Benarkah Mimi yang bicara begitu pada Adara? Benarkah Mimi memasang tampang seolah dia berhak atas bisnis keluarga orang tuanya itu? Benarkah Mimi seolah tidak menghormati Adara sebagai kakak tertua?Adara speechless. Jujur dia tidak pernah menyangka kalau Mimi akan menyinggung masalah kantor ataupun saham yang dimiliki orang tuanya. Ada apa ini? Apa mungkin Mimi dipaksa oleh orang tuanya? Tapi kalau dipaksa harusnya raut wajah wanita itu bukannya menyetujui tapi lebih pada kecemasan kalau Adara tersinggung. Adara bangkit, "Duduklah! Kapan kamu sampai? Kok kamu nggak bareng sama tante?"Mimi terpaksa duduk, dia memilih ruang kosong di samping mamanya. "Aku langsung datang kok waktu Mama minta aku ke sini, Kak. Aku tadi parkir mobil dulu. Ngomong-ngomong kak Adara belum jawab pertanyaanku.""Tunggu dulu! Masalah kantor nggak bisa semudah itu dong aku berikan sama kamu. Kamu aja belum berpengalaman. Kecuali kalau kamu bisa meng-handle semuanya, aku baru melepaskan jabatanku. Jadi, bela
"Gila! Kamu sengaja menjebakku kan?" hardik Mimi emosi. Sisa-sisa air matanya masih ada, dia meringkuk di dalam selimut yang sejak semalam menaungi tubuhnya. Mau marah juga percuma karena dia sudah terlanjur basah. [Kamu cukup bikin Adara kesal]"Kesal? Maksudnya?" [Aku tahu kok kalau kamu dan Adara punya masalah soal warisan dan aku tahu kalau kalian nggak sepaham. Jadi, coba rebut posisi Adara, bikin dia kesal dan jadi miskin]"Miskin? Kak Emma nggak tahu kan kalau tanpa jadi direktur kak Dara tetap punya banyak uang. Please, jangan buat aku jadi musuh dalam selimut. Aku nggak suka membenci kak Dara," pintu Mimi memelas. Dia menyayangi Adara selayaknya saudara kandung. Apa jadinya kalau dia dan Adara bermusuhan hanya karena masalah warisan?[Aku nggak peduli apa yang kamu katakan. Kalau kamu nggak mau video ini tersebar, sebaiknya lakukan apa yang aku mau. Aku harus dengar kabar baik dari kamu dalam waktu dua Minggu atau cuplikan yang paling hot akan tersebar di media sosial] Mim
Mendengar istrinya mual, Ansel segera membatalkan niatnya untuk memberi perhitungan pada Marina. "Tuh kan, kamu pasti banyak pikiran sampai kamu mual begini. Ayo istirahat saja di kamar."Adara bersyukur karena dia mengeluarkan suara perutnya di saat yang tepat. Dia berhasil menghentikan suaminya untuk melabrak Marina dan juga Mimi. "Makanya kamu jangan pergi."Sedikit ucapan manja berhasil membuat Ansel meredam amarahnya. "Maaf ya. Aku temani. Apa perlu kita panggil dokter?"Adara tidak merasakan sesuatu yang berlebihan. "Nggak perlu sepertinya. Aku hanya butuh istirahat.""Ya udah." Dengan telaten Ansel menggiring istrinya untuk naik ke lantai dua. Dia sangat berhati-hati pada setiap langkah istrinya agar istrinya tidak terjatuh. Padahal Adara merasa tubuhnya baik-baik saja kecuali perutnya yang tiba-tiba memberontak. "Tidurlah! Aku ambilkan susu hangat," ucap Ansel setelah membaringkan istrinya ke tempat tidur. "Jangan!" cegah Adara."Maksudnya jangan ambilkan susu?""Iya. Aku m
"Apa sih maksudnya? Kenapa kakak malah menuduhku? Harusnya yang kakak usir itu sekretaris Kakak itu yang tidak benci mengerjakan pekerjaannya," elak Mimi. Jebakan yang dibuat oleh Emma tidak bisa dia hindarkan begitu saja. Meskipun dia takut pada kemarahan Adara, dia harus menahan diri untuk tetap berada di sana. "Intinya aku nggak mau dia jadi sekretaris aku."Adara meminta Gina untuk pergi dari sana. Sementara dia mengambil tempat duduk di depan saudaranya itu. "Kamu nggak sadar apa yang sudah kamu lakukan? Kamu nggak punya pilihan untuk memecat siapapun di kantor ini. Terlebih kinerja kamu yang benar-benar di bawah mereka.""Aku tersinggung ya, Kak, kalau Kakak bilang begitu," ucap Mimi pura-pura kesal. Namun dia tidak sepenuhnya berpura-pura Karena sejujurnya dia tidak suka Adara membela orang lain ketimbang dirinya. Sejak Mimi berada di kantornya, Adara lebih sering menghela nafas berat. Entah sudah berapa kali hari ini dia menghembuskan nafas kesalnya. "Tolonglah, kalau kamu di
