Home / Lainnya / Bukan Kurir Biasa / Bab 2. Sebuah Nama yang Terlupakan

Share

Bab 2. Sebuah Nama yang Terlupakan

last update Last Updated: 2025-09-28 19:35:38

"...Bapak Andrew..."

Suara pembawa acara itu menggantung di udara, beradu dengan dentuman musik yang tiba-tiba meredup. Ruangan pesta yang riuh seketika hening, menyisakan gemuruh antisipasi. Jovanka merasakan cengkeramannya pada lengan Andrew mengendur, tatapannya terpaku pada panggung yang kini disinari cahaya sorot utama. Ia melihat Andrew, pria di hadapannya, perlahan menarik tangannya, senyumnya kini tampak lebih jelas, namun masih menyimpan rahasia yang tak terduga.

"...Wijaya!"

Kata terakhir itu meledak di udara, bagai petir menyambar di tengah keramaian. Nama itu, Wijaya. Nama keluarga yang selama ini ia kejar, impian yang ia gantungkan pada sosok pewaris misterius. Dan sekarang, nama itu keluar dari bibir pembawa acara, menyatu dengan nama Andrew. Andrew. Andrew Wijaya.

Jovanka merasakan dunia berputar di sekelilingnya. Otaknya berusaha memproses informasi yang baru saja ia dengar, namun logika menolaknya mentah-mentah. Tidak. Tidak mungkin. Andrew, si kurir? Andrew, pria yang ia putuskan karena "tidak punya apa-apa"? Andrew, yang baru saja ia rendahkan di depan teman-temannya? Bagaimana mungkin?

Semua mata kini tertuju pada panggung. Dan kemudian, dengan gerakan yang disengaja, Andrew melangkah maju. Bukan menuju pintu keluar, seperti yang diharapkan Jovanka, melainkan menuju lorong di sisi panggung, seolah-olah memang itulah tujuannya sejak awal. Langkahnya mantap, penuh keyakinan. Setiap pijakannya memancarkan wibawa yang tak terbantahkan, aura kepemimpinan yang tak pernah Jovanka lihat sebelumnya dari sosok yang ia kenal.

"Tunggu," kata pembawa acara, suaranya sedikit lebih tinggi dari sebelumnya, menghentikan langkah Andrew di tengah jalan. Ia menyunggingkan senyum lebar, menoleh ke arah kerumunan yang masih tercengang. "Saya rasa ada sedikit kesalahpahaman. Mari kita sambut, CEO baru Grup Wijaya... Bapak Andrew Wijaya!"

Kini, nama itu terucap dengan penekanan yang jelas, mengguncang seluruh ruangan. Sebuah gelombang bisikan yang perlahan berubah menjadi gumaman kaget mulai menyapu aula. Beberapa orang terkesiap. Sebagian lagi saling menatap tidak percaya, mata mereka beralih dari panggung ke arah Andrew, dan kemudian, dengan cepat, ke arah Jovanka yang masih berdiri mematung.

Wajah angkuh Jovanka runtuh seketika. Ekspresi angkuh yang selalu ia pamerkan di pesta-pesta itu hancur, digantikan oleh syok yang mutlak, penyesalan yang membakar, dan ketidakpercayaan yang memuakkan. Ia merasakan darah mengalir dari wajahnya, meninggalkannya pucat pasi. Bibirnya sedikit terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya, merembes melalui gaun merah menyalanya.

Andrew, dengan tenang, kembali melangkah maju. Kali ini, ia tidak lagi menuju lorong samping, melainkan langsung naik ke panggung utama. Setiap langkahnya adalah pukulan telak bagi harga diri Jovanka. Setiap pijakannya menginjak-injak setiap kata yang pernah ia ucapkan untuk merendahkan Andrew. Setiap sorot lampu yang kini menyorot Andrew, seolah membakar semua kebohongannya.

Para tamu, yang tadinya hanya berbisik, kini mulai berbicara dengan nada yang lebih keras. "Itu Andrew Wijaya?" "Pewarisnya?" "Tapi ... bukankah dia?" Kalimat mereka terputus, mata mereka melirik Jovanka dengan rasa ingin tahu yang kejam. Teman-teman Jovanka, termasuk Karina, kini berdiri terpisah darinya, menatapnya dengan ekspresi yang sama sekali berbeda—bukan lagi jijik pada Andrew, melainkan kasihan dan sedikit ejekan pada Jovanka.

