š Gilang š
Aku menatap lalu lalang kendaraan bermotor melalui jendela ruang kerjaku, sesekali mengembuskan napas panjang. Sungguh lelah rasanya. Aku sudah tak tahu lagi bagaimana caranya menghadapi sikap dingin Tiara. Hatinya sungguh begitu beku. Aku pikir kehadiran calon anak kami akan mencairkan kebekuan hati Tiara secara perlahan. Namun aku salah. Tiara semakin menjauh dan sangat susah kugapai.
“Ngelamun lagi, Bro.”
“Eh, kamu Yu. Baru datang?”
“Iya.”
“Duduk, Yu.”
“Makasih. Kamu kenapa? Kucel amat.”
“Aku bingung, Wahyu. Sampai hari ini aku belum bisa mencairkan kebekuan istriku.”
Wahyu tersenyum, kemudian menepuk pundakku dengan cukup keras.
“Aku gak bisa kasih nasehat apapun cuma satu yang mau aku kasih tahu ke kamu.”
“Apa?”
“Minumlah kopi.”
Aku mengernyit, tak paham maksud d
š Tiara šBodoh!Satu kata yang mewakiliku saat ini. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Sejak pertemuanku dengan Amanda di toko, aku memang menghindari Gilang. Pikiranku menyuruhku untuk jangan terlalu dekat dengan Gilang karena suatu saat cepat atau lambat Gilang akan kembali pada Amanda.Namun, sisi hatiku sangat merindukannya. Sungguh aku bingung. Ada apa denganku? Terbiasa memendam luka sejak kecil membuatku tak bisa mengekspresikan suasana hatiku. Mungkin aku ramah pada setiap orang tetapi aku tak pernah bisa menunjukkan kasih sayangku pada orang lain selain Papah. Bagiku hanya Papah lah yang mencintaiku tulus tak ada yang lain. Sehingga saat Gilang menjadi suamiku dan terlihat menunjukkan cintanya, aku tak tahu harus berbuat apa? Aku dilema dengan hatiku sendiri. Aku tak yakin. Jika ini adalah cinta. Tapi? Melihatnya murung beberapa hari ini membuat sudut hatiku sedih. Meski kusadari sumber kemurungan Gilang justru aku sendiri.Tanpa sadar malam
š Gilang šAku terus menatap layar monitor di depanku. Calon anakku tengah bergerak-gerak rupanya. Apa kubilang? Anakku cewek. Akhirnya jenis kelaminnya terlihat di usia 32 minggu.“Bisa dilihat Pak Gilang dan Bu Tiara, ini cewek. Semua organnya juga lengkap insya Allah, air ketubannya juga masih bagus. Letak plasenta juga masih bagus. Posisi kepala bayi juga sudah di bawah dan Bu Tiara bisa melahirkan normal.”“Jadi kapan kira-kira anak saya lahir?”“Prediksi saya sekitar tanggal 10 bulan depan Pak Gilang. Bisa maju atau mundur. Sekarang kontrolnya seminggu sekali ya Pak, Bu.”“Baik, Dok.”Aku membantu Tiara berdiri dan kami pun berpamitan. Belakangan ini Tiara lebih banyak senyum dan aku menyukainya. Meski sikapnya padaku masih ketus tapi yang penting jatah malamku aman. Hahaha. Walau itu bukan yang utama sih.Intinya aku senang Tiara kini lebih ekspresif jika bersamaku. Meski jarang
š Tiara šPrang!!!“Mbak Tiar! Mbak gak papa? Sini Mbak biar aku aja.”Aku masih diam. Aneh, tadi aku seperti mendengar suara Gilang yang kesakitan. Makanya aku kaget dan tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang kupegang.“Mbak. Mbak gak papa?”Aku masih diam, guncangan pada bahuku menyadarkanku dari lamunan.“Ya, Lin. Gimana?”“Mbak kenapa? Mbak baik-baik aja 'kan?”“Iya, Lin.”“Mbak duduk aja deh. Jangan berdiri terus. Nanti Mas Gilang tahu, Lina yang diomelin.”“Ck. Gak usah ikutan lebay kayak Gilang deh Lin?”“Hahaha. Mas Gilang gak lebay Mbak. Justru itu tanda Mas Gilang cinta sama Mbak. Semua orang juga tahu.”“Tahu apa?”“Tahu kalau Mas Gilang itu cinta mati sama Mbak Tiara.”“Ngawur kamu!”“Eh ... dibilangin gak percaya. Sorot ma
Aku baru saja membersihkan diri. Sudah tiga hari kami di rumah sakit. Keadaan Mamah sudah membaik. Mamah bahkan sudah bisa berjalan-jalan dan sekarang sedang ditemani Hana berjalan-jalan seputar rumah sakit. Papah sedang ada urusan sedangkan Papah mertua harus menghadiri rapat.Aku sendiri sedang memaksa memasukkan makanan ke mulutku. Bagaimanapun putriku butuh makan. Dia harus sehat. Cukup bapaknya yang sakit, aku dan anakku jangan.Sesekali aku memasukkan makanan sambil menoleh ke layar televisi. Meski dengan terpaksa akhirnya aku bisa menghabiskan makananku. Selesai makan, aku segera mencuci tanganku dan keluar dari ruang inap Mamah.Suasana rumah sakit masih sepi, jam baru menunjukkan pukul setengah enam. Aku berhenti mendadak menatap seseorang yang tampak berusaha masuk ke ruang ICU namun dihalangi oleh perawat.“Tolong Mbak, dia suami saya juga. Ijinkan saya masuk. Tolong ....”“Maaf Mbak, Mbak harus punya tanda pengenal bia
