.
“Kenapa? Apa kau ingin menjadi salah satu dari pria yang pernah tidur denganku?” Anne memancing amarah Austin kembali. Merendakan diri sendiri, membenarkan hinaan yang bahkan tidak pernah ia lakukan. Hanya itu salah satu cara untuk membuat hatinya menerima perlakuan seburuk apapun itu.
“Cih!” Austin sangat acuh. “Menjijikkan!” lanjutnya.
Anne tersenyum di atas lukanya. Bahkan, tempat ia berdiri seperti kobaran api yang membakar tubuhnya tanpa henti. Airmata rasanya sudah kering. Percuma menangisi pria yang menatapnya dingin. Mengacuhkan perasaannya dan tidak berniat untuk menganggap hadirnya ada.
“Aku sangat menjijikkan bagimu. Benar begitu, bukan?” tanya Anne. Ia menahan suaranya yang gemetaran.
Austin mengambil black card dari dompetnya. Ia menyatukan card tersebut dengan cek yang ia temukan. Austin melemparnya ke wajah Anne. Kartu tersebut terjatuh di bawa kakinya. Anne hanya menatap dan terpaku. Harga dirinya sangat terluka. Tapi, ia akhirnya tahu bagaimana rendahnya ia di mata Austin.
“Apa maksudmu, Austin?” tanya Anne. Ia berpura-pura tidak tahu dengan apa yang Austin maksud.
“Bayaranmu!” jawab Austin. “Bahkan, nominalnya terlalu mahal untuk sampah sepertimu!” sambungnya.
"Lantas, kenapa kau menikahi sampah sepertiku?"
Anne berpegangan pada setiap dinding yang ia lewati. Perasaannya begitu hancur. Kalimat dari Austin yang barus saja terlontar terngiang-ngiang di dalam ingatannya. Tidak ada lagi airmata yang mengalir pada pipinya. Terasa kering dan kosong seperti hatinya.‘Kau pikir, aku sudi menikahimu?’‘Kalau bukan karena Elena yang memohon padaku sampai aku muak karena setiap hari harus mendengar namamu, aku tidak akan pernah menikahimu! Tidak akan pernah, Anne!’‘Wanita kotor!’‘Wanita licik!’‘Jangankan memiliki perasaan untukmu, aku bahkan merasa jijik saat aku berpapasan denganmu!’ Sumpah serapah yang Austin katakan begitu tegas tanpa adanya keraguan. Perasaan Anne sudah hancur lebur
'Apa kau akan terus menggadaikan suamimu, Elena?' Entah kenapa, kata-kata itu tertanam di dalam benak Anne. Terus saja terngiang-ngiang menghantuinya. Nyonya Jean yang tidak lain adalah Ibu kandung Elena, tiba-tiba saja datang berkunjung. Ia muncul dengan cara yang cukup mengejutkan. "Nyonya Jean pasti mendengar semua yang aku bicarakan dengan Kak Elena. Apa maksudnya dengan menggadaikan, ya?" gumam Anne. Nyonya Jean sama sekali tidak menegur Anne dan juga tidak bersikap terlalu sinis. Ia tahu kalau pernikahan antara Anne dan Austin merupakan keinginan Elena. Nyonya Jean membawa Elena pergi. Elena menuliskan semua jadwal dan apa saja yang diperlukan oleh Austin karena kemungkinan Elena tidak akan pulang untuk beberapa hari. Anne menyiapkan makan malam. Ia menghindari makanan yang tidak Austin sukai. Semua hidangan sudah selesai. Elena mengobati tangannya yang terluka karena beberapa sayatan pisau.
Plak! Entah setan apa yang merasuki Anne. Anne menampar Austin cukup keras sampai membekas merah tapak jari-jarinya di pipi Austin. Austin diam membeku. Ia hanya menyentuh pipinya tanpa mengubah posisi. Kesempatan itu digunakan oleh Anne untuk segera menjauh dari Austin yang sedang kehilangan kewarasannya.'Apa? Kenapa pintunya terkunci? Se--sejak kapan?' batin Anne. Anne sangat terkejut. Austin menyembunyikan kunci kamar tersebut entah di mana. Apakah di saku celananya? Pikir Anne."Setelah menamparku, apa kau sudah merasa hebat?" tanya Austin."Austin, buka pintunya!" pinta Anne."Bagaimana kalau aku tidak mau?" ujar Austin."Austin!" teriak Anne. "Apa belum puas kau merendahkanku, hah? Apa aku memiliki salah padamu?" teriak Anne lagi. Sebuah perjanjian menjerat Anne. Menyeretnya masuk ke dalam suatu hubungan yang terjalin sangat erat. Batasan, perlindungan, seperti menyerang Anne dar