Di atas panggung, Andrew berdiri tegak. Ia meraih mikrofon dari tangan pembawa acara, pandangannya menyapu kerumunan. Ada ketenangan yang menakjubkan dalam sorot matanya, namun juga sebuah kemenangan yang tak terucap. Tatapannya sesaat bertemu dengan tatapan Jovanka. Tidak ada amarah di sana, tidak ada kemarahan yang membakar. Hanya, kehampaan. Sebuah tatapan yang lebih dingin dari kemarahan, lebih menyakitkan dari kutukan.

Jovanka merasakan lututnya lemas. Andrew. Sang pewaris. Pria yang selama ini ia cari, ia kejar, ia puja hanya dalam angan, kini berdiri di sana, di hadapan semua orang, memperkenalkan diri sebagai "Andrew Wijaya". Dan ia, ia telah membuangnya. Ia telah menghinanya. Ia telah menyebutnya "tidak punya apa-apa".

"Selamat malam, hadirin sekalian," suara Andrew terdengar jelas dan berwibawa melalui pengeras suara. Suaranya berbeda. Bukan suara lelah yang Jovanka dengar saat ia bercerita tentang rute pengiriman paket. Bukan suara putus asa yang ia dengar saat Andrew memohon untuk tidak putus. Ini adalah suara seorang pemimpin, seorang pria yang memegang kendali penuh.

Jovanka melihat Andrew melirik ke arahnya lagi, dengan senyum tipis yang dulu ia anggap canggung, kini berubah menjadi senyum rahasia yang mengintimidasi. Senyum itu seolah berkata, 'Kau mencari sosok lain? Ini dia. Sosok lain yang sama sekali tidak kau duga.'

Otaknya berpacu, mencoba mencari celah, mencari alasan. Ini pasti lelucon. Ya, lelucon. Andrew ingin mengerjainya, mempermalukannya. Tapi, lelucon apa yang melibatkan seluruh Grup Wijaya dan pesta sebesar ini? Kemeja mahal, jas tanpa cela, arloji elegan—semua itu bukan barang sewaan. Bukan barang curian. Itu adalah pakaiannya. Identitas aslinya.

Ia mengingat semua perkataan Andrew sebelumnya. "Dulu, saat aku masih 'tidak punya apa-apa', kau tak pernah mau melihatku." "Bahkan kau tak pernah bertanya apa yang sebenarnya aku lakukan, atau siapa aku sebenarnya di balik jaket itu." "Mencari seseorang yang bisa memberimu apa yang kau inginkan. Status, kemewahan, mungkin, malam ini, seorang pewaris rahasia yang kabarnya akan muncul."

Setiap kalimat Andrew kini menghantamnya bagai palu godam. Itu bukan ancaman. Itu adalah peringatan. Peringatan yang ia abaikan, bahkan ia olok-olok. Bodoh. Ia bodoh. Ia telah mengabaikan berlian yang berada di genggamannya, demi sebutir kerikil yang ia impikan.

"Dengan bangga saya sampaikan bahwa malam ini, adalah awal dari sebuah era baru bagi Grup Wijaya," lanjut Andrew di atas panggung, suaranya menggelegar penuh percaya diri. "Dan saya, sebagai CEO baru, berkomitmen untuk melanjutkan warisan yang telah dibangun dengan kerja keras dan integritas."

Warisan. Kerja keras. Integritas. Kata-kata itu terdengar ironis di telinga Jovanka. Integritas? Ia meragukan integritas Andrew saat ia menyamarkan dirinya sebagai kurir. Tapi bukankah itu justru ujian integritas? Ujian untuk melihat siapa yang bisa menerima dirinya apa adanya? Dan ia... ia telah gagal total.

Seorang pria paruh baya yang bijaksana, dengan rambut beruban rapi dan mata penuh kebanggaan, tiba-tiba muncul di samping Andrew di panggung. Itu adalah Pak Dirga Wijaya, ayah Andrew, pemilik Grup Wijaya, yang kini tersenyum tipis ke arah putranya. Tepuk tangan riuh akhirnya pecah, menggema di seluruh ruangan. Tepuk tangan itu bukan hanya untuk Andrew, tapi juga untuk pengungkapan yang spektakuler ini, untuk drama yang disuguhkan secara langsung di hadapan mereka.

