Share

5. Tiada Cinta

last update Last Updated: 2022-02-24 17:27:25

                Austin pergi dengan Elena tanpa mempedulikan apakah Anne akan kecewa atau tidak. Awalnya, Elena kepikiran dengan Anne tapi keramaian menghiburnya. Apalagi, Elena sedang berada di tengah-tengah keluarga yang mencintainya.

                Anne menunggu Austin. Ia tidak menyerah dan terus menunggu seperti orang bodoh. Tidak ada lagi bus malam. Anne sampa ketiduran di halte karena menunggu dan menunggu. Kakinya bahkan terluka karena mengenakan heels dengan ukuran yang tidak terlalu tinggi.

“Nona!”

                Anne mengernyitkan keningnya. Ia merasa ada seseorang yang menyentuh bahu dan juga memanggilnya.

“Austin!” pekik Anne.

“Apa saya mengejutkan Nona? Maaf, tapi ini sudah pukul tiga dini hari. Saya petugas kebersihan di sini, jadi saya membangunkan Nona.”

                Anne tersenyum masam. “Tidak apa-apa, Bibi. Terima kasih, sudah membangunkan saya,” balas Anne dengan ramah.

                Semalaman, hujan cukup deras. Tubuh Anne menggigil, gemetaran, rasanya seperti membeku. Bersyukur seseorang membangunkannya. Hujan belum sepenuhnya berhenti. Masih ada rintik-rintik air yang terjatuh.

“Austin, dia sama sekali tidak menjemputku,” gumam Anne.

                Anne pulang dengan membawa kekecewaan. Ia berusaha menyingkirkan bayangan tentang apa yang sedang Austin lakukan saat hujan turun bersama Elena. wajah Anne pucat pasi. Bahkan ia berjalan gontai dan terhuyung-huyung.

                Anne takut terjatuh. Ia melepaskan heels yang membuat kakinya terlihat indah. Lukanya semakin bertambah karena kakinya bersentuhan langsung dengan aspal yang basah.

                Anne membuka pintu rumahnya. Rasanya enggan memasuki rumah mewah yang sudah atas nama dirinya. Anne jauh lebih bahagia menempati sepetak ruangan sebagai rumahnya sebelum ia menikah.

“Apa kau sangat suka membuatku menunggu?”

Deg!

                Anne langsung menoleh. Suara keras itu menghentaknya. Pertanyaan yang bercampur bentakan, bukan kekhawatiran atau sekedar sapaan ringan.

“Austin, aku—“

“Apa kau tahu, gaun siapa yang sedang kau pakai? Heels siapa yang sedang kau bawa? Apa kau sudah berkaca sebelum memakainya? Apa kau merasa pantas?” bentak Austin sembari berjalan mendekati Anne.

“Austin!” pekik Anne.

                Mata Anne memerah. Ia menangis di hadapan Austin karena Austin mengambil kasar heels yang ada di tangannya dan membantingnya cukup keras. Bahkan Austin menginjak-injaknya sampai rusak. Bibirnya bahkan terus berceloteh dengan kalimat kejam.

“Kenapa kau merusaknya?” tanya Anne dengan tatapan putus asa. “Aku bisa mencucinya. Aku bisa mengembalikannya,” sambungnya.

                Austin melototi Anne. Ia menarik tali gaun yang Anne pakai. “Kau pikir, istriku layak memakai pakaian bekasmu?” bentak Austin.

“Apa kau tidak bisa bicara dengan sedikit lembut, Austin? Kau tidak perlu berteriak karena aku pasti mendengarnya,” jelas Anne.

“Jangan menunjukkan airmatamu itu. Kau bukan Elena yang bisa meluluhkanku dengan tangisan.”

“Jika aku bisa, jika aku mampu, jika aku sanggup, aku tidak akan menangisimu karena kau tidak layak,” jawab Anne. “Akh! Lepaskan aku, Austin! Tanganku sakit, Austin,” rintih Anne.

                Austin menyeret Anne. Bibi Anh tidak mungkin tidak tahu, tapi ia hanya bisa diam dan bersembunyi supaya ia tidak melihatnya.

                Austin membawa Anne masuk ke dalam kamar. Ia membuka lemari Anne dan mengambil sembarangan pakaian yang bisa ia raih dengan tangannya. Anne terjatuh di atas lantai. Austin melemparkan pakaian tersebut di atas kepala Anne.

“Cepat ganti pakaianmu itu!” ujar Austin.

