Home / Lainnya / Bukan Kurir Biasa / Bab 2. Paket untuk Nyonya Angkuh

Share

Bab 2. Paket untuk Nyonya Angkuh

last update Huling Na-update: 2025-09-28 19:35:38

"...memilih antara mempertahankan rahasiamu, atau..."

Andrew berteriak, mengabaikan tatapan heran dari tukang soto yang lewat. Ia tahu Jovanka cemburu, tetapi ia tidak pernah menyangka Jovanka akan menggunakan kekuatan perusahaan untuk menghancurkan kehidupannya yang disamarkan.

"Bima? Bima, memilih apa? Bicara yang jelas!" Andrew berteriak panik ke ponselnya, namun ia hanya mendengar suara berderak dan sirene yang semakin mendekat, mengisyaratkan sinyal yang terputus, meninggalkannya sendirian di tengah kemacetan Jakarta, dengan ancaman ganda yang menjulang: Jovanka di satu sisi, dan toko buku kecil di Menteng yang sekarang menjadi targetnya, target yang ia tahu pasti...

...milik Rania.

Ia mencengkeram ponselnya, nafasnya terengah-engah. Oksigen di sekitar terasa menipis. Otaknya menolak menerima informasi yang baru saja ia terima. Jovanka tidak hanya ingin menguji ketulusannya; dia ingin menghancurkan apa pun yang ia sentuh di luar kendalinya. Dan yang paling penting: Rania, yang ia temui dan cintai karena ketulusannya, sekarang berada di garis tembak akibat keputusan Andrew yang pengecut.

Andrew harus segera kembali ke kantor, memanggil Bima, menghentikan proyek akuisisi Pustaka Senja. Tetapi ia tidak bisa. Ia terikat oleh rute pengiriman yang harus ia selesaikan, rute yang ironisnya membawanya semakin dekat ke Menteng. Ia harus menyelesaikan pengiriman ini—paket terakhir sebelum toko buku Rania—ke sebuah rumah mewah di kawasan Pondok Indah.

Ia menyalakan kembali motornya, memacu gas dengan terburu-buru, mengabaikan peraturan lalu lintas yang biasanya ia patuhi dengan kaku. Rasa panas dan debu jalanan yang tadinya hanya menjadi ketidaknyamanan, kini terasa seperti baju besi yang menghimpit kebebasannya.

Tiga puluh menit kemudian, Andrew memarkir motor bututnya di luar gerbang besi tempa tinggi yang dilapisi lumut kering. Di baliknya, berdiri sebuah rumah bergaya klasik dengan pilar-pilar Romawi dan air mancur marmer yang bergemericik damai. Aroma bunga melati yang mahal berpadu dengan aroma klorin dari kolam renang yang tersembunyi. Kontras yang menyesakkan antara kehidupan ‘Kurir Andrew’ dan lingkungan sekitar.

Ia mengeluarkan paket berukuran sedang, dibungkus dengan kertas kilap yang mahal dan disegel dengan logo butik perhiasan ternama. Paket untuk Nyonya Marilyn.

Andrew menekan interkom. Sebuah suara wanita, bernada tinggi dan dingin, menjawab. "Ya? Siapa?"

"Kurir paket. Dari Diamond & Co."

Gerbang otomatis berderit terbuka, menampakkan seorang asisten rumah tangga berbalut seragam rapi yang tampak jauh lebih mahal daripada seragam kurir Andrew.

"Tunggu di sini," perintah asisten itu, bahkan tanpa menatap Andrew, seolah ia hanya perpanjangan dari motor bututnya.

Namun, sebelum Andrew sempat menanggapi, pintu utama terbuka lebar. Sosok Nyonya Marilyn muncul. Ia mengenakan gaun sutra rumahan, rambutnya disanggul tinggi, dan ia memiliki sorot mata yang terlatih untuk menilai nilai segala sesuatu yang berada di hadapannya.

