LOGINBab 3: Janji Makan Malam
Andrew memacu motornya secepat mungkin menjauh dari gerbang Pondok Indah. Ia tidak peduli dengan klakson yang membentaknya. Adrenalinnya melonjak bukan karena ketakutan ketahuan identitasnya oleh Nyonya Marilyn—bukan, ketakutan itu hanya lapisan tipis. Di bawahnya, rasa dingin yang mematikan menusuk karena Rania dan Pustaka Senja. Toko buku reot itu. Pemiliknya, seorang wanita muda yang keras kepala, menolak ganti rugi. Proyek itu harus dimulai minggu depan. Toko itu harus kosong pada hari Jumat. Hari Jumat. Besok. Andrew mencengkeram stang motornya, buku-buku jarinya memutih. Kebohongan yang ia ciptakan demi mencari kebenaran, kini akan menghancurkan kebenaran yang ia temukan. Ia harus kembali ke kantor Wijoyo Corp segera, bukan sebagai Kurir Andrew, tetapi sebagai CEO Andrew Wijoyo, untuk menarik semua berkas akuisisi dan menghentikan Tuan Haryo. Namun, ia tidak bisa. Andrew melihat jam tangan digital murahan di pergelangannya: pukul 16.30. Pukul 19.00, ia harus berada di sebuah restoran fine-dining di Kuningan, mengenakan pakaian yang rapi, siap berpura-pura bahwa ia telah mendapatkan 'promosi' atau 'bonus besar' demi memuaskan Jovanka. Jovanka. Kontras yang menyakitkan. Jovanka, yang hanya menghargai ia sebagai CEO. Rania, yang mencintai ia sebagai Andrew si kurir. Ia membelokkan motor ke gang sempit yang menuju ke area kos-kosan sementaranya. Area itu kumuh, tetapi aman dari mata-mata perusahaannya. Saat ia mematikan mesin motor, ponsel kurir murahan yang ia gunakan bergetar. Layar itu menampilkan nama Jovanka, yang disimpannya dengan nama sandi 'Kebutuhan Mendesak'. Andrew menarik napas dalam-dalam, mengusap wajahnya yang basah oleh keringat, dan memaksa pita suaranya kembali ke mode tenang. "Halo, Sayang," ujar Andrew, mencoba terdengar santai meskipun jantungnya berdentum-dentum di dada. "Astaga, akhirnya kamu mengangkatnya. Aku sudah meneleponmu tiga kali, Andrew," suara Jovanka terdengar dingin dan kesal. "Kamu di mana? Aku harap kamu tidak lupa, reservasi kita di Le Vrai jam tujuh. Aku sudah mem-booking meja yang paling eksklusif." Andrew menelan ludah. Le Vrai. Restoran itu terkenal mahal. Bahkan untuk Andrew, yang gajinya sebagai CEO bisa menutupi biaya restoran itu selama setahun penuh, ia harus berhati-hati. Tapi sebagai Andrew si kurir? Gaji sebulan bisa habis dalam satu kali makan malam. "Tentu saja aku ingat, Jo. Baru selesai pengiriman terakhir. Aku sudah di perjalanan pulang untuk bersiap-siap." "Bagus. Cepat sedikit. Aku benci menunggu," Jovanka mendesis. "Ngomong-ngomong, aku sudah melihat menunya. Aku memutuskan untuk mencoba Wagyu A5 mereka, dan tentu saja, wine Bordeaux tahun 92. Aku dengar itu yang paling langka." Andrew merasakan keringat dingin membasahi punggungnya lagi, meskipun ia sudah berada di tempat teduh. Ini bukan sekadar makan malam; ini adalah ujian. Jovanka ingin melihat apakah Andrew, si kurir yang "berusaha keras", mampu memberinya kemewahan yang ia anggap pantas. "Itu... terdengar fantastis, Jo," Andrew berusaha menjaga nada bicaranya agar tetap antusias. "Aku sudah menyiapkan sesuatu yang istimewa untuk malam ini." "Sesuatu yang istimewa?" Jovanka terdengar tertarik. "Apa? Jangan bilang kamu membelikanku bunga mawar murahan dari pinggir jalan. Kamu tahu aku alergi terhadap apapun yang harganya kurang dari lima ratus ribu." "Tentu saja tidak. Aku... aku baru saja mendapat kabar baik dari kantor," Andrew memaksakan kebohongan yang telah ia siapkan. "Perusahaan memutuskan untuk memberikan bonus besar untuk para kurir yang berprestasi bulan ini. Bonusnya sangat substansial, Jo. Jadi, malam ini, kamu bisa memesan apa pun yang kamu mau." Hening sejenak. Andrew bisa membayangkan Jovanka tersenyum puas di ujung telepon sana. Ia tidak peduli dari mana uang itu berasal, selama uang itu ada dan bisa memberikan status yang ia inginkan. "Bonus besar, katamu?" Jovanka mengulang kata-kata itu, suaranya kini melunak, dipenuhi kepuasan. "Lihat, aku sudah bilang, Andrew. Jika kamu mau bekerja keras, kamu pasti bisa memberiku apa yang aku butuhkan. Aku tahu kamu punya potensi. Aku sudah memilihkanmu jam tangan baru yang bagus. Jam digital murahanmu itu sungguh memalukan." Andrew menatap jam tangannya. Ia ingin berteriak bahwa ia bisa membeli seluruh pabrik jam tangan itu, tetapi ia menahan diri. "Baiklah, Jo. Aku akan segera ganti pakaian. Sampai jumpa jam tujuh. Aku mencintaimu." "Ya, aku juga. Pastikan kamu tepat waktu, Sayang. Malam ini sangat penting untuk masa depan kita," tutup Jovanka, lalu menutup telepon tanpa menunggu balasan. Andrew menjatuhkan ponsel di tempat tidur lusuhnya. Ia merasakan gelombang mual. Masa depan mereka? Masa depan mereka dibangun di atas tumpukan kebohongan, diselimuti oleh sutra mahal, dan dibayar dengan uang yang ia pura-pura dapatkan dari 'bonus kurir'. Ia melompat dari tempat tidur, meraih kunci motornya lagi. Ia punya waktu kurang dari dua jam. Ia harus menyelesaikannya. Ia harus segera menghubungi Bima, tetapi ia tahu Bima pasti sibuk dengan urusan kantor dan akan menghakiminya karena penyamaran ini. "Aku butuh udara segar," gumam Andrew pada dirinya sendiri. Ia mengambil jaket sederhana dan dompet tipisnya (yang hanya berisi uang tunai kurir), meninggalkan kartu kredit platinum dan semua atribut CEO-nya di laci yang terkunci. Ia harus membumi sebelum menghadapi kemewahan palsu Jovanka. Dan tempat terbaik untuk membumi adalah Pustaka Senja. * Perjalanan ke Menteng terasa lebih tenang. Langit Jakarta mulai berubah warna menjadi oranye keunguan yang menenangkan. Andrew memarkir motornya di tempat biasa, di bawah pohon beringin tua. Ia tidak punya paket untuk diantar. Ia hanya punya alasan yang buruk: ingin melihat Rania, bahkan hanya lima menit. Ketika ia membuka pintu toko buku, bel di atasnya berdentang, sebuah suara yang selalu terasa seperti melodi penyambutan. Aroma kertas, debu halus, dan aroma teh earl grey yang menenangkan langsung menyambutnya. Rania sedang duduk di meja kasir, mengenakan blus katun sederhana dengan celemek denim. Ia sedang serius membaca buku tebal, kacamata bertengger di hidungnya. "Andrew?" Rania mengangkat wajah, senyum tulusnya langsung merekah. Senyum yang tidak menuntut berlian, hanya kehadiran. "Aku kira kamu sudah pulang. Ada apa? Kau tampak... terburu-buru." Andrew berjalan mendekat, menyandarkan dirinya di meja kasir. Ia menatap Rania, merasa terbebas sesaat dari tekanan ganda yang mencekiknya. "Aku hanya... sedang lewat," Andrew berbohong, membuang muka agar Rania tidak melihat gurat panik di matanya. "Aku butuh kopi sebelum jadwal malam." "Jadwal malam?" Rania menuangkan secangkir teh panas untuknya. "Wah, Kurir Andrew ternyata punya kehidupan malam juga, ya? Aku kira kamu menghabiskan malam dengan membaca novel filosofis di kos-kosanmu." "Aku memang akan membaca novel filosofis," balas Andrew dengan nada bercanda. "Tapi pertama, ada... janji yang harus dipenuhi." Rania menggeser cangkir teh ke hadapan Andrew. "Minum ini. Kamu terlihat lelah. Tadi cuaca panas sekali, kan?" "Sangat panas," Andrew membenarkan, mengambil cangkir itu dan menghirup uapnya. "Rania, aku... aku dengar sesuatu yang aneh tadi siang." Rania menatapnya, sedikit khawatir. "Tentang apa?" "Tentang Menteng. Ada pembangunan besar yang direncanakan di daerah ini. Wijoyo Center, kalau tidak salah namanya." Mendengar nama itu, Rania menghela napas panjang. Ia melepaskan kacamata bacanya dan meletakkannya di atas buku. "Ya, itu sudah menjadi pembicaraan umum, Andrew. Semua orang di sini tahu Wijoyo Corp adalah raksasa. Mereka mau meratakan kawasan ini dan membangun menara kaca yang menjulang tinggi." "Dan Pustaka Senja?" tanya Andrew, mencondongkan tubuhnya ke depan. Ini adalah momen krusial. Ia harus mendengar langsung dari Rania, dan ia harus memberikan peringatan tanpa membongkar identitasnya. Rania tersenyum tipis, tetapi matanya menunjukkan kelelahan. "Kami sudah menolak tawaran ganti rugi mereka dua kali. Jelas tidak adil. Toko ini adalah warisan. Ibu dan ayahku membangunnya dari nol. Aku tidak akan menjualnya hanya untuk diganti mal berkilauan." "Tapi... apa rencanamu jika mereka memaksa?" "Memaksa?" Rania tertawa, tawa yang terdengar pahit. "Mereka sudah mulai mengancam. Beberapa minggu lalu, ada yang mencoret-coret tembok belakang kami, 'Jual atau Hancur'. Aku tahu itu bukan vandalisme biasa. Itu dari mereka." Jantung Andrew mencelos. Jovanka? Tuan Haryo? Mereka tidak hanya mengirim surat; mereka bermain kotor. Dan Andrew, sang CEO, adalah kepala dari kekejaman ini. "Rania, dengarkan aku," ujar Andrew, meletakkan cangkir tehnya. "Aku hanya kurir. Aku tidak tahu banyak soal hukum dan bisnis. Tapi sebagai teman—" "Kamu lebih dari teman, Andrew," Rania memotong, matanya lembut. "Kamu satu-satunya yang selalu mau mendengarkan. Kamu membawa keceriaan ke hari-hariku yang seringkali dipenuhi dengan rasa khawatir tentang toko ini." Kata-kata itu menghantam Andrew lebih keras daripada pukulan fisik. Lelaki pengecut yang membawa keceriaan, padahal dialah akar masalahnya. "Sebagai teman, aku harus bilang. Jangan keras kepala," desak Andrew. "Ambil ganti rugi itu, Rania. Pindahkan toko ini. Jangan sampai mereka... datang dan menghancurkan semuanya. Aku mendengar rumor, mereka berencana bertindak sangat cepat." Rania mengerutkan kening. "Kenapa kamu begitu yakin, Andrew? Apakah kamu mendengar sesuatu yang spesifik dari rekan kurirmu?" Andrew menghindari tatapannya. "Hanya... percayalah padaku. Keselamatanmu lebih penting daripada bangunan ini." Rania menyentuh tangan Andrew di meja kasir. Sentuhannya ringan, tetapi penuh kehangatan. "Aku menghargai kekhawatiranmu, Andrew. Tapi aku tidak bisa menyerah. Toko ini adalah jiwaku." Andrew menatap wajah Rania yang tegas. Ia ingin memeluk wanita ini, mengungkapkan semua kebenarannya. Ia ingin mengatakan, 'Aku adalah pemilik Wijoyo Corp, dan aku akan menghentikan ini semua sekarang juga!' Tapi waktu telah habis. Ia harus bergegas ke Le Vrai untuk menjaga Jovanka tetap tenang, demi memberikan Rania waktu lebih. Ia harus meyakinkan Jovanka bahwa ia kembali padanya, agar Jovanka menarik tuntutan akuisisi. Sebuah rencana yang rapuh, tetapi satu-satunya yang ia miliki. "Aku harus pergi sekarang," kata Andrew, menarik tangannya. "Aku akan menghubungimu besok, ya?" "Hati-hati, Andrew. Semoga janji malammu menyenangkan," Rania tersenyum. Andrew sudah mencapai pintu, ketika Rania memanggilnya lagi. "Andrew!" Ia berbalik. "Kamu lupa dompetmu," kata Rania, menunjuk ke meja kasir. Dompet tipis kurirnya tergeletak di sana. "Oh, terima kasih," Andrew kembali mengambil dompetnya. "Ngomong-ngomong," Rania melangkah mendekat. "Aku baru saja membaca tentang Le Vrai. Bukankah itu restoran yang sangat, sangat mahal? Untuk apa kamu menyewa pakaian formal dan pergi ke sana, Andrew?" Jantung Andrew berhenti berdetak. Ia lupa, Rania adalah seorang kutu buku yang gemar membaca majalah dan berita. "Itu... klien penting," Andrew tergagap. "Aku harus mengantar paket langsung ke pemiliknya, dan dia memaksa aku untuk makan malam bersamanya." Rania menatapnya lama, matanya penuh kecurigaan. "Memaksa? Kenapa Kurir Andrew harus makan malam dengan klien yang bisa memesan Wagyu A5?" "Ini bagian dari 'bonus' yang aku dapat, Rania," Andrew memaksakan senyum. "Semacam... imbalan karena menjadi kurir terbaik. Mereka ingin aku merasakan bagaimana rasanya." Rania tidak meyakinkan. "Aku harap kamu tidak membiarkan dirimu digunakan, Andrew. Kamu adalah Andrew yang tulus yang aku kenal. Jangan biarkan orang lain mengubahmu hanya karena status atau uang." Andrew merasakan air matanya tertahan. Rania melihat kejujuran di balik seragamnya, sementara Jovanka hanya melihat seragamnya. "Aku janji, Rania," Andrew berkata, suaranya terdengar sungguh-sungguh. "Aku tidak akan berubah. Aku akan selalu kembali ke sini." * Satu jam kemudian, Andrew berdiri di depan cermin kos-kosan. Ia mengenakan celana bahan abu-abu, kemeja putih mahal yang ia beli bertahun-tahun lalu, dan blazer yang sudah lama tidak dipakai. Ia menyisir rambutnya dengan rapi. Kurir Andrew telah hilang, digantikan oleh bayangan samar dari Andrew Wijoyo. Ia meraih kunci motor. Tapi motor itu terlalu memalukan untuk diparkir di depan Le Vrai. Ia memutuskan untuk memesan taksi online. Tepat saat ia menekan tombol pemesanan, ponsel kurirnya berdering lagi. Bukan Jovanka. Kali ini, Bima. Andrew menjawab dengan tergesa-gesa. "Bima? Apa yang terjadi? Aku tidak bisa bicara lama-lama." Suara Bima terdengar tegang, berbisik seolah-olah ia sedang bersembunyi. "Andrew, syukurlah kamu angkat! Aku tidak bisa menahan mereka lagi! Tuan Haryo sudah bertindak!" Andrew merasa seluruh darahnya mengering. "Bertindak apa? Soal Pustaka Senja?" "Ya! Dia mendapat persetujuan darurat dari dewan pengawas sore ini, memanfaatkan absenmu. Mereka mengirim tim legal sekarang. Mereka akan memasang segel hak milik di toko buku itu. Malam ini." "Apa?! Tidak mungkin! Besok, katanya besok!" "Andrew, itu yang Jovanka dan Haryo inginkan! Mereka tahu kamu masih memiliki perasaan terhadap tempat itu, terhadap pemiliknya! Mereka mempercepatnya untuk memaksamu memilih!" Bima hampir berteriak. "Aku akan menghentikannya! Aku akan kembali ke kantor sekarang juga!" "Terlambat, Andrew. Aku sudah lihat tim keamanan berangkat setengah jam lalu. Mereka akan tiba di sana dalam hitungan menit. Tuan Haryo ingin memastikan Nona Rania tidak punya waktu untuk mengajukan banding. Dia ingin menyegelnya selamanya sebelum matahari terbit." Andrew tersentak mundur, menabrak dinding kayu kos-kosan. Segel. Pustaka Senja akan disegel. Rania akan kehilangan segalanya, dan ia akan tahu bahwa Kurir Andrew sama sekali tidak membantu. "Jovanka tahu?" "Dia yang mendorong Haryo. Dia bilang, jika kamu mencintainya, kamu akan memilih statusmu di Le Vrai malam ini daripada sebuah toko buku bobrok. Dia sedang mengujimu, Andrew. Ujian terakhir." "Sial!" Andrew mencengkeram ponselnya. "Aku harus segera ke sana. Aku harus memperingatkan Rania." "Jangan, Andrew!" Bima memohon. "Jika kamu muncul di sana, dengan pakaian ini, kamu akan mengkonfirmasi semuanya. Kamu akan mengakui identitasmu saat segel Wijoyo Corp menempel di pintu tokonya! Itu akan menghancurkannya! Kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan kepercayaannya kembali!" Andrew menutup matanya, rasa bersalahnya seperti asam sulfat yang membakar dari dalam. Bima benar. Jika ia muncul sebagai Andrew Wijoyo, yang bertanggung jawab atas segel itu, Rania akan membencinya selamanya. "Aku harus menemui Jovanka," kata Andrew, suaranya rendah dan penuh tekad. "Aku akan memaksanya menarik Haryo. Aku akan memaksanya membatalkan segel itu." "Itu satu-satunya cara, Andrew. Pilihanmu hanya satu: Hadapi Jovanka di Le Vrai, atau kehilangan Rania selamanya di Pustaka Senja." Andrew memutus panggilan itu. Ia tidak memanggil taksi lagi. Ia tidak bisa menunggu. Ia tidak bisa muncul di hadapan Jovanka dengan motor butut, tapi ia juga tidak bisa datang terlambat. Ia meraih dompet kurirnya, mencabut uang tunai yang tersisa. Jumlahnya tidak cukup untuk biaya makan malam di Le Vrai. Bonus besar, katamu? Ia tidak peduli. Ia harus membeli waktu. Ia harus sampai di Le Vrai sekarang. Andrew keluar, mengambil kunci motornya dengan tergesa-gesa. Ia harus tampil sebagai pria yang mampu membayar. Ia harus memenuhi syarat Jovanka. Di tengah lobi kos-kosan yang remang-remang, ia melihat seorang pria paruh baya yang dikenalnya, Pak RT, berdiri di samping meja. "Andrew! Mau ke mana kamu, rapi sekali?" tanya Pak RT. "Ada janji, Pak," jawab Andrew cepat. "Ah, iya. Ada titipan untukmu. Kotak kecil. Dari pengiriman ekspres tadi sore. Mereka bilang ini harus segera kamu tanda tangani." Andrew menerima kotak itu dengan jengkel. Ia merobek bungkusnya tanpa peduli. Di dalamnya, terbaring sebuah benda persegi panjang yang berkilauan. Sebuah jam tangan mewah. Patek Philippe, emas putih. Harga jam tangan ini bisa membeli seluruh kos-kosan itu. Terlampir sebuah kartu kecil. Andrew mengenali tulisan tangan melengkung itu. Aku memilih jam ini. Jangan pakai barang murahan di depanku. Aku tahu kamu mampu, Sayang. Sampai jumpa di Le Vrai. —Jovanka. Andrew menatap jam tangan itu. Simbol dari seluruh kesombongan dan kebutuhannya akan status, yang kini harus ia kenakan. Ia menjatuhkan kotak jam tangan itu kembali ke meja, meraih kuncinya, dan berlari menuju motor bututnya. Ia harus cepat. Baik ke Le Vrai untuk menyelamatkan Pustaka Senja, atau ke Pustaka Senja untuk menyelamatkan Rania dari kebohongan besarnya. Ia menyalakan mesin. Motor itu meraung. Andrew memacu gas, meninggalkan kos-kosan yang kini tampak seperti jebakan. Jarak antara Menteng dan Kuningan terasa seperti jarak antara Bumi dan Mars. Lima belas menit kemudian, ia tiba di depan Le Vrai. Motor butut itu tampak menyedihkan di antara barisan mobil-mobil mewah. Andrew memarkir dengan cepat, melepas jaket yang tadinya ia kenakan untuk menutupi kemeja mahalnya. Ia berjalan ke pintu restoran, mengatur napas. Jantungnya berdebar, bukan karena cinta, tetapi karena ketakutan. Ketakutan akan kehilangan Rania, dan ketakutan akan kegagalan dalam bernegosiasi dengan Jovanka. Andrew melihat Jovanka duduk di meja di sudut, dikelilingi oleh cahaya lilin yang romantis. Ia tampak memukau dalam gaun sutra hitamnya, dan senyum puasnya terpancar. Andrew melangkah mendekat. "Maaf aku terlambat, Jo," katanya, suaranya tenang, mengabaikan kecemasannya. Jovanka menatapnya, matanya menyipit, mengamati pakaian Andrew, kemudian jam tangan kurir yang masih melingkar di pergelangan tangannya. "Kamu terlambat, Andrew," desis Jovanka. "Dan kamu tidak memakai jam tangan yang kukirimkan." Andrew menghela napas. "Aku melupakannya. Maaf. Tapi aku di sini sekarang. Dan aku siap untuk makan malam. Jadi, katakan padaku, Jo. Bagaimana aku bisa membuatmu menarik Tuan Haryo dari Pustaka Senja?" Senyum Jovanka melebar, berubah menjadi seringai dingin. Ia mengangkat