... jatuh.
Jovanka merasakan tubuhnya limbung. Bukan hanya kakinya yang lemas, tetapi seluruh fondasi yang ia bangun untuk hidupnya runtuh dalam sekejap. Rasanya seperti didorong dari tebing tinggi, gravitasi menariknya ke bawah tanpa ampun. Napasnya tercekat, dan ia harus mencengkeram lengan petugas keamanan yang masih memeganginya dengan erat, bukan untuk meronta, melainkan untuk mencari tumpuan agar tidak benar-benar ambruk di sana. Mata petugas keamanan itu tidak berkedip, wajahnya datar, seolah ia hanya menjalankan tugas, memindahkan benda mati. Andrew, pria yang dulu ia buang, kini berdiri tegak di tengah keramaian, berbicara dengan para petinggi, senyumnya tipis namun penuh wibawa. Senyum yang sama, tetapi kini memancarkan aura berbeda, aura yang mengintimidasi, aura seorang pemenang. Jovanka melihat Andrew melirik ke arahnya lagi, tatapan yang sama sekali tanpa emosi. Bukan marah, bukan sedih, melainkan kehampaan yang menusuk. Kehampaan yang jauh lebih menyakitkan daripada kemarahan sekalipun. Seolah-olah, di mata Andrew, ia hanyalah siluet buram yang tak berarti. "Nona, mari kita ke luar," suara petugas itu datar, menariknya pelan namun tegas. Ia menggelengkan kepala, air mata membasahi pipinya yang kini terasa dingin. "Tidak! Aku tidak bisa! Aku... aku harus bicara dengannya!" suaranya serak, parau, nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri di tengah dentuman musik yang kini kembali menguat, seolah mengejek kekalahannya. Petugas itu tidak menjawab. Ia hanya terus menyeretnya. Jovanka meronta, namun cengkeraman pada lengannya begitu kuat. Ia menolehkan kepala ke arah Andrew lagi, matanya memohon, putus asa. Andrew sedang tertawa kecil, menanggapi ucapan seorang menteri yang kini bersalaman dengannya. Ia bahkan tidak melihat ke arah Jovanka lagi. Ia benar-benar telah menjadi tak terlihat baginya. Setiap langkah yang ditarik petugas itu menjauh dari Andrew terasa seperti cabikan pada hatinya. Setiap desas-desus yang ia dengar dari para tamu, setiap bisikan yang entah mengasihani atau mencemooh, bagai belati yang menusuk. Ia adalah pusat perhatian yang memalukan, sebuah tontonan gratis yang dipersembahkan oleh Andrew. Pikirannya melayang, menembus kabut keputusasaan. Kata-kata Andrew malam itu, saat mereka putus, berdengung di telinganya. "Dulu, saat aku masih 'tidak punya apa-apa', kau tak pernah mau melihatku." Benar. Andrew telah mengatakannya. Sebuah peringatan yang ia abaikan, sebuah kebenaran yang ia sangkal. Ia teringat sebuah sore yang terik, tiga bulan lalu. Andrew baru saja pulang dari mengantar paket, jaket kurirnya lusuh, penuh debu jalanan, dan sedikit basah oleh keringat. Ia menjemput Jovanka di kafe tempat ia bertemu teman-temannya. Jovanka melihat Karina dan teman-temannya yang lain menatap Andrew dengan tatapan jijik, mengomentari motor butut dan jaket kumalnya. Malu. Ia merasa sangat malu saat itu. Dia itu siapa, sih, Jovanka? Pacar kamu? Kok lusuh banget? Kayak gembel. Duh, nggak banget deh kalau diajak jalan sama cowok kayak gitu. Nggak punya masa depan. Kata-kata itu, bisikan-bisikan kejam itu, menghantuinya. Ia ingin Andrew pergi. Ia tidak ingin melihatnya di sana. Ia bahkan tidak mau menoleh ketika Andrew mencoba tersenyum padanya, tangannya memegang helm usang. "Drew, tunggu di luar aja! Aku nggak mau temen-temenku lihat," desisnya kala itu, suaranya dipenuhi amarah dan rasa malu. Andrew hanya mengangguk pelan, wajahnya sedikit pias. Ia menunggu di luar, di bawah terik matahari, sementara Jovanka masih tertawa renyah bersama teman-temannya, membahas tas-tas mewah dan liburan ke luar negeri. Malam harinya, di depan apartemennya, kemarahan Jovanka meledak. "Kamu itu kenapa, sih?! Aku malu tahu nggak! Malu banget punya pacar kayak kamu!" Ia menarik jaket kurir Andrew dari tangannya, lalu melemparkannya ke lantai dengan kasar. "Pakaian orang gagal! Kamu nggak punya harga diri atau apa?!" Andrew menatap jaketnya yang tergeletak di lantai, lalu menatapnya. Tidak ada amarah di mata itu. Hanya kekecewaan yang sangat dalam, dan sesuatu yang lain... sesuatu yang kini ia sadari adalah sebuah keputusan. Sebuah keputusan untuk pergi. Untuk membuktikan. Dan kini, ia melihat pembuktian itu terhampar di hadapannya. Andrew Wijaya. Pewaris Grup Wijaya. Miliarder. Bukan lagi "orang gagal". Ia telah merendahkan intan permata yang ada di hadapan matanya, hanya karena intan itu sedang tertutup debu. Petugas keamanan itu akhirnya berhasil membawanya ke dekat pintu keluar. Baskara, yang tadi sempat menghalanginya, kini sudah tidak terlihat. Ia mungkin sudah kembali mendampingi Andrew. Kesetiaan Baskara begitu nyata, begitu kontras dengan pengkhianatannya sendiri. Jovanka merasakan kakinya menjejak karpet merah yang mewah, menuju pintu keluar yang terasa seperti gerbang neraka. Ia tidak ingin pergi. Ia tidak bisa pergi. Ini adalah panggungnya, panggung kehancurannya, dan ia harus tetap di sana, atau setidaknya, meraih Andrew. "Andrew!" teriaknya sekali lagi, sekuat tenaga, suaranya pecah namun penuh amarah dan keputusasaan yang meluap. "Aku mencintaimu! Kumohon, Andrew! Beri aku kesempatan kedua!" Andrew, yang kini sedang berbicara dengan ayahnya, Pak Dirga Wijaya, di meja VIP, menoleh. Kali ini, matanya tidak lagi menunjukkan kehampaan. Ada sesuatu yang lain di sana. Sebuah kilatan. Kilatan yang Jovanka tidak bisa artikan. Bukan amarah, bukan benci. Tapi... sebuah kesadaran. Kesadaran bahwa ia telah melihatnya, ia telah mendengarnya, dan ia telah mencatatnya. Pak Dirga Wijaya juga menoleh, tatapannya dingin dan tajam, sebuah peringatan tak terucap yang jauh lebih menakutkan daripada teriakan. Ia menyadari bahwa Andrew telah memberinya kesempatan, berkali-kali, untuk melihat dirinya. Andrew telah mencoba menunjukkannya apa adanya. Dan ia... ia telah memilih untuk tidak melihat. Air mata membanjiri pipinya. Ia merasakan rasa panas menjalar di seluruh wajahnya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia telah mengkhianati Andrew, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Ia telah menghinanya, merendahkannya, mengabaikan setiap tanda, setiap petunjuk yang Andrew berikan. Pakaian orang gagal. Kata-kata itu berputar-putar di benaknya, menghantamnya bagai ombak besar. Ia yang gagal. Ia yang telah gagal total. Andrew berhasil. Andrew telah membuktikan segalanya. Dan ia kehilangan segalanya. Ia melihat Andrew mengangguk kecil kepada ayahnya, lalu kembali menoleh ke arahnya, hanya untuk sesaat. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, senyum yang sama persis seperti yang ia lihat saat pertama kali Andrew muncul malam itu. Senyum itu bukan lagi hanya rahasia, melainkan pernyataan. Sebuah pernyataan yang tanpa kata pun sudah jauh lebih menyakitkan daripada seribu makian. Senyum itu seolah berkata, 'Sekarang kamu lihat aku, kan?' Jantung Jovanka berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan ini berakhir seperti ini. Ia tidak bisa melepaskan Andrew. Tidak setelah semua ini. Ia tidak bisa menanggung penyesalan ini seumur hidupnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya yang hancur berkeping-keping. Ia harus melarikan diri dari petugas keamanan itu. Ia harus kembali ke Andrew. Ia harus berlutut di hadapannya, memohon ampun, menjelaskan bahwa ia benar-benar mencintainya, bahwa ia akan berubah, ia akan melakukan apa pun. Dengan dorongan putus asa yang luar biasa, Jovanka meronta sekuat tenaga, berhasil melepaskan diri dari cengkeraman petugas keamanan itu. Ia berlari. Bukan ke pintu keluar, melainkan kembali ke tengah kerumunan, menuju meja VIP tempat Andrew duduk. "Andrew!" teriaknya