Jovanka merasa seolah ribuan pasang mata menatapnya, menusuknya, mengejeknya. Ia melihat ke sekeliling, mencoba mencari jalan keluar, sebuah lubang untuk bersembunyi. Namun tidak ada. Ia terjebak di tengah lingkaran pengadilan sosial, dan ia adalah terdakwa utama.

Ia teringat betapa ia membenci jaket kurir kusam Andrew. Betapa ia malu saat Andrew datang menjemputnya dengan motor bututnya. Betapa ia selalu membuat alasan untuk tidak bertemu di depan teman-temannya. Ia bahkan pernah dengan kasar melempar jaket Andrew ke lantai, menyebutnya "pakaian orang gagal". Semua kenangan itu kini berputar di benaknya, menghantamnya dengan rasa jijik pada dirinya sendiri.

Andrew mengakhiri pidatonya dengan senyum yang sama tenang dan penuh rahasia. Ia membungkuk hormat, lalu turun dari panggung. Para tamu segera mengerubunginya, berebut untuk menyalami, mengucapkan selamat, atau sekadar bertukar basa-basi. Aura kemegahan mengelilinginya, menjadikannya pusat perhatian yang mutlak.

Jovanka melangkah mundur, kakinya terasa berat. Ia harus mendekatinya. Ia harus berbicara. Ia harus menjelaskan. Mencari kesempatan kedua. Setidaknya, mencoba. Andrew tidak mungkin serius. Ia pasti masih mencintainya. Ya, Andrew mencintainya. Pria baik hati itu.

Ia mulai melangkah maju, menerobos kerumunan yang menghalangi. Jantungnya berdebar kencang, antara harapan dan ketakutan. Ia harus mencapai Andrew. Ia harus mengatakan sesuatu. Apapun.

"Andrew!" panggilnya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar di tengah kebisingan.

Namun, sebelum ia bisa mencapai Andrew, sebuah sosok tegap muncul di hadapannya, menghalangi jalannya. Itu adalah Baskara, sahabat karib Andrew, yang dulu sering ia lihat menemani Andrew saat masih menjadi kurir. Baskara, yang selalu tampak lebih serius dan pragmatis. Kini Baskara menatapnya dengan ekspresi tanpa emosi, namun ada peringatan keras di matanya.

"Maaf, Nona Jovanka," kata Baskara, suaranya tenang namun tegas, seolah ia adalah tembok yang tak bisa ditembus. "Bapak Andrew sedang sibuk. Dia tidak bisa diganggu."

Jovanka menatapnya, matanya memohon. "Tapi, aku harus bicara dengannya! Ini penting!"

Baskara hanya menggelengkan kepala pelan. "Segala sesuatu yang perlu dikatakan, saya yakin sudah disampaikan di panggung tadi. Dan juga, sudah Anda sampaikan kepadanya, dulu." Ia melirik sekilas ke arah Andrew, yang kini sedang berbincang dengan Pak Dirga, senyum hangat tersungging di bibirnya.

Jovanka merasakan gejolak amarah dan keputusasaan. Bagaimana bisa? Andrew, pria yang dulu begitu mencintainya, kini tidak bisa ia sentuh, tidak bisa ia ajak bicara. Ia seperti telah membangun dinding tak terlihat di antara mereka.

"Aku, aku tidak mengerti," bisik Jovanka, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Baskara, aku harus bicara dengannya. Kumohon..."

Baskara menghela napas, tatapannya sedikit melunak, namun tekadnya tetap teguh. "Nona Jovanka, Andrew membutuhkan ketenangan malam ini. Setelah apa yang Anda lakukan padanya ..." Ia memotong kalimatnya, seolah tidak ingin mengucapkan kata-kata itu di tempat seramai ini. "Dia hanya ingin Anda merenungkan apa yang terjadi."

Merenungkan? Merenungkan apa? Ia sudah tahu apa yang terjadi. Ia telah kehilangan segalanya. Ia telah membuang permata yang sangat berharga.