Ansel agak terkejut mendengar penuturan istrinya. "Kenapa tiba-tiba? Tunggu, aku nggak perlu tanya soal ini. Siapa yang mengancam kamu?""Nggak ada yang mengancamku kok, Sel. Tapi aku cuma kepikiran aja. Kasihan Mimi kalau dia nggak bisa mendapatkan apa yang dia mau. Dia kan baru pertama kali ini menginginkan sesuatu, jadi aku sebagai kakak yang baik sebisa mungkin harus memberikan apa yang dia mau. Lagi pula ini kan cuma bisnis. Aku bisa melihat dari jauh kok. Nenek juga pasti menyetujui keinginanku ini," jelas Adara bijak. Dia berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya dengan merelakan bisnis yang memang bukan hanya untuknya.Ansel diam. Sejujurnya dia tidak rela istrinya melepaskan apa yang dia kembangkan selama ini. Namun, Adara pasti punya alasan khusus kenapa dia mengubah keputusannya. "Coba pikirkan lagi selama beberapa hari ini supaya kamu lebih yakin," ucap Ansel sembari mengelus bahu istrinya. Adara mengangguk, "Iya, Sel."Ansel terlihat melamunkan sesuatu. "Sayang.""Hem
Adara diam seribu bahasa. Tak ayal membuat persepsi lain dari mama mertuanya. Menantunya memang tidak membenarkan tapi dengan diamnya sikapnya, jelas terjadi sesuatu di kelas memasak kemarin. "Apa yang dikatakan oleh Bu Anis memang sangat keterlaluan. Kalau mama ada di sana pasti Mama akan membela kamu," tegas Felicia menggebu-gebu. Dia heran kenapa masih ada orang yang sibuk mengurus urusan orang lain apalagi sampai merusak kepercayaan diri seseorang. "Bukan salah Bu Anis, Ma," ucap Adara akhirnya. Tanpa ucapan Anis sekalipun dia pasti akan memutuskan untuk mundur dari jabatannya. "Lalu karena apa?" "Aku hanya berpikir untuk memberikan kesempatan pada Mimi. Dia juga kan perlu untuk tahu bisnis keluarganya. Mana mungkin selamanya dia akan bekerja sebagai model. Saat ini yang perlu aku lakukan hanyalah mendukungnya," jelas Adara. Felicia mengerti dengan pemikiran menantunya. Dia bingung apakah dia harus memuji sikap Adara atau malah menyayangkan. "Jujur Mama kurang setuju kalau
Suara gruduk-gruduk di dapur membuat Felicia terbangun. elektronik yang harganya lumayan fantastis. Dia pikir ada maling yang nyasar ke rumahnya dan mengobrak-abrik dapurnya untuk mencari perabotan dapur yang harganya lumayan fantastis. Maklumlah karena dia suka memasak jadi peralatan dapurnya lumayan mahal. "Ansel? Kamu ngapain jam segini?" Dengan sedikit menguap, Felicia menghampiri Ansel. Dia penasaran dengan apa yang dilakukan oleh anaknya. "Nyari apa sih?" Ansel yang sedang memotong kol yang dia temukan di dalam kulkas, akhirnya menoleh, "Ini, Ma, Adara minta soto. Tengah malam begini memangnya ada jualan soto. Makanya aku inisiatif buatin." Ansel menunjuk ponselnya yang sedang memperlihatkan video tutorial memasak soto ayam rumahan. Karena bahan yang digunakan tidak terlalu banyak, jadi dia menggunakan tutorial itu. Felicia tersenyum geli melihat kelakuan anaknya. Dia mencuci tangannya lalu memakai celemek untuk melindungi piyama tidurnya. "Biar mama aja yang buatin. Kamu ke
"Kakak mau resign," ucap Adara pada Mimi. Keesokan harinya dia datang ke kantor untuk mengabarkan bahwa dia tidak akan mengganggu Mimi lagi. "Tapi, kakak menyarankan kamu untuk datang pada kakak jika misalkan kamu bingung atau ingin penjelasan lebih tentang bisnis ini. Kakak pasti akan memberikan petunjuk. Ingat, Mimi, bisnis ini didirikan dari nol oleh almarhumah nenek kita, jadi kakak ingin kamu lebih waspada tentang suatu hal. Nggak semua yang kamu lihat harus kamu ambil keuntungannya karena bisa jadi semua itu hanyalah jebakan."Mimi terdiam. Sebenarnya ini yang dia tunggu karena dia bisa aman dari ancaman Emma. Tapi rasanya aneh ketika Adara meninggalkannya begitu saja. 'Nggak masalah. Lagi pula tujuanku hanya untuk mengamankan reputasiku di dunia modeling. Lama kelamaan kalau kak Emma lupa, aku akan mengembalikan cepetan ini lagi pada kak Dara. Ya, aku nggak perlu merasa bersalah. Ini hanya sementara waktu' batin Mimi bergejolak."Oh ya, kalau kamu mau kita bisa adakan pesta pe