gelas wine-nya. "Pustaka Senja?" Jovanka tertawa kecil, suara yang terdengar seperti belati beradu. "Kamu benar-benar datang ke sini hanya untuk menyelamatkan toko buku murahan itu, Andrew? Setelah semua yang aku lakukan untukmu?" "Jawab aku, Jovanka!" Andrew mencondongkan tubuhnya, suaranya nyaris teredam. "Batalkan segel itu. Sekarang." "Baik," kata Jovanka, menjentikkan jarinya ke udara. "Haryo sudah dalam perjalanan. Tapi aku bisa menghentikannya. Dengan satu syarat." "Apa?" "Cium aku. Di sini. Di depan semua orang. Dan akui bahwa kamu hanya menginginkan aku dan kemewahan ini. Akui bahwa Andrew si kurir adalah lelucon yang sudah berakhir." Andrew menatap Jovanka, kemudian ke pintu masuk restoran yang berlapis kayu mahoni. Ia harus memilih. Mencium Jovanka berarti menjual jiwanya, tetapi menyelamatkan Pustaka Senja. Tiba-tiba, ponsel Andrew bergetar keras. Sebuah pesan teks. Dari nomor yang tidak dikenal. Andrew melihat ke bawah. Pesan itu hanya terdiri dari satu kata dan sebuah foto. Segel. Foto itu menunjukkan pintu depan Pustaka Senja. Tepat di kayu pintunya, sebuah segel besar Wijoyo Corp telah terpasang. Di sebelah segel itu, Rania berdiri mematung, menatap segel itu dengan mata penuh ketidakpercayaan dan air mata. Andrew merasakan seluruh tubuhnya dilanda gelombang kemarahan yang membakar. "Kau pembohong!" raung Andrew, mengabaikan tatapan semua orang di restoran itu. Ia berdiri, menendang kursinya hingga terbalik. "Kau sudah tahu! Kau hanya mengujiku!" Jovanka tetap tenang, tersenyum sinis. "Aku bilang, aku bisa menghentikannya. Aku tidak bilang aku mau menghentikannya. Sekarang, Andrew. Apa pilihanmu? Apakah kamu masih memilih untuk melarikan diri dari takdirmu?" Andrew menatap Jovanka, lalu melihat kembali ke foto Rania yang hancur. Jovanka telah mengambil Pustaka Senja. Sekarang, ia harus kehilangan sisa-sisa kepercayaannya. Ia harus pergi ke Rania. Ia harus mengatakan yang sebenarnya, bahkan jika itu berarti kehancuran total. Andrew berbalik dan berlari. "Andrew! Jangan berani kau pergi!" Jovanka berteriak. Andrew tidak mendengarkan. Ia melesat keluar, menuju motornya. Ia harus sampai di Menteng, segera. Ia menghidupkan mesin. Roda motor butut itu berputar di atas kerikil. Saat Andrew hendak membelok ke jalan utama, ia melihat pantulan di kaca spion motornya. Sebuah mobil sport hitam mewah melesat dari tempat parkir valet, langsung mengejarnya. Di belakang kemudi, wajah Jovanka yang diliputi amarah. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Andrew!" teriak Jovanka dari mobilnya, suaranya terdengar dari jendela yang terbuka. Andrew memacu motornya sekuat tenaga. Ia harus cepat, tetapi ia juga harus berhati-hati agar tidak jatuh. Ini bukan lagi drama romansa; ini adalah pengejaran di jalanan Jakarta. Andrew berhasil menyusup ke jalanan yang lebih padat, menggunakan kelincahan motornya. Ia melihat mobil Jovanka tertahan oleh kemacetan. Ia hampir lolos. Hanya dua belokan lagi menuju jalan raya Menteng. Ia membelok tajam. Tiba-tiba, dari arah berlawanan, sebuah mobil van hitam besar melaju kencang, tidak memberikan tanda. Van itu melintasi jalur Andrew, memaksa Andrew mengerem mendadak. Andrew kehilangan kendali. Motornya tergelincir, ban belakangnya menyentuh aspal dengan bunyi melengking yang tajam. Tubuh Andrew terlempar dari motor, meluncur di atas aspal kasar, jaket dan kemeja mahalnya robek. Rasa sakit menusuk di sisi tubuhnya, tetapi ia tidak peduli. Ia mendongak, penglihatannya kabur. Van hitam itu berhenti. Pintu belakangnya terbuka. Seorang pria besar dan berotot melompat keluar. Pria itu menatap Andrew, lalu ke mobil sport hitam yang baru saja tiba, dari mana Jovanka keluar dengan panik. "Hentikan dia! Sekarang juga!" Jovanka berteriak. Pria itu bergerak cepat. Andrew mencoba bangkit, tetapi pergelangan kakinya terasa sakit luar biasa. Ia merangkak mundur, mencoba meraih motornya. "Aku harus pergi. Rania..." Andrew bergumam. Pria itu mencengkeram Andrew dari belakang. Andrew berjuang, tetapi pria itu terlalu kuat. "Lepaskan aku! Aku harus pergi ke Pustaka Senja!" "Permintaan Nyonya Jovanka," pria itu mendesis. "Kamu akan ikut kami." Andrew merasakan tusukan jarum yang tajam di lengan kirinya. Dia menyadari... dia telah dibius. Penglihatannya mulai berputar, suara Jovanka dan pria itu menjauh. Andrew jatuh ke dalam kegelapan, tubuhnya diseret dari jalanan, meninggalkannya dalam kemeja robek dan noda darah, jauh dari Rania, dengan kebenaran yang tidak terucapkan— "Rania... Pustaka..." Andrew mencoba berteriak, tetapi yang keluar hanyalah desahan lemah, sesaat sebelum ia merasakan dirinya dimasukkan ke dalam van gelap itu, sepenuhnya berada di bawah kendali Jovanka.Andrew membeku, kobaran api menyelimuti bahunya, dan di tengah keramaian wartawan dan teriakan panik, ia sadar: penembak itu pasti salah satu anak buah Hermawan, yang seharusnya menjaga Rania. Rania telah——diculik.Teriakan Rania yang memilukan bergema di lorong sempit menuju pintu belakang toko buku, suara yang langsung mengalahkan suara gemuruh api yang melahap seragam Andrew.Rasa sakit dari nyala api di tubuh Andrew seketika teredam, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan ketakutan yang murni. Ia tidak lagi merasakan panasnya kain yang melekat di kulitnya. Satu-satunya fokusnya kini adalah suara teriakan itu.Ia mendorong Jovanka, yang masih memegangi lengan baju seragam yang terbakar, dan berbalik. Ia melihat kilasan siluet. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan jaket gelap—bukan salah satu kurir—tengah menyeret Rania yang meronta-ronta menuju sebuah mobil SUV hitam yang sudah menunggu di ujung gang.“Rania!” raung Andrew, suaranya serak dan menyakitkan, dipengaruhi oleh as
Andrew membeku, kobaran api menyelimuti bahunya, dan di tengah keramaian wartawan dan teriakan panik, ia sadar: penembak itu pasti salah satu anak buah Hermawan, yang seharusnya menjaga Rania. Rania telah——diculik.Teriakan Rania yang memilukan bergema di lorong sempit menuju pintu belakang toko buku, suara yang langsung mengalahkan suara gemuruh api yang melahap seragam Andrew.Rasa sakit dari nyala api di tubuh Andrew seketika teredam, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan ketakutan yang murni. Ia tidak lagi merasakan panasnya kain yang melekat di kulitnya. Satu-satunya fokusnya kini adalah suara teriakan itu.Ia mendorong Jovanka, yang masih memegangi lengan baju seragam yang terbakar, dan berbalik. Ia melihat kilasan siluet. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan jaket gelap—bukan salah satu kurir—tengah menyeret Rania yang meronta-ronta menuju sebuah mobil SUV hitam yang sudah menunggu di ujung gang.“Rania!” raung Andrew, suaranya serak dan menyakitkan, dipengaruhi oleh as