"Ada apa ini? Kenapa lama sekali?" desis Nyonya Marilyn, suaranya terdengar jengkel. Ia menatap Andrew dari ujung kaki ke ujung kepala, tatapan yang identik dengan Jovanka—tatapan yang membedah status sosial.

"Selamat sore, Bu. Paket Anda," Andrew mengangkat paket itu setinggi bahu. Ia mempertahankan senyum kurir profesional yang tulus, senyum yang sering ia paksakan di hadapan orang-orang seperti ini.

Nyonya Marilyn mengabaikan paketnya. Ia melangkah mendekat, matanya menyipit saat melihat seragam Andrew yang berkeringat.

"Astaga. Apakah kamu harus berdiri di teras rumahku dengan aroma seperti itu?" ujarnya, menutup hidungnya secara dramatis. "Saya sudah membayar biaya pengiriman kilat premium. Saya tidak mengharapkan paket saya diantar oleh seseorang yang berbau seperti bensin dan matahari siang."

Andrew menelan ludah, dadanya terasa sesak oleh amarah yang sudah ia pendam selama bertahun-tahun—rasa sakit yang sama yang ia rasakan setiap kali Jovanka meremehkannya. Ia teringat alasan ia melakukan penyamaran ini: untuk mencari kebebasan dari orang-orang yang mengukur kemanusiaan dari kekayaan.

"Maaf, Bu. Kami sedang berusaha secepat mungkin," jawab Andrew, suaranya datar. "Jika Anda berkenan, tolong tanda tangani tanda terima ini."

Nyonya Marilyn mengambil clipboard itu dengan dua jari, seolah benda itu berpotensi membawa kuman mematikan. Ia melirik formulir itu, kemudian kembali menatap Andrew.

"Kamu terlihat... terlalu bersih untuk menjadi kurir motor," komentarnya dengan nada curiga. "Biasanya kurir yang di sini badannya besar dan kasar. Kamu ini, seperti mahasiswa yang tersesat dan mencoba pekerjaan paruh waktu untuk membeli kopi mahal. Apa nama belakangmu?"

"Andrew, Bu. Hanya Andrew," ia membalas, menjaga detailnya sekecil mungkin.

"Andrew," Nyonya Marilyn mengulang nama itu dengan nada mengejek. "Yah, Andrew. Saya harap kamu tahu, paket yang kamu bawa itu adalah berlian kalung yang akan saya kenakan di acara amal Wijoyo Corp akhir pekan ini. Harganya... jauh lebih mahal daripada seluruh isi rekening bank kamu, bahkan kalau kamu bekerja selama sepuluh tahun."

Jantung Andrew berdebar kencang. Wijoyo Corp. Ia menatap Nyonya Marilyn, menyadari bahwa wanita ini pasti istri dari salah satu pejabat penting di perusahaannya sendiri. Dunia Andrew yang terbagi dua kini mulai bergesekan dengan brutal.

"Saya jamin paket ini aman, Bu. Standar pengiriman kami sangat ketat," desak Andrew, ingin segera menyelesaikan urusan ini dan pergi.

"Tentu saja aman. Karena kamu tahu konsekuensinya kalau tidak," Nyonya Marilyn terkekeh kecil, tawa yang terdengar seperti pecahan kristal. Ia menandatangani dokumen dengan gerakan cepat dan mewah, lalu menyerahkan clipboard itu kembali ke Andrew. Jari-jari Andrew dan Nyonya Marilyn tidak sengaja bersentuhan saat perpindahan clipboard, dan Nyonya Marilyn segera menarik tangannya seolah baru saja menyentuh bara api.

"Ngomong-ngomong, saya tidak tahu kenapa perusahaan pengiriman ini memilih rute yang rumit," Nyonya Marilyn mengeluh, menatap Andrew dengan tatapan lelah. "Suami saya, Tuan Haryo, baru saja bilang bahwa semua akan menjadi lebih mudah begitu pembangunan Wijoyo Center baru di Menteng selesai. Kita tidak perlu lagi berurusan dengan toko-toko kecil yang menghalangi. Semua akan diratakan, diganti dengan bangunan modern."