Jovanka memutar pandangannya, mencari Andrew lagi. Ia melihatnya, tertawa ringan bersama beberapa petinggi perusahaan. Senyumnya begitu tulus, begitu bebas. Senyum yang tidak pernah ia tunjukkan saat bersamanya, saat ia masih menjadi kurir. Pria di hadapannya itu adalah Andrew, namun juga bukan Andrew yang ia kenal.

Rasa panas menjalari pipinya. Ia merasakan malu yang begitu dalam, lebih dari yang pernah ia rasakan seumur hidupnya. Setiap pasang mata, setiap bisikan, seolah menunjuk ke arahnya, mengolok-olok kebodohannya.

"Tidak mungkin ..." gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Ini tidak mungkin terjadi ..."

Jovanka melangkah mundur, satu langkah, lalu dua. Ia harus pergi dari sini. Segera. Ia harus menghilang sebelum lebih banyak orang menyadari kesalahannya, sebelum lebih banyak tatapan menghakimi menelanjanginya. Namun, kakinya terasa seperti terpaku ke lantai. Pandangannya kembali tertuju pada Andrew yang kini sedang bersalaman dengan seorang menteri. Pria itu begitu jauh, begitu tak terjangkau.

Baskara masih berdiri di sana, seperti penjaga gerbang. Jovanka menyadari bahwa Andrew memang tidak ingin bertemu dengannya. Tidak sekarang. Mungkin tidak pernah.

Ia menelan ludah, air matanya kini mulai membasahi pipinya. Semua ini adalah kesalahannya. Sebuah kesalahan fatal yang ia buat karena... karena ia terlalu buta. Ia terlalu terobsesi pada penampilan, pada status, pada ...

***

Andrew mengangkat gelas sampanye, dan tatapannya kembali bertemu dengan tatapan Jovanka yang penuh penyesalan. Senyum tipis, yang sama persis seperti yang ia lihat saat pertama kali Andrew muncul malam itu, kembali tersungging. Senyum itu bukan lagi hanya rahasia, melainkan pernyataan. Sebuah pernyataan yang tanpa kata pun sudah jauh lebih menyakitkan daripada seribu makian. Ia mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah Baskara, berbisik sesuatu yang Jovanka tidak bisa dengar. Baskara mengangguk, lalu berbalik dan kembali menghalangi jalan Jovanka yang masih terpaku di tengah kerumunan.

Jovanka merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan, ingin berlutut dan memohon. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia hanya bisa berdiri di sana, menjadi tontonan, menyaksikan Andrew, pria yang dulu ia buang, kini berdiri sebagai raja di tengah kerajaannya sendiri. Ia telah melakukan sebuah kesalahan yang tidak akan pernah bisa dimaafkan. Dan semua itu bermula dari, dari pandangan pertama Andrew pada dirinya, yang tidak pernah ia balas dengan tulus. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, tapi kakinya tak bisa bergerak. Ia harus pergi, tapi ke mana? Di mana ia bisa menyembunyikan rasa malu dan penyesalan yang membakar jiwa ini?

Tiba-tiba, ia merasakan sebuah tangan menyentuh lengannya. Bukan Baskara, melainkan Karina, temannya. Mata Karina memancarkan campuran iba dan rasa ingin tahu yang tak tertahankan.

"Jovanka," bisik Karina, "Apa ini semua benar? Andrew, dia benar-benar pewaris Wijaya?"

Jovanka tidak menjawab. Ia hanya menatap Karina dengan mata kosong, pikirannya melayang, mencoba mencari kepingan-kepingan masa lalu yang ia abaikan, potongan-potongan petunjuk yang selama ini ia anggap remeh. Jaket kurir itu. Motor butut itu. Senyumnya yang terlalu tenang. Semua adalah bagian dari sebuah sandiwara besar, sebuah pameran akting yang sempurna. Dan ia, ia hanyalah penonton bodoh yang tidak pernah menyadarinya.

