LOGINBab 4: Cincin di Laci Dasbor
Aroma van menampar wajah Andrew, campuran samar disinfektan, kulit mewah, dan parfum Jovanka yang sangat spesifik—mahal, tajam, dan memabukkan. Ia bisa mendengar suara knalpot mobil yang lembut dan berat, serta suara bising Jakarta yang jauh. Tubuhnya terasa berat dan bebal, seolah-olah ia diisi dengan semen basah. Ketika ia sadar sepenuhnya, ia tidak berada di dalam van lagi. Ia berbaring di sofa beludru putih yang tampak sangat mahal. Cahaya redup menembus jendela tinggi, menunjukkan pemandangan malam Kuningan yang berkilauan. Ini adalah penthouse Jovanka. Sarang laba-laba yang dibangun dari kekayaan. Kepalanya berdenyut-denyut. Andrew mencoba menggerakkan pergelangan tangannya. Tidak ada ikatan, tetapi ada rasa sakit yang melumpuhkan di pergelangan kaki yang terkilir saat kecelakaan motor tadi. Sedatif itu telah memberinya kelonggaran fisik, tetapi rasa sakit mentalnya baru saja dimulai. "Lihat, dia sudah bangun," sebuah suara dingin memecah keheningan. Andrew menoleh. Jovanka berdiri di dekat jendela, memegang segelas anggur merah yang harganya mungkin setara dengan sewa kos-kosan Andrew selama setahun. Gaun sutra hitamnya tampak sempurna, tidak sedikit pun kusut. Di belakangnya, berdiri pria berotot yang mencegat Andrew di jalan, seragam hitamnya rapi. "Kau membawaku ke sini," ujar Andrew, suaranya parau. "Setelah segel itu terpasang. Kau benar-benar melakukannya." Jovanka berjalan pelan, berhenti tepat di depan sofa. Ia menunduk, matanya yang tajam memancarkan kekecewaan yang menusuk. "Aku memberimu kesempatan, Andrew. Aku memberimu pintu keluar yang elegan. Aku memintamu memilih aku, memilih masa depanmu. Tapi kamu lari, hanya demi toko buku usang dan wanita yang bahkan tidak tahu siapa kamu sebenarnya." "Jangan bicara tentang Rania," Andrew mencoba bangkit, tetapi sakit di kakinya membuatnya kembali ambruk. "Kau tidak mengenalnya. Kau tidak mengerti ketulusan." Jovanka tertawa kecil, tawa yang tidak memiliki kegembiraan. "Ketulusan? Kamu yang berani bicara tentang ketulusan? Kamu, yang berpura-pura menjadi kurir, menguji semua orang, membangun kebohongan yang rumit hanya untuk... mendapatkan apa? Perhatian dari seorang gadis miskin yang naif?" "Aku melakukannya karena aku muak dengan Jovanka, muak dengan dunia ini!" Andrew balas berteriak, rasa lemasnya digantikan oleh ledakan emosi. "Aku muak dinilai dari harga jam tangan dan mobilku. Aku ingin tahu apakah ada orang yang akan mencintai Andrew." "Dan aku tahu jawabannya!" Jovanka menjentikkan jarinya ke arah pria berotot itu. Pria itu mengangguk dan segera meninggalkan ruangan. "Jawabannya adalah: Tidak ada! Karena Andrew si kurir itu tidak ada, ia hanyalah topeng murahan yang kamu kenakan!" "Rania mencintai Andrew si kurir!" "Oh, dia mencintai kebohonganmu, Sayang. Sama seperti aku mencintai Andrew Wijoyo," Jovanka menyesap anggurnya. "Perbedaannya, aku tahu apa yang aku inginkan—uang dan status—sementara dia mencintai ilusi. Dan ilusi, sayang, mudah dihancurkan." "Kau tidak akan menghancurkannya," Andrew mendesis. "Lepaskan aku. Aku harus ke sana. Aku harus menjelaskan semuanya." Jovanka meletakkan gelasnya di meja kopi kaca. Matanya kini berkilat penuh rencana jahat. "Tujuan kita malam ini bukan untuk menyelamatkan Pustaka Senja, Andrew. Pustaka Senja sudah selesai. Tujuan kita adalah memastikan kamu tidak pernah kembali ke sana, dan kamu kembali ke tempat yang seharusnya kamu berada: di sisiku, sebagai CEO Wijoyo Corp." Andrew menatapnya