                Nada suaranya sangat tinggi. Anne mengepalkan erat tangannya. Ia tidak berdaya untuk membantah. Gaun yang ia pakai sudah sobek dan juga kotor. Anne berjalan masuk ke dalam kamar mandi tanpa energi. Jalannya terseok-seok pelan dengan darah yang mengikuti tapak kaki Anne.

                Austin tidak mengubah ekspresinya. Anne menutup pintu kamar mandi. Ia bersandar. Bibirnya tertutup rapat dengan airmata yang mengalir deras. Anne menangis tanpa suara. Rintihan sakit terdengar sangat sesak.

“Tuhan, sejauh mana aku bisa bertahan?” gumam Anne.

                Beberapa menit ia sesenggukan tanpa ada tangan hangat yang merangkulnya, tanpa ada seseorang yang memeluknya. Pahitnya teramat sangat pahit. Hubungan segitiga, seolah-olah menyakiti semua tapi sebenarnya, hanya dirinya yang terluka.

                Anne menanggalkan gaunnya. Ia memakai kaos dan juga celana pendek yang asal ia ambil dari tumpukan pakaian yang menguburnya. Anne membasuh wajahnya yang merah karena tangis, juga matanya yang tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang ia telan.

                Anne keluar dari kamar mandi. Ia merasa rumah sebesar itu sangat sempit karena tidak ada oksigen yang bisa ia hirup dengan leluasa. Austin merebut gaun yang ada di tangan Anne. Ia juga mengambil heels yang sudah ia rusak.

“Austin, apa yang akan kau lakukan dengan gaun itu?” tanya Anne.

“Aku akan membuangnya!”

“Austin, jangan!”

                Anne tertatih-tatih dengan kakinya yang terluka mengejar langkah Austin yang sangat cepat. Austin menyalakan api untuk membakar gaun tersebut. Ditambah dengan tumpukan sampah lainnya.

“Austin, kenapa?” tanya Anne. “Kenapa kau membakarnya?” lanjutnya.

“Barang mahal itu lebih layak dibakar dari pada harus kau kenakan,” jawab Austin.

                Austin menyeringai. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya. Selembar kertas yang mungkin terlihat biasa, tapi membuat Anne langsung berusaha untuk merebutnya.

“Austin, kembalikan!” teriak Anne sembari berusaha mengambil barang miliknya.

“Kalau kau kehilangan foto ini, bukankah impas, Anne? Sama sepertiku yang kehilangan ketenangan,” ujar Austin.

“Tidak! Austin, aku mohon, jangan membakarnya,” pinta Anne. “Aku hanya memiliki selembar itu saja. Hanya itu yang tersisa dari keluargaku, Austin. Aku mohon, kembalikan,” lanjutnya.

“Aku tidak peduli, Anne!” bentak Austin. “Kehadiranmu itu membawa kesialan untuk orang lain,” imbuhnya.

                Austin tidak tahu, kesepakatan apa yang sudah Anne buat dengan Elena. Austin tidak tahu, bagaimana Anne terluka dan menderita. Anne bungkam. Ia menerima semua olokan yang mengarah padanya.

“Kau hanya sampah, Anne!” kata Austin sembari menunjukkan sebuah cek dengan nominal yang cukup besar. “Kau menikah denganku demi uang ini. Jangan berpura-pura terlihat kau adalah wanita baik yang aku lukai,” lanjutnya.

                Cek itu masih utuh. Cek yang Elena berikan pada Anne. Padahal, sedikitpun uang yang Elena berikan untuknya, tidak ia sentuh.

                Anne mengusap airmatanya. Ia tersenyum. Mengubah ekspresi wajahnya dalam seketika. Ia akan membenarkan tuduhan Austin kalau ia hanya wanita yang gila akan uang. Ia lelah mengelak, ia lelah menjelaskan, ia lelah untuk terlihat baik.

“Benar. Aku, wanita seperti yang kau pikirkan, Austin. Apa kau sudah puas dengan pengakuanku?” tanya Anne.

“Seharusnya aku memperingati Elena untuk tidak dibodohi oleh wanita murahan sepertimu. Jangan-jangan, kau sudah beberapa kali menikah untuk menipu uang para pria kaya?” Austin melontarkan kata yang semakin pedas terdengar.

“Kenapa? Apa kau ingin menjadi salah satu dari pria yang pernah tidur denganku?” Anne memancing amarah Austin kembali. Merendakan diri sendiri, membenarkan hinaan yang bahkan tidak pernah ia lakukan. Hanya itu salah satu cara untuk membuat hatinya menerima perlakuan seburuk apapun itu.

“Cih!” Austin sangat acuh. “Menjijikkan!” lanjutnya.

