š Gilang š
Menurut kalian lebih baik memiliki raganya tapi tidak hatinya atau memiliki hatinya tapi tidak raganya? Silakan kalian pilih karena untuk saat ini aku tidak punya pilihan alias mentok tembok jadi aku belum punya jalan keluar. Apalagi memilih.
Tiga bulan lamanya kami menikah, namun Tiara masih saja dingin kepadaku. Padahal aku sudah berusaha bersikap manis padanya. Yang membuatku sedih adalah sikapnya begitu hangat jika sedang bersama Mamah, Papah bahkan Hana. Dia bisa menjadi pribadi yang hangat bahkan selalu tersenyum.
Senyum itu, adalah senyum terindah yang pernah kulihat. Secara fisik, baik Tiara dan Amanda sama-sama cantik. Tapi entahlah, aku tidak mengerti dengan urusan hati. Sungguh aku akui aku telah jatuh cinta pada istriku karena senyumnya. Senyum tercantik yang pernah kulihat ternyata ada padanya. Sayang senyum itu tak pernah terbit untukku.
Berbagai cara kulakukan untuk membuatnya jatuh cinta, minimal menerima kehadiranku. Namun, masih gagal. Beruntung aku masih tinggal dengan Papah mertua sehingga kesempatan untuk berdekatan terbuka lebar jika kami berada dalam satu ruangan bersama Papah mertua.
Aku tahu Tiara akan berpikir kalau ciuman pertamanya diambil olehku di hadapan Papah saat hari ulang tahunnya. Padahal dia salah. Dia tak tahu jika setiap malam aku pasti mencium semua bagian wajahnya termasuk bibirnya yang tipis namun menggoda.
Tiara punya kebiasaan kalau sudah tidur seperti mayat hidup. Gak bakalan bangun walau ada suara bom di dekatnya. Kesempatan buatku. Hahaha. Terserah kalian mau mengataiku maling, toh aku maling sama istriku sendiri kok. Gak ada yang rugi malah aku yang happy bisa menikmati bibirnya yang menjadi candu buatku.
āMas Gilang.ā
Aku menatap ke arah Amanda yang memanggilku, bagaimana mungkin aku tak mendengar pintu yang dibuka? Kenapa dia harus sekantor denganku? Kurang ajar si Firman itu. Dia sengaja sepertinya, dialah yang merekomendasikan agar Amanda bekerja di sini sebagai sekretarisnya. Untung bukan sekretarisku.
āYa Manda. Ada apa?ā
āMakan siang, yuk.ā
āMaaf Manda, aku sudah bawa bekal.ā Aku mencoba beralasan.
āYa udah bekalnya dikasihkan ke orang lain saja, Pak Roni si satpam misalnya. Ayok kita keluar.ā
āSorry Manda. Plis jangan kayak gini. Aku sudah punya istri. Jangan buat aku menjadi lelaki jahat lagi, aku minta maaf karena tak berhasil memperjuangkanmu. Tapi aku mohon, kamu jangan berubah. Jadilah Manda yang tegar dan bermartabat,ā ucapku dengan nada lembut. Berharap apa yang aku ucapkan didengar oleh Amanda kali ini.
āAku gak butuh jadi bermartabat, toh semua orang akan menganggapku rendah karena kelakuan ibu dan kakakku. Jadi, kalau aku dianggap murahan. Aku gak peduli.ā
āAku peduli, Manda.ā Suaraku meninggi.
āKalau Mas peduli sama Manda, ayo kita balikan. Aku akan memaafkan Mas asal kita bisa selalu bersama. Manda bahkan rela walau harus jadi yang kedua.ā
Amanda mendekat ke arahku dan mencondongkan tubuhnya sehingga bagian dadanya hampir terlihat olehku namun aku segera bangkit.
āKeluar Amanda!ā
āMas ....ā Suaranya manja.
āKeluar!ā Kali ini suaraku lebih tinggi.
āJahat kamu, Mas.ā
Amanda pergi meninggalkan ruangan dengan berderai air mata. Aku sama sekali tak ingin mengejarnya. Dulu setiap dia menangis aku akan berusaha menghiburnya, tapi sekarang tidak lagi.
