Genap tiga bulan pernikahanku dengan Gilang. Namun, hubungan kami masih dingin. Lebih tepatnya akulah yang menjarak. Gilang selalu berusaha mencairkan kecanggungan kami. Tapi aku memilih menutup mata, telinga dan hati. Masa bodoh, kalau dia lelah pasti dia akan menceraikanku. Apalagi aku tahu jika Amanda sudah kembali dan bekerja di kantor yang sama dengannya.
Dan aku pun tahu, Amanda tengah berupaya merebut Gilang dariku. Baguslah, biarkan si pelakor beraksi. Sebentar lagi buaya cap badak bakalan terpikat. Dan aku akan melenggang bebas, sendiri seperti dulu.
Beberapa kali Mamah memintaku mengunjunginya, namun tak pernah kugubris. Aku selalu berpikir aku tak butuh ibu seperti dia, lagian aku masih mempunyai ayah yang menyayangiku setulus hati. Suami? Halah, sebentar lagi paling juga lari ke pelukan mantannya.
“Tiara?”
“Mamah. Kapan datang?” ternyata Mamah mertua yang datang.
“Baru saja. Wah, toko roti kamu semakin rame ya?”
“Alhamdulilah. Masuk Mamah.”
“Iya.”
Kuajak Mamah mertuaku menuju ke ruangan pribadiku. Kami mengobrol banyak hal. Meski aku bersikap dingin pada putranya, aku selalu bersikap hangat pada kedua mertuaku dan adik iparku, Hana yang masih kuliah semester empat.
“Hahaha. Ya Allah, Tiar kamu ini ada-ada aja, Nduk.”
“Ya mau gimana lagi Mah, si pelanggan itu bilang rotiku gak enak dan kadaluarsa, pake bikin statement ini itu segala lagi. Ya udah, besoknya aku kirimin semua jenis roti dan kue yang ada di tempatku ke tempat kerjanya atas nama si pelanggan resek itu. Hahaha. Dia malu, Mah. Rupanya dia sengaja mau menjatuhkan nama aku gara-gara cemburu pacarnya bilang kue bikinannya gak seenak bikinanku. Aneh ‘kan. Mah.”
“Hahaha. Ada-ada saja. Eh, gak rugi kamu?”
“Rugi jelas ada Mah. Tapi sebanding sama pesanan hari berikut dan berikutnya lagi yang membludak,” jawabku ceria.
“Hahaha. Eh, Gilang. Baru datang, Nak?”
Aku menoleh ke belakang, ck kapan sih dia datang kok aku gak tahu. Sebal! Kenapa dia harus datang sih? Gerutuku dalam hati.
“Baru saja Mah. Mamah sudah makan?”
“Nih, makan kue buatan istri kamu enak deh.”
“Iya. Memang enak. Dek, mas minta tolong ambilin brownis sama bolen ubinya ya?”
Cih! Dia memang pandai mencari kesempatan. Bukan sekali ini saja dia seperti itu. Setiap hari di depan Papah, dia akan mencari kesempatan agar bisa memelukku, mencium pipi, kening bahkan pernah dia mencuri ciuman pertamaku. Menyebalkan sekali. Dia tahu aku tak akan banyak ulah jika di depan Papah. Kurang ajar sekali dia.
“Dek.”
“Eh. Iya, Mas.” Hoek! Dalam hati aku ingin muntah ketika memanggilnya dengan sebutan 'mas'.
Aku pun mengambilkan pesanannya dan juga membuatkan secangkir kopi untuknya. Bukan aku yang bikin kopinya sih tapi Lina.
“Makasih, Dek.” Gilang tersenyum laksana buaya yang menganga mau menerkam mangsa. Hoek. Pengen muntah lagi rasanya.
“Hem ... kok beda yah?” ucap Gilang setelah meneguk kopinya.
“Beda kenapa, Nak?”
“Rasa kopinya, Mah? Pasti bukan kamu yang bikin?”
Dasar. Kenapa dia bisa tahu?
“Aku kok Mas yang bikin,” elakku.
“Bukan. Kopi bikinan kamu gak kayak gini.”
“Terserah.”
“Ganti, bikinin mas lagi yang baru.”