                Anne tersenyum di atas lukanya. Bahkan, tempat ia berdiri seperti kobaran api yang membakar tubuhnya tanpa henti. Airmata rasanya sudah kering. Percuma menangisi pria yang menatapnya dingin. Mengacuhkan perasaannya dan tidak berniat untuk menganggap hadirnya ada.

“Aku sangat menjijikkan bagimu. Benar begitu, bukan?” tanya Anne. Ia menahan suaranya yang gemetaran.

                Austin mengambil black card dari dompetnya. Ia menyatukan card tersebut dengan cek yang ia temukan. Austin melemparnya ke wajah Anne. Kartu tersebut terjatuh di bawa kakinya. Anne hanya menatap dan terpaku. Harga dirinya sangat terluka. Tapi, ia akhirnya tahu bagaimana rendahnya ia di mata Austin.

“Apa maksudmu, Austin?” tanya Anne. Ia berpura-pura tidak tahu dengan apa yang Austin maksud.

“Bayaranmu!” jawab Austin. “Bahkan, nominalnya terlalu mahal untuk sampah sepertimu!” sambungnya.

"Lantas, kenapa kau menikahi sampah sepertiku?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mikayla Azahra
ahhhhh aku sebel sama austin..... kenapa aneu harus lemah sihhh bales dong aneu...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Istri Simpanan   26. Sembunyikan Atau Tinggalkan

    Austin kembali masuk ke dalam. Berusaha melupakan perasaan sesak yang tidak juga kunjung hilang dari hatinya.Austin membiarkan Anne pergi, tapi Anne memenuhi benak Austin. Bayangan-bayangan buruk melintas dengan keji."Austin!" Seorang pria paruh baya memanggilnya. "Austin!" teriak pria itu sembari membentak."Ah!" pekik Austin. Ia melangkahkan kakinya dengan pikiran kosong, sehingga tidak mendengar saat ada orang lain yang memanggilnya. "Ayah!" panggil Austin."Ayah tunggu di ruang kerja. Panggil Elena karena ada yang mau Ayah bicarakan dengan kalian," ucap Tuan Harold."Baik, Ayah."Austin baru sadar kalau Elena tidak ada di aula perjamuan. Acara sudah hampir selesai. Apa yang terjadi pada Anne seakan-akan tidak ada satu orang pun yang mengingatnya."Elena!" panggil Austin.Elena menoleh. "Austin," balas Elena."Ayah memanggil kita," ucap Elena."Kenapa tidak kau bawa Anne saja?" tanya Elena. "Bukankah kau baru saja mengejarnya?" imbuhnya dengan perasaan cemburu yang tidak lagi ia

  • Bukan Istri Simpanan   25. Menampik Rasa

    Saat ini, Mattew sangat marah dengan sikap Austin. Baginya, cara memperlakukan Anne kali ini sudah sangat keterlaluan.Bagaimana mungkin, seorang suami menatap hina pada istrinya sendiri? Bahkan ia seperti bisu dan lumpuh tanpa memberikan bantuan ketika semua menginjak harga diri Anne."Nona Anne, ayo pergi!" ucap Mattew sembari memegang lengan Anne. Jari Anne bahkan berdarah karena ia dipaksa memungut pecahan gelas menggunakan tangannya secara langsung."Tapi, pekerjaaan saya ...""Anda di sini sebagai tamu. Tidak layak Anda melakukan sesuatu yang bukan menjadi bagian Anda," ucap Mattew. "Jika mereka tidak bisa menghargai Anda, biar saya yang menghormati Anda, Nona," sambungnya."Kenapa saya harus mendengarkan Anda?" tanya Anne untuk meyakinkan pilihannya."Apa yang sedang Anda lakukan di sini? Apa Anda sedang mencari sebuah pengakuan?" ucap Mattew.Ucapannya terdengar sangat menohok. Menampar pikiran jernih Anne. Anne berdiri mengikuti gerakan Mattew.Anne membutuhkan pundak untukny

  • Bukan Istri Simpanan   24. menginjak Harga Diri

    Dengan hati yang dipenuhi luka, Anne meraih seragam pelayan yang terjatuh di atas lantai. Ia menahan air matanya yang berharga.Anne mencoba kembali menyadarkan dirinya sendiri. Ia tidak boleh larut ke dalam kenikmatan sesaat yang tidak seharusnya.'Benar. Seperti inilah seharusnya aku diperlakukan,' batin Anne.Gaun mahal, heels, semua barang yang melekat ditubuh Anne, sudah ia tanggalkan. Ia menggantinya dengan seragam pelayan yang sudah usang.Elena masih menunggu. Ia ingin tahu, apakah Anne akan benar-benar kembali pada dirinya dulu yang sangat miskin atau akan berbalik membantahnya.Anne dan Elena, hubungan keduanya semakin memanas. Elena yang tidak siap dengan kecemburuannya, sedangkan Anne yang tidak ingin melewati batasannya.Keduanya memiliki pemikiran berbeda. Bertolak belakang antara ketakutan dan kebutuhan."Pakaian itu jauh lebih cocok untukmu," kata Elena sedikit mencibir Anne.Elena berbalik. Ia keluar dari ruang ganti tanpa menunggu jawaban atau bantahan dari mulut Ann

  • Bukan Istri Simpanan   23. Hanya Seorang Pelayan

    Anne keluar dari taksi. Ia langsung dipanah oleh tatapan orang-orang yang menyambutnya.Deg!Deg!Deg!Semuanya menatapnya asing, jijik, dan mengintimidasi. Anne menjadi takut untuk melangkah semakin jauh. Langkahnya seperti diam di tempat.Apalagi, jantungnya terus berdebar tidak tenang. Saat tubuh Anne berada dekat dengan bibir pintu, ia merasa menjadi sangat kecil.Pintu itu seperti ingin menelannya. Tubuh Anne gemetaran. Ia dipandang sebelah mata, bahkan sebelum dirinya masuk dan berbaur ke dalam acara tersebut.'Sepertinya, lebih baik aku pergi,' batin Anne.Tap!Anne menoleh pada seseorang yang menepuk bahunya. Seorang pria tampan yang saar ini sudah berdiri di sampingnya."Tuan Mattew!" pekik Anne."Apa yang Anda lakukan dengan berdiri sendirian di sini?" tanya Mattew. "Di mana Austin?" sambungnya."Dia terlalu sibuk. Bisakah Anda singkirkan tangan Anda dari pundak saya?" pinta Anne dingin.Tidak tahu bagaimana harus merespon. Mattew ingin menuruti keinginan Anne, tapi sayangny

  • Bukan Istri Simpanan   22. Luka Lagi

    Anne duduk diam menatap dinding yang kosong. Semuanya terasa hambar. Gaun mahal yang indah itu tidak menghilangkan fakta bahwa dirinya tidak diharapkan di dalam keluarga Austin."Kenapa aku semakin merasa kesepian?" gumam Anne.Anne beranjak dari tempatnya. Ia keluar dari rumah mewah yang nyatanya, juga bukan miliknya.Tap ... Tap ... Tap ...Heels itu menghentak di atas lantai. Membuat suara yang cukup nyaring di tengah kesunyiannya.Rambut Anne digulung ke belakang. Ia hanya menyisakan sedikit poninya. Make up tipis, juga gaun mewah yang Elena berikan untuknya."Ka ..." Tangan Anne melambai dan bibirnya hendak memanggil, tapi ia menariknya kembali.'Aku tidak seharusnya ada di antara mereka,' batin Anne.Anne membalikkan tubuhnya. Ia tidak ingin menjadi pengganggu antara hubungan Elena dan Austin yang nampak sangat harmonis.Mereka terlihat bercengkerama dan saling bercerita dengan bibir yang tersenyum lebar. Keindahan itu akan berlangsung lama, andai saja Anne tidak muncul di tenga

  • Bukan Istri Simpanan   21. Tidak Bisa Menolak

    21Cukup lama Elena terbelenggu dalam perasaan cemburu yang membutakan mata hatinya. Hingga ia tidak ingin lagi bertegur sapa dengan Anne.Kali ini, mata hatinya terbuka lagi untuk memulai semuanya kembali. Elena mencoba menghilangkan rasa sakit yang terus melukai hatinya.Elena bersiap pergi menemui Anne. Namun, kakinya baru saja menuruni tangga, ia harus berhadapan dengan Austin."Elena, kau mau ke mana?" tanya Austin menoleh pada istrinya. Padahal, ia sedang merapikan pakaiannya di depan cermin besar dekat kamar tamu.Elena diam sesaat. Ia tidak ingin menjawab ke mana tujuannya. "Tidak, aku hanya sedikit lapar Austin," elaknya."Oh, aku kira mau menemui wanita itu," desis Austin."Tidak." Elena tersenyum tipis. "Elena, nanti malam ada acara keluarga di rumah Ayah. Aku harap, kau tidak punya alasan untuk menolak datang ke sana," kata Austin."Aku akan usahakan, Austin," jawab Elena."Oke." Austin melangkah mendekati Elena. Manik mata hitam mereka saling beradu. Tangan Austin mengus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status