Entahlah, sekarang pandanganku tentang Amanda berubah. Sekarang aku malah berpikir dia tidaklah sebaik yang aku lihat dulu. Perkataan Mamah kini selalu terngiang-ngiang terus kalau Amanda tak berbeda jauh dengan ibunya.
Bahkan kini aku selalu membanding-bandingkan Amanda dengan Tiara. Meski Tiara dingin namun dia sangat ramah sekali pada orang lain. Dia pun selalu menjaga jarak dengan lelaki. Tidak seperti Amanda yang mudah bergaul bahkan tak segan bercanda dengan lawan jenis sampai melibatkan sentuhan tangan pada bahu, tangan atau paha lawan jenisnya. Dulu tingkah Amanda ini kuanggap karena dia memang orangnya supel, namun sekarang pola pikirku tentang Amanda berubah. Menjelang waktu pulang, pintu ruanganku terbuka. Aku menatap rekan kerja sekaligus rivalku dengan mimik muka datar.
āKamu tadi apain Amanda?ā Firman datang dan langsung menginterogasiku.
āMengusirnya karena dia hampir menggodaku.ā
āLang.ā
āPlis Firman, kamu tahu antara aku dan Manda pernah ada hubungan tapi kamu malah sengaja merekomendasikan dia. Kamu berharap agar kami CLBK gitu? Kamu ingin aku hancur karena dicap tukang selingkuh dan gak bisa melupakan mantan gitu? Hebat ya Fir.ā
āLang bukan gitu, maksud aku gak gitu. Aku kasihan sama Manda karena dia meminta pekerjaan untuknya. Kebetulan aku butuh sekretaris jadi aku ....ā
āDan membuat aku jadi korbannya gitu?ā
āLang.ā
āMakasih Fir, kamu berhasil. Aku tahu kita saingan dalam hal pekerjaan tapi caramu gak mutu tahu. Tapi tenang saja, hari ini hari terakhir aku di sini. Aku memutuskan membantu perusahaan Papah. Selamat ya Fir. Jabatan yang kamu inginkan, sebentar lagi akan kamu dapatkan. Satu saranku, hati-hati dengan Amanda. Ingat kamu punya anak dan istri. Jangan sampai apa yang terjadi pada Om Farhan juga terjadi sama kamu. Karena jika hal itu sampai terjadi, yang akan kamu dapatkan hanya penyesalan seumur hidup, sama seperti papahmu.ā
Mimik muka Firman berubah, wajahnya memerah menahan kesal. Terlihat dia sangat tidak terima dengan perkataanku. Tapi masa bodoh, memang seperti itu kenyataannya.
āMakasih untuk semuanya, maaf jika aku membuatmu merasa tersisih di perusahaan milik papahmu.ā
Aku melenggang meninggalkan kantor yang hampir lima tahun ini menjadi tempatku mengasah kemampuan. Cukup aku merasa diserang terus dari belakang oleh Firman bahkan dengan menggunakan Amanda. Selama dua bulan ini aku mencoba bertahan karena memang aku berniat menyelesaikan proyek yang tengah menjadi tanggung jawabku. Om Farhan, ayah Firman sangat menyayangkan keputusanku tapi tak bisa berbuat banyak karena alasanku memang tepat.
Aku sengaja mampir ke toko roti milik istriku. Saat akan memasuki ruang pribadinya, kudengar dia tengah bercerita dengan Mamah. Lagi, kulihat senyum itu. Senyum yang membuatku jatuh cinta bahkan untuk kesekian kalinya. Heran, bayangan Amanda tak pernah lagi hadir bahkan lewat mimpiku. Semua sudah tergantikan oleh seorang Tiara.
āHahaha. Eh, Gilang. Baru datang Nak?ā
Aku sedikit kaget, rupanya Mamah menyadari kehadiranku. Aku pun masuk dan duduk di samping Tiara. Sengaja biar kami berdekatan. Lalu menjawab pertanyaan Mamah.
āBaru saja Mah. Mamah sudah makan?ā
āNih, makan kue buatan istri kamu enak deh.ā
āIya. Memang enak. Dek, mas minta tolong ambilin brownis sama bolen ubinya ya?ā Aku sengaja mengerjainya. Aku tahu dia tidak akan berani bersikap dingin padaku.
āDek.ā Sengaja kupanggil lagi namanya. Hehehe.
āEh. Iya Mas,ā ucapnya sedikit gelagapan.
