Aku melangkah menuju suatu ruangan yang hampir tak pernah kudatangi. Ruangan yang sangat mewah, yang bahkan untuk melewati depan pintunya pun aku merasa segan. Seolah memiliki sihir yang bisa merubah atmosfer dari dalamnya.
Dengan satu tarikan napas, kuberanikan diri untuk mengetuk perlahan pintu itu. Pintu dengan bahan kayu jati yang diselimuti cat berwarna hitam yang terlihat sangat kokoh. Di bagian atasnya tertulis larangan untuk masuk tanpa seizin pemiliknya.
Tok ... tok ... tok.
Aku menahan napas dan menggigit bibir.
Terdengar suara wanita dengan tegas, "Siapa?"
"Ini aku Milly," sahutku.
Tak ada jawaban.
Sekian detik aku menunggu, aku berpaling dengan niat untuk kembali ke kamar. Beliau mungkin sedang tak ingin diganggu olehku. Namun, ketika baru mau melangkahkan kaki, kudengar jawaban dari balik sana.
"Masuk!"
Mendengar perintah itu, aku berbalik kembali ke hadapan pintu. Kuraih daun pintu lalu mendorongnya perlahan, lalu berjalan masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan yang dipenuhi oleh banyak buku. Tercium bau cat kayu karena hampir seluruh furniturnya berbahan kayu.
Aku melanjutkan langkah ke depan sebuah meja berwarna cokelat yang berada di dekat dinding sebelah kanan. Di atasnya terdapat sepotong papan berwarna emas bertuliskan sebuah nama.Annette Grey.
President of Gloomy Glory.
Kurasakan telapak kaki kedinginan karena lantai marmer ini begitu dingin. Ruangan seluas 6x8 meter itu sangat tertata rapi. Aku tak ingat kapan terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini.
"Apa aku mengganggu?" ucapku hampir terbata.
"Langsung ke intinya saja," jawabnya datar dengan mata yang masih fokus dengan monitor dan beberapa lembar kertas di tangannya tanpa menoleh ke arahku sedikit pun.
Beliau adalah mamaku. Mama yang bisa kubilang hebat dan kukagumi karena keberhasilan karirnya mengolah perusahaan fashion retail. Perusahaan ini turun temurun diwarisi oleh Kakek dari papaku. Kini Mama yang mengelola semuanya sendirian. Beliau sangat independen. Dan juga masih terlihat sangat cantik di usia 39 tahunnya.
Aku memang mengagumi Mama. Namun, aku juga merasa kalau Mama seperti orang asing bagiku.
Selama sembilan belas tahun, tak pernah kulihat senyumannya untukku kecuali di acara-acara yang diadakan oleh keluarga, di hadapan banyak orang atau perusahaan yang dikelola oleh kedua orang tuaku. Aku tak tahu kenapa keluarga ini lebih dingin dari lantai yang kupijak saat ini.
"Apa perjodohan itu nggak bisa dibatalin, Ma?" ucapku hati-hati.
Mama melirik ke arahku, lalu menyandarkan bahunya ke sandaran kursi. Ia menatapku lekat-lekat. Tatapan yang aku sendiri tak mengerti maksudnya.
"Permintaan konyol."
Perkataan itu terdengar datar, namun hasil menusukku.
"Kalau kamu mau meminta pembatalan perjodohan, sebaiknya kamu jangan buang-buang waktu Mama untuk mendengarkan keluhan kamu dan jangan pernah masuk ke ruangan ini dengan niat seperti itu," lanjutnya.
"Maksud Mama?" tanyaku yang masih mencoba memahami.
"Tidak akan ada pembatalan perjodohan. Pernikahan kamu dengan Ben akan tetap berlanjut karena hal itu akan menguntungkan perusahaan kita. Sampai sini kamu paham?"
"Tapi, Ma aku punya tujuan hidup aku sendiri. Usia aku pun sebentar lagi baru menginjak 20 tahun. Aku mau kuliah, Ma ...." ucapku. Mama hanya diam menatapku.
"Dan yang terpenting, aku mau jadi perempuan karir sehebat Mama, sambungku."
Mama menyeringai. Untuk pertama kalinya, beliau tersenyum padaku. Namun, senyuman itu mengandung rasa pahit. Aku tak mengerti mengapa Mama tersenyum seperti itu kepada anak semata wayangnya yang tengah menangis di hadapannya ini.