Aku mendelik ke arah Gilang. Kurang ajar sekali dia. Dia sengaja mengerjaiku rupanya. Lihatlah senyum jahilnya.
Aku pun segera ke dapur membuat kopi lagi namun sengaja bukan gula yang kumasukkan tapi garam. Biarkan saja, salah siapa jahil.
“Makasih,” ucapnya dengan menampilkan senyum manis.
Gilang terkejut saat meminum kopi buatanku. Rasakan!
“Kenapa Mas? Mau dibikinin lagi?” tanyaku kalem.
“E-enggak.”
“Oh ... soalnya kalau mau minta dibikinin lagi aku gak tahu mesti bikin yang gimana lagi.”
“Gak usah ini udah pas kok.”
Hahaha. Iyalah pas. Pas asinnya. Rasakan dua sendok garam, nikmat kan? Aku sengaja semakin mengerjainya dengan membuatnya meminum kopi buatanku sampai habis dihadapan Mamah mertua. Hahaha. Sungguh bahagia sekali hatiku.
“Mamah pergi dulu ya. Jangan Lupa besok ikut nginep di rumah eyangnya Gilang di Jogja. Soalnya kita mau ngadain peringatan kematiannya.”
“Iya Mah,” jawabku.
Kami mengantar Mamah mertua sampai mobilnya tak terlihat lagi. Setelah mobil Mamah menghilang, Gilang langsung ngibrit berlari masuk ke dalam. Syukurin!
“Kamu sengaja banget ya.”
Aku hanya meliriknya sekilas lalu memilih membersihkan meja kerjaku.
“Aku ‘kan cuma minta dibuatin kopi sama kamu, Tiara. Ya Allah berapa sendok garam yang kamu kasih sih?” Gilang masih melet-melet, rasain kau.
Aku masih tak bersuara dan membawa gelas ke bagian dapur untuk dicuci.
***
Huft. Segarnya. Aku baru saja mandi dan keramas. Pun tadi aku habis luluran. Mumpung tanggal merah dan toko sedang tutup. Iya, aku meliburkan karyawanku setiap hari minggu dan tanggal merah.
Gilang sedang ada acara dengan teman-teman komunitas sepedanya. Biasanya jam 11-an dia baru pulang. Papah sendiri sedang berkumpul dengan para kawannya untuk memancing di kolam pemancingan. Sedangkan Mbak Iyem sedang pulang kampung. Praktis aku sendirian di rumah.
Aku masih menikmati mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk. Aku mengerling ke arah jam dinding, hem ... baru jam delapan rupanya.
Aku mengambil tabir surya dan kuoleskan ke seluruh tangan, bahu dan tubuhku bagian atas lalu menaikkan sebelah kakiku ke atas sofa lalu mulai mengoleskan lagi hingga kebagian paha. Otomatis handukku sedikit tersingkap. Lalu kulakukan lagi untuk kaki sebelahanya. Selesai perawatan rumahan, aku membalikkan badanku dan ... OMG! Pandangan mataku menangkap seseorang yang menatapku tanpa berkedip, aku langsung menyilangkan tangan ke dada.
Tidak! Aku segera berlari menuju ke kamar mandi. Ya Tuhan, aku telah mempertontonkan beberapa bagian rahasiaku sama buaya cap badak. Aku melorot dan jatuh terduduk di lantai kamar mandi. Kemudian menangis lirih. Dalam hati aku terus mengumpat dan merutuki diri sendiri. Bodoh! Bodoh! Pasti dia kesenangan dan akan membandingkannya dengan Amandanya itu. Sial! Aku benci dibanding-bandingkan.
*****
🍁 Gilang 🍁Menurut kalian lebih baik memiliki raganya tapi tidak hatinya atau memiliki hatinya tapi tidak raganya? Silakan kalian pilih karena untuk saat ini aku tidak punya pilihan alias mentok tembok jadi aku belum punya jalan keluar. Apalagi memilih.Tiga bulan lamanya kami menikah, namun Tiara masih saja dingin kepadaku. Padahal aku sudah berusaha bersikap manis padanya. Yang membuatku sedih adalah sikapnya begitu hangat jika sedang bersama Mamah, Papah bahkan Hana. Dia bisa menjadi pribadi yang hangat bahkan selalu tersenyum.Senyum itu, adalah senyum terindah yang pernah kulihat. Secara fisik, baik Tiara dan Amanda sama-sama cantik. Tapi entahlah, aku tidak mengerti dengan urusan hati. Sungguh aku akui aku telah jatuh cinta pada istriku karena senyumnya. Senyum tercantik yang pernah kulihat ternyata ada padanya. Sayang senyum itu tak pernah terbit untukku.Berbagai cara kulakukan untuk membuatnya jatuh cinta, minimal menerima kehadiranku. Namun, m
🍁 Tiara 🍁Semenjak kejadian handuk, aku semakin bersikap dingin bahkan di depan Papah. Aku tak peduli, aku merasa terhina sekali. Dalam bayanganku Gilang pasti bersorak karena melihat yang harusnya tak boleh dia lihat dan dia akan membandingkannya dengan Amanda.Dalam tiga bulan pernikahan kami, mau tak mau kadang kami harus seranjang terutama jika menginap di rumah mertua. Tapi kalau di rumah, aku tidak mau seranjang lagi dengan Gilang.Aku kini selalu tidur di ruang kerjaku, masa bodoh tubuhku harus menahan rasa sakit akibat tidur di sofa yang penting aku tidak seranjang dengannya.Selama seminggu ini, kami tak pernah bertegur sapa. Bahkan saat kami sedang perjalanan ke Jogja bersama keluarga besarnya aku memilih pura-pura tidur hingga mobil sampai di tempat tujuan.“Ayok Nduk, beginilah rumah orang tua papahnya Gilang. Masih model kuno. Sengaja dipertahankan seperti ini karena rumah ini menyimpan begitu banyak kenangan, ya &lsqu
🍁 Gilang 🍁Aku senang sekali Tiara membelikanku kemeja batik. Bahkan malam harinya langsung aku pakai.“Kamu mau kemana, Lang?” tanya Budhe Narti.“Gak kemana-mana, Budhe.”“Kok pake batik?”“Gak papa kepingin aja.”“Ya ampun Mas, itu belum dicuci juga,” gerutu Hana.“Biarin.”“Mambu Mas.”“Ya gak usah cium-ciumlah. Gitu aja repot.”“Astaga! Mbak Tiara yang sabar ya sama kelakuan nyeleneh masku.”Kulihat Tiara hanya tersenyum kikuk. Ya Allah, kapan es batu dalam hati istriku mencair? Sungguh aku tersiksa.***“Baru pulang kerja, Lang?”“Iya Pah. Tiara mana?”“Tadi di depan, kayaknya beli sesuatu di warung Pak Ulin.”“Oh.”Aku tengah mencopot sepatuku ketikaPapah mengajakku bicara serius.&
🍁 Tiara 🍁Aku tersipu malu. Astaga apa yang baru kulakukan? Kenapa aku membalas ciumannya? Bodoh! Daripada memikirkan kejadian tadi aku lebih memilih mengangkat teleponku.“Ya Halo?”“Mbak Tiara?”“Kenapa Asih. Tumben nelepon?”“Budhe, Mbak Tiara. Budhe sakit. Sekarang ada di rumah sakit.”Aku kaget untuk beberapa saat kemudian menarik napasku pelan.“Ya sudah, aku akan ke sana.”“Baik, Mbak.”Aku berbalik dan kaget karena hampir saja menabrak Gilang. Ngapain tuh cowok di belakangku.“Kenapa?” tanya Gilang penasaran.“Mamahku sakit, aku harus ke Semarang malam ini juga.”“Ya udah ayuk.”“Ayuk kemana?” Aku mengernyit bingung.“Ke Semarang lah tapi sebelumnya kita pulang dulu.” Akumasih bingung. Maksudnya apa?“Tiar, ini mau dibereskan ap
Aku tengah merenung di dekat kandang ayam milik Paklik Widodo, ayahnya Asih. Aku meratapi nasibku yang sudah dibuka segelnya. Astaga! Kenapa aku diam saja? Kenapa juga aku sangat menikmatinya. Ya Tuhan Tiara, kamu kenapa?Hampir satu jam aku duduk di atas dingklik atau jengkok (kursi kecil). Setelah mengurus Mamah dan menyuapinya aku langsung bersembunyi di sini. Aku sangat malu jika harus bertemu dengan Gilang pun dengan anggota keluarga yang lain. Aku bahkan sengaja memakai sweater dengan bagian leher yang tertutup karena leherku penuh dengan tanda merah buatan Gilang.“Di sini rupanya! Aku cari-cari dari tadi loh.”Aku kaget, lalu menoleh ke sumber suara. Gilang berjongkok di depanku, kemudian menatapku dengan tatapan menghujam namun lembut. Aku gugup dan segera memalingkan muka.“Hahaha.”Gilang tertawa tapi aku memilih tetap memalingkan muka.“Terima kasih ya, beneran acara buka segel yang luar biasa. Kamu
🍁 Gilang 🍁Aku masih merengkuh istriku, Tiara. Padahal kemarin aku sangat bahagia karena bisa memiliki raganya. Aku segera menggendong Tiara dan merebahkannya di atas ranjang. Kubelai rambutnya penuh sayang dan kuhapus air matanya dengan kecupan. Aku bahkan mengecup bibirnya mesra. Hingga kurasakan kecupan balik.Entah dorongan darimana kecupan itu berubah menjadi semakin panas dan sekali lagi aku dan Tiara menyatu dalam gairah panas yang selalu didamba pasangan halal.Keesokan harinya aku terbangun dan tak kudapati Tiara di sampingku. Aku panik, takut Tiara melakukan hal-hal yang nekat. Aku langsung asal memakai baju dan segera mencari Tiara.Kegelisahanku sirna tatkala melihat Tiara dengan telaten tengah menyeka Mamah. Aku pun kembali ke kamar dan segera memutuskan mandi, tepatnya mandi junub dan melaksanakan salat subuh.***“Iya Lang?”“Papah sehat?”“Alhamdulillah. Tiara bagaimana?”
🍁 Tiara 🍁Hampa. Itulah yang kurasakan beberapa hari ini semenjak kematian Mamah. Meski aku masih membencinya, tapi jauh di lubuk hatiku, aku sungguh menyayanginya.Kami sudah kembali ke Purwokerto pada hari kedelapan setelah kematian Mamah. Aku masih belum bekerja, pikiran dan tenagaku sungguh tak tersisa. Tiga hari ini aku hanya bergelung di kasur tanpa melakukan apapun. Papah, Gilang, dan Mamah Gita sering sekali menghiburku. Namun, aku masih dirundung kesedihan. Aku masih belum mampu untuk lepas dari kesedihanku.Gilang dan Papah semakin protektif padaku, terutama Gilang. Semenjak dia tahu aku mengkonsumsi pil penenang, dia semakin posesif. Aku sungguh membencinya tapi sisi hatiku yang lain menyukainya.“Tiar.”“Pah.”Papah mendekatiku dan duduk di tepi ranjang.“Kamu jangan seperti ini Tiar. Bagaimana pun kamu harus terus hidup. Papah tahu kamu menyayangi mamah kamu terlepas apapun kesalahan yang d
Kamu mau makan apa?” Suara Gilang terdengar lembut sekali. Aku menggeleng.“Ngemil ya. Kamu mau buah atau apa?”Aku menatap Gilang yang juga menatapku dengan binar mata yang tak bisa kudefinisikan.“Mau soto Mbah Man,” sahutku lirih.“Oke. Tunggu ya.”Gilang mengecup keningku lama lalu segera pergi mencari makanan yang kuinginkan. Tak kurang dari setengah jam, Gilang sudah kembali dengan dua mangkok soto.“Makan ya? Aku suapin.”“Gak. Aku bisa sendiri.”“Baiklah.”Aku mulai makan dengan pelan, alhamdulillah ternyata perutku gak mual. Kulirik Gilang yang juga tengah melahap sotonya. Entah kenapa air liurku jadi menetes.“Kenapa?” tanyanya.“Tukeran.”“Hah?”“Tukeran,” rengekku manja.Meski heran Gilang manut saja dan akhirnya aku menghabiskan soto milik Gilang den