Share

4. Handuk

Genap tiga bulan pernikahanku dengan Gilang. Namun, hubungan kami masih dingin. Lebih tepatnya akulah yang menjarak. Gilang selalu berusaha mencairkan kecanggungan kami. Tapi aku memilih menutup mata, telinga dan hati. Masa bodoh, kalau dia lelah pasti dia akan menceraikanku. Apalagi aku tahu jika Amanda sudah kembali dan bekerja di kantor yang sama dengannya.

Dan aku pun tahu, Amanda tengah berupaya merebut Gilang dariku. Baguslah, biarkan si pelakor beraksi. Sebentar lagi buaya cap badak bakalan terpikat. Dan aku akan melenggang bebas, sendiri seperti dulu.

Beberapa kali Mamah memintaku mengunjunginya, namun tak pernah kugubris. Aku selalu berpikir aku tak butuh ibu seperti dia, lagian aku masih mempunyai ayah yang menyayangiku setulus hati. Suami? Halah, sebentar lagi paling juga lari ke pelukan mantannya.

“Tiara?”

“Mamah. Kapan datang?” ternyata Mamah mertua yang datang.

“Baru saja. Wah, toko roti kamu semakin rame ya?”

“Alhamdulilah. Masuk Mamah.”

“Iya.”

Kuajak Mamah mertuaku menuju ke ruangan pribadiku. Kami mengobrol banyak hal. Meski aku bersikap dingin pada putranya, aku selalu bersikap hangat pada kedua mertuaku dan adik iparku, Hana yang masih kuliah semester empat.

“Hahaha. Ya Allah, Tiar kamu ini ada-ada aja, Nduk.”

“Ya mau gimana lagi Mah, si pelanggan itu bilang rotiku gak enak dan kadaluarsa, pake bikin statement ini itu segala lagi. Ya udah, besoknya aku kirimin semua jenis roti dan kue yang ada di tempatku ke tempat kerjanya atas nama si pelanggan resek itu. Hahaha. Dia malu, Mah. Rupanya dia sengaja mau menjatuhkan nama aku gara-gara cemburu pacarnya bilang kue bikinannya gak seenak bikinanku. Aneh ‘kan. Mah.”

“Hahaha. Ada-ada saja. Eh, gak rugi kamu?”

“Rugi jelas ada Mah. Tapi sebanding sama pesanan hari berikut dan berikutnya lagi yang membludak,” jawabku ceria.

“Hahaha. Eh, Gilang. Baru datang, Nak?”

Aku menoleh ke belakang, ck kapan sih dia datang kok aku gak tahu. Sebal! Kenapa dia harus datang sih? Gerutuku dalam hati.

“Baru saja Mah. Mamah sudah makan?”

“Nih, makan kue buatan istri kamu enak deh.”

“Iya. Memang enak. Dek, mas minta tolong ambilin brownis sama bolen ubinya ya?”

Cih! Dia memang pandai mencari kesempatan. Bukan sekali ini saja dia seperti itu. Setiap hari di depan Papah, dia akan mencari kesempatan agar bisa memelukku, mencium pipi, kening bahkan pernah dia mencuri ciuman pertamaku. Menyebalkan sekali. Dia tahu aku tak akan banyak ulah jika di depan Papah. Kurang ajar sekali dia.

“Dek.”

“Eh. Iya, Mas.” Hoek! Dalam hati aku ingin muntah ketika memanggilnya dengan sebutan 'mas'.

Aku pun mengambilkan pesanannya dan juga membuatkan secangkir kopi untuknya. Bukan aku yang bikin kopinya sih tapi Lina.

“Makasih, Dek.” Gilang tersenyum laksana buaya yang menganga mau menerkam mangsa. Hoek. Pengen muntah lagi rasanya.

“Hem ... kok beda yah?” ucap Gilang setelah meneguk kopinya.

“Beda kenapa, Nak?”

“Rasa kopinya, Mah? Pasti bukan kamu yang bikin?”

Dasar. Kenapa dia bisa tahu?

“Aku kok Mas yang bikin,” elakku.

“Bukan. Kopi bikinan kamu gak kayak gini.”

“Terserah.”

“Ganti, bikinin mas lagi yang baru.”

Aku mendelik ke arah Gilang. Kurang ajar sekali dia. Dia sengaja mengerjaiku rupanya. Lihatlah senyum jahilnya.

Aku pun segera ke dapur membuat kopi lagi namun sengaja bukan gula yang kumasukkan tapi garam. Biarkan saja, salah siapa jahil.

“Makasih,” ucapnya dengan menampilkan senyum manis.

Gilang terkejut saat meminum kopi buatanku. Rasakan!

“Kenapa Mas? Mau dibikinin lagi?” tanyaku kalem.

“E-enggak.”

“Oh ... soalnya kalau mau minta dibikinin lagi aku gak tahu mesti bikin yang gimana lagi.”

“Gak usah ini udah pas kok.”

Hahaha. Iyalah pas. Pas asinnya. Rasakan dua sendok garam, nikmat kan? Aku sengaja semakin mengerjainya dengan membuatnya meminum kopi buatanku sampai habis dihadapan Mamah mertua. Hahaha. Sungguh bahagia sekali hatiku.

“Mamah pergi dulu ya. Jangan Lupa besok ikut nginep di rumah eyangnya Gilang di Jogja. Soalnya kita mau ngadain peringatan kematiannya.”

“Iya Mah,” jawabku.

Kami mengantar Mamah mertua sampai mobilnya tak terlihat lagi. Setelah mobil Mamah menghilang, Gilang langsung ngibrit berlari masuk ke dalam. Syukurin!

“Kamu sengaja banget ya.”

Aku hanya meliriknya sekilas lalu memilih membersihkan meja kerjaku.

“Aku ‘kan cuma minta dibuatin kopi sama kamu, Tiara. Ya Allah berapa sendok garam yang kamu kasih sih?” Gilang masih melet-melet, rasain kau.

Aku masih tak bersuara dan membawa gelas ke bagian dapur untuk dicuci.

***

Huft. Segarnya. Aku baru saja mandi dan keramas. Pun tadi aku habis luluran. Mumpung tanggal merah dan toko sedang tutup. Iya, aku meliburkan karyawanku setiap hari minggu dan tanggal merah.

Gilang sedang ada acara dengan teman-teman komunitas sepedanya. Biasanya jam 11-an dia baru pulang. Papah sendiri sedang berkumpul dengan para kawannya untuk memancing di kolam pemancingan. Sedangkan Mbak Iyem sedang pulang kampung. Praktis aku sendirian di rumah.

Aku masih menikmati mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk. Aku mengerling ke arah jam dinding, hem ... baru jam delapan rupanya.

Aku mengambil tabir surya dan kuoleskan ke seluruh tangan, bahu dan tubuhku bagian atas lalu menaikkan sebelah kakiku ke atas sofa lalu mulai mengoleskan lagi hingga kebagian paha. Otomatis handukku sedikit tersingkap. Lalu kulakukan lagi untuk kaki sebelahanya. Selesai perawatan rumahan, aku membalikkan badanku dan ... OMG! Pandangan mataku menangkap seseorang yang menatapku tanpa berkedip, aku langsung menyilangkan tangan ke dada.

Tidak! Aku segera berlari menuju ke kamar mandi. Ya Tuhan, aku telah mempertontonkan beberapa bagian rahasiaku sama buaya cap badak. Aku melorot dan jatuh terduduk di lantai kamar mandi. Kemudian menangis lirih. Dalam hati aku terus mengumpat dan merutuki diri sendiri. Bodoh! Bodoh! Pasti dia kesenangan dan akan membandingkannya dengan Amandanya itu. Sial! Aku benci dibanding-bandingkan.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status