Anne melewati malam yang mencengkam tersebut tanpa bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Elena atau bagaimana ia harus berhadapan dengan Austin. Austin tidak kembali. Mungkin saja ia menginap di tempat lain atau menyusul Elena, pikir Anne. Saat makanan tersaji di atas meja, tidak ada sedikitpun selera untuk menyentuhnya. Bayangan Austin terhadapnya terngiang jelas. Tap ... Tap ... Tap ... Suara langkah kaki mulai mendekat. Anne menoleh dan melihat pada sosok yang semakin membuatnya gemetar. "Anne, kenapa wajahmu pucat? Apa kau sakit?" "Kak Elena, aku tidak apa-apa," kata Anne. Anne mengelak menjawab. Menilik sikap Elena yang tulus dan perhatian padanya, membuat Anne semakin dicekik oleh rasa bersalah. Wajah Elena yang menunjukkan sebuah harapan besar, tidak mungkin akan Anne patahkan."Kak, bisakah ajarkan aku memasak makanan yang disuka
Mattew melihat luka-luka di jari-jari Anne. Ia tidak sampai hati mambiarkan Anne mengobati lukanya sendiri."Nona, maaf!" ucap Mattew.Grep!"Akh!" pekik Anne.Setelah mengucapkan kata maaf, Mattew memegang pergelangan tangan Anne dan menariknya keluar dari kantor. Anne benci jika ia menjadi pusat perhatian orang lain. Cara yang Mattew gunakan, tentu saja akan menimbulkan bisik-bisik kebencian.Wanita penggoda, perebut suami orang lain, tidak tahu diri, sekarang sedang menggoda pria lain, tidak cukup hanya dengan satu pria. Yeah ... Anne mendengar semuanya, tapi Mattew bersikap seperti tidak peduli sama sekali."Tuan, tolong lepaskan tangan saya," pinta Anne."Tutup saja telinga Anda. Anda akan merasa sesak, kalau mendengarkan ucapan orang asing yang tidak berguna," balas Mattew.Apa yang Mattew ucapkan memang benar, tapi Anne tidak bisa menampik semua cemooh buruk yang mengarah padanya.Tidak jauh dari
Saat perjalanan kembali ke rumah, Anne termenung di dalam taksi. Beberapa kendaraan yang lewat, juga suara klakson, tidak membuatnya bergeming. Anne mengingat sedikit kisah pertemuan pertama kali antara dirinya dengan Elena. Pertemuan yang membuat hidup Anne berubah menjadi lebih menyedihkan. Saat itu, Anne bekerja di salah satu hotel ternama. Tidak Anne sangka, kalau malam yang mempertemukannya dengan Elena merupakan awal dari sebuah mimpi buruk."Siapa yang membersihkan kamar ini?" Saat itu Elena sedang bertanya pada manager. Anne tidak mengelak meski ia bisa saja kabur. Tidak tahu apa kesalahannya, Anne maju satu langkah dari jajaran barisan petugas kebersihan di sana."Maaf, Nona. Saya yang membersihkan kamar Nona," ucap Anne."Kalian semua boleh keluar kecuali kau," ujar Elena sembari menunjukkan ke arah Anne. Manager tetap tinggal mendampingi Anne. Di dalam kamar tersebut hanya sisa tiga orang. Mana
Anne mendengar semua pembicaraan itu. Kakinya seperti terpaku di tempat. Anne tidak bergerak. Dia merasa seluruh bagian tubuhnya tidak mampu diatur lagi. "Apa? Ce--cerai? Kak Elena, bagaimana mungkin dia ..." gumam Anne. Berapa lama Anne berdiri di sana? Ia hanya berniat menghampiri Elena untuk mengatakan bahwa usahanya kali ini gagal lagi. Sayangnya, ia harus mendengar sesuatu yang sebaiknya tidak ia ketahui sampai akhir. Mereka yang ada di dalam rumah bercengkrama, tersenyum, tertawa, tanpa ada yang menyadari seseorang yang berdiri dengan penuh luka dalam hatinya. Langit yang cerah sudah berubah gelap. Anne masih terpaku di sana. Sedikitpun, kakinya sama sekali tidak berpindah. Dadanya semakin sesak dengan semua hal yang ia dengar. Tetesan buliran bening terus saja membasahi pipi Anne. Matanya memerah dan mulai bengkak karena menangis terlalu lama. Ia kecewa, ia merasa dirinya bodoh. Kenapa? Kenapa kebaikanny
Beberapa hari sejak kecanggungan itu terjadi, Anne maupun Elena tidak pernah bertemu. Mereka masih berusaha untuk menenangkan diri sampai menemukan titik temu apa yang akan mereka bicarakan lagi.Anne kesepian. Ternyata, tidak mendengar suara lembut Elena lebih menyakitkan dibandingkan kenyataan yang harus ia terima. Anne hanyalah yatim piatu yang tidak memiliki siapapun di sisinya dan Elena adalah orang pertama yang memperlakukannya dengan baik.Tidak mudah membuat keputusan. Anne membuang semua egonya. Ia mendatangi Elena saat Austin sudah pergi bekerja.Langkahnya pelan, perlahan, dan ada sedikit keraguan. Rasa takut memenuhi lubuk hatinya."Bi, di mana Kak Elena?" tanya Anne pada salah satu pekerja di rumah Elena."Nyonya ada di kamarnya, Nyonya kedua," jawabnya."Terima kasih!"Kamar Elena tentu saja kamar yang dipakai bersama Austin. Apakah Anne harus masuk atau menarik niatnya? Namun, kaki membawanya mendekat dan