🍁 Gilang 🍁
Menurut kalian lebih baik memiliki raganya tapi tidak hatinya atau memiliki hatinya tapi tidak raganya? Silakan kalian pilih karena untuk saat ini aku tidak punya pilihan alias mentok tembok jadi aku belum punya jalan keluar. Apalagi memilih.
Tiga bulan lamanya kami menikah, namun Tiara masih saja dingin kepadaku. Padahal aku sudah berusaha bersikap manis padanya. Yang membuatku sedih adalah sikapnya begitu hangat jika sedang bersama Mamah, Papah bahkan Hana. Dia bisa menjadi pribadi yang hangat bahkan selalu tersenyum.
Senyum itu, adalah senyum terindah yang pernah kulihat. Secara fisik, baik Tiara dan Amanda sama-sama cantik. Tapi entahlah, aku tidak mengerti dengan urusan hati. Sungguh aku akui aku telah jatuh cinta pada istriku karena senyumnya. Senyum tercantik yang pernah kulihat ternyata ada padanya. Sayang senyum itu tak pernah terbit untukku.
Berbagai cara kulakukan untuk membuatnya jatuh cinta, minimal menerima kehadiranku. Namun, masih gagal. Beruntung aku masih tinggal dengan Papah mertua sehingga kesempatan untuk berdekatan terbuka lebar jika kami berada dalam satu ruangan bersama Papah mertua.
Aku tahu Tiara akan berpikir kalau ciuman pertamanya diambil olehku di hadapan Papah saat hari ulang tahunnya. Padahal dia salah. Dia tak tahu jika setiap malam aku pasti mencium semua bagian wajahnya termasuk bibirnya yang tipis namun menggoda.
Tiara punya kebiasaan kalau sudah tidur seperti mayat hidup. Gak bakalan bangun walau ada suara bom di dekatnya. Kesempatan buatku. Hahaha. Terserah kalian mau mengataiku maling, toh aku maling sama istriku sendiri kok. Gak ada yang rugi malah aku yang happy bisa menikmati bibirnya yang menjadi candu buatku.
“Mas Gilang.”
Aku menatap ke arah Amanda yang memanggilku, bagaimana mungkin aku tak mendengar pintu yang dibuka? Kenapa dia harus sekantor denganku? Kurang ajar si Firman itu. Dia sengaja sepertinya, dialah yang merekomendasikan agar Amanda bekerja di sini sebagai sekretarisnya. Untung bukan sekretarisku.
“Ya Manda. Ada apa?”
“Makan siang, yuk.”
“Maaf Manda, aku sudah bawa bekal.” Aku mencoba beralasan.
“Ya udah bekalnya dikasihkan ke orang lain saja, Pak Roni si satpam misalnya. Ayok kita keluar.”
“Sorry Manda. Plis jangan kayak gini. Aku sudah punya istri. Jangan buat aku menjadi lelaki jahat lagi, aku minta maaf karena tak berhasil memperjuangkanmu. Tapi aku mohon, kamu jangan berubah. Jadilah Manda yang tegar dan bermartabat,” ucapku dengan nada lembut. Berharap apa yang aku ucapkan didengar oleh Amanda kali ini.
“Aku gak butuh jadi bermartabat, toh semua orang akan menganggapku rendah karena kelakuan ibu dan kakakku. Jadi, kalau aku dianggap murahan. Aku gak peduli.”
“Aku peduli, Manda.” Suaraku meninggi.
“Kalau Mas peduli sama Manda, ayo kita balikan. Aku akan memaafkan Mas asal kita bisa selalu bersama. Manda bahkan rela walau harus jadi yang kedua.”
Amanda mendekat ke arahku dan mencondongkan tubuhnya sehingga bagian dadanya hampir terlihat olehku namun aku segera bangkit.
“Keluar Amanda!”
“Mas ....” Suaranya manja.
“Keluar!” Kali ini suaraku lebih tinggi.
“Jahat kamu, Mas.”
