Share

5. Senyum Bidadari Dingin

šŸ Gilang šŸ

Menurut kalian lebih baik memiliki raganya tapi tidak hatinya atau memiliki hatinya tapi tidak raganya? Silakan kalian pilih karena untuk saat ini aku tidak punya pilihan alias mentok tembok jadi aku belum punya jalan keluar. Apalagi memilih.

Tiga bulan lamanya kami menikah, namun Tiara masih saja dingin kepadaku. Padahal aku sudah berusaha bersikap manis padanya. Yang membuatku sedih adalah sikapnya begitu hangat jika sedang bersama Mamah, Papah bahkan Hana. Dia bisa menjadi pribadi yang hangat bahkan selalu tersenyum.

Senyum itu, adalah senyum terindah yang pernah kulihat. Secara fisik, baik Tiara dan Amanda sama-sama cantik. Tapi entahlah, aku tidak mengerti dengan urusan hati. Sungguh aku akui aku telah jatuh cinta pada istriku karena senyumnya. Senyum tercantik yang pernah kulihat ternyata ada padanya. Sayang senyum itu tak pernah terbit untukku.

Berbagai cara kulakukan untuk membuatnya jatuh cinta, minimal menerima kehadiranku. Namun, masih gagal. Beruntung aku masih tinggal dengan Papah mertua sehingga kesempatan untuk berdekatan terbuka lebar jika kami berada dalam satu ruangan bersama Papah mertua.

Aku tahu Tiara akan berpikir kalau ciuman pertamanya diambil olehku di hadapan Papah saat hari ulang tahunnya. Padahal dia salah. Dia tak tahu jika setiap malam aku pasti mencium semua bagian wajahnya termasuk bibirnya yang tipis namun menggoda.

Tiara punya kebiasaan kalau sudah tidur seperti mayat hidup. Gak bakalan bangun walau ada suara bom di dekatnya. Kesempatan buatku. Hahaha. Terserah kalian mau mengataiku maling, toh aku maling sama istriku sendiri kok. Gak ada yang rugi malah aku yang happy bisa menikmati bibirnya yang menjadi candu buatku.

ā€œMas Gilang.ā€

Aku menatap ke arah Amanda yang memanggilku, bagaimana mungkin aku tak mendengar pintu yang dibuka? Kenapa dia harus sekantor denganku? Kurang ajar si Firman itu. Dia sengaja sepertinya, dialah yang merekomendasikan agar Amanda bekerja di sini sebagai sekretarisnya. Untung bukan sekretarisku.

ā€œYa Manda. Ada apa?ā€

ā€œMakan siang, yuk.ā€

ā€œMaaf Manda, aku sudah bawa bekal.ā€ Aku mencoba beralasan.

ā€œYa udah bekalnya dikasihkan ke orang lain saja, Pak Roni si satpam misalnya. Ayok kita keluar.ā€

ā€œSorry Manda. Plis jangan kayak gini. Aku sudah punya istri. Jangan buat aku menjadi lelaki jahat lagi, aku minta maaf karena tak berhasil memperjuangkanmu. Tapi aku mohon, kamu jangan berubah. Jadilah Manda yang tegar dan bermartabat,ā€ ucapku dengan nada lembut. Berharap apa yang aku ucapkan didengar oleh Amanda kali ini.

ā€œAku gak butuh jadi bermartabat, toh semua orang akan menganggapku rendah karena kelakuan ibu dan kakakku. Jadi, kalau aku dianggap murahan. Aku gak peduli.ā€

ā€œAku peduli, Manda.ā€ Suaraku meninggi.

ā€œKalau Mas peduli sama Manda, ayo kita balikan. Aku akan memaafkan Mas asal kita bisa selalu bersama. Manda bahkan rela walau harus jadi yang kedua.ā€

Amanda mendekat ke arahku dan mencondongkan tubuhnya sehingga bagian dadanya hampir terlihat olehku namun aku segera bangkit.

ā€œKeluar Amanda!ā€

ā€œMas ....ā€ Suaranya manja.

ā€œKeluar!ā€ Kali ini suaraku lebih tinggi.

ā€œJahat kamu, Mas.ā€

Amanda pergi meninggalkan ruangan dengan berderai air mata. Aku sama sekali tak ingin mengejarnya. Dulu setiap dia menangis aku akan berusaha menghiburnya, tapi sekarang tidak lagi.