Andrew kini berjalan menuju meja VIP, dikelilingi oleh para pengusaha dan petinggi. Ia adalah pusat semesta malam itu. Dan Jovanka, ia hanyalah sebuah titik kecil di pinggir, yang semakin lama semakin terasa tenggelam oleh gelombang kemegahan yang diciptakan oleh Andrew. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa hanya berdiri di sini dan menyerah. Ia tidak bisa membiarkan semua ini berakhir seperti ini. Ia harus bicara dengannya, menjelaskan, mungkin bahkan ...

"Jovanka?" Karina mengguncang lengannya lagi, menariknya kembali ke kenyataan. "Kau kenapa? Jawab aku!"

Jovanka menatap Karina, lalu kembali menatap Andrew di kejauhan. Sebuah ide gila melintas di benaknya, sebuah rencana putus asa untuk mengembalikan apa yang telah hilang. Ia harus meraih Andrew. Sekarang juga. Atau ia akan kehilangan segalanya, selamanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, dan mulai melangkah maju lagi, dengan tekad baru yang menyala di matanya. Ia tidak peduli dengan Baskara. Ia tidak peduli dengan tatapan orang lain. Ia hanya peduli pada Andrew. Ia harus meraihnya. Ia melangkah maju, kakinya terasa lebih ringan dari sebelumnya, menembus kerumunan seperti kapal pemecah es. Andrew, ia harus mencapai Andrew. Ia harus mengatakan kepadanya bahwa ia mencintainya, bahwa ia akan melakukan apa pun untuknya. Ia hampir sampai, hanya beberapa langkah lagi dari meja VIP tempat Andrew duduk, ketika tiba-tiba, sebuah tangan kokoh kembali menahan lajunya. Bukan Baskara kali ini, melainkan seorang petugas keamanan yang besar, dengan wajah tanpa ekspresi.

"Maaf, Nona," katanya, suaranya datar. "Anda tidak diizinkan mendekati area VIP."

Jovanka menatap petugas keamanan itu, lalu menatap Andrew yang kini sedang berbincang dengan Pak Dirga Wijaya, ayah Andrew, yang menoleh ke arahnya, mata Pak Dirga memancarkan kilatan tajam. Andrew tidak menoleh. Ia tidak melihatnya. Ia mengabaikannya. Dan itulah yang paling menyakitkan dari segalanya. Ia telah menjadi tak terlihat baginya, persis seperti yang dulu ia lakukan padanya.

Ia harus berteriak. Ia harus menarik perhatiannya. "Andrew!" serunya, suaranya pecah, namun cukup keras untuk menembus kebisingan. "Andrew, aku mohon! Aku mencintaimu! Aku—"

Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, petugas keamanan itu menariknya ke samping dengan paksa, menjauhkannya dari area VIP. Tangannya mencengkeram lengannya erat, tak memberinya kesempatan untuk melawan. Ia merasakan pandangan semua orang kembali tertuju padanya.

Jovanka merasa seluruh dunianya runtuh. Ia menatap Andrew, yang kini akhirnya menoleh, matanya bertemu dengan matanya. Andrew tidak tersenyum. Ia hanya menatapnya dengan tatapan yang dingin, tak berekspresi. Itu adalah tatapan seorang pria yang sama sekali tidak mengenalnya, tidak peduli padanya.

"Tidak," bisik Jovanka, air matanya mengalir deras. "Andrew ... aku ..."

Seolah tak ada yang perlu didengar lagi, Andrew berbalik, kembali melanjutkan percakapannya, mengabaikannya sepenuhnya. Jovanka merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Ia berusaha meronta dari cengkeraman petugas keamanan, namun ia terlalu kuat. Ia merasakan air mata dan rasa sakit membakar matanya. Tidak. Ini tidak boleh berakhir seperti ini. Ia tidak bisa membiarkan Andrew pergi. Ia tidak bisa melepaskan satu-satunya kesempatan yang ia miliki. Ia berteriak lagi, lebih keras, lebih putus asa.

"Andrew! Aku salah! Aku tahu aku salah! Kumohon, beri aku satu kesempatan lagi! Aku ... aku ..."