Rasa dingin menjalar di punggung Andrew, jauh lebih tajam daripada udara dingin dari AC mansion itu. Ini bukan hanya gosip; ini adalah konfirmasi dari ancaman Bima. Rania. Pustaka Senja.

"Toko buku... Pustaka Senja?" Andrew bertanya, suaranya serak. Ia tidak bisa menahan diri.

Nyonya Marilyn memandang Andrew dengan ekspresi terkejut, seperti seekor nyonya rumah yang melihat kecoak berani bertanya tentang rencana makan malam.

"Astaga, Andrew si kurir tahu tentang akuisisi bisnis?" Nyonya Marilyn tertawa lagi, lebih keras kali ini. "Ya, toko buku reot itu. Pemiliknya, seorang wanita muda yang keras kepala, menolak ganti rugi. Suami saya bilang, kita harus mengambil tindakan lebih keras segera. Proyek itu harus dimulai minggu depan. Dia bilang, bahkan jika dia harus mengirimkan tim penggusur, toko itu harus kosong pada hari Jumat."

Kamis. Sekarang hari Kamis. Andrew hanya punya waktu kurang dari dua hari. Rania tidak tahu apa-apa. Ia mempercayai Andrew si kurir yang sesekali membawa paket buku dan selalu mengobrol dengan hangat. Andrew, yang sedang mengincar tokonya untuk dihancurkan, kini menyamar, merayu sang pemilik. Kebohongan yang ia pelihara demi mencari cinta kini akan menghancurkan hidup Rania.

"Saya harus segera pergi," ujar Andrew, menyimpan clipboard itu dengan kasar.

"Tentu saja, Andrew. Jangan sampai kamu terlambat ke pengiriman berikutnya. Oh, tunggu sebentar," Nyonya Marilyn tiba-tiba menghentikan langkah Andrew. Matanya beralih ke pergelangan tangan Andrew, tempat jam tangan digital murahan itu melingkar. "Saya kira tadi saya melihat sesuatu yang aneh."

Andrew seketika menegang. Apa yang ia lihat? Apakah ia melihat lecet di pergelangan tangannya akibat jam tangannya yang mahal yang tersembunyi di balik brankas?

Nyonya Marilyn melangkah lebih dekat. Andrew bisa mencium aroma mahal parfumnya, wangi yang memuakkan.

"Kamu tahu, perawakanmu... kamu mengingatkanku pada seseorang," Nyonya Marilyn bergumam, memindai wajah Andrew dengan seksama. "Seseorang yang sering dilihat Tuan Haryo di kantornya. Kurir mana yang memiliki garis rahang yang begitu bersih, dan mata... mata yang terlalu cerdas untuk pekerjaan ini?"

Andrew merasakan adrenalin memompa, ia harus lari. Ia harus menyelesaikan ini.

"Maaf, Bu. Saya harus pergi," Andrew mencoba berbalik.

"Tunggu dulu," Nyonya Marilyn meraih seragam Andrew, mencegahnya pergi. "Nama perusahaannya... Saya ingat, nama Direktur Utama Wijoyo Corp juga Andrew. Andrew Wijoyo. Dan dia sering memakai... Tunggu sebentar..."

Nyonya Marilyn melepaskan seragam Andrew dan matanya tertuju ke bagian belakang telinga Andrew, yang tidak tertutup helm. Tiba-tiba, mata Nyonya Marilyn membelalak. Ia melihat sesuatu yang Andrew lupakan—bekas luka kecil, peninggalan dari kecelakaan saat ia berusia tujuh tahun, yang hanya terlihat dari jarak sangat dekat. Bekas luka itu sudah menjadi ciri khas Andrew.

Nyonya Marilyn mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke wajah Andrew, mulutnya terbuka, membentuk sebuah kata. Sebuah kata yang akan menghancurkan seluruh penyamaran Andrew, menjerumuskannya ke dalam konsekuensi yang paling mengerikan.

"Kamu..."

Andrew merasakan kepalanya berdengung, mendengar Nyonya Marilyn menarik napas dalam-dalam, siap untuk mengucapkan identitas terlarangnya, identitas yang akan menghubungkannya langsung dengan rencana penghancuran Pustaka Senja di depan Rania.

"Kamu adalah..." teriak Nyonya Marilyn, suaranya menusuk gendang telinga. Andrew reflex menutup matanya, siap menghadapi konsekuensi.

Tiba-tiba, dari kegelapan motor butut yang Andrew sandarkan di tiang, sebuah suara anjing liar yang marah menggonggong keras, diikuti oleh suara pecahan kaca yang nyaring. Anjing itu menerobos masuk melewati gerbang yang terbuka, mengejar seekor kucing yang panik. Kucing itu menabrak rak pot bunga marmer, menjatuhkannya tepat di depan kaki Nyonya Marilyn.

Perhatian Nyonya Marilyn beralih sepenuhnya dari Andrew ke kucing dan pot bunga yang pecah.

"Astaga! Berani sekali anjing kotor itu masuk ke sini! Andrew! Minggir! Ambilkan sapu! Cepat!" perintah Nyonya Marilyn dengan panik, melupakan hampir semua yang baru saja ia lihat.

Ini adalah kesempatan Andrew. Hanya jeda beberapa detik. Ia menarik helmnya turun, menendang starter motor, dan memacu gas tanpa berpikir. Ia tidak peduli dengan teriakan marah Nyonya Marilyn di belakangnya. Yang ada di pikirannya hanyalah satu nama: Rania.

Ia melesat ke jalanan Menteng. Ia harus sampai di Pustaka Senja. Ia harus memperingatkan Rania tentang rencana akuisisi yang mengerikan itu, dan ia harus melakukannya sebelum Jovanka atau Tuan Haryo mengambil tindakan, atau sebelum... sebelum ia harus memilih, seperti yang Bima katakan.

Ia memarkir motornya di seberang toko buku yang hangat itu. Pustaka Senja. Cahaya senja keemasan menyaring melalui jendela kacanya, menampakkan rak-rak buku yang penuh dan meja kayu yang dicintai.

Andrew melepas helmnya. Ia meraih paket buku terakhir, hadiah kecil dari sebuah penerbit yang harus ia serahkan. Ia berjalan menyeberangi jalan, jantungnya berdebar kencang. Kebenaran harus diungkapkan sekarang.

Ketika ia membuka pintu toko, bel kecil di atasnya berdentang lembut. Aroma kertas tua dan kopi segar langsung menyergapnya.

Di tengah ruangan, Rania sedang tersenyum. Senyum itu tulus, tidak menuntut, tidak menghakimi. Ia sedang merapikan tumpukan buku di meja kasir.

"Andrew!" Rania berseru gembira. "Aku kira kamu sudah selesai untuk hari ini. Aku baru saja menyeduh kopi Kolumbia favoritmu."

Andrew berhenti di ambang pintu, paket di tangannya terasa berat seperti batu. Ia menatap mata Rania yang jernih, dan rasa bersalah mencabik-cabiknya. Ia tahu, dalam lima menit ke depan, ia akan menghancurkan senyum itu.

"Rania, kita harus bicara," kata Andrew, suaranya tercekat. "Ini mendesak. Aku... aku bukan hanya kurir."

Rania tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Aku tahu, Andrew. Kamu lebih dari itu. Kamu punya jiwa seorang pujangga tersembunyi. Tapi bicara apa? Soal buku baruku?"