ngeri. "Tidak akan pernah." "Oh, ya, akan. Karena aku telah menemukan satu hal yang dapat mengubah seluruh permainanmu," Jovanka menyeringai lebar. Ia berbalik ke arah sebuah meja konsol kayu eboni. Di atas meja itu, di bawah sorotan lampu sorot kecil, tergeletak jaket kurir Andrew yang robek dan berlumuran darah kotor, dompet tipisnya, dan sebuah benda persegi kecil yang terbuat dari beludru hitam. Jantung Andrew serasa dicabut dari dadanya. "Motor bututmu itu sangat mudah untuk dipungut. Apalagi setelah kamu terbaring tak berdaya di aspal. Timku sangat teliti," Jovanka mengambil kotak kecil itu dengan dua jarinya, seolah-olah itu adalah serangga mati. "Aku penasaran dengan laci dasbor kecil itu. Apa yang disembunyikan Kurir Andrew di sana? Mungkin kunci gembok kos-kosan?" Andrew mencoba bernapas, tetapi udara terasa beku di paru-parunya. "Jangan sentuh itu, Jovanka!" Jovanka mengabaikannya. Ia membuka kotak itu dengan gerakan yang lambat, dramatis. Di dalamnya, terpantul cahaya penthouse, sebutir berlian besar yang dipasang pada cincin emas putih yang elegan. Andrew telah membelinya delapan bulan lalu, saat ia masih yakin Jovanka adalah wanita yang ia cintai—sebelum ia menyadari bahwa semua cinta itu bersyarat pada kekayaan Wijoyo Corp. Cincin itu seharusnya menjadi penentu masa depan mereka. Jovanka menatap cincin itu lama. Senyumnya menghilang, digantikan oleh ekspresi terluka yang tiba-tiba membuat Andrew merasa sedikit bersalah. "Kau akan melamarku," bisik Jovanka, suaranya sedikit bergetar. "Delapan bulan lalu. Sebelum semua omong kosong seragam oranye ini. Kau tetap mencintaiku saat itu, kan?" "Aku... aku berencana melamarmu. Ya," Andrew mengakui. Itu adalah kebenaran yang menyakitkan. "Tapi kau menyimpannya. Bahkan setelah semua sandiwara kurir ini, kau masih menyimpannya di motor bututmu," Jovanka berjalan mendekat lagi, memegang kotak terbuka itu seperti piala perang. "Dan aku tahu kenapa. Kau menyimpannya untuk jaga-jaga. Jika Andrew si kurir gagal, Andrew Wijoyo bisa muncul, dan kita akan kembali ke kehidupan yang sempurna ini." "Bukan! Aku menyimpannya karena aku pengecut! Aku tidak bisa membuangnya. Aku tidak bisa menghadapi apa yang telah kuubah!" Andrew memprotes. "Atau, karena kamu tahu, jauh di lubuk hatimu, hanya aku yang pantas menerima ini," Jovanka mengangkat cincin itu ke cahaya. "Dan kamu tahu, cinta Rania hanyalah pelarian sementara dari kenyataan. Kebenaranmu adalah Wijoyo Corp, Andrew." "Kebenaranku adalah kebohonganmu yang menghancurkan Pustaka Senja!" Jovanka menghela napas, rasa sakit di wajahnya menghilang, digantikan oleh kemarahan yang membara. "Baiklah. Jika kamu tidak mau memilih aku, aku akan memaksamu. Jika kamu ingin kembali ke kehidupan kurir, mari kita lihat bagaimana perasaan Rania ketika Kurir Andrew datang tidak hanya sebagai orang yang bertanggung jawab atas segel di toko buku keluarganya, tetapi juga sebagai tunangan rahasia dari wanita yang menghancurkannya." Andrew terkesiap. "Kau tidak akan melakukannya." "Aku akan melakukan segalanya untuk mendapatkan apa yang menjadi milikku," Jovanka meletakkan kotak cincin itu, lalu meraih ponsel mewahnya. Ia segera menghubungi seseorang. "Haryo? Batalkan tim legal di Pustaka Senja," kata Jovanka, membuat Andrew sedikit lega. "Terima kasih, Jo," Andrew bergumam, kelegaan menyelimutinya. Jovanka tersenyum, senyum yang menjanjikan lebih banyak rasa sakit. "Tunggu dulu, Sayang. Aku hanya membatalkan tim legal. Segelnya tetap di sana. Dan sekarang, aku punya tugas baru untuk mereka." Ia menutup telepon, menatap Andrew dengan tatapan dingin. "Mereka akan kembali ke Pustaka Senja, Andrew. Tapi kali ini, mereka tidak membawa segel. Mereka membawa sesuatu yang jauh lebih pribadi." "Apa yang kau kirim?" Andrew berjuang untuk bangkit lagi, rasa panik mendominasi. "Hanya... kejutan kecil. Untuk Nona Rania. Hadiah perpisahan dari 'tunangan' Andrew." Jovanka meraih cincin berlian itu dari kotak beludru, kemudian berjalan ke meja kecil dan mengambil sebuah kotak pengiriman kurir kecil yang kosong. Ia memasukkan cincin itu ke dalamnya. "Kau berencana mengirimkannya sebagai paket?" Andrew tidak bisa mempercayainya. "Tentu saja. Dalam paket kurir. Dengan kartu ucapan yang sangat tulus," Jovanka mengambil pena dan menulis cepat di sebuah kartu kecil. Andrew menyipitkan matanya, mencoba membaca tulisan tangan itu dari kejauhan. "Apa yang kau tulis?" Jovanka menahan kartu itu, memperlihatkannya sebentar sebelum menyegelnya bersama cincin di dalam kotak. Tulisannya: Maaf, aku tidak bisa menepati janji untuk tidak berubah. Kembalikan ini. Kami akan menikah di Paris. "Andrew, aku akan memastikan paket ini dikirimkan langsung ke tangan Rania. Dan tahukah kamu apa yang akan dia lihat?" Jovanka berjalan menuju pintu, memanggil pengawalnya. "Dia akan melihat cincin yang harganya setara dengan seluruh warisan keluarganya, cincin yang seharusnya melamar aku, dikirimkan dengan seragam kurir. Ini akan menjadi bukti tak terbantahkan bahwa Andrew si kurir hanyalah penipu yang mempermainkan hatinya." Pria berotot itu kembali. Jovanka menyerahkan kotak paket itu kepadanya. "Pastikan paket ini tiba di Pustaka Senja dalam waktu satu jam. Langsung ke pemiliknya. Jangan sampai ada yang gagal." "Jovanka, jangan! Itu akan menghancurkannya! Dia tidak akan pernah memaafkanku!" Andrew merangkak dari sofa, rasa sakit di pergelangan kakinya kini terasa seperti api. "Itu tujuannya, Sayang," Jovanka berjongkok di hadapan Andrew yang merangkak. Ia menyentuh dagu Andrew dengan jari panjangnya. "Pilihlah: kembali ke sisiku sekarang juga, lupakan Rania, dan aku akan membatalkan pengiriman paket ini. Atau terus merangkak, dan aku akan memastikan dia tidak hanya membencimu sebagai CEO Wijoyo Corp, tetapi juga membencimu sebagai Andrew si kurir yang paling tulus yang pernah ia kenal." Andrew menatap mata Jovanka. Ia terjebak. Memilih Jovanka berarti Rania aman dari kehancuran emosional total, tetapi ia harus hidup dalam kebohongan yang ia benci. Memilih Rania berarti kehancuran total, karena cincin itu akan menjadi bom yang meledak tepat di wajahnya. "Aku akan memberimu sepuluh detik untuk memutuskan," kata Jovanka, bangkit dengan anggun. "Sepuluh. Sembilan. Delapan..." Andrew mencoba fokus, rasa sakit dan obat bius masih berjuang di dalam tubuhnya. Ia bisa melawan pria berotot itu, tetapi ia tidak bisa mengalahkan kecepatan pengiriman paket kurir. "Tujuh. Enam..." Rania. Senyum tulus Rania. Aroma teh earl grey. Kejujuran. Andrew tahu apa yang harus ia lakukan, bahkan jika itu berarti kehancuran. Kejujuran selalu menjadi satu-satunya jalan. "Aku tidak memilihmu, Jovanka," Andrew berkata dengan susah payah, mencengkeram lantai. "Aku akan mengejarnya. Aku akan menjelaskan segalanya sebelum paketmu tiba." Wajah Jovanka mengeras. Semua kehangatan artifisial itu menghilang. Ia memberi isyarat kepada pria berotot itu. "Lima. Empat..." Jovanka tersenyum lagi. "Pilihan yang buruk, Andrew. Sekarang kamu harus menanggung konsekuensinya." Pria itu bergerak cepat. Andrew merasakan dorongan kuat di punggungnya, yang membuatnya terlempar kembali ke sofa beludru. Pria itu menahan tubuhnya dengan bobotnya yang besar. "Tidak! Lepaskan aku!" Andrew berjuang, menendang-nendang. "Tiga. Dua. Satu." Jovanka berjalan keluar, tangannya memegang gagang pintu berlapis emas. "Selamat menikmati malammu di sini, Andrew. Aku akan pastikan Rania mendapatkan paketnya." Pintu tertutup dengan suara dentuman berat yang menggema di ruangan mewah itu. Andrew ditinggalkan sendirian, ditahan, suaranya teredam oleh sofa mahal. "Rania!" raung Andrew. "Aku harus ke sana! Aku harus menghentikannya!" Andrew mencoba melawan pria yang menahannya. Dia CEO Wijoyo Corp, dia tidak bisa ditahan seperti ini. Namun, tubuhnya masih lemah, dan rasa sakit dari pergelangan kakinya menghambat setiap gerakan. Pria itu hanya menyeringai. "Santai saja, Tuan. Ini untuk kebaikanmu sendiri." Andrew akhirnya berhasil memutar tubuhnya, mencakar dan menggigit. "Aku tidak peduli! Aku harus menyelamatkan Pustaka Senja! Aku harus mencegahnya melihat cincin itu!" Ia berhasil menarik diri dari cengkeraman pria itu sejenak, meluncur ke lantai. Ia melihat ke jendela tinggi yang menampilkan lanskap kota. Ia harus melompat, ia harus keluar, ia harus berlari. Ia merangkak menuju jendela, rasa panik murni mendorongnya. Tiba-tiba, ia merasakan pukulan keras di sisi kepalanya. Pandangannya kabur, terdengar suara mendesis di telinganya. Itu adalah pria berotot itu, kini terlihat ganda dan kabur. "Cukup, Tuan," desis pria itu, mencengkeram kerah kemeja Andrew. Andrew berjuang untuk tetap sadar. Ia melihat sekilas ke luar jendela, ke arah cahaya Menteng yang jauh, tempat Pustaka Senja berada, tempat Rania berada, tempat kebenaran akan segera terungkap. Ia tidak bisa membiarkan paket itu sampai ke sana. Itu bukan hanya pengkhianatan; itu adalah bom bunuh diri emosional. Andrew menendang dengan seluruh kekuatan yang tersisa, mengenai tulang kering pria itu. Pria itu menjerit pendek dan terhuyung. Itu adalah kesempatan Andrew. Ia segera merangkak menuju pintu keluar. Ia berhasil membuka pintu—hanya untuk menemukan dua pria berotot lain berdiri di koridor. Ekspresi mereka datar. "Tolong, aku harus keluar," Andrew memohon, darah menetes dari luka di kepalanya. Salah satu pria itu meraih lengannya dan menariknya mundur, membanting punggungnya ke dinding koridor. "Nyonya Jovanka bilang, Tuan perlu istirahat. Di kamar tidur utama," kata pria itu dengan suara berat, tanpa emosi. Mereka menyeret Andrew melewati ruang tamu mewah itu, kembali ke dalam sarang Jovanka. Andrew menolak, menendang, dan berteriak, tahu bahwa setiap detik yang berlalu membawa cincin berlian itu semakin dekat ke tangan Rania. Mereka membawanya ke kamar tidur utama, ruangan yang lebih besar dari seluruh kos-kosannya. Di sana, di atas meja samping tempat tidur, Andrew melihat kunci motor bututnya, diletakkan dengan ejekan di samping kartu identitas CEO-nya. Mereka melemparkannya ke ranjang besar. Pria berotot pertama mengambil suntikan baru. "Tidak! Jangan lakukan itu lagi!" Andrew memohon. "Hanya untuk menenangkan Tuan," kata pria itu. Andrew berjuang keras, tetapi mereka menahannya. Ia merasakan jarum dingin menembus kulitnya lagi. Sedatif yang lebih kuat. Kali ini, rasa kantuk datang seperti gelombang pasang, menenggelamkan kesadarannya. Saat Andrew mulai kehilangan fokus, pria itu berbisik, tepat di telinganya. "Jovanka ingin kamu bangun tepat pada waktunya, Tuan Andrew. Tepat setelah paket itu tiba. Dia ingin kamu melihat kehancuran itu di berita malam." Andrew merasakan matanya tertutup. Pikiran terakhirnya bukan tentang rasa sakit fisik, tetapi tentang Rania yang hancur, memegang cincin berlian yang seharusnya melamar Jovanka. Ia jatuh ke dalam kegelapan, rasa bersalahnya kini adalah beban yang tak tertahankan. * Satu jam kemudian. Andrew tiba-tiba tersentak bangun, berkat denyutan tajam di kepala. Sedatifnya mungkin cepat, tapi adrenalin dan kepanikan bekerja lebih cepat. Ia sendirian. Kamar itu sunyi. Ia tahu ia harus cepat. Pergelangan kakinya masih sakit, tetapi ia mengabaikannya. Ia melompat dari tempat tidur, mengambil kunci motornya dan ID CEO-nya. Ia harus pergi. Motor bututnya? Mungkin sudah diamankan oleh tim Jovanka. Andrew berlari ke pintu keluar. Koridor itu kosong. Jovanka pasti berpikir ia aman. Andrew memaksakan diri mencapai lift, menekan tombol ground floor berulang kali. Saat pintu lift terbuka, Andrew berlari ke area lobi mewah, melewati petugas keamanan yang terkejut. "Panggil taksi! Sekarang!" perintah Andrew kepada petugas lobi. Petugas itu tampak ragu. "Tuan, Anda tampak terluka. Ada yang bisa saya bantu?" "Cepat! Panggilkan taksi ke Menteng!" Tepat saat petugas itu mengangkat telepon, ponsel Andrew berdering. Nomor Bima. "Bima! Aku butuh bantuan! Aku di lobi Wijoyo Tower, aku harus ke Menteng, Jovanka—" "Andrew! Jangan ke mana-mana!" Suara Bima terdengar tegang dan panik. "Ini bukan lagi soal Pustaka Senja! Kau harus kembali ke kantor! Sekarang juga!" "Kenapa? Apa yang terjadi?" Andrew menahan napas. "Aku baru saja mendapat email anonim. Mereka mengirimkannya ke semua dewan direksi, semua investor, dan semua media. Andrew... identitasmu." Andrew merasakan kakinya lemas. "Apa yang terjadi dengan identitasku?" "Mereka tahu semuanya. Penyamaranmu, kebohonganmu, dan... dan Rania. Mereka tahu tentang Pustaka Senja. Mereka membeberkan semuanya, Andrew! Semuanya!" Bima berteriak melalui telepon. "Berita akan pecah dalam hitungan menit! Jovanka tidak hanya menghancurkan Rania, dia menghancurkanmu! Dan Wijoyo Corp!" Andrew menjatuhkan ponselnya ke lantai marmer lobi. Semua orang di lobi menatapnya. Andrew Wijoyo, dengan kemeja robek, berlumuran darah, berdiri di lobi mewahnya sendiri, dan kebohongannya telah terungkap ke seluruh dunia. Tiba-tiba, televisi plasma besar di dinding lobi menyala. Berita mendadak. Di layar, wajah pembawa berita yang serius muncul, dan di sebelahnya, di sudut layar, Andrew melihat dua gambar: satu gambar close-up cincin berlian yang berkilauan, dan satu lagi adalah foto candid dirinya yang sedang tertawa bersama Rania di depan Pustaka Senja. Headline berita berkedip-kedip di bawah gambar itu: SKANDAL CEO WIJOYO CORP: CINTA PALSU DAN KEBOBOKAN DI BALIK AKUISISI MENTENG. Andrew mematung. Ini lebih buruk dari segel. Ini adalah kehancuran reputasi, karir, dan—yang paling penting—kepercayaan Rania. Ia berlari keluar lobi, mengabaikan teriakan Bima yang datang dari ponsel yang tergeletak di lantai. Ia harus mencapai Rania. Ia harus menjelaskan segalanya sebelum Rania melihat berita itu. Ia melihat ke jalan, mencoba mencari taksi. Tiba-tiba, ia mendengar suara gemuruh motor yang dikenalnya. Motor bututnya, Kurir Andrew. Motor itu terparkir di pinggir jalan, seolah-olah diletakkan di sana dengan sengaja. Andrew berlari menuju motor itu. Ia mengenali plat nomornya. Itu memang miliknya. Ia melompat ke atas motor, memasukkan kunci, dan memutar gas. Motor itu meraung hidup. Andrew memacu motornya. Ia harus cepat. Ia harus mengalahkan Jovanka. Ketika ia membelok tajam di tikungan pertama, matanya melirik ke laci dasbor. Laci yang tadi dilihat Jovanka. Laci dasbor itu terbuka sedikit. Di dalamnya, tidak ada apa-apa selain udara kosong. Cincin itu sudah dikirim. Andrew mempercepat lajunya, air mata perih bercampur dengan keringat dan darah. Ia tiba di jalan Menteng. Pustaka Senja terlihat di kejauhan. Gelap. Segel Wijoyo Corp masih menempel di pintunya. Andrew menghentikan motornya tepat di depan toko buku itu, jantungnya berdebar kencang. Ia melompat turun, tidak peduli dengan rasa sakit. Ia melihat Rania berdiri di ambang pintu yang disegel, tangannya mencengkeram sesuatu. Andrew berlari ke arahnya. "Rania! Jangan dengarkan berita! Itu bohong! Dengarkan aku!" Rania menoleh. Matanya merah dan bengkak, tetapi wajahnya pucat. Di tangannya, ia memegang kotak paket kurir kecil yang terbuka. Kotak yang baru saja dikirimkan Jovanka. Di samping kakinya, cincin berlian itu tergeletak di tanah, berkilauan. Rania mendongak, menatap Andrew—yang kini mengenakan kemeja mahal yang robek, penuh luka, tetapi dengan ID Kurir Andrew di saku jaketnya. Semua identitasnya bertemu dalam satu momen mengerikan. "Andrew?" suara Rania terdengar seperti desahan tertahan, penuh kekecewaan. "Aku bisa menjelaskan semuanya, Rania! Aku... Aku adalah Andrew Wijoyo. Tapi aku mencintaimu!" Rania menggeleng pelan, matanya menatap tajam ke arah Andrew. Ia kemudian mengulurkan tangan. Di tangannya, Rania tidak memegang kartu ucapan dari Jovanka. Ia memegang sebuah key card platinum bertuliskan 'Wijoyo Corp - CEO Access'. Kartu yang seharusnya Andrew tinggalkan di laci kos-kosan terkunci. "Sebelum paket cincin ini tiba," Rania berbisik, suaranya dipenuhi rasa sakit yang mendalam, "Salah satu kurirmu yang lain datang. Kurir yang sangat tulus. Dia bilang dia menemukan ini di lantai kos-kosanmu yang kumuh... dan dia bertanya, 'Apakah Tuan Andrew si kurir itu punya kartu akses Wijoyo Corp juga?'" Andrew terhuyung mundur. Dia tidak ingat pernah menjatuhkan kartu itu. Rania melemparkan kartu akses itu ke wajah Andrew. "Bohong," Rania berkata, suaranya pecah, "Persetan dengan semua kebohonganmu, Andrew!" Tiba-tiba, sebuah motor lain melaju kencang, berhenti di samping mereka. Itu adalah Bima. Sahabat Andrew. Wajahnya tegang. "Andrew! Kau harus ikut aku sekarang! Polisi sudah di jalan!" "Polisi? Kenapa?" Andrew panik. Bima menatap Rania, lalu kembali ke Andrew. "Mereka... mereka menuduhmu melakukan penipuan dan... dan penggelapan dana perusahaan. Laporan itu diajukan oleh Tuan Haryo. Di bawah nama Jovanka. Dia mengambil alih seluruh sahammu saat kau tidak sadar." Andrew membeku. Dikhianati oleh mantan kekasihnya, ditangkap, dan kehilangan segalanya—tepat di hadapan wanita yang ia cintai. Rania hanya menatap Andrew, matanya kosong. "Aku tidak mengenalmu," ujar Rania, menendang cincin itu menjauh. "Pergi." "Rania, tolong! Jangan!" Andrew mencoba meraihnya. Rania mundur, menabrak pintu Pustaka Senja yang tersegel. Saat itu, lampu biru dan merah menyala di ujung jalan. Sirine terdengar mendekat. "Andrew! Cepat naik!" Bima berteriak. Andrew menatap Rania, wajahnya hancur. Ia tahu ia tidak bisa melawan polisi dan Jovanka sekaligus, tidak sekarang. Ia harus membersihkan namanya agar bisa kembali kepada Rania. Ia melompat ke atas motor bututnya, air mata mengalir di pipinya. "Aku akan kembali, Rania! Aku janji!" Ia memacu motornya, meninggalkan Pustaka Senja yang disegel dan Rania yang menangis di belakangnya. Motor Bima mengikuti dari belakang. Mereka melaju kencang di jalanan Menteng yang gelap. Lima menit berlalu. Sirine polisi masih mengejar. "Kita harus berpisah, Andrew! Aku akan mengalihkan perhatian mereka ke arah Kuningan. Kau pergi ke tempat persembunyianku di Bogor!" Bima berteriak, mengarahkan Andrew ke persimpangan yang gelap. Andrew mengangguk panik. Ia membelok tajam ke kanan, meninggalkan Bima. Jalanan itu sepi dan gelap. Ia memacu motornya ke batas maksimal. Tiba-tiba, dari kegelapan di depannya, sebuah truk besar muncul, lampunya menyala terang, bergerak lurus ke arahnya. Andrew mencoba mengerem, tetapi ban motornya sudah aus. Ia merasakan benturan keras. Motor bututnya terlempar, ia melayang di udara, dan yang terakhir ia lihat sebelum kegelapan total menelannya adalah sepasang mata Jovanka di kursi pengemudi truk, tersenyum puas.Andrew membeku, kobaran api menyelimuti bahunya, dan di tengah keramaian wartawan dan teriakan panik, ia sadar: penembak itu pasti salah satu anak buah Hermawan, yang seharusnya menjaga Rania. Rania telah——diculik.Teriakan Rania yang memilukan bergema di lorong sempit menuju pintu belakang toko buku, suara yang langsung mengalahkan suara gemuruh api yang melahap seragam Andrew.Rasa sakit dari nyala api di tubuh Andrew seketika teredam, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan ketakutan yang murni. Ia tidak lagi merasakan panasnya kain yang melekat di kulitnya. Satu-satunya fokusnya kini adalah suara teriakan itu.Ia mendorong Jovanka, yang masih memegangi lengan baju seragam yang terbakar, dan berbalik. Ia melihat kilasan siluet. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan jaket gelap—bukan salah satu kurir—tengah menyeret Rania yang meronta-ronta menuju sebuah mobil SUV hitam yang sudah menunggu di ujung gang.“Rania!” raung Andrew, suaranya serak dan menyakitkan, dipengaruhi oleh as
Andrew membeku, kobaran api menyelimuti bahunya, dan di tengah keramaian wartawan dan teriakan panik, ia sadar: penembak itu pasti salah satu anak buah Hermawan, yang seharusnya menjaga Rania. Rania telah——diculik.Teriakan Rania yang memilukan bergema di lorong sempit menuju pintu belakang toko buku, suara yang langsung mengalahkan suara gemuruh api yang melahap seragam Andrew.Rasa sakit dari nyala api di tubuh Andrew seketika teredam, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan ketakutan yang murni. Ia tidak lagi merasakan panasnya kain yang melekat di kulitnya. Satu-satunya fokusnya kini adalah suara teriakan itu.Ia mendorong Jovanka, yang masih memegangi lengan baju seragam yang terbakar, dan berbalik. Ia melihat kilasan siluet. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan jaket gelap—bukan salah satu kurir—tengah menyeret Rania yang meronta-ronta menuju sebuah mobil SUV hitam yang sudah menunggu di ujung gang.“Rania!” raung Andrew, suaranya serak dan menyakitkan, dipengaruhi oleh as
Andrew jatuh, bersama dengan debu, karat, dan potongan-potongan logam yang tajam, menuju kegelapan yang tidak diketahui di bawahnya— Tubuhnya menghantam permukaan beton dengan bunyi Buk! yang membuat udara keluar dari paru-parunya. Suara gemuruh logam yang runtuh menggelegar, diikuti oleh keheningan yang memekakkan telinga. Andrew berbaring di antara puing-puing, matanya menyipit karena rasa sakit. Ia tidak jatuh terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar dua meter, tetapi dampak dari pecahan saluran udara yang berkarat telah melukai sisi tubuhnya. Ia mencium bau darah bercampur karat dan debu kimia yang tajam. Ia berhasil mendarat di atas tumpukan kardus tua di sudut gudang penyimpanan yang gelap. Gudang itu tampak ditinggalkan, hanya diterangi oleh sedikit cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui jendela kecil berdebu yang tertutup jeruji besi. Andrew berjuang untuk duduk. Rasa sakit menusuk pergelangan kakinya, tetapi itu bisa diabaikan. Hal yang paling penting: bukti itu. Ia mer
Andrew merasakan denyutan adrenaline yang membakar semua rasa sakit akibat kotoran dan luka di tubuhnya. Seruan Jovanka, dingin dan merdu, menghantam telinganya bersamaan dengan suara klik mekanis yang tak salah lagi dari pistol perak itu. “Permainanmu sudah berakhir—” “Rio, menunduk!” Andrew berteriak, suaranya serak. Rio, yang telah terbiasa dengan kecepatan gila kurir Jakarta, tidak menunggu perintah kedua. Ia membanting motor tuanya ke kanan, menembus celah sempit di antara truk sampah yang berhenti dan sebuah gerobak gorengan. Bau minyak panas dan asap knalpot menyengat hidung Andrew, tetapi bau itu lebih baik daripada bau belerang dari selokan. DOR! Tembakan itu terdengar seperti petasan raksasa di pagi yang sunyi. Motor Rio bergoyang hebat. Andrew merasakan panasnya peluru yang meleset, memecahkan kaca spion truk sampah. “Mereka menembak, Bos! Dia menembak!” Rio panik, gas motornya ditarik hingga maksimal. “Aku tahu! Tetap di jalur! Jalan tikus, Rio! Jangan pernah masuk
Ia melompat, meraih besi dingin itu, dan mulai memanjat— Tangga darurat yang berkarat itu terasa seperti gigitan dingin pada kulitnya. Andrew mendaki dengan liar, otot-ototnya menjerit karena kelelahan, tetapi adrenalin membakar urat nadinya. Setiap anak tangga berderit memekakkan telinga di keheningan malam Jakarta, suara yang ia tahu akan menarik perhatian para pengejar di bawah. Bau asam dari sampah di gang sempit itu menghilang, digantikan oleh aroma karat dan debu beton yang menempel di besi. Jantungnya berdebar kencang di balik seragam kurir yang basah kuyup oleh keringat dan hujan. Seragam itu, simbol kebohongan terbesarnya, kini berfungsi sebagai kain kamuflase yang menyedihkan. Tiba-tiba, ia berhenti. Dari ketinggian lantai tiga, Andrew bisa melihat mobil hitam yang mengejarnya. Cahaya strobo kecil yang tersembunyi berkedip di balik kaca depan, mengirimkan denyutan biru yang menyeramkan. Di samping mobil, ia melihat siluet dua pria berseragam mendekati motor yang tergeleta
“Andrew, Jovanka baru saja mengungkapkannya. Dia bilang kau meninggalkan dia demi kekasihmu yang lain… kekasihmu yang seorang kurir!” Kata-kata Bima menembus keheningan yang tegang, membeku di udara malam seperti kabut dingin. Pengertian yang salah itu sungguh luar biasa, fatal, dan menghancurkan. Andrew tidak bergerak. Ia tidak bisa bergerak. Otaknya mencoba memproses tiga realitas yang saling bertabrakan: kebohongan korporat yang baru saja ia sampaikan kepada Pak Hermawan, pengkhianatan emosional yang ia torehkan pada Rania, dan sekarang, kesimpulan gila yang ditarik oleh Jovanka dan media—bahwa Rania, sang pemilik toko buku sederhana, adalah selingkuhan kurir Andrew. Rania, yang masih menangis, mengangkat wajahnya yang basah kuyup. Ia menatap Bima, lalu kembali menatap Andrew. Ekspresinya bukan lagi kesedihan, melainkan kemarahan yang membara. “Kekasihmu?” Rania mengulang, suaranya naik satu oktaf, terdengar seperti pecahan kaca. Andrew melangkah maju, tangannya terentang. “R







