Aku terbangun dengan selang oksigen di hidung, dan selang infus di tangan kiri. Aku menatap langit-langit berwarna putih yang sudah pasti itu adalah rumah sakit.
Aku tidak tahu sudah berapa lama berada di sini. Bahkan aku tak ingat kejadian apa yang menimpaku. Aku hanya teringat ketika sedang berdebat dengan Mama, lalu pergi mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi.
Terdapat kapas yang tertempel dengan plester di kening sebelah kananku. Aku mencoba bangkit perlahan dan mendapati seorang pria yang menyandarkan kepalanya ke ranjangku tengah tertidur pulas. Wajahnya sangat familiar.
"Ben?" ucapku heran.
Sedang apa Ben di sini? Apa dia yang melarikanku ke rumah sakit? Entahlah. Tapi aku tak ingin membangunkannya. Namun tiba-tiba kepalaku pening dan membuatku spontan mengeluarkan suara kesakitan dari mulut. Tentu hal itu membuat Ben terbangun.
"Milly? Sudah siuman? Kamu baik-baik saja?" tanya Ben.
Aku meringis kesakitan menahan pening di kepala, "Masih sedikit pusing. Tapi nggak pa-pa, kok. Kamu ngapain disini, Ben? Aku kenapa?"
"Kamu nggak ingat sama sekali?"
Aku menggelengkan kepala.
Ben memperbaiki posisi duduknya, "Kamu kecelakaan tunggal. Kayaknya kamu nggak lihat ada polisi tidur. Jadi mobil kamu melayang, oleng, terus nabrak pembatas jalan. Kebetulan aku ada di sekitar sana karena habis pergi bareng teman-temanku. Jadi aku yang bawa kamu ke sini," jelasnya.
Aku mendengarkan tanpa menjawab apa pun. Aku mencoba mengingat-ingat lagi. Tapi malah berujung sakit kepala.
"Sudah ... nggak usah diingat dulu. Istirahat, ya?" Ben mengerti bahwa rasa sakit kepalaku muncul karena aku mencoba mengembalikan ingatanku.
Ben membantuku untuk bersandar, dan menarik selimut untuk dibalutkan ke tubuhku.
Aku melihat ke sekitar ruangan tempatku dirawat. Sepertinya ini adalah ruang rawat inap VIP karena fasilitasnya cukup lengkap dengan toilet di dalam."Ben ...." panggilku ketika ia tengah mengupas kulit apel.
"Hm?"
"Lihat ponselku?"
"Oh, iya. Tadi aku simpan," Ben merogoh saku celananya. "Untungnya nggak hancur," ujarnya sembari tersenyum sambil memberikan ponselku.
Aku mengusap-usap ponselku, "Terima kasih, ya!"
Jam di layar ponselku menunjukkan pukul satu malam.
"Aku kecelakaan jam berapa, Ben?" tanyaku yang berusaha mengingat-ingat karena aku memang tidak ingat sama sekali kecelakaan yang menimpaku.
"Sekitar jam 10."
"Kamu sendirian di sini?"
"Iya."
"Mama datang ngejenguk aku nggak?"
"Aku sudah coba kirim pesan ke Tante buat kasih tahu kabar kamu dan bilang kalo aku yang akan jaga kamu. Biar beliau nggak khawatir karena ada aku yang merawat kamu semisal beliau terlalu sibuk," jelas Ben.
Aku mengangguk. Tidak. Sebenarnya, aku diam-diam berterima kasih kepada Ben karena membuat wanita itu tidak perlu datang ke sini. Aku sedang tidak hasrat untuk melihat wajah wanita itu. Lagi pula mana mungkin dia khawatir padaku?
Yup. Benar. Seperti dugaan kalian, Ben adalah calon suamiku yang telah dijodohkan oleh Tante Annette denganku. Nama lengkapnya, Benedict Carlton. Ben berusia 7 tahun di atasku. Kalau kalian berpikir aku membencinya karena aku akan dijodohkan dengannya , sebetulnya tidak. Aku tidak membencinya. Karena Ben pun pasti korban dari keegoisan orang tuanya yang menjodohkannya denganku.
Papanya Ben adalah sahabat papaku. Aku pun sudah menganggap Ben sebagai kakakku sendiri sejak 9 tahun yang lalu ketika pertamakalinya kami bertemu di pesta anniversary Papa dan Mama.
Suatu keberuntungan bagi Mama—yang perusahaannya hampir bangkrut—ketika kedua orang tua Ben datang dengan janji untuk merger dengan perusahaan besarnya jika Mama mau menerima perjodohan itu. Aku dan Ben sama-sama korban. Jadi aku tidak membencinya.
Yang menjadi permasalahan adalah, mengapa mereka begitu tega menjodohkan anak-anak mereka yang pastinya sudah memiliki tujuan mereka masing-masing?
Ah, iya. Aku kan bukan anak Mama. Kenyataan itu membuat hatiku teriris. Rasa sakitnya mengalahkan rasa pening di kepalaku ini.
"Milly?"
Suara Ben menyadarkanku dari lamunan, "Kenapa bengong?" tanyanya.
"Nggak pa-pa. Aku cuma lagi kepikiran sesuatu," jawabku sambil menerima potongan apel yang diberikan oleh Ben. Aku melahapnya.
"Kepikiran apa? Aku boleh tahu?"
"Bukan apa-apa, kok."
Ben tidak melanjutkan rasa penasarannya.
Ben menjelaskan padaku tentang ucapan Dokter yang mengatakan bahwa aku mengalami syok karena benturan di kepalaku. Hal itu membuat aku tak ingat apa pun di malam kejadian. Aku perlu dirawat selama seminggu hingga keadaanku benar-benar pulih.
"Makasih ya, Ben. Karena sudah menyelamatkanku," ucapku kepada Ben sambil tersenyum. Ia hanya mengangguk.
Ben memutuskan untuk bermalam di ruangan ini bersamaku karena sudah terlalu larut.
[Milly. Aku mendadak perlu mengadakan rapat di perusahaan. Mungkin tidak lama. Aku mengabari kamu untuk antisipasi kalau saja aku tidak bisa menjemputmu. Kalau memang kamu pulang lebih dulu daripada aku, naik taksi saja ya dengan Kylie. Tak apa, kan? Aku minta maaf, ya ….] Aku terenyuh membaca pesan itu. Meski sibuk, Ben tetap berusaha memberi kabar dan peduli denganku. [Nggak pa-pa. Aku pulang naik taksi saja. Semangat Pak Bos!] Aku membalas pesan dari Ben sambil tersenyum lebar. Suamiku ini memperbaiki suasana hatiku yang buruk. Tak apa kalau aku merasa seperti ada kupu-kupu yang mau terbang di perutku ini, kan? “Milly? Kenapa senyam-senyum begitu?” ucap Kylie mendapatiku tersenyum menatap layar ponsel. Aku menggeleng, “Nggak pa-pa. Nanti pulang pakai taksi denganku, ya?” “Kamu ini … belum juga sampai di mall, tapi sudah membicarakan pulang!” ucapnya sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku mendengus dan
“Hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya Ben saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Ia berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih, jas dan celananya satu warna yakni abu-abu cerah. “Hm, mungkin sekitar jam tiga sore,” jawabku sambil meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu untuk Ben. Tercium aroma sampo dari rambut Ben yang masih terlihat basah itu. “Thanks,” ucapnya. Wajah kami berdekatan dan entah mengapa aku merasa Ben terlihat tampan. Diam-diam aku menjadi grogi sendiri karenanya. Sambil menyantap makanan kami, aku coba memberanikan diri untuk meminta izin pada Ben perihal rencanaku dan Kylie, “Nanti selepas kelas terakhir selesai, aku boleh pergi bersama Kylie?” “Kemana?” “Mencari buku sejarah dan sedikit refreshing, hehe ….” “Hanya berdua?” Aku mengangguk, “Boleh, ya? Aku janji nggak akan pulang larut malam,” ucapku dengan mata berbinar yang penuh harapan. Ben sempat menatapku rag
Sore ini aku selesai melaksanakan hari pertama ospek. Aku senang karena akhirnya aku kuliah di fakultas yang kumau. Yaitu jurusan seni musik. Sebetulnya aku tidak bisa bernyanyi. Namun aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti piano, gitar, biola, dan sedikit drum. Aku menguasai itu karena sebelumnya papa mengizinkanku untuk ikut les alat musik sewaktu aku masih kecil. Aku menghubungi Ben untuk segera menjemputku. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendirian dengan mengendarai mobilku atau naik kendaraan umum. Namun sesuai ketentuan yang diberikan oleh Ben, aku harus di antar jemput olehnya, mengharuskannya mengantar dan menjemputku walau ia sibuk bekerja. Ben merasa perlu memastikan keadaanku untuk tetap baik-baik saja. Seharusnya tidak perlu terlalu khawatir begitu, kan? Ya … bukannya aku merasa risih padanya. Tetapi aku bukan lagi anak kecil. Lagi pula aku malas menunggu kalau Ben terlambat sampai ke kampus. Dan benar saja. Ini adalah hari pertama, namun Ben belum juga
Ben memberikanku sweater tebal saat ia melihatku menggigil kedinginan di tepi danau dekat pondok yang kudatangi sejak satu jam yang lalu.“Maaf hanya ini tempat yang bisa kuberikan padamu sebagai tanda malam pertama pernikahan kita,” ucap Ben membuka obrolan.“Aku suka tempatnya,” ujarku.Ben menghela napas dan tersenyum, “Nggak perlu berpura-pura untuk menyenangkan hatiku,” sahutnya.“Siapa yang menyenangkan hatimu?”“Barusan kamu memuji tempat ini bagus.”“Aku memang menyukainya. Karena di sini hening dan aku bisa melihat langit dengan luas.”Ben mengangguk. Sepertinya ia ragu kalau ucapanku barusan benar-benar terus terang apa adanya.“Pondok ini kamu yang bangun sendiri?” Aku mencoba mencari topik.“Iya. Papa dan Mama pun nggak tahu.”“Kenapa kamu rahasiakan?”“Aku butuh ruang dan w
Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar
“Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas