...membuat motornya oleng, dan ia—
Andrew mencengkeram stang motornya erat-erat, seolah nyawanya bergantung pada pegangan itu. Seluruh tubuhnya menegang. Sepasang mata di balik visor helm yang buram itu membelalak, melihat ban depan motornya terpeleset di atas genangan air bercampur oli yang mengilap, tepat setelah truk itu lewat. Ia bisa merasakan motornya limbung ke kanan, gravitasi menariknya dengan ganas, seolah ingin mencampakkannya ke aspal dingin. Jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seperti genderang perang. Tidak. Tidak sekarang. Dengan insting yang terlatih dari ribuan kilometer di jalanan ibu kota, Andrew mengeraskan otot-otot pahanya, mengarahkan stang ke kiri dengan kasar, sekaligus menginjak rem belakang. Ban belakang motornya berderit, sempat mengunci, tapi gerakan refleksnya berhasil menstabilkan motor itu dalam sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. Ia nyaris menabrak pembatas jalan. Napasnya terengah-engah, bau knalpot dan aspal basah memenuhi indranya. Air hujan yang bercampur lumpur masih menempel di visor, tapi ia sudah lolos dari maut. Sebuah kutukan kecil keluar dari bibirnya, nyaris tidak terdengar di tengah deru hujan yang kembali menghantam. “Sialan,” gumamnya, suaranya serak. Jemarinya masih bergetar di stang. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih memacu gila-gilaan. Paket kosmetik di belakangnya masih utuh. Syukurlah. Ia tidak butuh masalah tambahan hari ini. Andrew memutar gas lagi, melaju perlahan, fokus pada jalanan yang licin. Tujuan terakhirnya, sebelum pulang ke kos yang dingin dan sepi, adalah kafe milik temannya, Baskara. Ia butuh kopi panas. Ia butuh seseorang untuk bicara. Atau setidaknya, seseorang untuk melihatnya dalam kondisi serapuh ini, tanpa perlu mengatakan apa-apa. Setibanya di depan kafe bernuansa industrial yang kini mulai sepi, Andrew memarkir motornya asal, tidak peduli dengan posisi yang rapi. Jaket kurir oranyenya terasa berat dan dingin, menempel tak nyaman di kulitnya. Air menetes dari celananya yang basah kuyup, membasahi setiap tapakan kakinya. Ia melepaskan helm, merasakan angin dingin menerpa wajahnya yang pucat. Rambutnya lepek dan lengket. Ia tampak seperti tikus got yang baru saja lolos dari badai. Pintu kafe terbuka, menghasilkan dering bel kecil yang nyaring. Baskara, yang sedang membersihkan meja bar, mengangkat kepala, dan ekspresinya langsung berubah. Alisnya terangkat, senyuman tipisnya memudar, digantikan oleh kerutan khawatir di dahinya. “Baru aja aku mau telepon,” kata Baskara, suaranya terdengar lembut, tapi tatapan matanya menajam, menyapu Andrew dari ujung kepala sampai kaki. “Ada apa, Dre? Kok lu bisa sampai basah kuyup begini?” Andrew hanya menggelengkan kepala, tidak sanggup bicara. Ia berjalan lesu menuju meja di sudut, tempat favorit mereka. Tubuhnya langsung ambruk di kursi kayu, bersandar lelah. Ia menarik napas, mencoba menghalau rasa dingin yang mencengkeram tulangnya, tapi ia tahu itu tidak hanya berasal dari hujan. Baskara mengikuti, meletakkan lap bersih yang tadi ia pakai di atas meja, lalu kembali ke konter. Tak lama kemudian, ia kembali dengan secangkir kopi hitam mengepul dan selembar roti bakar. Kopi itu diletakkan di depan Andrew. Aroma pahit kopi dan roti yang gurih seketika menguar, berusaha menembus kekosongan di dalam diri Andrew. “Jadi, eksperimennya resmi gagal?” tanya Baskara, suaranya rendah, tanpa basa-basi, langsung ke inti permasalahan. Ia menatap Andrew dengan mata yang penuh pengertian, seolah ia sudah tahu jawabannya bahkan sebelum Andrew membuka mulutnya. Andrew meraih cangkir kopi, merasakan kehangatan yang merambat ke jemarinya. Ia menghirup aromanya dalam-dalam, lalu menyesap sedikit. Pahit, namun menghangatkan. Ia menatap pantulan dirinya yang kuyu di permukaan kopi yang keruh. “Resmi,” jawab Andrew, suaranya serak, hampir tidak terdengar. Ia tidak perlu menjelaskan lebih lanjut. Baskara tahu seluruh ceritanya, setiap detail tentang Jovanka, tentang penyamaran ini, tentang harapan Andrew. “Gue turut prihatin, Dre,” kata Baskara, duduk di kursi seberang Andrew, tangannya menopang dagu. “Udah bisa ditebak, sih. Tapi gue nggak nyangka dia bisa setega itu.” Andrew tertawa sinis, tawa yang kering dan kosong. “Gue juga. Gue pikir dia beda. Gue pikir dia bisa ngelihat... ya, entahlah. Gue pikir dia bisa melihat gue, bukan cuma apa yang gue punya.” “Dan ternyata?” “Ternyata dia bilang gue nggak punya apa-apa,” Andrew mengulang kata-kata Jovanka, setiap suku katanya terasa seperti pecahan kaca di lidahnya. “Dia bilang cinta butuh uang. Butuh masa depan. Dan gue nggak bisa kasih itu. Dia malu sama teman-temannya yang pacarnya mapan.” Andrew berhenti sejenak, menelan gumpalan pahit di tenggorokannya. Hujan di luar kembali menderas, seolah ikut menenggelamkan rasa sakitnya. “Dia bilang ‘semoga gue cepat naik pangkat, jadi mandor atau apa kek. Jangan jadi kurir terus’,” Andrew menirukan Jovanka, dengan nada sarkasme yang menyakitkan. “Ironis, kan? Dia nggak tahu seberapa jauh 'pangkat' itu sebenarnya.” Baskara menghela napas panjang. “Dia nggak tahu dia baru aja buang berlian demi kerikil, Dre.” “Kerikil yang bersih, kinclong, dan punya masa depan cerah, Bas,” Andrew mengoreksi, tatapannya kosong. “Sedangkan berliannya... kotor, berlumuran lumpur, dan nggak jelas masa depannya. Di matanya, gue cuma kurir.” “Itu kan tujuan lo, Dre,” Baskara mengingatkan, lembut. “Lo mau tahu siapa yang tulus. Siapa yang bisa nerima lo apa adanya. Eksperimen ini... ini kan cara lo buat saring orang-orang kayak Jovanka. Lo nggak mau lagi dikhianati kayak yang udah-udah.” Kata-kata Baskara menusuk, namun juga memberi sedikit pencerahan. Eksperimen. Ya, itu benar. Ini adalah eksperimennya. Sebuah misi yang ia mulai hampir setahun yang lalu, setelah pacar sebelumnya mengkhianatinya demi pria yang lebih kaya. Sebuah misi yang disetujui ayahnya, walau dengan berat hati, sebagai cara Andrew untuk menemukan kebahagiaan sejati sebelum mengambil alih perusahaan. “Gue tahu,” kata Andrew, mengusap wajahnya yang lepek. “Gue tahu itu tujuan gue. Tapi... rasanya sakit, Bas. Sesakit itu. Gue sudah hampir setahun jalani ini, berbohong, menahan diri. Setiap kali dia bilang ‘sayang’, gue selalu berharap itu tulus. Setiap kali dia peluk gue, gue selalu berharap dia beneran merasakan sesuatu.” Andrew menunduk, menatap cangkir kopi di tangannya. “Dan sekarang... semuanya hancur. Semua harapan itu. Gue merasa bodoh. Merasa konyol. Buat apa semua ini? Buat apa gue nyiksa diri jadi kurir, kehujanan, kepanasan, dimarahi orang, demi nyari cinta yang ternyata... ya ampun, nggak ada bedanya sama yang dulu.” “Ada bedanya, Dre,” Baskara menimpali, suaranya tegas. “Dulu lo baru tahu setelah lo kasih tahu siapa lo sebenarnya. Setelah lo tunjukin harta lo. Kali ini, lo tahu di awal. Sebelum lo terlalu jauh. Sebelum lo buang waktu, tenaga, dan perasaan lo lebih dalam lagi. Ini pelajaran berharga, Dre.” Andrew terdiam, merenungi kata-kata sahabatnya. Pelajaran berharga. Ya, mungkin. Tapi harganya terasa sangat mahal. Ia merasakan beban di dadanya, beban kekecewaan yang mendalam, beban dari seluruh penyamaran ini. Ia telah mencoba hidup sederhana, berbaur dengan masyarakat biasa, merasakan kerasnya perjuangan sehari-hari, hanya untuk menemukan bahwa ketulusan adalah barang langka. “Jadi, sekarang apa?” tanya Andrew, mengangkat kepalanya, menatap Baskara dengan mata lelah. “Gue nyerah? Balik ke identitas awal? Ambil alih perusahaan kayak yang Ayah mau?” Baskara mengangkat bahu. “Itu keputusan lo, Dre. Tapi gue rasa, lo belum nyerah. Kelihatan dari muka lo. Lo cuma... kaget. Kecewa.” Andrew menatap keluar jendela kafe. Hujan mulai mereda, menyisakan genangan air yang memantulkan cahaya lampu jalan yang redup. Di sana, di luar sana, ia masih melihat motor kurirnya yang terparkir, jaket oranye lusuhnya yang teronggok di kursi belakang. Lambang kegagalan di mata Jovanka. Lambang penyamaran yang kini terasa begitu membebani. “Gue cuma... nggak tahu harus mulai dari mana lagi, Bas,” Andrew mengaku, suaranya nyaris berbisik. “Gue merasa hilang. Kayak semuanya yang gue percaya selama ini... ternyata cuma bualan.” Baskara tersenyum tipis. “Itu wajar. Tapi lo nggak hilang, Dre. Lo cuma lagi di persimpangan jalan. Dan lo punya pilihan. Pilihan untuk balik, atau...” Suara pintu kafe terbuka, dentingan belnya memecah keheningan. Andrew menoleh refleks, dan matanya langsung tertumbuk pada sesosok perempuan yang baru saja masuk. Rambutnya basah, beberapa helai menempel di wajahnya yang bersih tanpa make up tebal. Ia memakai jaket denim usang dan membawa sebuah tas kanvas. Di tangannya, ia memegang sekeranjang roti segar. Wajahnya terlihat lelah, namun ada senyum tipis di bibirnya saat ia menatap ke arah mereka, seolah ia baru saja menemukan sesuatu yang menyenangkan. Andrew mengenali perempuan itu. Ia adalah Luna, pemilik kedai kopi di seberang jalan, yang sering menerima paket dari Andrew. Perempuan yang selalu menyapanya dengan senyuman tulus, menawarkan segelas air dingin setiap kali Andrew datang mengantar barang. Perempuan yang pernah sekali menawarinya kopi gratis saat ia melihat Andrew tampak sangat lelah. Luna tersenyum ke arah Baskara, lalu tatapannya beralih ke Andrew. Senyumnya sedikit memudar melihat kondisi Andrew yang basah kuyup, namun matanya tetap hangat. “Loh, Mas Kurir?” sapa Luna, suaranya lembut, namun penuh perhatian. “Baru pulang kerja? Kok basah kuyup begitu? Aduh, nanti masuk angin, loh.” Andrew merasakan sensasi hangat yang aneh menjalari tubuhnya, bukan dari kopi panas di tangannya, melainkan dari sapaan itu. Senyuman tulus itu. Sebuah perhatian yang begitu sederhana, namun terasa begitu tulus. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari Jovanka. Bahkan di saat-saat terbaik mereka. “Iya, Mbak Luna,” jawab Andrew, suaranya sedikit parau. “Tadi kena hujan di jalan.” Luna berjalan mendekat, meletakkan keranjang rotinya di atas meja lain, lalu berbalik menatap Andrew lagi. Ia terlihat khawatir, kerutan halus muncul di dahinya yang jernih. “Aduh, coba sini. Aku buatin teh hangat, ya? Atau kopi lagi?” tawar Luna, gesturnya begitu alami, tanpa tendensi tersembunyi. “Kayaknya Mas Kurir butuh sesuatu yang lebih hangat dari ini. Wajahmu pucat banget.” Andrew menatap Luna, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa ada sedikit cahaya di tengah kegelapan yang menyelimutinya. Sebuah kebaikan kecil yang tulus, tanpa embel-embel, tanpa penilaian. Sebuah kebaikan yang datang dari seseorang yang hanya melihatnya sebagai "Mas Kurir" yang basah kuyup, bukan pewaris triliunan. Baskara yang sedari tadi memperhatikan, menaikkan satu alisnya, lalu tersenyum tipis. Senyuman yang seolah menyiratkan, ‘Lihat, Dre? Ini yang gue maksud.’ Andrew menatap Luna, menatap tangannya yang kini meraih teko air panas di konter. Ia merasa ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya. Sesuatu yang telah lama mati. Sebuah harapan kecil yang mulai bersemi di tengah reruntuhan hatinya. Mungkin eksperimennya belum sepenuhnya gagal. Mungkin ada jalan lain. Mungkin... "Mungkin aku butuh..." Andrew memulai, suaranya pelan, matanya tidak lepas dari Luna yang kini menuangkan air ke cangkir. Ia merasakan detak jantungnya berdebar, bukan karena adrenalin dari hampir terjatuh, melainkan karena sebuah perasaan baru yang belum ia kenali. "Mungkin aku butuh se—""...Mungkin aku butuh se—" Andrew menelan ludahnya, merasakan tenggorokannya masih tercekat oleh emosi yang campur aduk. Matanya beradu dengan tatapan lembut Luna. Ia melihat ketulusan di sana, sesuatu yang langka dalam pengalamannya belakangan ini. "...sesuatu yang hangat. Teh tawar saja, Mbak Luna, kalau tidak merepotkan."Luna tersenyum. Senyum yang sederhana, namun mampu menenangkan riuhnya badai di hati Andrew. “Tidak merepotkan sama sekali, Mas Kurir. Tunggu sebentar, ya.” Gadis itu segera berbalik menuju konter, meraih cangkir bersih dan mulai menyeduh teh. Setiap gerakannya tampak alami, tanpa paksaan, sebuah kontras yang mencolok dengan kepalsuan yang baru saja ia rasakan.Baskara menyenggol bahu Andrew pelan. “Gimana? Lumayan, kan? Dunia belum kiamat, Dre.” Ia mengedikkan dagu ke arah Luna yang sibuk di balik konter, seolah ingin menyampaikan pesan tanpa kata. Andrew hanya mengangguk samar, membiarkan kehangatan cangkir kopi di tangannya meresap, perlahan
...membuat motornya oleng, dan ia—Andrew mencengkeram stang motornya erat-erat, seolah nyawanya bergantung pada pegangan itu. Seluruh tubuhnya menegang. Sepasang mata di balik visor helm yang buram itu membelalak, melihat ban depan motornya terpeleset di atas genangan air bercampur oli yang mengilap, tepat setelah truk itu lewat. Ia bisa merasakan motornya limbung ke kanan, gravitasi menariknya dengan ganas, seolah ingin mencampakkannya ke aspal dingin. Jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seperti genderang perang.Tidak. Tidak sekarang.Dengan insting yang terlatih dari ribuan kilometer di jalanan ibu kota, Andrew mengeraskan otot-otot pahanya, mengarahkan stang ke kiri dengan kasar, sekaligus menginjak rem belakang. Ban belakang motornya berderit, sempat mengunci, tapi gerakan refleksnya berhasil menstabilkan motor itu dalam sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. Ia nyaris menabrak pembatas jalan. Napasnya terengah-engah, bau knalpot dan aspal basah memen
dan ia—Terhuyung. Bukan jatuh, melainkan tubuh Jovanka terdorong ke belakang, tepat ke dada seorang petugas keamanan yang lain, yang segera menahan gerakannya. Jovanka merasakan cengkeramannya yang kuat, napas yang terengah-engah, dan matanya terpaku pada sosok Andrew yang kini menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali pada ayahnya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, senyum yang tanpa kata, namun jauh lebih menyakitkan daripada seribu makian. Senyum yang seolah berkata, ‘Sekarang kamu lihat aku, kan?’Petugas itu menarik Jovanka dengan paksa. Jovanka meronta, mencoba meraih Andrew, memanggil namanya, tetapi suaranya tenggelam oleh dentuman musik dan bisikan-bisikan sinis yang menghantamnya dari segala arah. Setiap langkah menjauh dari Andrew terasa seperti cabikan, setiap bisikan bagai belati yang menusuk. Ia adalah pusat perhatian yang memalukan, sebuah tontonan gratis atas kehancurannya. Jantung Jovanka berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya. Ia harus melakukan sesu
... jatuh.Jovanka merasakan tubuhnya limbung. Bukan hanya kakinya yang lemas, tetapi seluruh fondasi yang ia bangun untuk hidupnya runtuh dalam sekejap. Rasanya seperti didorong dari tebing tinggi, gravitasi menariknya ke bawah tanpa ampun. Napasnya tercekat, dan ia harus mencengkeram lengan petugas keamanan yang masih memeganginya dengan erat, bukan untuk meronta, melainkan untuk mencari tumpuan agar tidak benar-benar ambruk di sana.Mata petugas keamanan itu tidak berkedip, wajahnya datar, seolah ia hanya menjalankan tugas, memindahkan benda mati. Andrew, pria yang dulu ia buang, kini berdiri tegak di tengah keramaian, berbicara dengan para petinggi, senyumnya tipis namun penuh wibawa. Senyum yang sama, tetapi kini memancarkan aura berbeda, aura yang mengintimidasi, aura seorang pemenang.Jovanka melihat Andrew melirik ke arahnya lagi, tatapan yang sama sekali tanpa emosi. Bukan marah, bukan sedih, melainkan kehampaan yang menusuk. Kehampaan yang jauh lebih menyakitkan daripada kem
"...Bapak Andrew..."Suara pembawa acara itu menggantung di udara, beradu dengan dentuman musik yang tiba-tiba meredup. Ruangan pesta yang riuh seketika hening, menyisakan gemuruh antisipasi. Jovanka merasakan cengkeramannya pada lengan Andrew mengendur, tatapannya terpaku pada panggung yang kini disinari cahaya sorot utama. Ia melihat Andrew, pria di hadapannya, perlahan menarik tangannya, senyumnya kini tampak lebih jelas, namun masih menyimpan rahasia yang tak terduga."...Wijaya!"Kata terakhir itu meledak di udara, bagai petir menyambar di tengah keramaian. Nama itu, Wijaya. Nama keluarga yang selama ini ia kejar, impian yang ia gantungkan pada sosok pewaris misterius. Dan sekarang, nama itu keluar dari bibir pembawa acara, menyatu dengan nama Andrew. Andrew. Andrew Wijaya.Jovanka merasakan dunia berputar di sekelilingnya. Otaknya berusaha memproses informasi yang baru saja ia dengar, namun logika menolaknya mentah-mentah. Tidak. Tidak mungkin. Andrew, si kurir? Andrew, pria yan
Dentuman musik yang membingungkan pikiran menyembunyikan sebagian dari bisikan tajam. Namun, gema kalimat Jovanka tetap menusuk, membelah hiruk-pikuk pesta amal kelas atas itu seperti pisau tajam. "Kita putus karena kamu nggak punya apa-apa, Andrew," desisnya, bibirnya membentuk senyum palsu yang lebih menyerupai ringisan. Kilauan kristal gelas sampanye memantul pada manik matanya yang menyala marah. "Dan sekarang kamu berani muncul di sini? Satpam!"Pria di hadapannya, Andrew, hanya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tak membalas amarah Jovanka, melainkan justru mengikisnya, menggantikan emosi itu dengan kebingungan dan kegelisahan yang menggerogoti. Ia mengenakan setelan jas hitam yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, kainnya mahal dan jatuh tanpa cela, dasi sutranya mengkilap di bawah cahaya sorot. Rambutnya tertata rapi, dan aura yang dipancarkannya—aura tenang yang mengintimidasi—sama sekali berbeda dengan sosok yang dulu ia kenal."Maaf, Jovanka," Andrew membalas, suaranya pel