Home / Lainnya / Bukan Kurir Biasa / Bab 1. Gema di Ruang Pesta

Share

Bukan Kurir Biasa
Bukan Kurir Biasa
Author: Cats Whitening

Bab 1. Gema di Ruang Pesta

last update Last Updated: 2025-09-28 19:16:20

Dentuman musik yang membingungkan pikiran menyembunyikan sebagian dari bisikan tajam. Namun, gema kalimat Jovanka tetap menusuk, membelah hiruk-pikuk pesta amal kelas atas itu seperti pisau tajam. "Kita putus karena kamu nggak punya apa-apa, Andrew," desisnya, bibirnya membentuk senyum palsu yang lebih menyerupai ringisan. Kilauan kristal gelas sampanye memantul pada manik matanya yang menyala marah. "Dan sekarang kamu berani muncul di sini? Satpam!"

Pria di hadapannya, Andrew, hanya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tak membalas amarah Jovanka, melainkan justru mengikisnya, menggantikan emosi itu dengan kebingungan dan kegelisahan yang menggerogoti. Ia mengenakan setelan jas hitam yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, kainnya mahal dan jatuh tanpa cela, dasi sutranya mengkilap di bawah cahaya sorot. Rambutnya tertata rapi, dan aura yang dipancarkannya—aura tenang yang mengintimidasi—sama sekali berbeda dengan sosok yang dulu ia kenal.

"Maaf, Jovanka," Andrew membalas, suaranya pelan dan terkontrol, nyaris berbisik di tengah ingar-bingar, entah bagaimana terdengar jelas di telinga wanita itu. "Saya kira ini acara umum."

Jovanka merasakan wajahnya memanas. Sejak Andrew melangkah masuk beberapa menit lalu, sejak tatapan semua mata yang terkesima oleh penampilannya, lalu beralih padanya dengan rasa ingin tahu, ia sudah merasakan bencana akan datang. Ia menatap teman-temannya yang mulai saling berbisik, sudut bibir mereka terangkat sinis. Gaun malam merah menyala yang ia kenakan, hasil tabungan berbulan-bulan demi kesan sempurna malam itu, kini terasa seperti kain gombal. Ini adalah malam terpenting baginya. Malam ini, ia harus bertemu dengan pewaris Grup Wijaya yang legendaris, yang kabarnya akan muncul untuk pertama kalinya di hadapan publik. Semua persiapannya, jaringannya, obrolan manisnya dengan para eksekutif muda, terancam hancur. Oleh siapa? Oleh Andrew, si kurir miskin yang dulu ia buang.

"Acara umum?" Jovanka terkekeh sinis, suaranya meninggi, menarik perhatian lebih banyak lagi. "Ini pesta amal eksklusif, Andrew. Lihat sekelilingmu. Kau pikir bisa masuk dengan mudah? Bagaimana caramu ..." Ia menghentikan kalimatnya, pandangannya menyapu setelan Andrew dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bahan kain itu, potongan jas itu, arloji sederhana namun elegan yang melingkari pergelangan tangannya—semuanya memancarkan kemewahan yang dulu Andrew tidak pernah miliki. Ini membuatnya semakin frustrasi. "Kau pasti menyewa jas ini, kan? Atau kau mencurinya? Demi apa kau kemari? Mempermalukan dirimu sendiri?"

Andrew hanya menggelengkan kepala, senyumnya tidak luntur sedikit pun. "Tidak ada yang perlu dipermalukan, Jovanka. Saya hanya ingin menikmati malam." Ia melirik sekilas kerumunan yang semakin penasaran. "Seperti semua orang di sini."

Kerumunan mulai bereaksi. Beberapa tamu, yang mengenali Jovanka sebagai seorang sosialita yang cukup populer di I*******m, mengamati adegan itu dengan campuran geli dan kebingungan. Salah seorang teman Jovanka, seorang wanita muda dengan dandanan mencolok bernama Karina, mendekat dengan ekspresi jijik.