lagi, napasnya terengah-engah, suaranya penuh kepanikan. "Andrew, tunggu! Aku—" Namun, sebelum ia bisa mencapai meja itu, sebuah tangan lain muncul entah dari mana, mencengkeram lengannya dengan kekuatan yang lebih besar. Kali ini bukan petugas keamanan, melainkan Baskara, yang muncul tiba-tiba seperti bayangan, wajahnya tanpa ekspresi, namun cengkeramannya tak bisa ditembus. Ia menatap Jovanka dengan mata dingin, sebuah peringatan tanpa kata. "Nona Jovanka," suara Baskara rendah, hanya cukup didengar oleh mereka berdua, "Cukup." Jovanka merasakan sisa-sisa harapannya runtuh. Ia melihat Andrew menoleh sekilas, tatapannya menyapu mereka berdua, lalu kembali ke ayahnya, seolah tidak ada yang terjadi. Seolah ia memang tidak berarti apa-apa. "Tidak! Andrew!" ia berteriak, mencoba lagi, mencoba terakhir kalinya. "Aku tahu aku salah! Aku tahu! Semua ini ... semua ini karena aku terlalu ..." Tangan Baskara menariknya, menyeretnya lagi, kali ini dengan tekad yang lebih bulat. Jovanka meronta, matanya menatap Andrew yang kini tampak begitu jauh, begitu tak terjangkau. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus bicara dengannya. Ia harus ... sebelum semua ini menjadi sebuah kenangan pahit yang tak termaafkan, sebuah penyesalan yang membakar jiwa. Ia harus mengubah ini. Ia harus kembali ke Andrew. Ia harus berjuang. Dengan kekuatan terakhirnya, ia menarik diri lagi dari Baskara, matanya menatap Andrew, lalu ... ia merasakan lantai di bawah kakinya tiba-tiba menghilang, seolah dunia berputar dan ia—"...Mungkin aku butuh se—" Andrew menelan ludahnya, merasakan tenggorokannya masih tercekat oleh emosi yang campur aduk. Matanya beradu dengan tatapan lembut Luna. Ia melihat ketulusan di sana, sesuatu yang langka dalam pengalamannya belakangan ini. "...sesuatu yang hangat. Teh tawar saja, Mbak Luna, kalau tidak merepotkan."Luna tersenyum. Senyum yang sederhana, namun mampu menenangkan riuhnya badai di hati Andrew. “Tidak merepotkan sama sekali, Mas Kurir. Tunggu sebentar, ya.” Gadis itu segera berbalik menuju konter, meraih cangkir bersih dan mulai menyeduh teh. Setiap gerakannya tampak alami, tanpa paksaan, sebuah kontras yang mencolok dengan kepalsuan yang baru saja ia rasakan.Baskara menyenggol bahu Andrew pelan. “Gimana? Lumayan, kan? Dunia belum kiamat, Dre.” Ia mengedikkan dagu ke arah Luna yang sibuk di balik konter, seolah ingin menyampaikan pesan tanpa kata. Andrew hanya mengangguk samar, membiarkan kehangatan cangkir kopi di tangannya meresap, perlahan
...membuat motornya oleng, dan ia—Andrew mencengkeram stang motornya erat-erat, seolah nyawanya bergantung pada pegangan itu. Seluruh tubuhnya menegang. Sepasang mata di balik visor helm yang buram itu membelalak, melihat ban depan motornya terpeleset di atas genangan air bercampur oli yang mengilap, tepat setelah truk itu lewat. Ia bisa merasakan motornya limbung ke kanan, gravitasi menariknya dengan ganas, seolah ingin mencampakkannya ke aspal dingin. Jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seperti genderang perang.Tidak. Tidak sekarang.Dengan insting yang terlatih dari ribuan kilometer di jalanan ibu kota, Andrew mengeraskan otot-otot pahanya, mengarahkan stang ke kiri dengan kasar, sekaligus menginjak rem belakang. Ban belakang motornya berderit, sempat mengunci, tapi gerakan refleksnya berhasil menstabilkan motor itu dalam sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. Ia nyaris menabrak pembatas jalan. Napasnya terengah-engah, bau knalpot dan aspal basah memen