āMakasih, Dek.ā Aku mengucapkan terima kasih dengan tulus setelah dia mengambilkan pesananku dan membawa secangkir kopi. Tiara tahu kalau aku ini pecinta kopi makanya sengaja membuatkan sekalian, mungkin biar gak aku kerjai terus. Hahaha.
Aku segera meminumnya. Hem ... ini bukan kopi buatannya. Kukerjai lagi ah.
āHem ... kok beda yah?ā ucapku setelah meneguk kopinya.
āBeda kenapa Nak?ā tanya Mamah.
āRasa kopinya Mah. Pasti bukan kamu yang bikin?ā Aku menatap Tiara.
āAku kok Mas yang bikin,ā elaknya.
āBukan. Kopi bikinan kamu gak kayak gini.ā Aku pun bersikukuh.
āTerserah.ā
āGanti, bikinin mas lagi yang baru,ā titahku tegas.
Meski bersungut-sungut Tiara membuatkan kopi lagi untukku.
āMakasih,ā ucapku dengan menampilkan senyum manis.
Kemudian aku segera mencicipinya. Gila! Asin banget. Waduh! Rupanya aku dikerjai balik ini.
āKenapa Mas? Mau dibikinin lagi?ā tanyanya dengan wajah kalem tanpa dosa.
āE-enggak,ā jawabku.
āOh. Soalnya kalau mau minta dibikinin lagi, aku gak tahu mesti bikin yang gimana lagi.ā Tiara masih memasang mimik muka polos.
āGak usah ini udah pas kok.ā
Sungguh terlalu sekali dia, mau tak mau aku terpaksa meminum kopi buatannya sampai habis.
āMamah pergi dulu ya. Jangan Lupa besok ikut nginep di rumah eyangnya Gilang di Jogja. Soalnya kita mau ngadain peringatan kematiannya.ā
āIya Mah,ā jawab Tiara.
Setelah mobil Mamah menghilang, Aku langsung ngibrit berlari masuk ke dalam. Aku menuju dapur dan langsung mengambil air putih. Menenggaknya sampai tiga gelas. Lina dan pegawai yang lain keheranan melihat tingkahku. Kemudian aku masuk lagi ke ruangan Tiara.
āKamu sengaja banget ya.ā
Dia hanya melirikku sekilas lalu memilih membersihkan meja kerjanya. Astaga!
āAku ākan cuma mau dibuatin kopi sama kamu, Tiara. Ya Allah berapa sendok garam yang kamu kasih sih?ā tanyaku.
Tiara masih tak bersuara, dia malah membawa gelas ke bagian dapur untuk dicuci. Ya Allah, sampai kapan bidadariku ini mau menerimaku. Akhirnya aku menjatuhkan pantatku pada sofa.
***
Mumpung tanggal merah, seperti biasa aku akan ikut bersepeda bersama teman-teman komunitasku. Karena nanti siang aku ada kepentingan makanya aku hanya bersepeda sebentar. Pukul delapan aku sudah sampai di rumah yang sepi. Hanya Tiara yang ada di rumah.
Karena punya kunci cadangan, dengan mudah aku memasuki rumah dan langsung menuju ke kamarku. Posisi pintu yang setengah terbuka menjadikan pintu tak bersuara saat aku melebarkannya agar aku bisa masuk.
Aku ternganga, mataku melotot melihat keindahan yang baru pertama kali kulihat. Apalagi saat Tiara menaruh kakinya di atas kursi sungguh ...? Agh, membuat sesuatu di dalam tubuhku terbangun dan ingin melepaskan diri dari sarang yang menutupinya. Sial!
Tiara yang kaget melihat kedatanganku, langsung berlari menuju kamar mandi. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan atau apa yang harus aku katakan? Tanpa sadar aku mendekati pintu kamar mandi, berusaha mengetuk pintu namun urung saat kudengar suara tangisan Tiara. Ya Allah, kenapa harus seperti ini? Kapan kebekuan di antara kami akan mencair ya Allah?