"Jovanka, siapa pria ini?" bisik Karina, matanya menilai Andrew dengan pandangan menghina. "Pacarmu yang dulu itu? Kurir itu?" Karina tidak berusaha menyembunyikan nada merendahkannya.

"Bukan!" Jovanka menyentakkan tangannya, rona merah di pipinya semakin dalam. "Dia bukan siapa-siapa! Andrew, kau harus pergi sekarang juga. Aku akan panggil keamanan."

"Silakan," Andrew menjawab ringan, bahunya sedikit terangkat. "Saya tidak keberatan. Tapi sebelum itu, boleh saya bertanya satu hal?"

Jovanka menatapnya dengan curiga, jantungnya berdegup kencang. Ia benci cara tenang Andrew. Cara pria itu seolah tidak terpengaruh oleh tatapan merendahkan, oleh bisikan ejekan, oleh ancamannya. Ia benci bagaimana Andrew sekarang terlihat lebih... berkelas daripada dirinya. Itu melukai harga dirinya. Ia adalah Jovanka. Ia pantas mendapatkan yang terbaik. Ia telah bekerja keras, menyisihkan semua demi berada di lingkaran ini. Dan Andrew, seorang kurir, berusaha merusaknya.

"Apa lagi?" Jovanka melipat tangannya di dada, berusaha menampilkan kesan kuat, namun tangannya sedikit gemetar.

Andrew mencondongkan tubuh sedikit, suaranya semakin rendah, namun intensitas tatapannya tidak berkurang. "Kau masih mengingatku?"

Pertanyaan itu membuat Jovanka terdiam sesaat. Tentu saja dia mengingat Andrew. Ingatannya tentang Andrew adalah bayangan seorang pria yang selalu berjaket kurir kusam, motornya berkarat, dan tangannya selalu bau asap knalpot. Ia mengingat kebosanan saat mendengar Andrew bercerita tentang rute pengirimannya, frustrasi karena ia tak pernah bisa diajak ke restoran mewah, dan rasa malu yang membakar saat teman-temannya bertanya "Apa pacarmu masih jadi kurir?" Ia ingat bagaimana ia selalu mencari alasan untuk tidak bertemu Andrew di depan umum.

"Untuk apa mengingat orang sepertimu?" balas Jovanka, suaranya bergetar karena amarah. "Kau hanyalah... masa lalu yang ingin kulupakan. Aku sudah bilang, kita putus karena kau tidak punya apa-apa! Masa depanmu kosong, Andrew. Aku tidak bisa bersamamu." Ia mengulang kalimat yang ia ucapkan saat terakhir kali mereka berbicara, kalimat yang ia yakini akan mengusir Andrew selamanya dari hidupnya.

Andrew mengangguk pelan, seolah Jovanka baru saja mengonfirmasi sesuatu yang sudah ia duga. Senyum tipisnya berubah menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dingin, lebih tajam, namun tetap tenang. Matanya mengunci mata Jovanka. Ada kilatan yang sulit diartikan di sana—bukan kebencian, bukan kesedihan, hanya, pengakuan.

"Dulu, saat aku masih 'tidak punya apa-apa', kau tak pernah mau melihatku," ujar Andrew, tiap katanya bagai tetesan es. "Bahkan kau tak pernah bertanya apa yang sebenarnya aku lakukan, atau siapa aku sebenarnya di balik jaket itu." Ia mengambil jeda singkat, tatapannya menyapu seluruh ruangan, melintasi wajah-wajah para tamu elit yang kini sepenuhnya terpaku pada drama di depan mereka. "Kau terlalu sibuk mencari sosok lain, bukan?"

Jovanka merasakan napasnya tertahan. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena amarah lagi, melainkan karena rasa takut yang tiba-tiba melilit. Ada sesuatu dalam nada bicara Andrew, dalam sorot matanya yang tenang itu, yang membuatnya merinding. Kata-kata "sosok lain" itu... apakah ia tahu? Mungkinkah Andrew tahu tentang obsesinya mencari pewaris Grup Wijaya? Tidak, tidak mungkin. Andrew hanyalah seorang kurir biasa.