Amanda pergi meninggalkan ruangan dengan berderai air mata. Aku sama sekali tak ingin mengejarnya. Dulu setiap dia menangis aku akan berusaha menghiburnya, tapi sekarang tidak lagi.
Entahlah, sekarang pandanganku tentang Amanda berubah. Sekarang aku malah berpikir dia tidaklah sebaik yang aku lihat dulu. Perkataan Mamah kini selalu terngiang-ngiang terus kalau Amanda tak berbeda jauh dengan ibunya.
Bahkan kini aku selalu membanding-bandingkan Amanda dengan Tiara. Meski Tiara dingin namun dia sangat ramah sekali pada orang lain. Dia pun selalu menjaga jarak dengan lelaki. Tidak seperti Amanda yang mudah bergaul bahkan tak segan bercanda dengan lawan jenis sampai melibatkan sentuhan tangan pada bahu, tangan atau paha lawan jenisnya. Dulu tingkah Amanda ini kuanggap karena dia memang orangnya supel, namun sekarang pola pikirku tentang Amanda berubah. Menjelang waktu pulang, pintu ruanganku terbuka. Aku menatap rekan kerja sekaligus rivalku dengan mimik muka datar.
“Kamu tadi apain Amanda?” Firman datang dan langsung menginterogasiku.
“Mengusirnya karena dia hampir menggodaku.”
“Lang.”
“Plis Firman, kamu tahu antara aku dan Manda pernah ada hubungan tapi kamu malah sengaja merekomendasikan dia. Kamu berharap agar kami CLBK gitu? Kamu ingin aku hancur karena dicap tukang selingkuh dan gak bisa melupakan mantan gitu? Hebat ya Fir.”
“Lang bukan gitu, maksud aku gak gitu. Aku kasihan sama Manda karena dia meminta pekerjaan untuknya. Kebetulan aku butuh sekretaris jadi aku ....”
“Dan membuat aku jadi korbannya gitu?”
“Lang.”
“Makasih Fir, kamu berhasil. Aku tahu kita saingan dalam hal pekerjaan tapi caramu gak mutu tahu. Tapi tenang saja, hari ini hari terakhir aku di sini. Aku memutuskan membantu perusahaan Papah. Selamat ya Fir. Jabatan yang kamu inginkan, sebentar lagi akan kamu dapatkan. Satu saranku, hati-hati dengan Amanda. Ingat kamu punya anak dan istri. Jangan sampai apa yang terjadi pada Om Farhan juga terjadi sama kamu. Karena jika hal itu sampai terjadi, yang akan kamu dapatkan hanya penyesalan seumur hidup, sama seperti papahmu.”
Mimik muka Firman berubah, wajahnya memerah menahan kesal. Terlihat dia sangat tidak terima dengan perkataanku. Tapi masa bodoh, memang seperti itu kenyataannya.
“Makasih untuk semuanya, maaf jika aku membuatmu merasa tersisih di perusahaan milik papahmu.”
Aku melenggang meninggalkan kantor yang hampir lima tahun ini menjadi tempatku mengasah kemampuan. Cukup aku merasa diserang terus dari belakang oleh Firman bahkan dengan menggunakan Amanda. Selama dua bulan ini aku mencoba bertahan karena memang aku berniat menyelesaikan proyek yang tengah menjadi tanggung jawabku. Om Farhan, ayah Firman sangat menyayangkan keputusanku tapi tak bisa berbuat banyak karena alasanku memang tepat.
Aku sengaja mampir ke toko roti milik istriku. Saat akan memasuki ruang pribadinya, kudengar dia tengah bercerita dengan Mamah. Lagi, kulihat senyum itu. Senyum yang membuatku jatuh cinta bahkan untuk kesekian kalinya. Heran, bayangan Amanda tak pernah lagi hadir bahkan lewat mimpiku. Semua sudah tergantikan oleh seorang Tiara.
“Hahaha. Eh, Gilang. Baru datang Nak?”
Aku sedikit kaget, rupanya Mamah menyadari kehadiranku. Aku pun masuk dan duduk di samping Tiara. Sengaja biar kami berdekatan. Lalu menjawab pertanyaan Mamah.
“Baru saja Mah. Mamah sudah makan?”
“Nih, makan kue buatan istri kamu enak deh.”
“Iya. Memang enak. Dek, mas minta tolong ambilin brownis sama bolen ubinya ya?” Aku sengaja mengerjainya. Aku tahu dia tidak akan berani bersikap dingin padaku.
“Dek.” Sengaja kupanggil lagi namanya. Hehehe.
“Eh. Iya Mas,” ucapnya sedikit gelagapan.
“Makasih, Dek.” Aku mengucapkan terima kasih dengan tulus setelah dia mengambilkan pesananku dan membawa secangkir kopi. Tiara tahu kalau aku ini pecinta kopi makanya sengaja membuatkan sekalian, mungkin biar gak aku kerjai terus. Hahaha.
Aku segera meminumnya. Hem ... ini bukan kopi buatannya. Kukerjai lagi ah.
“Hem ... kok beda yah?” ucapku setelah meneguk kopinya.
“Beda kenapa Nak?” tanya Mamah.
“Rasa kopinya Mah. Pasti bukan kamu yang bikin?” Aku menatap Tiara.
“Aku kok Mas yang bikin,” elaknya.
“Bukan. Kopi bikinan kamu gak kayak gini.” Aku pun bersikukuh.
“Terserah.”
“Ganti, bikinin mas lagi yang baru,” titahku tegas.
Meski bersungut-sungut Tiara membuatkan kopi lagi untukku.
“Makasih,” ucapku dengan menampilkan senyum manis.
Kemudian aku segera mencicipinya. Gila! Asin banget. Waduh! Rupanya aku dikerjai balik ini.
“Kenapa Mas? Mau dibikinin lagi?” tanyanya dengan wajah kalem tanpa dosa.
“E-enggak,” jawabku.
“Oh. Soalnya kalau mau minta dibikinin lagi, aku gak tahu mesti bikin yang gimana lagi.” Tiara masih memasang mimik muka polos.
“Gak usah ini udah pas kok.”
Sungguh terlalu sekali dia, mau tak mau aku terpaksa meminum kopi buatannya sampai habis.
“Mamah pergi dulu ya. Jangan Lupa besok ikut nginep di rumah eyangnya Gilang di Jogja. Soalnya kita mau ngadain peringatan kematiannya.”
“Iya Mah,” jawab Tiara.
Setelah mobil Mamah menghilang, Aku langsung ngibrit berlari masuk ke dalam. Aku menuju dapur dan langsung mengambil air putih. Menenggaknya sampai tiga gelas. Lina dan pegawai yang lain keheranan melihat tingkahku. Kemudian aku masuk lagi ke ruangan Tiara.
“Kamu sengaja banget ya.”
Dia hanya melirikku sekilas lalu memilih membersihkan meja kerjanya. Astaga!
“Aku ‘kan cuma mau dibuatin kopi sama kamu, Tiara. Ya Allah berapa sendok garam yang kamu kasih sih?” tanyaku.
Tiara masih tak bersuara, dia malah membawa gelas ke bagian dapur untuk dicuci. Ya Allah, sampai kapan bidadariku ini mau menerimaku. Akhirnya aku menjatuhkan pantatku pada sofa.
***
Mumpung tanggal merah, seperti biasa aku akan ikut bersepeda bersama teman-teman komunitasku. Karena nanti siang aku ada kepentingan makanya aku hanya bersepeda sebentar. Pukul delapan aku sudah sampai di rumah yang sepi. Hanya Tiara yang ada di rumah.
Karena punya kunci cadangan, dengan mudah aku memasuki rumah dan langsung menuju ke kamarku. Posisi pintu yang setengah terbuka menjadikan pintu tak bersuara saat aku melebarkannya agar aku bisa masuk.
Aku ternganga, mataku melotot melihat keindahan yang baru pertama kali kulihat. Apalagi saat Tiara menaruh kakinya di atas kursi sungguh ...? Agh, membuat sesuatu di dalam tubuhku terbangun dan ingin melepaskan diri dari sarang yang menutupinya. Sial!
Tiara yang kaget melihat kedatanganku, langsung berlari menuju kamar mandi. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan atau apa yang harus aku katakan? Tanpa sadar aku mendekati pintu kamar mandi, berusaha mengetuk pintu namun urung saat kudengar suara tangisan Tiara. Ya Allah, kenapa harus seperti ini? Kapan kebekuan di antara kami akan mencair ya Allah?
*****
Menjalani kehidupan berumah tangga itu bagaikan naik roller coaster. Kadang naik, kadang turun, kadang landai lintasannya. Namun, semua itu selalu disyukuri oleh pasangan Shaka dan Safa. Meski terkadang keributan selalu ada tetapi mereka bersyukur, rasa cinta yang awalnya tak ada kini begitu tersemai membuat masing-masing tak pernah menyalahkan masa lalu mereka.Ya, meski pertemuan keduanya tidak baik hingga melakukan kesalahan fatal. Tetapi keduanya bertekad untuk menjalani rumah tangga dengan lebih baik. Safa yang selama ini selalu menganggap jika kisah percintaannya selalu berakhir tragis, akhirnya menemukan muara cintanya. Dia adalah Shaka. Lelaki baik yang mampu menjadikannya ratu di rumah. Meski kadang suaminya sedikit menyebalkan tetapi Safa tetap cinta. Orang kan gak ada yang sempurna termasuk dirinya. Asal dia jangan diduakan, itu sudah jadi harga mati.Dan Shaka yang selalu dibayangi kesalahan sang ayah, kini menemukan cintanya. Dia adalah Safa. Safa yang telah membuatnya ja
Hampir dua minggu Shaka dirawat setelah sadar dari komanya. Kini Shaka mulai berlatih berjalan dengan bantuan tongkat kruk. Selama seminggu sekali dia harus kontrol hingga pada bulan ketiga setelah dia sadar, Shaka sudah bisa berjalan dengan lancar meski kadang-kadang masih merasakan nyeri pada kaki yang pernah terluka.Hari ini, adalah hari persidangan akhir dari Firman untuk kasus pembunuhan berencana terhadap Amanda dan calon suaminya. Shaka datang bersama Safa, Ajeng, Ari, Revan, Gilang, Erik dan Radit.Sidang berjalan lancar karena Firman sepertinya sudah pasrah. Setelah pembacaan putusan sidang, hakim kepala mengetuk palu sebagai tanda berakhirnya sidang. Shaka menemui Firman. Firman menatap Shaka dengan penuh amarah."Puas kamu. Puas kalian?!" teriaknya dari balik kursi roda. Cedera kaki Firman lebih parah dari Shaka sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk penyembuhan.Firman terus mengumpati Shaka namun balasan Shaka adalah sebuah pelukan. Membuat Firman terdiam. Bahk
Shaka membuka matanya. Ternyata dia berada di sebuah taman yang indah. Shaka mengelilingi taman guna mencari seseorang yang bisa dia tanyai. Shaka merasa heran. Dia merasa asing dengan tempat yang dia datangi saat ini."Aku dimana? Bukannya aku kecelakaan. Safa mana?"Shaka terus saja berkeliling hingga tatapannya tertuju pada sosok lelaki yang sedang duduk di bawah pohon rindang dengan memangku seorang gadis kecil. Shaka berjalan ke arahnya. "Pak maaf. Apa Ba—"Lelaki yang dipanggil oleh Shaka mendongakkan wajah lalu tersenyum. Shaka sendiri hanya bisa mengatupkan bibirnya. Cukup lama Shaka berada dalam keterdiaman pun lelaki tua di depannya dan sosok gadis cilik yang dengan santai bergelayut manja pada pangkuan sang kakek."Kakek, aku rindu Mamah.""Iya sayang, ayok kita temui ibumu."Lelaki itu berdiri, dia menggenggam tangan si gadis cilik, bersama-sama keduanya berbalik. Baru tiga langkah kedua pasangan itu melangkah namun dicegah oleh Shaka."Tunggu. Kalian mau kemana?"Lelaki
Revan menatap sinis pada Bayu dan Farhan. Mereka semua dipanggil ke kantor polisi terkait peristiwa tabrak lari yang dialami Shaka dan Safana. Polisi sudah menindaklanjuti laporan Revan, bahkan bukti-bukti sudah sampai di hadapan penyidik. Revan tentu saja tersenyum puas. Sudah bisa dipastikan dua orang itu akan di penjara setelah keluar dari rumah sakit. Revan sudah mendapatkan kabar jika Firman sudah sadar. Dan itu bagus. Polisi jadi bisa langsung menindak si biang onar."Jadi begitulah, Pak Farhan dan Pak Bayu. Semua bukti mengarah pada Saudara Firman terkait kecelakaan yang dialami Saudara Shaka dan istrinya. Dan satu hal lagi. Pihak kepolisian Surabaya sudah berhasil menangkap Saudara Hari. Saudara Hari sudah memberikan keterangan sejelas-jelasnya perihal kematian Saudari Amanda dan calon suaminya. Dan tentu saja, Pak Farhan pasti paham maksud saya."Sang penyelidik berhenti bicara. Dia sengaja menjeda kalimatnya. Farhan hanya bisa menunduk pasrah."Iya Pak.""Kami akan terus me
Ajeng sedang menangis di bahu sang suami. Pun dengan Andini. Dia bahkan sempat pingsan saat mendengar anak dan menantunya mengalami musibah.Revan yang baru datang bersama Alif langsung menuju TKP. Kini, keduanya sedang mendengarkan kronologi kejadian yang menimpa adiknya dari salah satu petugas."Tabrak lari?" tanya Revan."Iya, Pak. Berdasarkan rekaman CCTV, di sekitar jalan yang dilewati Ibu Safa dan Pak Shaka, terekam jelas jika mobil sempat berhenti lalu tiba-tiba melaju kencang saat kedua korban hendak menyeberang.""Kurang ajar. Plat nomernya bisa dilacak?""Sedang dilacak, Pak. Kebetulan plat nomernya terbaca di CCTV. Beberapa korban yang lain juga sempat memotretnya."Revan manggut-manggut. Sang polisi pamit untuk kembali bertugas. Sementara Revan dan Alif segera masuk ke rumah sakit dan segera menuju ruang IGD rumah sakit Bunda Kasih."Pah, Mah. Om, Tante. Gimana Safa sama Shaka?"Andini langsung memeluk putranya. Dia menceritakan kondisi Safa dan Shaka."Keponakanku gimana?
Firman melempar ponselnya dengan keras. Beruntung ponselnya adalah ponsel mahal sehingga tahan banting. Dia marah karena lagi-lagi akan masuk ke dalam penjara. Pasal yang ditujukan padanya saat ini adalah pencemaran nama baik, pelaku video mesum dan penyebarnya. Sementara Diana yang duduk di sofa apartemennya hanya bisa menunduk. Dia pun akan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pelaku video mesum."Argh. Pengacara yang disewa kamu itu kenapa bisa kalah? Kamu bilang dia salah satu pengacara terbaik. Kenapa bisa kalah?""A-aku gak tahu.""Arghhhh!"Firman membanting apa saja yang ada di apartemennya. Diana sendiri lebih memilih diam. Sesekali mengelus perutnya. Ponsel Firman kembali berdering. Dengan malas-malasan dia berjalan menuju dimana ponselnya tergeletak. Nama yang tertera di layar membuat Firman mengernyit, dia segera mengangkat ponselnya."Hai, Bro. Ada a—""Polisi sudah menemukan bukti keterlibatan kamu dalam kematian Amanda dan calon suaminya. Oran