*****
š Tiara šSemenjak kejadian handuk, aku semakin bersikap dingin bahkan di depan Papah. Aku tak peduli, aku merasa terhina sekali. Dalam bayanganku Gilang pasti bersorak karena melihat yang harusnya tak boleh dia lihat dan dia akan membandingkannya dengan Amanda.Dalam tiga bulan pernikahan kami, mau tak mau kadang kami harus seranjang terutama jika menginap di rumah mertua. Tapi kalau di rumah, aku tidak mau seranjang lagi dengan Gilang.Aku kini selalu tidur di ruang kerjaku, masa bodoh tubuhku harus menahan rasa sakit akibat tidur di sofa yang penting aku tidak seranjang dengannya.Selama seminggu ini, kami tak pernah bertegur sapa. Bahkan saat kami sedang perjalanan ke Jogja bersama keluarga besarnya aku memilih pura-pura tidur hingga mobil sampai di tempat tujuan.“Ayok Nduk, beginilah rumah orang tua papahnya Gilang. Masih model kuno. Sengaja dipertahankan seperti ini karena rumah ini menyimpan begitu banyak kenangan, ya &lsqu
š Gilang šAku senang sekali Tiara membelikanku kemeja batik. Bahkan malam harinya langsung aku pakai.“Kamu mau kemana, Lang?” tanya Budhe Narti.“Gak kemana-mana, Budhe.”“Kok pake batik?”“Gak papa kepingin aja.”“Ya ampun Mas, itu belum dicuci juga,” gerutu Hana.“Biarin.”“Mambu Mas.”“Ya gak usah cium-ciumlah. Gitu aja repot.”“Astaga! Mbak Tiara yang sabar ya sama kelakuan nyeleneh masku.”Kulihat Tiara hanya tersenyum kikuk. Ya Allah, kapan es batu dalam hati istriku mencair? Sungguh aku tersiksa.***“Baru pulang kerja, Lang?”“Iya Pah. Tiara mana?”“Tadi di depan, kayaknya beli sesuatu di warung Pak Ulin.”“Oh.”Aku tengah mencopot sepatuku ketikaPapah mengajakku bicara serius.&
š Tiara šAku tersipu malu. Astaga apa yang baru kulakukan? Kenapa aku membalas ciumannya? Bodoh! Daripada memikirkan kejadian tadi aku lebih memilih mengangkat teleponku.“Ya Halo?”“Mbak Tiara?”“Kenapa Asih. Tumben nelepon?”“Budhe, Mbak Tiara. Budhe sakit. Sekarang ada di rumah sakit.”Aku kaget untuk beberapa saat kemudian menarik napasku pelan.“Ya sudah, aku akan ke sana.”“Baik, Mbak.”Aku berbalik dan kaget karena hampir saja menabrak Gilang. Ngapain tuh cowok di belakangku.“Kenapa?” tanya Gilang penasaran.“Mamahku sakit, aku harus ke Semarang malam ini juga.”“Ya udah ayuk.”“Ayuk kemana?” Aku mengernyit bingung.“Ke Semarang lah tapi sebelumnya kita pulang dulu.” Akumasih bingung. Maksudnya apa?“Tiar, ini mau dibereskan ap
Aku tengah merenung di dekat kandang ayam milik Paklik Widodo, ayahnya Asih. Aku meratapi nasibku yang sudah dibuka segelnya. Astaga! Kenapa aku diam saja? Kenapa juga aku sangat menikmatinya. Ya Tuhan Tiara, kamu kenapa?Hampir satu jam aku duduk di atas dingklik atau jengkok (kursi kecil). Setelah mengurus Mamah dan menyuapinya aku langsung bersembunyi di sini. Aku sangat malu jika harus bertemu dengan Gilang pun dengan anggota keluarga yang lain. Aku bahkan sengaja memakai sweater dengan bagian leher yang tertutup karena leherku penuh dengan tanda merah buatan Gilang.“Di sini rupanya! Aku cari-cari dari tadi loh.”Aku kaget, lalu menoleh ke sumber suara. Gilang berjongkok di depanku, kemudian menatapku dengan tatapan menghujam namun lembut. Aku gugup dan segera memalingkan muka.“Hahaha.”Gilang tertawa tapi aku memilih tetap memalingkan muka.“Terima kasih ya, beneran acara buka segel yang luar biasa. Kamu
š Gilang šAku masih merengkuh istriku, Tiara. Padahal kemarin aku sangat bahagia karena bisa memiliki raganya. Aku segera menggendong Tiara dan merebahkannya di atas ranjang. Kubelai rambutnya penuh sayang dan kuhapus air matanya dengan kecupan. Aku bahkan mengecup bibirnya mesra. Hingga kurasakan kecupan balik.Entah dorongan darimana kecupan itu berubah menjadi semakin panas dan sekali lagi aku dan Tiara menyatu dalam gairah panas yang selalu didamba pasangan halal.Keesokan harinya aku terbangun dan tak kudapati Tiara di sampingku. Aku panik, takut Tiara melakukan hal-hal yang nekat. Aku langsung asal memakai baju dan segera mencari Tiara.Kegelisahanku sirna tatkala melihat Tiara dengan telaten tengah menyeka Mamah. Aku pun kembali ke kamar dan segera memutuskan mandi, tepatnya mandi junub dan melaksanakan salat subuh.***“Iya Lang?”“Papah sehat?”“Alhamdulillah. Tiara bagaimana?”