Entahlah, sekarang pandanganku tentang Amanda berubah. Sekarang aku malah berpikir dia tidaklah sebaik yang aku lihat dulu. Perkataan Mamah kini selalu terngiang-ngiang terus kalau Amanda tak berbeda jauh dengan ibunya.

Bahkan kini aku selalu membanding-bandingkan Amanda dengan Tiara. Meski Tiara dingin namun dia sangat ramah sekali pada orang lain. Dia pun selalu menjaga jarak dengan lelaki. Tidak seperti Amanda yang mudah bergaul bahkan tak segan bercanda dengan lawan jenis sampai melibatkan sentuhan tangan pada bahu, tangan atau paha lawan jenisnya. Dulu tingkah Amanda ini kuanggap karena dia memang orangnya supel, namun sekarang pola pikirku tentang Amanda berubah. Menjelang waktu pulang, pintu ruanganku terbuka. Aku menatap rekan kerja sekaligus rivalku dengan mimik muka datar.

ā€œKamu tadi apain Amanda?ā€ Firman datang dan langsung menginterogasiku.

ā€œMengusirnya karena dia hampir menggodaku.ā€

ā€œLang.ā€

ā€œPlis Firman, kamu tahu antara aku dan Manda pernah ada hubungan tapi kamu malah sengaja merekomendasikan dia. Kamu berharap agar kami CLBK gitu? Kamu ingin aku hancur karena dicap tukang selingkuh dan gak bisa melupakan mantan gitu? Hebat ya Fir.ā€

ā€œLang bukan gitu, maksud aku gak gitu. Aku kasihan sama Manda karena dia meminta pekerjaan untuknya. Kebetulan aku butuh sekretaris jadi aku ....ā€

ā€œDan membuat aku jadi korbannya gitu?ā€

ā€œLang.ā€

ā€œMakasih Fir, kamu berhasil. Aku tahu kita saingan dalam hal pekerjaan tapi caramu gak mutu tahu. Tapi tenang saja, hari ini hari terakhir aku di sini. Aku memutuskan membantu perusahaan Papah. Selamat ya Fir. Jabatan yang kamu inginkan, sebentar lagi akan kamu dapatkan. Satu saranku, hati-hati dengan Amanda. Ingat kamu punya anak dan istri. Jangan sampai apa yang terjadi pada Om Farhan juga terjadi sama kamu. Karena jika hal itu sampai terjadi, yang akan kamu dapatkan hanya penyesalan seumur hidup, sama seperti papahmu.ā€

Mimik muka Firman berubah, wajahnya memerah menahan kesal. Terlihat dia sangat tidak terima dengan perkataanku. Tapi masa bodoh, memang seperti itu kenyataannya.

ā€œMakasih untuk semuanya, maaf jika aku membuatmu merasa tersisih di perusahaan milik papahmu.ā€

Aku melenggang meninggalkan kantor yang hampir lima tahun ini menjadi tempatku mengasah kemampuan. Cukup aku merasa diserang terus dari belakang oleh Firman bahkan dengan menggunakan Amanda. Selama dua bulan ini aku mencoba bertahan karena memang aku berniat menyelesaikan proyek yang tengah menjadi tanggung jawabku. Om Farhan, ayah Firman sangat menyayangkan keputusanku tapi tak bisa berbuat banyak karena alasanku memang tepat.

Aku sengaja mampir ke toko roti milik istriku. Saat akan memasuki ruang pribadinya, kudengar dia tengah bercerita dengan Mamah. Lagi, kulihat senyum itu. Senyum yang membuatku jatuh cinta bahkan untuk kesekian kalinya. Heran, bayangan Amanda tak pernah lagi hadir bahkan lewat mimpiku. Semua sudah tergantikan oleh seorang Tiara.

ā€œHahaha. Eh, Gilang. Baru datang Nak?ā€

Aku sedikit kaget, rupanya Mamah menyadari kehadiranku. Aku pun masuk dan duduk di samping Tiara. Sengaja biar kami berdekatan. Lalu menjawab pertanyaan Mamah.

ā€œBaru saja Mah. Mamah sudah makan?ā€

ā€œNih, makan kue buatan istri kamu enak deh.ā€

ā€œIya. Memang enak. Dek, mas minta tolong ambilin brownis sama bolen ubinya ya?ā€ Aku sengaja mengerjainya. Aku tahu dia tidak akan berani bersikap dingin padaku.