“Kenapa Tiara? Kenapa bukan aku? Bukankah harusnya Tuhan tahu kalau aku membutuhkan Mas Gilang. Bukan kamu!”“Aku gak tahu! Tuhan selalu punya rencana untuk setiap hamba-Nya.”Kami terdiam lagi. Cukup lama keheningan menyelimuti kami berdua.“Apa kalian melakukan itu dengan perasaan cinta? Atau hanya sebatas kebutuhan biologis?”“Apa ...?” Aku terbelalak mendengar pertanyaan Amanda. Namun mau tak mau pipiku menghangat. Oh tentu saja percintaan kami selalu panas. Gilang selalu bisa membangkitkan bara api dalam tubuhku.“Apa Mas Gilang sangat bergairah saat mencumbumu. Apa dia selalu menyebut namamu saat gairahnya tersalurkan? Apakah kalian selalu melakukannya setiap malam? Hahaha ....” Amanda tertawa sambil menangis.“Aku mencoba Tiara. Sejak kami pacaran aku mencoba menjadi gadis manis. Meski aku berkencan dengan banyak orang tapi aku selalu menjaga satu-satunya hartaku hanya
“Kalau Pak Gilang sampai menangis itu artinya dia bisa mendengar Anda, Bu Tiara. Alam bawah sadarnya sudah bisa merasakan keadaan di sekitarnya. Hanya saja kondisi tubuhnya yang memang sangat lemah menyebabkan dia belum sadar. Bersabarlah dan berdoalah terus. Jangan lupa ajak komunikasi terus. Dan Bu Tiara yang harus melakukannya karena Pak Gilang selalu merespon kalau Bu Tiara yang mengajak berkomunikasi.”“Baik Dok, terima kasih.”“Sama-sama.”Sebuah elusan di perutku menyadarkanku dari lamunan.“Melamun?”“Iya, Mah.”“Kamu yang kuat ya?”“Insya Allah, Mah.”“Terima kasih sudah mau menjadi menantu mamah, menjadi istri anak mamah yang keras kepala.”“Mamah tahu, pasti sulit bagi kalian untuk saling menerima. Tapi ... mamah tidak pernah menyesal menjodohkan kamu sama Gilang.”Aku menatap Mamah
š Gilang š“Aku cinta kamu, Mas Gilang.”“Aku cinta kamu, Mas Gilang.”“Mas Gilang, bangunlah.”Aku mencoba membuka mataku, rasanya seluruh tubuhku sakit semua. Ya Allah, aku dimana? Aku mencoba mengedarkan pandang mataku lalu tersenyum. Hem ... rumah sakit rupanya.Aku berusaha mengingat-ingat bagaimana aku bisa berada di sini. Meeting, ketemu Amanda, teriakan Amanda, Firman si tukang kompor. Ya, aku ingat semuanya. Tapi ... siapa yang setiap hari mengungkapkan cintanya padaku? Tiarakah? Senyumku tiba-tiba merekah.Suara pintu terbuka membuatku langsung memejamkan mata. Dalam hati bertanya-tanya siapa yang datang? Pelukan hangat mampir di tubuhku. Hem ... bau ini? Ah, Tiara rupanya.“Mas ... Tiara kangen. Ayo bangun dong?” Tiara berkali-kali mencium pipiku. Ingin rasanya aku loncat-loncat tapi aku masih pura-pura diam. Ingin mendengar kalimat yang s
Dengan telaten aku mengurut punggung Tiara. Bahkan sesekali harus ikut meringis ketika Tiara sedang merasakan sakit. Mau bagaimana lagi, setiap kontraksi datang, Tiara akan meremas lenganku. Sakit? Tentu saja sakit lah. Tapi aku harus sabar karena sepertinya sakit yang dirasakan Tiara jauh lebih hebat. Satu hal yang harus kuacungi jempol, Tiara sama sekali tak menangis atau berteriak-teriak seperti tetangga di sebelah kami.Di bangsal sebelah, ada ibu muda lain. Posisi kami terhalang tirai. Sejak tadi si ibu muda menangis, meraung-raung bahkan menjerit-jerit. Untungnya sang suami sabar dan terus memberikan semangat pada sang istri. Aku bisa mendengar bagaimana sang suami menenangkan sang istri degan kata-katanya.Tiara meringis lagi, tapi kali ini lenganku malah digigit. Meski kaget dan sakit, aku membiarkan ulah Tiara.“Dek ...?” panggilku lembut.“Ya.” Tiara menjawab sambil merintih kesakitan kemudian tersenyum.“Sab