Namun, kata-katanya terpotong, suaranya tercekat di tenggorokan, saat petugas keamanan itu semakin erat mencengkeramnya dan mulai menyeretnya perlahan menuju pintu keluar. Kerumunan orang di sekitarnya hanya melihat, tidak ada yang membantu, tidak ada yang peduli. Jovanka merasakan tangannya meraih-raih udara, mencoba menggapai Andrew yang semakin menjauh. Ia melihat Andrew untuk terakhir kalinya, dari kejauhan, berbicara dengan ayahnya, seolah-olah semua keributan ini tidak pernah terjadi. Ia adalah orang luar. Ia telah dibuang. Dan itu semua salahnya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menemukan cara untuk memperbaiki ini. Tapi bagaimana? Bagaimana ia bisa menghadapi ini? Bagaimana ia bisa hidup dengan penyesalan yang membakar ini? Ia terus meronta, berteriak, memohon, namun suaranya perlahan tenggelam dalam dentuman musik yang kembali menguat, dan bayangan punggung Andrew yang semakin jauh. Matanya terpejam. Semua ini terasa seperti mimpi buruk. Sebuah mimpi buruk yang baru saja dimulai. Ia mencoba membuka matanya lagi, mencoba melihat Andrew, namun yang terlihat hanyalah punggungnya yang kini berbalik, bergerak menjauh, ke arah yang berlawanan. Jantungnya berdebar kencang, ia merasakan kakinya mulai tidak menapak, seolah ia melayang, dan semua ini adalah sebuah ... sebuah ...

jatuh ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Kurir Biasa   Chapter 6

    "...Mungkin aku butuh se—" Andrew menelan ludahnya, merasakan tenggorokannya masih tercekat oleh emosi yang campur aduk. Matanya beradu dengan tatapan lembut Luna. Ia melihat ketulusan di sana, sesuatu yang langka dalam pengalamannya belakangan ini. "...sesuatu yang hangat. Teh tawar saja, Mbak Luna, kalau tidak merepotkan."Luna tersenyum. Senyum yang sederhana, namun mampu menenangkan riuhnya badai di hati Andrew. “Tidak merepotkan sama sekali, Mas Kurir. Tunggu sebentar, ya.” Gadis itu segera berbalik menuju konter, meraih cangkir bersih dan mulai menyeduh teh. Setiap gerakannya tampak alami, tanpa paksaan, sebuah kontras yang mencolok dengan kepalsuan yang baru saja ia rasakan.Baskara menyenggol bahu Andrew pelan. “Gimana? Lumayan, kan? Dunia belum kiamat, Dre.” Ia mengedikkan dagu ke arah Luna yang sibuk di balik konter, seolah ingin menyampaikan pesan tanpa kata. Andrew hanya mengangguk samar, membiarkan kehangatan cangkir kopi di tangannya meresap, perlahan

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 5. Secangkir Kopi Pahit

    ...membuat motornya oleng, dan ia—Andrew mencengkeram stang motornya erat-erat, seolah nyawanya bergantung pada pegangan itu. Seluruh tubuhnya menegang. Sepasang mata di balik visor helm yang buram itu membelalak, melihat ban depan motornya terpeleset di atas genangan air bercampur oli yang mengilap, tepat setelah truk itu lewat. Ia bisa merasakan motornya limbung ke kanan, gravitasi menariknya dengan ganas, seolah ingin mencampakkannya ke aspal dingin. Jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seperti genderang perang.Tidak. Tidak sekarang.Dengan insting yang terlatih dari ribuan kilometer di jalanan ibu kota, Andrew mengeraskan otot-otot pahanya, mengarahkan stang ke kiri dengan kasar, sekaligus menginjak rem belakang. Ban belakang motornya berderit, sempat mengunci, tapi gerakan refleksnya berhasil menstabilkan motor itu dalam sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. Ia nyaris menabrak pembatas jalan. Napasnya terengah-engah, bau knalpot dan aspal basah memen

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 4. Hujan di Bulan Desember

    dan ia—Terhuyung. Bukan jatuh, melainkan tubuh Jovanka terdorong ke belakang, tepat ke dada seorang petugas keamanan yang lain, yang segera menahan gerakannya. Jovanka merasakan cengkeramannya yang kuat, napas yang terengah-engah, dan matanya terpaku pada sosok Andrew yang kini menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali pada ayahnya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, senyum yang tanpa kata, namun jauh lebih menyakitkan daripada seribu makian. Senyum yang seolah berkata, ‘Sekarang kamu lihat aku, kan?’Petugas itu menarik Jovanka dengan paksa. Jovanka meronta, mencoba meraih Andrew, memanggil namanya, tetapi suaranya tenggelam oleh dentuman musik dan bisikan-bisikan sinis yang menghantamnya dari segala arah. Setiap langkah menjauh dari Andrew terasa seperti cabikan, setiap bisikan bagai belati yang menusuk. Ia adalah pusat perhatian yang memalukan, sebuah tontonan gratis atas kehancurannya. Jantung Jovanka berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya. Ia harus melakukan sesu