dan ia—Terhuyung. Bukan jatuh, melainkan tubuh Jovanka terdorong ke belakang, tepat ke dada seorang petugas keamanan yang lain, yang segera menahan gerakannya. Jovanka merasakan cengkeramannya yang kuat, napas yang terengah-engah, dan matanya terpaku pada sosok Andrew yang kini menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali pada ayahnya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, senyum yang tanpa kata, namun jauh lebih menyakitkan daripada seribu makian. Senyum yang seolah berkata, ‘Sekarang kamu lihat aku, kan?’Petugas itu menarik Jovanka dengan paksa. Jovanka meronta, mencoba meraih Andrew, memanggil namanya, tetapi suaranya tenggelam oleh dentuman musik dan bisikan-bisikan sinis yang menghantamnya dari segala arah. Setiap langkah menjauh dari Andrew terasa seperti cabikan, setiap bisikan bagai belati yang menusuk. Ia adalah pusat perhatian yang memalukan, sebuah tontonan gratis atas kehancurannya. Jantung Jovanka berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya. Ia harus melakukan sesu
... jatuh.Jovanka merasakan tubuhnya limbung. Bukan hanya kakinya yang lemas, tetapi seluruh fondasi yang ia bangun untuk hidupnya runtuh dalam sekejap. Rasanya seperti didorong dari tebing tinggi, gravitasi menariknya ke bawah tanpa ampun. Napasnya tercekat, dan ia harus mencengkeram lengan petugas keamanan yang masih memeganginya dengan erat, bukan untuk meronta, melainkan untuk mencari tumpuan agar tidak benar-benar ambruk di sana.Mata petugas keamanan itu tidak berkedip, wajahnya datar, seolah ia hanya menjalankan tugas, memindahkan benda mati. Andrew, pria yang dulu ia buang, kini berdiri tegak di tengah keramaian, berbicara dengan para petinggi, senyumnya tipis namun penuh wibawa. Senyum yang sama, tetapi kini memancarkan aura berbeda, aura yang mengintimidasi, aura seorang pemenang.Jovanka melihat Andrew melirik ke arahnya lagi, tatapan yang sama sekali tanpa emosi. Bukan marah, bukan sedih, melainkan kehampaan yang menusuk. Kehampaan yang jauh lebih menyakitkan daripada kem
"...Bapak Andrew..."Suara pembawa acara itu menggantung di udara, beradu dengan dentuman musik yang tiba-tiba meredup. Ruangan pesta yang riuh seketika hening, menyisakan gemuruh antisipasi. Jovanka merasakan cengkeramannya pada lengan Andrew mengendur, tatapannya terpaku pada panggung yang kini disinari cahaya sorot utama. Ia melihat Andrew, pria di hadapannya, perlahan menarik tangannya, senyumnya kini tampak lebih jelas, namun masih menyimpan rahasia yang tak terduga."...Wijaya!"Kata terakhir itu meledak di udara, bagai petir menyambar di tengah keramaian. Nama itu, Wijaya. Nama keluarga yang selama ini ia kejar, impian yang ia gantungkan pada sosok pewaris misterius. Dan sekarang, nama itu keluar dari bibir pembawa acara, menyatu dengan nama Andrew. Andrew. Andrew Wijaya.Jovanka merasakan dunia berputar di sekelilingnya. Otaknya berusaha memproses informasi yang baru saja ia dengar, namun logika menolaknya mentah-mentah. Tidak. Tidak mungkin. Andrew, si kurir? Andrew, pria yan
Dentuman musik yang membingungkan pikiran menyembunyikan sebagian dari bisikan tajam. Namun, gema kalimat Jovanka tetap menusuk, membelah hiruk-pikuk pesta amal kelas atas itu seperti pisau tajam. "Kita putus karena kamu nggak punya apa-apa, Andrew," desisnya, bibirnya membentuk senyum palsu yang lebih menyerupai ringisan. Kilauan kristal gelas sampanye memantul pada manik matanya yang menyala marah. "Dan sekarang kamu berani muncul di sini? Satpam!"Pria di hadapannya, Andrew, hanya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tak membalas amarah Jovanka, melainkan justru mengikisnya, menggantikan emosi itu dengan kebingungan dan kegelisahan yang menggerogoti. Ia mengenakan setelan jas hitam yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, kainnya mahal dan jatuh tanpa cela, dasi sutranya mengkilap di bawah cahaya sorot. Rambutnya tertata rapi, dan aura yang dipancarkannya—aura tenang yang mengintimidasi—sama sekali berbeda dengan sosok yang dulu ia kenal."Maaf, Jovanka," Andrew membalas, suaranya pel