Andrew menggeleng. Ia melangkah mendekat, mendekati Rania di meja kasir. Ia mencondongkan tubuhnya, memutuskan bahwa ia akan mengakui kebohongan identitasnya—seluruh detail tentang Wijoyo Corp, Jovanka, dan rencana penghancuran toko ini.

"Rania," Andrew memulai, matanya memohon. "Aku harus memberitahumu. Aku minta maaf. Nama asliku—"

Tiba-tiba, pintu toko buku itu terbuka kembali, kali ini tanpa dentangan bel. Udara dingin dari luar langsung menyapu ruangan.

Andrew menoleh. Berdiri di ambang pintu, memancarkan aura kemewahan yang tidak sesuai dengan lingkungan toko buku yang sederhana itu, adalah Jovanka. Ia mengenakan gaun koktail sutra hitam, jam tangan emasnya berkilauan. Di sampingnya, berdiri Bima.

Jovanka melihat Andrew, melihat seragam kurirnya, dan melihat Andrew berdiri begitu dekat dengan Rania. Senyum buatan Jovanka menghilang, digantikan oleh kilatan kemarahan murni.

"Oh," desis Jovanka, melangkah maju. "Jadi ini tempat 'pengalaman hidup' kamu. Andrew, kamu bilang kamu akan mengganti baju. Rupanya kamu sibuk bermain cinta-cintaan dengan pemilik toko buku murahan ini."

Jovanka berjalan ke meja kasir, matanya tertuju pada Andrew.

"Bima, apakah kamu sudah memberitahunya?" tanya Jovanka, melirik Bima dengan senyum licik.

Bima tampak pucat, tubuhnya tegang karena rasa bersalah dan ketidakberdayaan. Ia hanya bisa menggeleng pelan ke arah Andrew.

Andrew menatap Bima. Memilih antara mempertahankan rahasiamu, atau...

"Andrew," Jovanka mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya manis namun mematikan. "Dia tidak memberitahumu, bukan? Baik. Aku akan memberitahumu apa yang dia tidak sempat katakan di telepon. Kamu punya dua pilihan, Sayang."

Jovanka menggeser pandangannya ke Rania, yang kini bingung dan ketakutan.

"Pilihan pertama: Kamu segera memecat dirimu dari peran kurir bodoh ini, putuskan kontak dengan... wanita ini, dan datang ke makan malam kita, bertindak seolah-olah kamu memang Andrew Wijoyo yang terhormat. Aku akan melupakan semua ini, dan properti ini akan kami tinggalkan sendirian. Pilihan kedua..."

Jovanka mengambil paket buku di tangan Andrew, merobeknya dengan satu gerakan cepat, dan melemparkannya ke lantai.

"Pilihan kedua," ulangnya, suaranya naik menjadi teriakan yang tajam, "adalah aku akan mengungkapkan siapa kamu sebenarnya kepada dia, di depan umum, dan kemudian aku akan memastikan bahwa bukan hanya toko buku ini yang akan dihancurkan, tapi juga seluruh hidup yang kamu coba bangun dengan kebohongan ini. Jadi, Andrew, pilih sekarang! Apakah kamu memilih kembali menjadi CEO-ku, atau kamu akan membiarkan rahasia itu—"

Tiba-tiba, Andrew mendengar gemuruh motor besar di luar. Gerombolan pengendara motor berseragam hitam berhenti tepat di depan Pustaka Senja. Mereka bukan kurir. Mereka adalah tim keamanan Wijoyo Corp. Mereka membawa tongkat dan pelindung.

Andrew menoleh, matanya terpaku pada sosok yang turun dari mobil sedan hitam di belakang barisan motor itu. Itu Tuan Haryo, ditemani oleh seorang pengacara berwajah dingin.

Mereka datang bukan untuk bernegosiasi. Mereka datang untuk mengambil toko buku itu, malam ini juga.

"Rania, aku—" Andrew mulai berbicara, ingin sekali lagi mencoba mengakui kebenaran.