Andrew jatuh, bersama dengan debu, karat, dan potongan-potongan logam yang tajam, menuju kegelapan yang tidak diketahui di bawahnya— Tubuhnya menghantam permukaan beton dengan bunyi Buk! yang membuat udara keluar dari paru-parunya. Suara gemuruh logam yang runtuh menggelegar, diikuti oleh keheningan yang memekakkan telinga. Andrew berbaring di antara puing-puing, matanya menyipit karena rasa sakit. Ia tidak jatuh terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar dua meter, tetapi dampak dari pecahan saluran udara yang berkarat telah melukai sisi tubuhnya. Ia mencium bau darah bercampur karat dan debu kimia yang tajam. Ia berhasil mendarat di atas tumpukan kardus tua di sudut gudang penyimpanan yang gelap. Gudang itu tampak ditinggalkan, hanya diterangi oleh sedikit cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui jendela kecil berdebu yang tertutup jeruji besi. Andrew berjuang untuk duduk. Rasa sakit menusuk pergelangan kakinya, tetapi itu bisa diabaikan. Hal yang paling penting: bukti itu. Ia mer
Andrew merasakan denyutan adrenaline yang membakar semua rasa sakit akibat kotoran dan luka di tubuhnya. Seruan Jovanka, dingin dan merdu, menghantam telinganya bersamaan dengan suara klik mekanis yang tak salah lagi dari pistol perak itu. “Permainanmu sudah berakhir—” “Rio, menunduk!” Andrew berteriak, suaranya serak. Rio, yang telah terbiasa dengan kecepatan gila kurir Jakarta, tidak menunggu perintah kedua. Ia membanting motor tuanya ke kanan, menembus celah sempit di antara truk sampah yang berhenti dan sebuah gerobak gorengan. Bau minyak panas dan asap knalpot menyengat hidung Andrew, tetapi bau itu lebih baik daripada bau belerang dari selokan. DOR! Tembakan itu terdengar seperti petasan raksasa di pagi yang sunyi. Motor Rio bergoyang hebat. Andrew merasakan panasnya peluru yang meleset, memecahkan kaca spion truk sampah. “Mereka menembak, Bos! Dia menembak!” Rio panik, gas motornya ditarik hingga maksimal. “Aku tahu! Tetap di jalur! Jalan tikus, Rio! Jangan pernah masuk
Ia melompat, meraih besi dingin itu, dan mulai memanjat— Tangga darurat yang berkarat itu terasa seperti gigitan dingin pada kulitnya. Andrew mendaki dengan liar, otot-ototnya menjerit karena kelelahan, tetapi adrenalin membakar urat nadinya. Setiap anak tangga berderit memekakkan telinga di keheningan malam Jakarta, suara yang ia tahu akan menarik perhatian para pengejar di bawah. Bau asam dari sampah di gang sempit itu menghilang, digantikan oleh aroma karat dan debu beton yang menempel di besi. Jantungnya berdebar kencang di balik seragam kurir yang basah kuyup oleh keringat dan hujan. Seragam itu, simbol kebohongan terbesarnya, kini berfungsi sebagai kain kamuflase yang menyedihkan. Tiba-tiba, ia berhenti. Dari ketinggian lantai tiga, Andrew bisa melihat mobil hitam yang mengejarnya. Cahaya strobo kecil yang tersembunyi berkedip di balik kaca depan, mengirimkan denyutan biru yang menyeramkan. Di samping mobil, ia melihat siluet dua pria berseragam mendekati motor yang tergeleta
“Andrew, Jovanka baru saja mengungkapkannya. Dia bilang kau meninggalkan dia demi kekasihmu yang lain… kekasihmu yang seorang kurir!” Kata-kata Bima menembus keheningan yang tegang, membeku di udara malam seperti kabut dingin. Pengertian yang salah itu sungguh luar biasa, fatal, dan menghancurkan. Andrew tidak bergerak. Ia tidak bisa bergerak. Otaknya mencoba memproses tiga realitas yang saling bertabrakan: kebohongan korporat yang baru saja ia sampaikan kepada Pak Hermawan, pengkhianatan emosional yang ia torehkan pada Rania, dan sekarang, kesimpulan gila yang ditarik oleh Jovanka dan media—bahwa Rania, sang pemilik toko buku sederhana, adalah selingkuhan kurir Andrew. Rania, yang masih menangis, mengangkat wajahnya yang basah kuyup. Ia menatap Bima, lalu kembali menatap Andrew. Ekspresinya bukan lagi kesedihan, melainkan kemarahan yang membara. “Kekasihmu?” Rania mengulang, suaranya naik satu oktaf, terdengar seperti pecahan kaca. Andrew melangkah maju, tangannya terentang. “R