ā€œDek.ā€ Sengaja kupanggil lagi namanya. Hehehe.

ā€œEh. Iya Mas,ā€ ucapnya sedikit gelagapan.

ā€œMakasih, Dek.ā€ Aku mengucapkan terima kasih dengan tulus setelah dia mengambilkan pesananku dan membawa secangkir kopi. Tiara tahu kalau aku ini pecinta kopi makanya sengaja membuatkan sekalian, mungkin biar gak aku kerjai terus. Hahaha.

Aku segera meminumnya. Hem ... ini bukan kopi buatannya. Kukerjai lagi ah.

ā€œHem ... kok beda yah?ā€ ucapku setelah meneguk kopinya.

ā€œBeda kenapa Nak?ā€ tanya Mamah.

ā€œRasa kopinya Mah. Pasti bukan kamu yang bikin?ā€ Aku menatap Tiara.

ā€œAku kok Mas yang bikin,ā€ elaknya.

ā€œBukan. Kopi bikinan kamu gak kayak gini.ā€ Aku pun bersikukuh.

ā€œTerserah.ā€

ā€œGanti, bikinin mas lagi yang baru,ā€ titahku tegas.

Meski bersungut-sungut Tiara membuatkan kopi lagi untukku.

ā€œMakasih,ā€ ucapku dengan menampilkan senyum manis.

Kemudian aku segera mencicipinya. Gila! Asin banget. Waduh! Rupanya aku dikerjai balik ini.

ā€œKenapa Mas? Mau dibikinin lagi?ā€ tanyanya dengan wajah kalem tanpa dosa.

ā€œE-enggak,ā€ jawabku.

ā€œOh. Soalnya kalau mau minta dibikinin lagi, aku gak tahu mesti bikin yang gimana lagi.ā€ Tiara masih memasang mimik muka polos.

ā€œGak usah ini udah pas kok.ā€

Sungguh terlalu sekali dia, mau tak mau aku terpaksa meminum kopi buatannya sampai habis.

ā€œMamah pergi dulu ya. Jangan Lupa besok ikut nginep di rumah eyangnya Gilang di Jogja. Soalnya kita mau ngadain peringatan kematiannya.ā€

ā€œIya Mah,ā€ jawab Tiara.

Setelah mobil Mamah menghilang, Aku langsung ngibrit berlari masuk ke dalam. Aku menuju dapur dan langsung mengambil air putih. Menenggaknya sampai tiga gelas. Lina dan pegawai yang lain keheranan melihat tingkahku. Kemudian aku masuk lagi ke ruangan Tiara.

ā€œKamu sengaja banget ya.ā€

Dia hanya melirikku sekilas lalu memilih membersihkan meja kerjanya. Astaga!

ā€œAku ā€˜kan cuma mau dibuatin kopi sama kamu, Tiara. Ya Allah berapa sendok garam yang kamu kasih sih?ā€ tanyaku.

Tiara masih tak bersuara, dia malah membawa gelas ke bagian dapur untuk dicuci. Ya Allah, sampai kapan bidadariku ini mau menerimaku. Akhirnya aku menjatuhkan pantatku pada sofa.

***

Mumpung tanggal merah, seperti biasa aku akan ikut bersepeda bersama teman-teman komunitasku. Karena nanti siang aku ada kepentingan makanya aku hanya bersepeda sebentar. Pukul delapan aku sudah sampai di rumah yang sepi. Hanya Tiara yang ada di rumah.

Karena punya kunci cadangan, dengan mudah aku memasuki rumah dan langsung menuju ke kamarku. Posisi pintu yang setengah terbuka menjadikan pintu tak bersuara saat aku melebarkannya agar aku bisa masuk.

Aku ternganga, mataku melotot melihat keindahan yang baru pertama kali kulihat. Apalagi saat Tiara menaruh kakinya di atas kursi sungguh ...? Agh, membuat sesuatu di dalam tubuhku terbangun dan ingin melepaskan diri dari sarang yang menutupinya. Sial!

Tiara yang kaget melihat kedatanganku, langsung berlari menuju kamar mandi. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan atau apa yang harus aku katakan? Tanpa sadar aku mendekati pintu kamar mandi, berusaha mengetuk pintu namun urung saat kudengar suara tangisan Tiara. Ya Allah, kenapa harus seperti ini? Kapan kebekuan di antara kami akan mencair ya Allah?

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status