Namun, Jovanka sudah selesai. Ia menatap Rania dengan pandangan superioritas yang memuakkan, sebelum kembali menatap Andrew dengan senyum kemenangan.

"Baiklah," kata Jovanka, mengangkat bahunya. "Karena kamu tidak memilih, aku akan memilih untukmu. Selamat tinggal, Kurir Andrew yang malang."

Jovanka berbalik ke arah Rania, yang kini menatap Andrew dengan tatapan yang meminta jawaban, meminta kebenaran.

"Nona Rania," Jovanka memulai, suaranya bergema di ruangan kecil itu. "Perkenalkan kekasihku ini dengan benar. Namanya bukan Andrew si kurir. Dia adalah—"

Pintu toko didorong terbuka dengan keras. Tuan Haryo, didukung oleh tim keamanannya, melangkah masuk, mengabaikan Jovanka dan langsung menuju Andrew.

"Andrew Wijoyo! Apa yang kamu lakukan di sini?" Tuan Haryo berteriak, amarahnya meluap. "Kita sudah sepakat, kamu tidak boleh mencampuri rencana akuisisi ini! Dan kamu masih memakai seragam sampah itu? Kamu merusak citra perusahaan!"

Tuan Haryo berbalik ke arah Rania yang membeku, sebelum kembali menatap Andrew dengan mata menyala.

"Andrew Wijoyo, CEO Wijoyo Corp, kamu telah melakukan penipuan dan penyamaran. Sekarang, kamu akan melihat konsekuensi dari drama kekanakanmu ini. Saya akan membuktikan kepada Dewan Direksi bahwa kamu tidak stabil. Dan untuk Nona Rania," Tuan Haryo menunjuk dengan jari telunjuknya, "Aku akan memastikan toko buku ini sudah rata dengan tanah sebelum—"

Tiba-tiba, Andrew melangkah maju, tangannya meraih lengan Rania, menariknya menjauh dari meja kasir, menjauh dari semua kekacauan dan kebohongan yang telah ia ciptakan. Ia harus menyelamatkannya.

"Rania, ikut aku sekarang!"

Rania menolak, matanya terpaku pada Tuan Haryo dan Jovanka. "Apa? Andrew Wijoyo? Apa maksudnya? Katakan padaku, Andrew!"

"Aku akan menjelaskannya nanti! Sekarang kita harus pergi!" Andrew menarik Rania dengan paksa menuju pintu belakang, tetapi Tuan Haryo dan tim keamanannya sudah menutup akses itu.

Di depannya, Jovanka tersenyum puas, sementara Tuan Haryo bergerak untuk mencegatnya.

Andrew melihat satu-satunya jalan keluar: pintu depan. Tapi Jovanka menghalangi jalan.

"Andrew! Jangan lari!" teriak Jovanka, meraih pergelangan tangan Andrew.

Andrew menarik tangannya. Tepat pada saat itu, Bima, yang selama ini hanya berdiri cemas di pinggir ruangan, tiba-tiba bergerak cepat. Bima berlari ke arah saklar listrik utama di dekat pintu belakang dan—

Gelap. Seluruh Pustaka Senja jatuh ke dalam kegelapan total, hanya diterangi oleh cahaya mobil-mobil yang melintas di luar.

Di tengah kegelapan, Andrew mendengar pekikan Jovanka dan teriakan Tuan Haryo. Ia merasakan lengan Rania terlepas dari genggamannya. Ia meraba-raba dalam kegelapan yang pekat, mencoba menemukan Rania, mencoba menemukan jalan keluar, mencoba menemukan kebenaran.

