š Gilang š
Aku masih merengkuh istriku, Tiara. Padahal kemarin aku sangat bahagia karena bisa memiliki raganya. Aku segera menggendong Tiara dan merebahkannya di atas ranjang. Kubelai rambutnya penuh sayang dan kuhapus air matanya dengan kecupan. Aku bahkan mengecup bibirnya mesra. Hingga kurasakan kecupan balik.
Entah dorongan darimana kecupan itu berubah menjadi semakin panas dan sekali lagi aku dan Tiara menyatu dalam gairah panas yang selalu didamba pasangan halal.
Keesokan harinya aku terbangun dan tak kudapati Tiara di sampingku. Aku panik, takut Tiara melakukan hal-hal yang nekat. Aku langsung asal memakai baju dan segera mencari Tiara.
Kegelisahanku sirna tatkala melihat Tiara dengan telaten tengah menyeka Mamah. Aku pun kembali ke kamar dan segera memutuskan mandi, tepatnya mandi junub dan melaksanakan salat subuh.
***
“Iya Lang?”
“Papah sehat?”
“Alhamdulillah. Tiara bagaimana?”
š Tiara šHampa. Itulah yang kurasakan beberapa hari ini semenjak kematian Mamah. Meski aku masih membencinya, tapi jauh di lubuk hatiku, aku sungguh menyayanginya.Kami sudah kembali ke Purwokerto pada hari kedelapan setelah kematian Mamah. Aku masih belum bekerja, pikiran dan tenagaku sungguh tak tersisa. Tiga hari ini aku hanya bergelung di kasur tanpa melakukan apapun. Papah, Gilang, dan Mamah Gita sering sekali menghiburku. Namun, aku masih dirundung kesedihan. Aku masih belum mampu untuk lepas dari kesedihanku.Gilang dan Papah semakin protektif padaku, terutama Gilang. Semenjak dia tahu aku mengkonsumsi pil penenang, dia semakin posesif. Aku sungguh membencinya tapi sisi hatiku yang lain menyukainya.“Tiar.”“Pah.”Papah mendekatiku dan duduk di tepi ranjang.“Kamu jangan seperti ini Tiar. Bagaimana pun kamu harus terus hidup. Papah tahu kamu menyayangi mamah kamu terlepas apapun kesalahan yang d
Kamu mau makan apa?” Suara Gilang terdengar lembut sekali. Aku menggeleng.“Ngemil ya. Kamu mau buah atau apa?”Aku menatap Gilang yang juga menatapku dengan binar mata yang tak bisa kudefinisikan.“Mau soto Mbah Man,” sahutku lirih.“Oke. Tunggu ya.”Gilang mengecup keningku lama lalu segera pergi mencari makanan yang kuinginkan. Tak kurang dari setengah jam, Gilang sudah kembali dengan dua mangkok soto.“Makan ya? Aku suapin.”“Gak. Aku bisa sendiri.”“Baiklah.”Aku mulai makan dengan pelan, alhamdulillah ternyata perutku gak mual. Kulirik Gilang yang juga tengah melahap sotonya. Entah kenapa air liurku jadi menetes.“Kenapa?” tanyanya.“Tukeran.”“Hah?”“Tukeran,” rengekku manja.Meski heran Gilang manut saja dan akhirnya aku menghabiskan soto milik Gilang den
š Gilang šAku masih mengusap lembut kepala Tiara, tak lupa menyanyikan lagu nina bobo dengan suara sumbang. Aku sama sekali tak punya bakat menyanyi namun entah kenapa semenjak hamil Tiara tak pernah bisa tidur tanpa kehadiranku. Ya Allah, kamu gemesin banget Dek.Meski aku tahu ini pengaruh hormon kehamilan tapi aku senang. Setidaknya kehamilan Tiara membuat kami dekat. Jujur, aku sangat bahagia mengetahui Tiara hamil. Rupanya apa yang kami lakukan setiap malam melahirkan benih di rahim Tiara.Semenjak pulang dari Semarang, Tiaraselalu murung, hampir setiap hari aku dan Papah memberinya semangat hingga tanpa sengaja keadaan membuat kami harus menyatu lagi. Dan setelahnya hampir setiap malam kami selalu menyatu. Tentu aku yang memulainya. Meski sedikit memaksa toh akhirnya Tiara mau juga bahkan menikmatinya. Hahaha.Alhamdulillah, hanya butuh waktu satu bulan Tiara hamil juga. Hem ... andai pernikahan kami bukan karena perjodohan mungkin Tiara su