"Apa maksudmu?" Jovanka mencoba bersikap angkuh, tapi suaranya pecah. "Aku tidak mencari siapa-siapa! Kau—"

"Tentu saja kau mencari," potong Andrew lembut, namun tegas. Ia mengarahkan pandangannya kembali ke Jovanka. "Mencari seseorang yang bisa memberimu apa yang kau inginkan. Status, kemewahan... mungkin, malam ini, seorang pewaris rahasia yang kabarnya akan muncul."

Rahang Jovanka mengeras. Bagaimana Andrew bisa tahu? Ia bahkan belum bercerita kepada Andrew bahwa ia akan datang ke pesta ini. Ia memalingkan wajah, berusaha menghindari tatapan intens Andrew. Rasa malu dan ketakutan bercampur aduk, menciptakan gelombang panas di tengkuknya.

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," Jovanka tergagap. "Kau hanya... menghalangi jalanku." Ia melirik panik ke pintu masuk, berharap melihat satpam atau siapapun yang bisa menyeret Andrew keluar dari sana.

Andrew mengamati kepanikan di mata Jovanka, dan senyumnya semakin melebar, kali ini bukan senyum tipis, melainkan senyum puas yang penuh arti. Sebuah senyum yang membuat Jovanka merasakan hawa dingin merayapi punggungnya. Pria ini, Andrew, tidak datang untuk memohon. Ia tidak datang untuk dipermalukan. Ia datang dengan tujuan.

"Menghalangi jalanmu?" ulang Andrew, nada suaranya terdengar seperti sebuah bisikan di telinga Jovanka, menembus dinding dentuman bass. Ia melangkah satu langkah lebih dekat, cukup dekat sehingga Jovanka bisa merasakan hangat napasnya. "Kau tahu, ada pepatah yang mengatakan, kadang-kadang kau harus kehilangan semua yang kau pikir kau inginkan, untuk menemukan apa yang sebenarnya kau butuhkan."

Jovanka menatapnya, bingung dan takut. "Apa yang kau bicarakan, Andrew? Apa yang kau inginkan?"

Andrew tersenyum lagi, kini senyum itu murni tanpa cela, namun tetap menyimpan rahasia. Ia mengangkat tangannya perlahan, menunjuk ke arah panggung utama yang masih kosong, di mana seorang pembawa acara baru saja meraih mikrofon. Pandangan semua orang, termasuk Jovanka, tertarik ke sana.

"Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu," bisik Andrew, kata-kata terakhirnya nyaris tertelan musik yang kembali menguat. "Dan sepertinya, ini adalah waktu yang tepat."

Pembawa acara yang elegan, seorang wanita cantik dengan suara berwibawa, tersenyum ke arah kerumunan. "Selamat malam hadirin sekalian," katanya, suaranya memantul sempurna dari pengeras suara. "Terima kasih atas kehadiran Anda semua di malam yang istimewa ini. Dan sekarang, tanpa membuang waktu lagi, dengan bangga kami persembahkan kepada Anda... sosok yang telah lama dinanti-nanti..."

Jovanka merasakan jantungnya berdebar kencang, kali ini karena antisipasi yang campur aduk dengan teror. Pewaris Grup Wijaya. Ini dia. Ia menatap Andrew, yang masih berdiri di sampingnya, tenang, dengan senyum misterius itu. Apa maksud Andrew? Apakah ia akan melakukan keributan saat nama pewaris itu disebut? Ia harus menghentikannya!

"Yang akan memimpin perusahaan kita menuju era baru. Mari kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah."

Jovanka melihat Andrew melangkah mundur perlahan, matanya tidak pernah lepas dari panggung. Ia tidak lagi menunjuk. Tangannya kini tergantung di sisi tubuhnya, seolah ia telah menyelesaikan tugasnya.

"Andrew, jangan macam-macam!" desis Jovanka, meraih lengannya. "Apa yang kau lakukan?"

Andrew hanya tersenyum simpul, tatapannya menyapu sekali lagi kerumunan yang kini mulai bergemuruh. Lalu, ia kembali menatap Jovanka, dengan sepasang mata yang kini seperti lautan dalam—tenang, namun tak terduga.

"...Bapak Andrew..."

Jovanka membeku di tempat. Bukan karena nama itu, tapi karena Andrew di hadapannya tiba-tiba ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Kurir Biasa   Chapter 6

    "...Mungkin aku butuh se—" Andrew menelan ludahnya, merasakan tenggorokannya masih tercekat oleh emosi yang campur aduk. Matanya beradu dengan tatapan lembut Luna. Ia melihat ketulusan di sana, sesuatu yang langka dalam pengalamannya belakangan ini. "...sesuatu yang hangat. Teh tawar saja, Mbak Luna, kalau tidak merepotkan."Luna tersenyum. Senyum yang sederhana, namun mampu menenangkan riuhnya badai di hati Andrew. “Tidak merepotkan sama sekali, Mas Kurir. Tunggu sebentar, ya.” Gadis itu segera berbalik menuju konter, meraih cangkir bersih dan mulai menyeduh teh. Setiap gerakannya tampak alami, tanpa paksaan, sebuah kontras yang mencolok dengan kepalsuan yang baru saja ia rasakan.Baskara menyenggol bahu Andrew pelan. “Gimana? Lumayan, kan? Dunia belum kiamat, Dre.” Ia mengedikkan dagu ke arah Luna yang sibuk di balik konter, seolah ingin menyampaikan pesan tanpa kata. Andrew hanya mengangguk samar, membiarkan kehangatan cangkir kopi di tangannya meresap, perlahan

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 5. Secangkir Kopi Pahit

    ...membuat motornya oleng, dan ia—Andrew mencengkeram stang motornya erat-erat, seolah nyawanya bergantung pada pegangan itu. Seluruh tubuhnya menegang. Sepasang mata di balik visor helm yang buram itu membelalak, melihat ban depan motornya terpeleset di atas genangan air bercampur oli yang mengilap, tepat setelah truk itu lewat. Ia bisa merasakan motornya limbung ke kanan, gravitasi menariknya dengan ganas, seolah ingin mencampakkannya ke aspal dingin. Jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seperti genderang perang.Tidak. Tidak sekarang.Dengan insting yang terlatih dari ribuan kilometer di jalanan ibu kota, Andrew mengeraskan otot-otot pahanya, mengarahkan stang ke kiri dengan kasar, sekaligus menginjak rem belakang. Ban belakang motornya berderit, sempat mengunci, tapi gerakan refleksnya berhasil menstabilkan motor itu dalam sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. Ia nyaris menabrak pembatas jalan. Napasnya terengah-engah, bau knalpot dan aspal basah memen

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 4. Hujan di Bulan Desember

    dan ia—Terhuyung. Bukan jatuh, melainkan tubuh Jovanka terdorong ke belakang, tepat ke dada seorang petugas keamanan yang lain, yang segera menahan gerakannya. Jovanka merasakan cengkeramannya yang kuat, napas yang terengah-engah, dan matanya terpaku pada sosok Andrew yang kini menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali pada ayahnya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, senyum yang tanpa kata, namun jauh lebih menyakitkan daripada seribu makian. Senyum yang seolah berkata, ‘Sekarang kamu lihat aku, kan?’Petugas itu menarik Jovanka dengan paksa. Jovanka meronta, mencoba meraih Andrew, memanggil namanya, tetapi suaranya tenggelam oleh dentuman musik dan bisikan-bisikan sinis yang menghantamnya dari segala arah. Setiap langkah menjauh dari Andrew terasa seperti cabikan, setiap bisikan bagai belati yang menusuk. Ia adalah pusat perhatian yang memalukan, sebuah tontonan gratis atas kehancurannya. Jantung Jovanka berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya. Ia harus melakukan sesu

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 3. Mata yang Menilai

    ... jatuh.Jovanka merasakan tubuhnya limbung. Bukan hanya kakinya yang lemas, tetapi seluruh fondasi yang ia bangun untuk hidupnya runtuh dalam sekejap. Rasanya seperti didorong dari tebing tinggi, gravitasi menariknya ke bawah tanpa ampun. Napasnya tercekat, dan ia harus mencengkeram lengan petugas keamanan yang masih memeganginya dengan erat, bukan untuk meronta, melainkan untuk mencari tumpuan agar tidak benar-benar ambruk di sana.Mata petugas keamanan itu tidak berkedip, wajahnya datar, seolah ia hanya menjalankan tugas, memindahkan benda mati. Andrew, pria yang dulu ia buang, kini berdiri tegak di tengah keramaian, berbicara dengan para petinggi, senyumnya tipis namun penuh wibawa. Senyum yang sama, tetapi kini memancarkan aura berbeda, aura yang mengintimidasi, aura seorang pemenang.Jovanka melihat Andrew melirik ke arahnya lagi, tatapan yang sama sekali tanpa emosi. Bukan marah, bukan sedih, melainkan kehampaan yang menusuk. Kehampaan yang jauh lebih menyakitkan daripada kem

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 2. Sebuah Nama yang Terlupakan

    "...Bapak Andrew..."Suara pembawa acara itu menggantung di udara, beradu dengan dentuman musik yang tiba-tiba meredup. Ruangan pesta yang riuh seketika hening, menyisakan gemuruh antisipasi. Jovanka merasakan cengkeramannya pada lengan Andrew mengendur, tatapannya terpaku pada panggung yang kini disinari cahaya sorot utama. Ia melihat Andrew, pria di hadapannya, perlahan menarik tangannya, senyumnya kini tampak lebih jelas, namun masih menyimpan rahasia yang tak terduga."...Wijaya!"Kata terakhir itu meledak di udara, bagai petir menyambar di tengah keramaian. Nama itu, Wijaya. Nama keluarga yang selama ini ia kejar, impian yang ia gantungkan pada sosok pewaris misterius. Dan sekarang, nama itu keluar dari bibir pembawa acara, menyatu dengan nama Andrew. Andrew. Andrew Wijaya.Jovanka merasakan dunia berputar di sekelilingnya. Otaknya berusaha memproses informasi yang baru saja ia dengar, namun logika menolaknya mentah-mentah. Tidak. Tidak mungkin. Andrew, si kurir? Andrew, pria yan

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 1. Gema di Ruang Pesta

    Dentuman musik yang membingungkan pikiran menyembunyikan sebagian dari bisikan tajam. Namun, gema kalimat Jovanka tetap menusuk, membelah hiruk-pikuk pesta amal kelas atas itu seperti pisau tajam. "Kita putus karena kamu nggak punya apa-apa, Andrew," desisnya, bibirnya membentuk senyum palsu yang lebih menyerupai ringisan. Kilauan kristal gelas sampanye memantul pada manik matanya yang menyala marah. "Dan sekarang kamu berani muncul di sini? Satpam!"Pria di hadapannya, Andrew, hanya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tak membalas amarah Jovanka, melainkan justru mengikisnya, menggantikan emosi itu dengan kebingungan dan kegelisahan yang menggerogoti. Ia mengenakan setelan jas hitam yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, kainnya mahal dan jatuh tanpa cela, dasi sutranya mengkilap di bawah cahaya sorot. Rambutnya tertata rapi, dan aura yang dipancarkannya—aura tenang yang mengintimidasi—sama sekali berbeda dengan sosok yang dulu ia kenal."Maaf, Jovanka," Andrew membalas, suaranya pel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status