"Rania! Kamu di mana?" Andrew berteriak panik ke dalam kegelapan, tetapi ia tidak mendapat jawaban. Yang ia dengar hanyalah suara pintu yang dibanting keras, suara kaca pecah di kejauhan, dan—

Sebuah tangan mencengkeram bahu Andrew dengan kekuatan yang mengejutkan. Andrew berbalik, siap melawan, tetapi ia merasakan pukulan keras dan tumpul menghantam pelipisnya. Pandangannya berputar, dan ia merasakan tubuhnya ambruk ke lantai kayu, di tengah aroma kertas tua, kopi, dan kegelapan, persis sebelum ia bisa mengatakan yang sebenarnya. Andrew jatuh ke dalam kehampaan—

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bukan Kurir Biasa   Chapter 16

    Andrew membeku, kobaran api menyelimuti bahunya, dan di tengah keramaian wartawan dan teriakan panik, ia sadar: penembak itu pasti salah satu anak buah Hermawan, yang seharusnya menjaga Rania. Rania telah——diculik.Teriakan Rania yang memilukan bergema di lorong sempit menuju pintu belakang toko buku, suara yang langsung mengalahkan suara gemuruh api yang melahap seragam Andrew.Rasa sakit dari nyala api di tubuh Andrew seketika teredam, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan ketakutan yang murni. Ia tidak lagi merasakan panasnya kain yang melekat di kulitnya. Satu-satunya fokusnya kini adalah suara teriakan itu.Ia mendorong Jovanka, yang masih memegangi lengan baju seragam yang terbakar, dan berbalik. Ia melihat kilasan siluet. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan jaket gelap—bukan salah satu kurir—tengah menyeret Rania yang meronta-ronta menuju sebuah mobil SUV hitam yang sudah menunggu di ujung gang.“Rania!” raung Andrew, suaranya serak dan menyakitkan, dipengaruhi oleh as

  • Bukan Kurir Biasa   Chapter 16

    Andrew membeku, kobaran api menyelimuti bahunya, dan di tengah keramaian wartawan dan teriakan panik, ia sadar: penembak itu pasti salah satu anak buah Hermawan, yang seharusnya menjaga Rania. Rania telah——diculik.Teriakan Rania yang memilukan bergema di lorong sempit menuju pintu belakang toko buku, suara yang langsung mengalahkan suara gemuruh api yang melahap seragam Andrew.Rasa sakit dari nyala api di tubuh Andrew seketika teredam, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan ketakutan yang murni. Ia tidak lagi merasakan panasnya kain yang melekat di kulitnya. Satu-satunya fokusnya kini adalah suara teriakan itu.Ia mendorong Jovanka, yang masih memegangi lengan baju seragam yang terbakar, dan berbalik. Ia melihat kilasan siluet. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan jaket gelap—bukan salah satu kurir—tengah menyeret Rania yang meronta-ronta menuju sebuah mobil SUV hitam yang sudah menunggu di ujung gang.“Rania!” raung Andrew, suaranya serak dan menyakitkan, dipengaruhi oleh as

  • Bukan Kurir Biasa   Chapter 13

    Andrew jatuh, bersama dengan debu, karat, dan potongan-potongan logam yang tajam, menuju kegelapan yang tidak diketahui di bawahnya— Tubuhnya menghantam permukaan beton dengan bunyi Buk! yang membuat udara keluar dari paru-parunya. Suara gemuruh logam yang runtuh menggelegar, diikuti oleh keheningan yang memekakkan telinga. Andrew berbaring di antara puing-puing, matanya menyipit karena rasa sakit. Ia tidak jatuh terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar dua meter, tetapi dampak dari pecahan saluran udara yang berkarat telah melukai sisi tubuhnya. Ia mencium bau darah bercampur karat dan debu kimia yang tajam. Ia berhasil mendarat di atas tumpukan kardus tua di sudut gudang penyimpanan yang gelap. Gudang itu tampak ditinggalkan, hanya diterangi oleh sedikit cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui jendela kecil berdebu yang tertutup jeruji besi. Andrew berjuang untuk duduk. Rasa sakit menusuk pergelangan kakinya, tetapi itu bisa diabaikan. Hal yang paling penting: bukti itu. Ia mer

  • Bukan Kurir Biasa   Chapter 14

    Andrew merasakan denyutan adrenaline yang membakar semua rasa sakit akibat kotoran dan luka di tubuhnya. Seruan Jovanka, dingin dan merdu, menghantam telinganya bersamaan dengan suara klik mekanis yang tak salah lagi dari pistol perak itu. “Permainanmu sudah berakhir—” “Rio, menunduk!” Andrew berteriak, suaranya serak. Rio, yang telah terbiasa dengan kecepatan gila kurir Jakarta, tidak menunggu perintah kedua. Ia membanting motor tuanya ke kanan, menembus celah sempit di antara truk sampah yang berhenti dan sebuah gerobak gorengan. Bau minyak panas dan asap knalpot menyengat hidung Andrew, tetapi bau itu lebih baik daripada bau belerang dari selokan. DOR! Tembakan itu terdengar seperti petasan raksasa di pagi yang sunyi. Motor Rio bergoyang hebat. Andrew merasakan panasnya peluru yang meleset, memecahkan kaca spion truk sampah. “Mereka menembak, Bos! Dia menembak!” Rio panik, gas motornya ditarik hingga maksimal. “Aku tahu! Tetap di jalur! Jalan tikus, Rio! Jangan pernah masuk

  • Bukan Kurir Biasa   Chapter 12

    Ia melompat, meraih besi dingin itu, dan mulai memanjat— Tangga darurat yang berkarat itu terasa seperti gigitan dingin pada kulitnya. Andrew mendaki dengan liar, otot-ototnya menjerit karena kelelahan, tetapi adrenalin membakar urat nadinya. Setiap anak tangga berderit memekakkan telinga di keheningan malam Jakarta, suara yang ia tahu akan menarik perhatian para pengejar di bawah. Bau asam dari sampah di gang sempit itu menghilang, digantikan oleh aroma karat dan debu beton yang menempel di besi. Jantungnya berdebar kencang di balik seragam kurir yang basah kuyup oleh keringat dan hujan. Seragam itu, simbol kebohongan terbesarnya, kini berfungsi sebagai kain kamuflase yang menyedihkan. Tiba-tiba, ia berhenti. Dari ketinggian lantai tiga, Andrew bisa melihat mobil hitam yang mengejarnya. Cahaya strobo kecil yang tersembunyi berkedip di balik kaca depan, mengirimkan denyutan biru yang menyeramkan. Di samping mobil, ia melihat siluet dua pria berseragam mendekati motor yang tergeleta

  • Bukan Kurir Biasa   Chapter 11

    “Andrew, Jovanka baru saja mengungkapkannya. Dia bilang kau meninggalkan dia demi kekasihmu yang lain… kekasihmu yang seorang kurir!” Kata-kata Bima menembus keheningan yang tegang, membeku di udara malam seperti kabut dingin. Pengertian yang salah itu sungguh luar biasa, fatal, dan menghancurkan. Andrew tidak bergerak. Ia tidak bisa bergerak. Otaknya mencoba memproses tiga realitas yang saling bertabrakan: kebohongan korporat yang baru saja ia sampaikan kepada Pak Hermawan, pengkhianatan emosional yang ia torehkan pada Rania, dan sekarang, kesimpulan gila yang ditarik oleh Jovanka dan media—bahwa Rania, sang pemilik toko buku sederhana, adalah selingkuhan kurir Andrew. Rania, yang masih menangis, mengangkat wajahnya yang basah kuyup. Ia menatap Bima, lalu kembali menatap Andrew. Ekspresinya bukan lagi kesedihan, melainkan kemarahan yang membara. “Kekasihmu?” Rania mengulang, suaranya naik satu oktaf, terdengar seperti pecahan kaca. Andrew melangkah maju, tangannya terentang. “R

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status