"Mama rasa tidak perlu mengulang kalimat yang sama. Masuk ke kamar kamu dan pergi tidur. Besok kita pergi untuk fitting baju pernikahan kamu."
Mama kembali fokus dengan pekerjaannya yang entah sepenting apa hingga tak menghiraukan aku.
"Ma ...." panggilku. Mama tetap menganggapku seolah aku tak ada.
"Mama ...." ucapku lagi dengan isak tangis yang sebelumnya telah kucoba untuk menahannya agar tidak tumpah.
"Milly, Mama mohon kamu berhenti bersikap seperti anak kecil."
Ucapan Mama membuatku yakin kalau Mama menutup telinganya dari tangisanku, dan memang tak membuka hatinya untukku.
"Benar-benar nggak bisa, Ma?" Aku memohon sekali lagi.
"Pernikahan kamu dan Ben akan sangat menguntungkan untuk kita. Sejak dulu, Papa dan Mama sudah kasih kamu fasilitas yang sangat baik. Sekarang hanya untuk memenuhi satu perintah Mama untuk menikahi Ben, apa itu sangat sulit? Apa semua yang Mama beri untuk kamu, tidak cukup bagi kamu?" Wanita itu berbicara santai, namun terdengar tegas.
"Tapi apa Mama pernah bertanya tentang apa yang aku mau dan apa yang bisa membahagiakan aku?" tanyaku kecewa. Bahkan aku tak bisa meluapkan emosi pada Mama.
"Pernah, Ma? Aku rasa nggak. Papa yang selalu hangat sama aku. Sedangkan Mama selalu sibuk sama pekerjaan dan nggak pernah menghiraukan aku. Apa Mama sadar semua itu?"
"Jangan bawa-bawa Papa kamu! Kamu juga akan merasakan enaknya menikah dengan Ben yang kaya raya. Hidupmu terjamin!"
"Baik untuk aku? Bukannya untuk keegoisan Mama? Mama juga nggak pernah mendengarkanku ...." Aku menangis pasrah.
Aku pasti terlihat sangat menyedihkan sekarang.
"Kenapa Mama harus repot-repot mendengarkan pendapat kamu?"
"Apa pertanyaan itu perlu dijawab? Jelas karena aku ini anak Mama. Seharusnya Mama peduli sama aku!"
Tangisanku pecah. Untuk pertama kalinya, aku mengutarakan perasaan kepada Mama. Perasaan yang selama ini kupendam sendirian. Yang aku yakini bahwa tak sedikit pun Mama mau mendengarkannya.
Aku tak tahu harus bagaimana menghadapi wanita yang hatinya sangat dingin ini. Hanya Papa yang mengerti aku. Papa yang selalu bisa mendamaikan hati dan pikiranku.
"Milly Watson. Kamu mau tahu suatu hal?" tanya Mama.
Aku menghapus air mataku, "Apa?"
Mama beranjak dari kursinya dan berjalan menuju bagian depan meja kerjanya. Ia meraih bingkai foto yang berisi potret keluarga kami. Foto yang diambil ketika anniversary Papa dan Mama yang ke sebelas tahun. Saat itu usiaku sepuluh tahun. Papa dan Mama menggelar acara itu dan dihadiri oleh keluarga besar kami. Tapi entah mengapa, setelah kepergian Kakek, kedua orang tuaku tak pernah merayakan annivesary pernikahan lagi.
"Dua puluh tahun yang lalu, saya menikahi Connor, papamu itu. Dan kamu tahu? Saya tidak pernah bahagia dengan pernikahan itu. Kami dijodohkan."
"Dijodohkan?"
"Iya. Dan kamu bukan anak saya meskipun kamu adalah darah dagingnya."
"Maksud Mama?"
Aku kebingungan. Aku tak mengerti setiap kata yang Mama ucapkan. Dan lagi, Papa dan Mama dijodohkan? Tapi kenapa mereka memiliki aku sebagai buah hati mereka? Kenapa Mama bilang aku bukan anaknya?
"Kamu tidak pernah ada di dalam rahim saya. Dan saya tidak pernah melahirkan kamu. Ada wanita lain yang menjadi ibu pinjaman saat orang tua kami menuntut seorang cucu. Bagaimana bisa saya memiliki seorang anak dari Connor sedangkan saya tidak mencintainya?"
Mama berjalan mendekatiku. Ia tersenyum dan membelai lembut rambutku. Seharusnya aku merasa nyaman. Ini adalah kali pertama Mama melakukan hal seperti ini padaku. Tapi, mengapa aku malah merasa takut?
"Meski begitu, papamu yang bodoh karena jatuh cinta denganku itu rela mengalah dan tak menghalangi karirku agar pernikahan kami bertahan. Saya belum sempat mengucapkan terima kasih padanya karena telah mewariskan perusahaan ini untuk saya. Dan seharusnya, Connor juga berterima kasih karena saya bertahan di pernikahan ini, dan menjaga reputasinya sebagai seorang suami di depan banyak orang," ucapnya lagi sambil menghapus air mata yang mengalir di pipiku.
"Begitulah alasan mengapa kamu hadir di keluarga ini. Dan saya sudah muak untuk berpura-pura menjadi ibu kandungmu."
Bagai disambar petir, hatiku lemas ketika mendengar pernyataan itu. Apa hal itu yang membuat sikap Mama begitu dingin kepadaku? Apa Mama sedang bercanda? Tapi aku yakin Mama tak pernah mengatakan omong kosong. Lalu apa semua yang dikatakan oleh Mama adalah benar?
"Jadi, aku bukan darah daging Mama?" tanyaku yang masih tidak percaya. Aku berharap perkataan Mama hanyalah sebuah lelucon. Namun, harapan itu hanyalah harapan konyol.
"Kenyataannya seperti yang baru saja kamu dengar, Milly."
Mama membuang foto keluarga kami ke tempat sampah yang berada di dekat pintu ruangan. Lalu membuka pintu dan berniat meninggalkanku yang mematung di dalam ruangan itu.
"Tapi, Ma ...." ujarku. Mama menahan langkahnya. "Mama tahu rasanya dijodohkan itu seperti apa. Tapi, kenapa Mama melakukan hal yang sama padaku?"
Untuk yang kedua kalinya, Mama tersenyum.
"Saya menganggap itu adalah bayaran yang memang pantas untuk saya dapatkan karena telah merawatmu sampai sebesar ini. Saya sudah tidak mau punya tanggung jawab untuk mengurusmu yang bahkan sejak awal kamu bukan anak dan darah daging saya. Untuk apa saya peduli?"
Mama kembali berhasil meruntuhkanku. Menghancurkan segala yang ada di dalam diriku. Setelah belasan tahun lamanya, ini adalah puncak dari segala panah yang Mama tancapkan untukku.
"Satu lagi," ucapnya lagi. "Berhenti memanggil saya Mama meski di dalam rumah ini. Kecuali di hadapan keluarga dan banyak orang," Mama langsung berpaling meninggalkanku.
Tangisanku pecah. Setelah menerima kenyataan bahwa semua impianku terbunuh karena pernikahan yang tak pernah aku inginkan, kini aku juga harus mendengar bahwa wanita yang selama ini kupanggil Mama ternyata bukanlah ibu kandungku. Wanita yang sejak kecil kuharap bisa membacakan dongeng tidur untukku, bangga ketika aku berhasil meraih sesuatu, dan yang kuharap suatu hari dapat memeluk dan membelai lembut penuh kasih sayang untukku, ternyata tidak pernah menginginkan aku ada. Terlebih lagi, beliau membenciku.
Lalu siapa ibuku yang sebenarnya? Dimana beliau berada? Bagaimana kabarnya? Aku harus mencarinya kemana? Aku ingin memeluknya!
Kuambil kembali bingkai foto yang Mama buang. Kutatap wajah Papa yang tersenyum. Aku rindu kasih sayangnya. Aku rindu Papa yang selalu memelukku dan selalu sabar ketika menghadapi Mama.
Aku baru mengerti mengapa Papa dan Mama terlihat sangat kaku dan hampir tak pernah saling bicara. Kini aku tahu dan itu membuatku sangat terpukul.
Aku ingat ucapan Papa bahwa aku harus menjadi orang hebat dan berbuat baik kepada siapa pun. Dan tidak boleh tinggi hati. Apa mungkin ia mengajariku agar tidak menjadi seseorang seperti Mama?