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 3. Mata yang Menilai

    ... jatuh.Jovanka merasakan tubuhnya limbung. Bukan hanya kakinya yang lemas, tetapi seluruh fondasi yang ia bangun untuk hidupnya runtuh dalam sekejap. Rasanya seperti didorong dari tebing tinggi, gravitasi menariknya ke bawah tanpa ampun. Napasnya tercekat, dan ia harus mencengkeram lengan petugas keamanan yang masih memeganginya dengan erat, bukan untuk meronta, melainkan untuk mencari tumpuan agar tidak benar-benar ambruk di sana.Mata petugas keamanan itu tidak berkedip, wajahnya datar, seolah ia hanya menjalankan tugas, memindahkan benda mati. Andrew, pria yang dulu ia buang, kini berdiri tegak di tengah keramaian, berbicara dengan para petinggi, senyumnya tipis namun penuh wibawa. Senyum yang sama, tetapi kini memancarkan aura berbeda, aura yang mengintimidasi, aura seorang pemenang.Jovanka melihat Andrew melirik ke arahnya lagi, tatapan yang sama sekali tanpa emosi. Bukan marah, bukan sedih, melainkan kehampaan yang menusuk. Kehampaan yang jauh lebih menyakitkan daripada kem

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 2. Sebuah Nama yang Terlupakan

    "...Bapak Andrew..."Suara pembawa acara itu menggantung di udara, beradu dengan dentuman musik yang tiba-tiba meredup. Ruangan pesta yang riuh seketika hening, menyisakan gemuruh antisipasi. Jovanka merasakan cengkeramannya pada lengan Andrew mengendur, tatapannya terpaku pada panggung yang kini disinari cahaya sorot utama. Ia melihat Andrew, pria di hadapannya, perlahan menarik tangannya, senyumnya kini tampak lebih jelas, namun masih menyimpan rahasia yang tak terduga."...Wijaya!"Kata terakhir itu meledak di udara, bagai petir menyambar di tengah keramaian. Nama itu, Wijaya. Nama keluarga yang selama ini ia kejar, impian yang ia gantungkan pada sosok pewaris misterius. Dan sekarang, nama itu keluar dari bibir pembawa acara, menyatu dengan nama Andrew. Andrew. Andrew Wijaya.Jovanka merasakan dunia berputar di sekelilingnya. Otaknya berusaha memproses informasi yang baru saja ia dengar, namun logika menolaknya mentah-mentah. Tidak. Tidak mungkin. Andrew, si kurir? Andrew, pria yan

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 1. Gema di Ruang Pesta

    Dentuman musik yang membingungkan pikiran menyembunyikan sebagian dari bisikan tajam. Namun, gema kalimat Jovanka tetap menusuk, membelah hiruk-pikuk pesta amal kelas atas itu seperti pisau tajam. "Kita putus karena kamu nggak punya apa-apa, Andrew," desisnya, bibirnya membentuk senyum palsu yang lebih menyerupai ringisan. Kilauan kristal gelas sampanye memantul pada manik matanya yang menyala marah. "Dan sekarang kamu berani muncul di sini? Satpam!"Pria di hadapannya, Andrew, hanya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tak membalas amarah Jovanka, melainkan justru mengikisnya, menggantikan emosi itu dengan kebingungan dan kegelisahan yang menggerogoti. Ia mengenakan setelan jas hitam yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, kainnya mahal dan jatuh tanpa cela, dasi sutranya mengkilap di bawah cahaya sorot. Rambutnya tertata rapi, dan aura yang dipancarkannya—aura tenang yang mengintimidasi—sama sekali berbeda dengan sosok yang dulu ia kenal."Maaf, Jovanka," Andrew membalas, suaranya pel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status