Terima kasih karena tetap setia membaca kelanjutan cerita ini. Saran, komentarnya dan berlian birunya ditunggu. Sampai jumpa pada part berikutnya!
Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m
Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di
“Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Raja Abram berlari menuju kamar Ratu pertamanya, Ratu Meghna. Dari arah berlawanan Pangeran Ibram juga ikut berlari dan keduanya saling tatap untuk beberapa saat. ada banyak pengawal dan pelayan yang berjaga di depan pintu kamar. Sementara Pangeran Samir duduk di lantai sambil bersandar di tiang dan menerawang langit malam. Penampilannya kacau balau dan tidak henti-hentinya menagis. Terisak seperti anak kecil, melupakan statusnya sebagai salah satu pangeran kerajaan yang selama ini selalu menjunjung tinggi harga dirinya. Rasa bersalahnya yang lalai akan tugas yang diamanahkan padanya kini membuatnya menjadi seorang pecundang. Rasa percaya dirinya seakan sirna dan jauh di dalam lubuk hatinya, selain rasa bersalah, ia juga takut akan kemungkinan terburuk.
"Untuk saat ini tidak, tapi aku tidak akan memenjarakan pelakunya, tapi membuatnya sengsara di sisa hidupnya. Pertama, aku akan membawa kedua tangannya pada Abram. Ya ampun, mental raja ini benar-benar masalah besar. Apa wanita bisa membuat hidupnya berakhir begitu saja sampai kehilangan akal sehat?""Kau akan tahu jawabannya saat mencintai seseorang Ibram. Kau tidak bisa berkata-kata nantinya.""Pelakunya menelan pil beracun yang sama dengan racun yang ada di ujung panah itu. Racun itu bukan racun yang mudah untuk ditemukan. Butuh biaya besar untuk meracik racun mematikan seperti itu. Selain itu, butuh uang yang banyak untuk menutup mulut pembuatnya. Pelakunya tidak akan membunuh peraciknya jika tidak memiliki penawarnya. penawar itu adalah jaminan hidupnya." Ibram memijat kepalanya yang pening."Aku juga sependapat denganmu. Paman sudah meminta agar semua sarjana pengobatan berkumpul di aula istana.""Sabir, apa selama tiga hari aku meninggalkan istana,
“Aku tahu itu Jendral. Selain jurnal itu, ada sebuah petunjuk dan mungkin bisa jadi harapan. Tanaman Udambara. Tanaman langka itu pernah sekali disebut Ratu Aruna bisa menjadi penawar segala macam racun. Setetes dari ekstraknya bisa menetralkan racun hanya dalam waktu sehari semalam saja. Aku tidak tahu bagaimana bentuk rupa tanaman itu. Tapi Ratu Aruna menangis memohon pada Yang Mulia Raja Arsyad untuk mengirim banyak jendral untuk mencari tanaman itu ketika Ratu Zara keracunan dan terpaksa melahirkan Pangeran Ibram sebelum waktu kelahirannya.”Rangakain kaliamat itu terus saja terngiang di telinga Ibram. Mengusik batin dan ketenangannya. Berkali-kali dalam hati mempertanyakah benar atau tidak.“Ada seseorang yang berniat menggulingkan Raja Arsyad, tapi Ratu Aruna melakukan pertukaran dengan orang itu dengan meninggalkan kerajaan, suami dan juga kedua putranya. Ratu Aruna tahu pelaku yang sudah meracuni Ratu Zara. Demi membuat orang itu