Home / Lainnya / Bukan Kurir Biasa / Bab 4. Hujan di Bulan Desember

Share

Bab 4. Hujan di Bulan Desember

last update Last Updated: 2025-09-28 20:24:30

dan ia—

Terhuyung. Bukan jatuh, melainkan tubuh Jovanka terdorong ke belakang, tepat ke dada seorang petugas keamanan yang lain, yang segera menahan gerakannya. Jovanka merasakan cengkeramannya yang kuat, napas yang terengah-engah, dan matanya terpaku pada sosok Andrew yang kini menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali pada ayahnya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, senyum yang tanpa kata, namun jauh lebih menyakitkan daripada seribu makian. Senyum yang seolah berkata, ‘Sekarang kamu lihat aku, kan?’

Petugas itu menarik Jovanka dengan paksa. Jovanka meronta, mencoba meraih Andrew, memanggil namanya, tetapi suaranya tenggelam oleh dentuman musik dan bisikan-bisikan sinis yang menghantamnya dari segala arah. Setiap langkah menjauh dari Andrew terasa seperti cabikan, setiap bisikan bagai belati yang menusuk. Ia adalah pusat perhatian yang memalukan, sebuah tontonan gratis atas kehancurannya.

Jantung Jovanka berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan ini berakhir seperti ini. Ia tidak bisa melepaskan Andrew. Tidak setelah semua ini. Dirinya tidak bisa menanggung penyesalan ini seumur hidupnya.

Dengan dorongan putus asa yang luar biasa, Jovanka meronta sekuat tenaga, berhasil melepaskan diri dari cengkeraman petugas keamanan itu. Ia berlari. Bukan ke pintu keluar, melainkan kembali ke tengah kerumunan, menuju meja VIP tempat Andrew duduk.

“Andrew!” teriaknya lagi, napas terengah-engah, suaranya penuh kepanikan. “Andrew, tunggu! Aku—”

Namun, sebelum ia bisa mencapai meja itu, sebuah tangan lain muncul entah dari mana, mencengkeram lengannya dengan kekuatan yang lebih besar. Kali ini bukan petugas keamanan, melainkan Baskara, yang muncul tiba-tiba seperti bayangan, wajahnya tanpa ekspresi, namun cengkeramannya tak bisa ditembus. Ia menatapnya dengan mata dingin, sebuah peringatan tanpa kata.

“Nona Jovanka,” suara Baskara rendah, hanya cukup didengar oleh mereka berdua, “Cukup.”

Jovanka merasakan sisa-sisa harapannya runtuh. Ia melihat Andrew menoleh sekilas, tatapannya menyapu mereka berdua, lalu kembali ke ayahnya, seolah tidak ada yang terjadi. Seolah ia memang tidak berarti apa-apa.

“Tidak! Andrew!” Jovanka berteriak, mencoba lagi, mencoba terakhir kalinya. “Aku tahu aku salah! Aku tahu! Semua ini, semua ini karena aku terlalu ...”

Tangan Baskara menariknya, menyeretnya lagi, kali ini dengan tekad yang lebih bulat. Jovanka meronta, matanya menatap Andrew yang kini tampak begitu jauh, begitu tak terjangkau. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus bicara dengannya. Ia harus, sebelum semua ini menjadi sebuah kenangan pahit yang tak termaafkan, sebuah penyesalan yang membakar jiwa. Jovanka harus mengubah ini. Ia harus kembali ke Andrew. Ia harus berjuang. Dengan kekuatan terakhirnya, ia menarik diri lagi dari Baskara, matanya menatap Andrew, lalu, ia merasakan lantai di bawah kakinya tiba-tiba menghilang, seolah dunia berputar dan ia-

***

Semua ini dimulai tiga bulan yang lalu, di hari terburuk dalam hidupnya.

Hujan bulan Desember selalu terasa lebih dingin, lebih menusuk. Airnya bukan sekadar membasahi, melainkan merayap di kulit, mengirimkan sensasi beku yang langsung ke tulang. Jaket kurir oranyenya terasa seperti kain tipis yang tak berguna, tak mampu menahan serangan air dari langit yang seolah runtuh. Setetes demi setetes air hujan menelusup dari celah helm, mengalir di pipi, bercampur dengan kelembapan dan bau mesin motor yang panas. Jalanan licin, penuh genangan, dan klakson kendaraan seolah tak henti-henti mengumumkan ketidaksabarannya.

Andrew sedang dalam perjalanan mengantar paket terakhir hari itu, sebuah kotak berisi kosmetik mahal yang harus tiba sebelum pukul tujuh malam. Waktu menunjukkan pukul enam lewat lima puluh, dan ia terjebak dalam kemacetan yang merayap lambat. Setiap percikan air yang dilindas ban kendaraan lain seolah menampar wajahnya, setiap tiupan angin dingin terasa seperti sindiran.

Ponsel di saku jaketnya bergetar. Sebuah panggilan dari Jovanka. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Firasatnya, yang selama berbulan-bulan ini ia sembunyikan di balik senyuman dan sapaan "sayang", kini menguat, seolah badai di luar adalah refleksi dari badai yang akan datang. Ia meraih ponsel dengan tangan yang sedikit gemetar karena dingin, suaranya berusaha terdengar senormal mungkin.

“Halo, Sayang,” sapa Andrew, menekan tombol penerima panggilan. Suaranya sedikit teredak oleh deru mesin dan hujan.

“Drew, kamu lagi di mana?” Suara Jovanka terdengar tajam, bersaing dengan derasnya hujan yang membasahi jaket kurirnya. Ada nada tidak sabar yang tidak asing, sebuah nada yang belakangan ini sering menghiasi setiap percakapan mereka.

“Aku lagi di jalan, Sayang. Sebentar lagi sampai. Ada apa?” tanyanya, mencoba mengabaikan denyutan di pelipisnya. Ia bisa membayangkan Jovanka di apartemennya, mungkin sedang bersantai di sofa empuk, atau mungkin baru saja selesai scroll media sosialnya.

Hening sejenak. Hanya suara hujan dan deru lalu lintas yang mengisi kekosongan. Lalu, Jovanka melanjutkan, suaranya lebih dingin daripada air hujan yang kini merembes ke celana panjangnya. “Aku nggak bisa kayak gini terus, Drew.”

Kalimat itu, sederhana namun penuh bobot, menghantamnya seperti bongkahan es. Detak jantungnya seolah melambat. Firasatnya terbukti benar. Andrew tahu apa yang ia maksud.

“Kay—kayak gini gimana, Sayang?” Andrew mencoba bertanya, meski tahu jawabannya. Sebuah bagian dari dirinya masih berharap ia salah. Berharap ia akan mengatakan, "Aku nggak bisa kayak gini terus tanpa kamu di sisiku," atau, "Aku nggak bisa kayak gini terus, aku merindukanmu."

“Kay—kayak gini,” ia mengulang, suaranya naik satu oktaf, terdengar lebih frustrasi. “Kita. Aku nggak bisa terus-terusan pacaran sama ... sama kamu.”

Setiap kata itu menusuk, langsung ke ulu hatinya. Andrew menarik napas dalam, merasakan udara dingin mengisi paru-paruku. Di balik helm, ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Sudah ia duga. Jika akan seperti ...

“Kenapa?” Andrew bertanya, suaranya serak, hampir tidak terdengar di telinganya sendiri.

“Kenapa? Drew, kamu itu kok polos banget, sih? Kamu nggak lihat sekitar? Teman-temanku, mereka semua punya pacar yang mapan, yang bisa ajak mereka ke tempat bagus, kasih hadiah-hadiah mewah. Mereka bisa liburan ke luar negeri. Lah, aku? Kamu tahu aku udah malu banget sama mereka!”

Suaranya melengking, amarahnya jelas tak terbendung. Andrew bisa membayangkan ekspresinya saat ini—mata yang melotot, bibir yang mengerucut, dan mungkin tangannya yang mengepal di pinggangnya. Semuanya tentang "mereka", tentang "malu". Bukan tentang "kita", bukan tentang "perasaan".

“Aku, aku pikir kamu nggak seperti mereka, Van,” kata Andrew, suaranya nyaris berbisik. Tangannya mencengkeram stang motor lebih erat, hingga kuku-kuku jarinya memutih.

“Cukup, Drew! Jangan mulai lagi dengan omong kosong idealismu itu! Realistis sedikit, dong! Cinta itu butuh uang! Cinta itu butuh masa depan! Kamu mau kasih aku makan apa? Cinta? Cinta nggak bisa bayar sewa apartemenku, Drew!”

Kata-katanya begitu brutal, begitu telanjang, hingga Andrew merasakan sengatan perih yang menusuk. Ia menepi sedikit, di bawah pohon yang daunnya lebat, berusaha menghindari sorotan lampu mobil dan semprotan air dari kendaraan yang melintas. Tubuhnya sudah basah kuyup, tapi sekarang perih di hatinya jauh lebih nyata daripada dingin yang menusuk.

“Jadi, ini karena aku seorang kurir?” tanya Andrew, nadanya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. Andrew lelah. Ia sangat lelah.

Hening lagi. Kali ini lebih lama. Andrew bisa mendengar Jovanka menghela napas kasar di seberang sana. “Aku nggak bilang begitu secara eksplisit, kan? Tapi kamu bisa nilai sendiri, Drew. Kamu tahu apa yang aku mau. Dan kamu nggak bisa memberikannya. Aku butuh kepastian. Aku butuh seseorang yang bisa memberikan masa depan yang layak untukku. Kamu, kamu nggak punya apa-apa.”

"Tidak punya apa-apa." Sebuah pisau dingin yang menusuk tepat ke jantung. Semua keraguan yang Andrew pendam selama ini, semua perjuangannya untuk mempercayai bahwa ia tulus, kini runtuh berkeping-keping. Rasa sakitnya begitu nyata, begitu membakar. Eksperimennya, misi rahasianya, semua berakhir di sini, di tengah hujan lebat, dengan sebuah kalimat yang mengonfirmasi ketakutannya yang paling dalam.

“Baiklah,” kata Andrew, suaranya begitu rendah dan pelan, Andrew sendiri nyaris tidak bisa mendengarnya. “Kalau itu maumu.”

“Bagus kalau kamu mengerti,” balasnya, nadanya terdengar lega, seolah baru saja menyelesaikan tugas yang berat. “Jadi, kita putus. Aku harap kamu mengerti, Drew. Ini demi kebaikan kita berdua.”

Kebaikan kita berdua? Sebuah kalimat klise yang digunakan untuk membenarkan tindakan egois. Andrew menatap rintik hujan yang kini mulai sedikit mereda, namun langit masih kelabu dan mendung pekat. Hati Andrew terasa kosong, seolah ada lubang besar yang menganga di sana, disedot habis oleh kata-kata kasarnya.

“Aku, aku mengerti,” kata Andrew lagi, berusaha menekan getaran di suaranya. “Aku harap kamu bisa mendapatkan apa yang kamu cari, Van.”

“Pasti. Aku yakin aku akan dapat yang lebih baik. Kamu juga, Drew. Semoga kamu cepat naik pangkat, ya. Jadi mandor atau apa kek. Jangan jadi kurir terus.”

Sebuah tawa kecil, sinis, lolos dari bibirnya. Kata-kata itu, pujian palsu yang dibalut hinaan, adalah pukulan terakhir. Andrew merasa tenggorokannya tercekat. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa ia tidak tahu siapa dirinya sebenarnya, bahwa ia baru saja membuang berlian demi kerikil. Tapi ia menahan diri. Tidak ada gunanya. Ia telah memilih.

“Baiklah,” kata Andrew lagi, untuk terakhir kalinya. “Aku harus mengantar paketku.”

“Oke. Ya sudah, Drew. Bye.”

Sambungan terputus.

Andrew menurunkan ponsel, menatap layarnya yang kini basah oleh air hujan. Layar itu menampilkan gambar latar belakang dirinya dan Jovanka, tertawa di sebuah taman. Senyum di wajah Jovanka terlihat begitu tulus saat itu. Ataukah itu hanya kebohongan yang rapi?

Motor butut Andrew, masih terhenti di bawah pohon, deru mesinnya terdengar menyedihkan di tengah keheningan yang tiba-tiba melandanya. Hujan kembali deras, seolah alam semesta ikut berduka atas apa yang baru saja terjadi. Dingin, lapar, lelah, dan kini, patah hati. Andrew merasa seluruh beban dunia menimpa pundaknya. Jaket kurirnya yang lusuh terasa semakin berat, jaket yang kini menjadi simbol kegagalannya di mata wanita yang paling ia cintai.

Andrew memutar kunci motor, bersiap melanjutkan perjalanan. Paket kosmetik mahal itu masih menantinya. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasakan dorongan yang sangat kuat untuk ... melemparkan paket itu ke genangan air, atau menabrakkan motor ini ke pohon terdekat. Sebuah suara lirih di dalam dirinya berbisik, ‘Untuk apa lagi semua ini?’

Namun, Andrew tetap melaju. Ia adalah Andrew Wijaya, sang kurir. Walaupun hatinya hancur, tugasnya tetap harus diselesaikan. Ia harus kuat. Ia harus—

sebuah truk besar melaju kencang dari arah berlawanan, menyemprotkan air genangan dengan kekuatan dahsyat, dan dalam sekejap, pandangannya gelap karena air dan lumpur yang menutupi visor helmnya, membuat motornya oleng, dan ia—

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Kurir Biasa   Chapter 6

    "...Mungkin aku butuh se—" Andrew menelan ludahnya, merasakan tenggorokannya masih tercekat oleh emosi yang campur aduk. Matanya beradu dengan tatapan lembut Luna. Ia melihat ketulusan di sana, sesuatu yang langka dalam pengalamannya belakangan ini. "...sesuatu yang hangat. Teh tawar saja, Mbak Luna, kalau tidak merepotkan."Luna tersenyum. Senyum yang sederhana, namun mampu menenangkan riuhnya badai di hati Andrew. “Tidak merepotkan sama sekali, Mas Kurir. Tunggu sebentar, ya.” Gadis itu segera berbalik menuju konter, meraih cangkir bersih dan mulai menyeduh teh. Setiap gerakannya tampak alami, tanpa paksaan, sebuah kontras yang mencolok dengan kepalsuan yang baru saja ia rasakan.Baskara menyenggol bahu Andrew pelan. “Gimana? Lumayan, kan? Dunia belum kiamat, Dre.” Ia mengedikkan dagu ke arah Luna yang sibuk di balik konter, seolah ingin menyampaikan pesan tanpa kata. Andrew hanya mengangguk samar, membiarkan kehangatan cangkir kopi di tangannya meresap, perlahan

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 5. Secangkir Kopi Pahit

    ...membuat motornya oleng, dan ia—Andrew mencengkeram stang motornya erat-erat, seolah nyawanya bergantung pada pegangan itu. Seluruh tubuhnya menegang. Sepasang mata di balik visor helm yang buram itu membelalak, melihat ban depan motornya terpeleset di atas genangan air bercampur oli yang mengilap, tepat setelah truk itu lewat. Ia bisa merasakan motornya limbung ke kanan, gravitasi menariknya dengan ganas, seolah ingin mencampakkannya ke aspal dingin. Jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seperti genderang perang.Tidak. Tidak sekarang.Dengan insting yang terlatih dari ribuan kilometer di jalanan ibu kota, Andrew mengeraskan otot-otot pahanya, mengarahkan stang ke kiri dengan kasar, sekaligus menginjak rem belakang. Ban belakang motornya berderit, sempat mengunci, tapi gerakan refleksnya berhasil menstabilkan motor itu dalam sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. Ia nyaris menabrak pembatas jalan. Napasnya terengah-engah, bau knalpot dan aspal basah memen

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 4. Hujan di Bulan Desember

    dan ia—Terhuyung. Bukan jatuh, melainkan tubuh Jovanka terdorong ke belakang, tepat ke dada seorang petugas keamanan yang lain, yang segera menahan gerakannya. Jovanka merasakan cengkeramannya yang kuat, napas yang terengah-engah, dan matanya terpaku pada sosok Andrew yang kini menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali pada ayahnya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, senyum yang tanpa kata, namun jauh lebih menyakitkan daripada seribu makian. Senyum yang seolah berkata, ‘Sekarang kamu lihat aku, kan?’Petugas itu menarik Jovanka dengan paksa. Jovanka meronta, mencoba meraih Andrew, memanggil namanya, tetapi suaranya tenggelam oleh dentuman musik dan bisikan-bisikan sinis yang menghantamnya dari segala arah. Setiap langkah menjauh dari Andrew terasa seperti cabikan, setiap bisikan bagai belati yang menusuk. Ia adalah pusat perhatian yang memalukan, sebuah tontonan gratis atas kehancurannya. Jantung Jovanka berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya. Ia harus melakukan sesu

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 3. Mata yang Menilai

    ... jatuh.Jovanka merasakan tubuhnya limbung. Bukan hanya kakinya yang lemas, tetapi seluruh fondasi yang ia bangun untuk hidupnya runtuh dalam sekejap. Rasanya seperti didorong dari tebing tinggi, gravitasi menariknya ke bawah tanpa ampun. Napasnya tercekat, dan ia harus mencengkeram lengan petugas keamanan yang masih memeganginya dengan erat, bukan untuk meronta, melainkan untuk mencari tumpuan agar tidak benar-benar ambruk di sana.Mata petugas keamanan itu tidak berkedip, wajahnya datar, seolah ia hanya menjalankan tugas, memindahkan benda mati. Andrew, pria yang dulu ia buang, kini berdiri tegak di tengah keramaian, berbicara dengan para petinggi, senyumnya tipis namun penuh wibawa. Senyum yang sama, tetapi kini memancarkan aura berbeda, aura yang mengintimidasi, aura seorang pemenang.Jovanka melihat Andrew melirik ke arahnya lagi, tatapan yang sama sekali tanpa emosi. Bukan marah, bukan sedih, melainkan kehampaan yang menusuk. Kehampaan yang jauh lebih menyakitkan daripada kem

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 2. Sebuah Nama yang Terlupakan

    "...Bapak Andrew..."Suara pembawa acara itu menggantung di udara, beradu dengan dentuman musik yang tiba-tiba meredup. Ruangan pesta yang riuh seketika hening, menyisakan gemuruh antisipasi. Jovanka merasakan cengkeramannya pada lengan Andrew mengendur, tatapannya terpaku pada panggung yang kini disinari cahaya sorot utama. Ia melihat Andrew, pria di hadapannya, perlahan menarik tangannya, senyumnya kini tampak lebih jelas, namun masih menyimpan rahasia yang tak terduga."...Wijaya!"Kata terakhir itu meledak di udara, bagai petir menyambar di tengah keramaian. Nama itu, Wijaya. Nama keluarga yang selama ini ia kejar, impian yang ia gantungkan pada sosok pewaris misterius. Dan sekarang, nama itu keluar dari bibir pembawa acara, menyatu dengan nama Andrew. Andrew. Andrew Wijaya.Jovanka merasakan dunia berputar di sekelilingnya. Otaknya berusaha memproses informasi yang baru saja ia dengar, namun logika menolaknya mentah-mentah. Tidak. Tidak mungkin. Andrew, si kurir? Andrew, pria yan

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 1. Gema di Ruang Pesta

    Dentuman musik yang membingungkan pikiran menyembunyikan sebagian dari bisikan tajam. Namun, gema kalimat Jovanka tetap menusuk, membelah hiruk-pikuk pesta amal kelas atas itu seperti pisau tajam. "Kita putus karena kamu nggak punya apa-apa, Andrew," desisnya, bibirnya membentuk senyum palsu yang lebih menyerupai ringisan. Kilauan kristal gelas sampanye memantul pada manik matanya yang menyala marah. "Dan sekarang kamu berani muncul di sini? Satpam!"Pria di hadapannya, Andrew, hanya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tak membalas amarah Jovanka, melainkan justru mengikisnya, menggantikan emosi itu dengan kebingungan dan kegelisahan yang menggerogoti. Ia mengenakan setelan jas hitam yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, kainnya mahal dan jatuh tanpa cela, dasi sutranya mengkilap di bawah cahaya sorot. Rambutnya tertata rapi, dan aura yang dipancarkannya—aura tenang yang mengintimidasi—sama sekali berbeda dengan sosok yang dulu ia kenal."Maaf, Jovanka," Andrew membalas, suaranya pel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status