š Tiara šHampa. Itulah yang kurasakan beberapa hari ini semenjak kematian Mamah. Meski aku masih membencinya, tapi jauh di lubuk hatiku, aku sungguh menyayanginya.Kami sudah kembali ke Purwokerto pada hari kedelapan setelah kematian Mamah. Aku masih belum bekerja, pikiran dan tenagaku sungguh tak tersisa. Tiga hari ini aku hanya bergelung di kasur tanpa melakukan apapun. Papah, Gilang, dan Mamah Gita sering sekali menghiburku. Namun, aku masih dirundung kesedihan. Aku masih belum mampu untuk lepas dari kesedihanku.Gilang dan Papah semakin protektif padaku, terutama Gilang. Semenjak dia tahu aku mengkonsumsi pil penenang, dia semakin posesif. Aku sungguh membencinya tapi sisi hatiku yang lain menyukainya.“Tiar.”“Pah.”Papah mendekatiku dan duduk di tepi ranjang.“Kamu jangan seperti ini Tiar. Bagaimana pun kamu harus terus hidup. Papah tahu kamu menyayangi mamah kamu terlepas apapun kesalahan yang d
Kamu mau makan apa?” Suara Gilang terdengar lembut sekali. Aku menggeleng.“Ngemil ya. Kamu mau buah atau apa?”Aku menatap Gilang yang juga menatapku dengan binar mata yang tak bisa kudefinisikan.“Mau soto Mbah Man,” sahutku lirih.“Oke. Tunggu ya.”Gilang mengecup keningku lama lalu segera pergi mencari makanan yang kuinginkan. Tak kurang dari setengah jam, Gilang sudah kembali dengan dua mangkok soto.“Makan ya? Aku suapin.”“Gak. Aku bisa sendiri.”“Baiklah.”Aku mulai makan dengan pelan, alhamdulillah ternyata perutku gak mual. Kulirik Gilang yang juga tengah melahap sotonya. Entah kenapa air liurku jadi menetes.“Kenapa?” tanyanya.“Tukeran.”“Hah?”“Tukeran,” rengekku manja.Meski heran Gilang manut saja dan akhirnya aku menghabiskan soto milik Gilang den
š Gilang šAku masih mengusap lembut kepala Tiara, tak lupa menyanyikan lagu nina bobo dengan suara sumbang. Aku sama sekali tak punya bakat menyanyi namun entah kenapa semenjak hamil Tiara tak pernah bisa tidur tanpa kehadiranku. Ya Allah, kamu gemesin banget Dek.Meski aku tahu ini pengaruh hormon kehamilan tapi aku senang. Setidaknya kehamilan Tiara membuat kami dekat. Jujur, aku sangat bahagia mengetahui Tiara hamil. Rupanya apa yang kami lakukan setiap malam melahirkan benih di rahim Tiara.Semenjak pulang dari Semarang, Tiaraselalu murung, hampir setiap hari aku dan Papah memberinya semangat hingga tanpa sengaja keadaan membuat kami harus menyatu lagi. Dan setelahnya hampir setiap malam kami selalu menyatu. Tentu aku yang memulainya. Meski sedikit memaksa toh akhirnya Tiara mau juga bahkan menikmatinya. Hahaha.Alhamdulillah, hanya butuh waktu satu bulan Tiara hamil juga. Hem ... andai pernikahan kami bukan karena perjodohan mungkin Tiara su