š Tiara šKehamilanku sudah menginjak usia lima bulan. Meski terkadang masih mual tapi sudah mendingan. Ngidam? Masihlah. Mumpung aku hamil jadi manfaatkan saja. Lagian Papah dan Gilang juga gak masalah kok menuruti semua aksi ngidamku.Satu hal yang aneh, semenjak hamil aku jadi sensitif sekali. Aku mudah sekali menangis. Kata Gilang, anakku pasti cewek karena aku terlalu baperan. Bicara tentang Gilang, ah sungguh membuatku merindukannya. Aku yakin ini pasti karena hormon kehamilanku. Kalau enggak mana mau aku deket-deket sama dia. Tapi ... entahlah. Aku bingung. Hubungan kami sekarang terasa aneh, aku merasa kami seperti suami istri pada umumnya bahkan sekarang aku tak bisa tidur tanpa mencium bau keteknya.Sebuah rengkuhan menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh dan kulihat Gilang yang sepertinya baru saja mandi. Bau tubuhnya harum. Dan aku suka. Ada hasrat dalam diriku yang tak bisa kupahami. Aku sungguh merindukan sentuhannya. Pasti karena hormon ini lagi
“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?”Salah satu pegawai tokoku seperti biasa bertingkah ramah pada pembeli. Aku yang tengah duduk santai di kursi yang disediakan untuk pengunjung menoleh ke arah si pembeli.“Hai, Mbak Tiara.”“Oh hai, apa kabar Mbak Amanda? Ada yang bisa kami bantu?”“Saya mau membeli brownis cokelat.”“Oh, Keisya tolong layani Mbak ini.”“Baik Mbak. Mari Mbak saya antar.”Dalam hati aku mencebik. Dulu sebelum hubunganku dengan Gilang terlalu jauh. Aku berharap Amanda segera memainkan peran antagonisnya sebagai pelakor. Tapi sekarang? Entahlah, ambigu. Ada sisi hatiku yang berharap Gilang tetap jadi suamiku. Sisi lainnya, aku ingin segera berpisah dari Gilang.“Sudah dapat Mbak Amanda?” tanyaku dengan tetap memasang wajah ceria dan senyum manis.“Sudah. Boleh aku duduk di sini gak?”“Boleh.
š Gilang šAku menatap lalu lalang kendaraan bermotor melalui jendela ruang kerjaku, sesekali mengembuskan napas panjang. Sungguh lelah rasanya. Aku sudah tak tahu lagi bagaimanacaranya menghadapi sikap dingin Tiara. Hatinya sungguh begitu beku. Aku pikir kehadiran calon anak kami akan mencairkan kebekuan hati Tiara secara perlahan. Namun aku salah. Tiara semakin menjauh dan sangat susah kugapai.“Ngelamun lagi, Bro.”“Eh, kamu Yu. Baru datang?”“Iya.”“Duduk, Yu.”“Makasih. Kamu kenapa? Kucel amat.”“Aku bingung, Wahyu. Sampai hari ini aku belum bisa mencairkan kebekuan istriku.”Wahyu tersenyum, kemudian menepuk pundakku dengan cukup keras.“Aku gak bisa kasih nasehat apapun cuma satu yang mau aku kasih tahu ke kamu.”“Apa?”“Minumlah kopi.”Aku mengernyit, tak paham maksud d
š Tiara šBodoh!Satu kata yang mewakiliku saat ini. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Sejak pertemuanku dengan Amanda di toko, aku memang menghindari Gilang. Pikiranku menyuruhku untuk jangan terlalu dekat dengan Gilang karena suatu saat cepat atau lambat Gilang akan kembali pada Amanda.Namun, sisi hatiku sangat merindukannya. Sungguh aku bingung. Ada apa denganku? Terbiasa memendam luka sejak kecil membuatku tak bisa mengekspresikan suasana hatiku. Mungkin aku ramah pada setiap orang tetapi aku tak pernah bisa menunjukkan kasih sayangku pada orang lain selain Papah. Bagiku hanya Papah lah yang mencintaiku tulus tak ada yang lain. Sehingga saat Gilang menjadi suamiku dan terlihat menunjukkan cintanya, aku tak tahu harus berbuat apa? Aku dilema dengan hatiku sendiri. Aku tak yakin. Jika ini adalah cinta. Tapi? Melihatnya murung beberapa hari ini membuat sudut hatiku sedih. Meski kusadari sumber kemurungan Gilang justru aku sendiri.Tanpa sadar malam
š Gilang šAku terus menatap layar monitor di depanku. Calon anakku tengah bergerak-gerak rupanya. Apa kubilang? Anakku cewek. Akhirnya jenis kelaminnya terlihat di usia 32 minggu.“Bisa dilihat Pak Gilang dan Bu Tiara, ini cewek. Semua organnya juga lengkap insya Allah, air ketubannya juga masih bagus. Letak plasenta juga masih bagus. Posisi kepala bayi juga sudah di bawah dan Bu Tiara bisa melahirkan normal.”“Jadi kapan kira-kira anak saya lahir?”“Prediksi saya sekitar tanggal 10 bulan depan Pak Gilang. Bisa maju atau mundur. Sekarang kontrolnya seminggu sekali ya Pak, Bu.”“Baik, Dok.”Aku membantu Tiara berdiri dan kami pun berpamitan. Belakangan ini Tiara lebih banyak senyum dan aku menyukainya. Meski sikapnya padaku masih ketus tapi yang penting jatah malamku aman. Hahaha. Walau itu bukan yang utama sih.Intinya aku senang Tiara kini lebih ekspresif jika bersamaku. Meski jarang