Aku akan selalu ingat semua kenangan manisku bersama Papa. Semua kenangan manis sebelum akhirnya Papa meninggalkanku satu tahun lalu karena kecelakaan tunggal yang dialaminya.
"Pa ... terima kasih selalu berusaha bikin aku tersenyum. Maaf aku nggak tahu kalo papa menderita sendirian. Tenang di alam sana ya, Pa ...." kuharap papa mendengar ucapanku.
Aku membawa foto itu ke dalam kamar dan meletakkannya di atas meja kerja. Lalu aku pergi ke garasi dan menyalakan mesin mobil. Tanpa berpikir panjang, kutancap gas dan pergi meninggalkan rumah itu. Rumah yang kurasa penuh dengan kutukan.
Di perjalanan, aku merasa sangat kacau. Kecepatan mobilku tak terkendali. Aku harus pergi kemana? Di saat-saat seperti ini, aku tak punya tempat berbagi. Rasanya ingin sekali menabrakan mobil ke pembatas jalan atau ke bagian belakang truk kontainer. Aku putus asa.
Aku ingin bertemu Papa dan menangis dipelukannya. Namun, aku teringat ucapan Papa yang mengatakan kalau aku tak boleh menyerah begitu saja dengan keadaan. Aku harus menjadi sosok yang tangguh meski sendirian.
Aku menatap mataku melalui spion atas dan mencoba menenangkan diriku sendiri, "Iya. Benar. Aku harus bertahan hidup. Demi Papa, aku harus bertahan untuk—"
Tiba-tiba aku merasa mobilku terbang, lalu mendarat keras. Seketika mobilku oleng dan menabrak sesuatu dengan kencang.
Kepalaku terbentur setir dan bagian lain di dalam mobil. Kurasakan sesuatu yang hangat mengalir di kepala dan hidungku.
Aku melihat ke sekitar, namun pandanganku kabur. Lalu semakin gelap ketika seorang pria memanggil namaku dan mencoba mengeluarkanku dari dalam mobil. Aku tak sadarkan diri.
[Milly. Aku mendadak perlu mengadakan rapat di perusahaan. Mungkin tidak lama. Aku mengabari kamu untuk antisipasi kalau saja aku tidak bisa menjemputmu. Kalau memang kamu pulang lebih dulu daripada aku, naik taksi saja ya dengan Kylie. Tak apa, kan? Aku minta maaf, ya ….] Aku terenyuh membaca pesan itu. Meski sibuk, Ben tetap berusaha memberi kabar dan peduli denganku. [Nggak pa-pa. Aku pulang naik taksi saja. Semangat Pak Bos!] Aku membalas pesan dari Ben sambil tersenyum lebar. Suamiku ini memperbaiki suasana hatiku yang buruk. Tak apa kalau aku merasa seperti ada kupu-kupu yang mau terbang di perutku ini, kan? “Milly? Kenapa senyam-senyum begitu?” ucap Kylie mendapatiku tersenyum menatap layar ponsel. Aku menggeleng, “Nggak pa-pa. Nanti pulang pakai taksi denganku, ya?” “Kamu ini … belum juga sampai di mall, tapi sudah membicarakan pulang!” ucapnya sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku mendengus dan
“Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ben saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Ia berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih, jas dan celananya satu warna yakni abu-abu cerah. “Hm, mungkin sekitar jam tiga sore,” jawabku sambil meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu untuk Ben. Tercium aroma sampo dari rambut Ben yang masih terlihat basah itu. “Thanks,” ucapnya. Wajah kami berdekatan dan entah mengapa aku merasa Ben terlihat tampan. Diam-diam aku menjadi grogi sendiri karenanya. Sambil menyantap makanan kami, aku coba memberanikan diri untuk meminta izin pada Ben perihal rencanaku dan Kylie, “Nanti selepas kelas terakhir selesai, aku boleh pergi bersama Kylie?” “Kemana?” “Mencari buku sejarah dan sedikit refreshing, hehe ….” “Hanya berdua?” Aku mengangguk, “Boleh, ya? Aku janji nggak akan pulang larut malam,” ucapku dengan mata berbinar yang penuh harapan. Ben sempat menatapku rag
Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga
Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w
Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar
“Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas