MasukBab 5: Di Bawah Reruntuhan
Udara tercabut dari paru-parunya dengan benturan yang membuat semua tulangnya terasa seperti serpihan kaca. Bukan hanya sekali. Tubuhnya menghantam kap mesin truk yang keras, lalu mental ke sisi jalan, berguling di aspal yang kasar. Kepalanya berdengung, dipenuhi suara sirene internal yang melengking. Andrew tidak tahu sudah berapa lama ia terbaring di sana. Keheningan tiba-tiba menggantikan raungan tabrakan. Ia bisa mencium bau oli panas, asap bensin, dan bau samar darahnya sendiri yang mengering di pipi. Ia membuka mata, pandangannya kabur. Malam telah menelan sepihak jalanan kecil itu. Truk itu telah pergi. Hanya motor bututnya, kini terlipat dan hancur tak berbentuk, yang tersisa sebagai saksi bisu kekejaman Jovanka. Andrew mencoba bergerak. Rasa sakit yang tajam menusuk dari tulang rusuknya. Ia mengerang, mencoba mendorong dirinya sendiri ke posisi duduk. Pergelangan kakinya yang sudah terkilir kini terasa patah. "Andrew! Andrew, kau baik-baik saja?" Suara itu. Bima. Andrew menoleh dan melihat Bima berlari ke arahnya, meninggalkan motornya yang terparkir jauh di belakang. Wajah Bima pucat pasi, diterangi oleh lampu jalan yang berkedip. "Bima... dia... dia menabrakku," bisik Andrew, suaranya parau dan tipis. Bima segera berlutut di sampingnya, memeriksa luka-luka Andrew dengan mata terlatih. "Aku dengar suara benturan itu. Astaga, Andrew. Jovanka gila! Kau harus segera pergi dari sini. Polisi pasti sudah di jalan!" Andrew mencengkeram lengan Bima, rasa sakit yang dingin kini bercampur dengan keputusasaan yang membakar. "Rania. Bagaimana Rania?" Bima menghela napas berat, matanya menghindar. "Jangan pikirkan itu sekarang. Kita harus hidup dulu." "Tidak!" Andrew memaksa dirinya bangkit, meskipun Bima menahannya. "Aku harus kembali! Aku harus menghentikannya!" "Menghentikan apa, Andrew? Dia sudah menang!" Bima berteriak, suaranya tegang. "Dia menabrakmu dengan truk! Dia baru saja mencoba membunuhmu, atau setidaknya melumpuhkanmu! Dan kau masih memikirkan Rania?" "Itu karena Rania adalah satu-satunya hal yang nyata dalam semua kekacauan ini!" Andrew membentak, kemudian terbatuk, merasakan sakit tajam di dadanya. "Apa yang terjadi? Kenapa kau di sini?" "Aku kembali setelah kau membelok. Aku tidak percaya kau akan pergi sendirian. Untung aku kembali," Bima memapah Andrew. "Dengarkan aku. Sekarang kau bukan lagi CEO Wijoyo Corp yang sedang cuti, Andrew. Kau buronan." "Buronan karena kasus penggelapan?" "Bukan hanya itu," Bima menguatkan pegangannya, memaksa Andrew berjalan pincang menjauhi bangkai motor. "Jovanka mengirimkan laporan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dia menuduhmu melakukan manipulasi pasar, menggunakan Wijoyo Corp untuk transaksi fiktif guna mendanai 'gaya hidup ganda'—kurir itu. Dia menggunakan key card CEO-mu sebagai bukti akses. Dia mengatakan kau memalsukan cuti, dan semua kegagalan akuisisi Menteng adalah sabotase yang kau lakukan sendiri untuk melindungi wanita simpananmu." Andrew terhuyung, bukan karena rasa sakit, tetapi karena kengerian dari kesimpulan logis Jovanka. Itu adalah kebohongan yang sangat rapi, menggunakan setiap kebenaran kecil dan memutarnya menjadi tuduhan kriminal besar. "Dia menggunakan... sandiwara kurirku untuk menghancurkanku di mata hukum," Andrew mendesis. "Dia benar-benar merencanakan ini sejak awal." "Sejak dia tahu kau tidak memilihnya. Dia tidak hanya menginginkan perusahaan, dia ingin memusnahkanmu, Andrew," Bima mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. "Aku meminjam mobil tua dari petugas keamanan. Kita tidak bisa menggunakan mobil mewah, itu akan mudah dilacak. Cepat, masuk!" Bima mendorong Andrew ke kursi belakang sedan tua yang bau apek. Andrew meringkuk di kursi itu, memegangi tulang rusuknya yang terasa retak. "Kita ke mana?" tanya Andrew. "Bogor. Tempat persembunyianku. Itu hanya pondok kayu kecil, jauh dari sinyal dan mata-mata," Bima menyalakan mobil, dan mesinnya batuk keras sebelum akhirnya menderu. "Kenapa kau melakukan ini, Bima?" Andrew menatap sahabatnya. "Kau bisa kehilangan pekerjaanmu, Jovanka pasti akan melacakmu." Bima menekan gas, meninggalkan tikungan gelap itu dengan kecepatan tinggi. "Tugas Direktur Operasional adalah menjaga aset perusahaan. Dan kau, Andrew, adalah aset. Tapi selain itu, kau sahabatku. Aku tahu kau tidak bersalah atas tuduhan manipulasi pasar itu." "Tapi aku bersalah atas penipuan hati Rania," Andrew bergumam, kepalanya terkulai di jendela. "Dia akan memaafkanmu, setelah semua ini selesai," kata Bima, mencoba meyakinkan. Andrew menggeleng. "Tidak. Kau tidak melihatnya. Ekspresi matanya saat dia melihat cincin itu. Dia tidak melihatnya sebagai pengkhianatan biasa. Dia melihatnya sebagai konfirmasi bahwa setiap kata tulus yang pernah kukatakan, setiap senyum yang kami bagi, adalah kebohongan yang dirancang oleh CEO sombong untuk mempermainkannya." "Kita harus menghadapinya nanti," Bima membelok tajam ke jalan tol menuju selatan. "Fokus sekarang: Pustaka Senja. Apakah kau yakin segel itu masih ada?" "Ya. Jovanka membatalkan tim legalnya, tapi dia bilang segelnya tetap. Itu artinya, dia menahan Rania agar tidak bisa melarikan diri atau mencari perlindungan. Dia ingin Rania ada di sana saat kehancuran ini terjadi." Andrew merasa mual. "Dia memastikan Rania tahu bahwa Wijoyo Corp adalah musuh, dan kau adalah salah satu pemimpin Wijoyo Corp, bahkan dalam seragam kurir," Bima menyimpulkan. "Itu strategi yang kejam, Andrew. Dia menutup semua pintu." Keheningan kembali menyelimuti mobil itu, dipecahkan hanya oleh raungan mesin tua dan suara napas Andrew yang tersendat. "Berapa lama kita harus bersembunyi?" tanya Andrew. "Sampai aku bisa mengumpulkan bukti. Laporan yang diajukan Jovanka ke OJK sangat detail, Andrew. Dia pasti punya inside man. Seseorang yang memberinya akses ke data finansial dan operasional." Bima menatap spion. "Dia tidak bisa melakukan ini sendirian. Dia perlu seseorang yang tahu persis bagaimana caramu menjalankan perusahaan." Andrew menatap keluar jendela, kota Jakarta perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh kegelapan yang lebih pekat. Inside man? Siapa di Wijoyo Corp yang membencinya cukup untuk menghancurkannya, tetapi cukup cerdas untuk membantu Jovanka? "Kita tidak punya waktu lama," lanjut Bima. "Jovanka tidak akan berhenti. Begitu dia tahu kau selamat dari kecelakaan itu, dia akan mengirim orang. Kita harus mencapai pondok sebelum fajar." Perjalanan ke Bogor terasa sangat panjang. Andrew menghabiskan waktu dengan merangkai ulang kejadian, mencari celah, mencari kesalahan yang ia buat selain kebohongan itu sendiri. Kesalahan ada pada kepercayaan butanya pada Jovanka di masa lalu, yang memberinya senjata yang kini ia gunakan. "Bima," Andrew berkata, suaranya tiba-tiba tenang. "Kau adalah satu-satunya orang yang tahu tentang penyamaranku sejak awal." Bima mengangguk. "Tentu saja. Aku sudah memperingatkanmu berkali-kali." "Tapi kau juga satu-satunya orang yang tahu di mana aku menyimpan key card CEO itu, selain kos-kosanku," Andrew melanjutkan, matanya menyipit karena rasa sakit. "Kau tahu, saat aku pergi berkencan dengan Rania, aku selalu meninggalkannya di laci terkunci di mejamu." Bima terdiam. Dia tidak segera menjawab. "Bima?" desak Andrew. Bima menarik napas panjang. "Andrew, aku bersumpah demi hidupku, aku tidak pernah menyentuh kartu itu setelah kau meninggalkannya di sana. Aku tahu konsekuensinya." "Tapi bagaimana Jovanka mendapatkannya? Rania bilang seorang kurir yang 'tulus' memberikannya. Kurir itu menemukannya di kos-kosan. Tapi aku ingat betul. Itu ada di laci mejamu sebelum aku ke Menteng malam itu. Aku mengambilnya, meninggalkannya di kos-kosan hanya karena terburu-buru saat Jovanka memanggil." "Mungkin dia membobol kos-kosanmu?" "Tidak mungkin. Kos-kosan itu dijaga. Dan hanya kunci motorku yang bisa membuka kamar." Andrew menyentuh lukanya di kepala. Pukulan yang ia terima dari pria berotot Jovanka sebelum ia dibius. "Tunggu sebentar. Pria itu," kata Andrew, suaranya tercekat. "Pria berotot yang mencegatku. Sebelum dia memberiku suntikan kedua, dia berbisik padaku. Dia bilang Jovanka ingin aku bangun tepat waktu. Tepat setelah paket tiba. Itu artinya Jovanka sudah merencanakan semuanya." "Tentu saja dia merencanakannya. Dia melacak motormu," Bima menimpali. "Tidak, Bima. Motor bututku... motor itu ada di lobi Wijoyo Tower, diletakkan di sana dengan sengaja agar aku bisa kabur dan ditabraknya. Motor itu motor yang sama yang aku pakai saat ke kos-kosan. Motor yang membawa key card itu," Andrew menyadari kengerian baru. "Jovanka pasti mengirim seseorang ke kos-kosan sebelum dia mengirim truk untukku. Untuk memastikan aku punya akses ke motor butut itu agar dia bisa menabrakku." "Jadi apa intinya, Andrew?" Bima terdengar lelah. Andrew memejamkan mata, wajahnya terasa dingin. "Intinya adalah: kurir yang dibilang Rania menemukan kartu itu... dia pasti adalah anak buah Jovanka. Dan dia memastikan Rania mendapatkan kartu akses CEO-ku dulu, sebelum paket cincin itu. Agar pengkhianatanku terasa sempurna." Mobil itu akhirnya meninggalkan jalan tol utama, memasuki jalan pedesaan yang sempit dan berliku. Udara terasa lebih sejuk dan lembab. "Kita hampir sampai," kata Bima, nadanya lega. "Tolong, Andrew, beristirahatlah. Kita bisa menyusun strategi setelah fajar." Mereka melaju beberapa menit lagi, melewati hutan pinus yang gelap, sebelum akhirnya tiba di sebuah gerbang kayu tua. Bima membuka gerbang, dan mereka berkendara menuruni jalan setapak berlumpur yang berakhir di sebuah pondok kayu sederhana, jauh dari peradaban. "Selamat datang di markas kami," kata Bima, mematikan mesin. Keheningan hutan terasa menenangkan sekaligus menakutkan. Bima membantu Andrew keluar dari mobil. Andrew berjalan pincang, bersandar pada Bima, menuju pintu pondok. Pintu itu terkunci. Bima memasukkan kunci. Saat pintu terbuka, Andrew menghirup bau kayu tua dan tanah. Interior pondok itu gelap. Bima meraba-raba mencari saklar lampu. "Kita harus segera membersihkan lukamu, Andrew. Itu terlihat buruk," kata Bima. Lampu neon yang redup berkedip-kedip, menerangi interior pondok yang kecil dan lusuh. Di tengah ruangan ada meja kayu dengan dua kursi. Andrew terhuyung menuju kursi, kemudian matanya melebar. Di atas meja kayu itu, tersusun rapi, ada tumpukan map tebal. Map-map itu adalah salinan dokumen keuangan Wijoyo Corp. Dokumen-dokumen yang hanya bisa diakses oleh level manajemen tertinggi. Dan di samping tumpukan map itu, tergeletak sebuah kartu akses platinum. Kartu identik dengan yang dimiliki Andrew. Kartu CEO Access. Andrew menoleh ke arah Bima, yang kini berdiri di dekat pintu, ekspresinya tidak lagi tegang, tetapi dingin. "Bima..." Andrew memulai. "Apa ini?" Bima menutup pintu pondok, dan bunyi kunciannya terdengar mematikan di keheningan. "Aku minta maaf, Andrew," kata Bima. Tidak ada penyesalan dalam suaranya. "Aku sudah bilang, Jovanka tidak bisa melakukan semua ini sendirian." Dunia Andrew terasa runtuh untuk kedua kalinya dalam semalam. "Kau?" Andrew terkesiap, rasa sakit fisiknya lenyap digantikan oleh hantaman pengkhianatan emosional terbesar. "Kau yang membantunya? Kenapa?" Bima berjalan perlahan menuju meja, mengambil kartu CEO Access kedua itu. "Aku adalah Direktur Operasional, Andrew. Aku yang menjalankan perusahaan selama kau sibuk bermain kurir," Bima tersenyum kecil, senyum yang tidak pernah Andrew lihat sebelumnya—penuh kesombongan yang terpendam. "Jovanka menjanjikan posisi CEO. Dan sejujurnya, Andrew, aku pantas mendapatkannya. Kau terlalu sibuk mencari cinta 'tulus' itu, sampai kau lupa siapa yang setia bekerja di belakangmu." "Kau... kau mencuri kartuku dari lacimu, kau memberikannya padanya, kau yang memberinya akses ke semua data untuk memfitnahku?" Andrew nyaris tidak percaya. "Aku tidak mencurinya, aku hanya meminjamnya saat kau sibuk di Menteng. Aku yang memberikan segel Pustaka Senja sebagai tekanan, dan aku yang memastikan semua bukti terlihat meyakinkan. Aku yang mengatur agar mobil bututmu ada di lobi," Bima menjelaskan dengan nada bangga. "Aku adalah inside man yang dia butuhkan." Andrew mencoba berdiri, tetapi Bima hanya menatapnya, memegang kartu platinum itu erat-erat. "Jovanka ingin kau mati? Tidak," Andrew menyadari kengeriannya. "Dia ingin kau yang melakukannya. Agar dia bersih." Bima mengangguk. "Dia hanya ingin kau menghilang, Andrew. Dan sekarang, kau ada di sini. Di tempat terpencil ini. Tidak ada yang akan menemukanmu. Ini adalah akhir dari sandiwara kurirmu, dan awal karirku." Bima mengangkat tangannya. Di belakangnya, Andrew melihat bayangan bergerak. Bukan dari luar, tetapi dari dalam pondok itu. Andrew berbalik, dan ia melihat siluet seseorang keluar dari kamar tidur, memegang sepotong kayu yang tebal. "Tunggu, Bima, jangan lakukan ini," Andrew memohon, mencoba merangkak mundur. "Kita bisa bicara." "Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Andrew," kata Bima, langkahnya mendekat, sementara pria bayangan itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Andrew berusaha menghindar, tetapi rasa sakit di kakinya terlalu parah. Ia hanya bisa menutup mata, bersiap menghadapi serangan. Tiba-tiba, suara keras memecah keheningan. Bukan suara pukulan kayu. Itu adalah suara tembakan. Andrew merasakan percikan darah hangat di wajahnya, tetapi ia tidak merasa sakit. Ia membuka mata dan melihat Bima terhuyung mundur, memegang dadanya yang kini mengeluarkan darah. Di tangannya, kartu CEO Access itu jatuh ke lantai. Pria bayangan yang memegang tongkat itu menjatuhkan tongkatnya, dan kini ia menodongkan pistol asap ke arah pintu. "Kalian tidak akan menyentuh Tuan Andrew," desis pria itu. Andrew mengenali suara itu. Itu adalah Pak Hermawan, salah satu investor terbesar Wijoyo Corp. Pak Hermawan, yang seharusnya berada di luar kota, yang kehadirannya di Pustaka Senja memicu kebohongan pertamanya. "Pak Hermawan? Apa... apa yang terjadi?" Andrew mencoba bertanya, pandangannya kabur karena darah Bima yang menyebar di lantai kayu. Pak Hermawan tidak menjawab. Ia berbalik ke arah Andrew, ekspresinya tegang. "Tuan Andrew, kita harus pergi. Sekarang juga! Polisi dan orang-orang Jovanka sudah di sini! Aku melacak Bima. Aku tahu dia berkhianat!" Pak Hermawan meraih Andrew, memapahnya. Mereka bergerak cepat menuju pintu belakang pondok. "Kita kemana?" Andrew bertanya, bingung. "Kita akan pergi ke tempat yang tidak akan pernah mereka cari," Pak Hermawan mendorong pintu belakang. Mereka keluar ke kegelapan hutan yang pekat. Udara dingin menyengat. Andrew menoleh ke belakang, melihat cahaya mobil-mobil mendekat melalui celah-celah pepohonan. "Pak Hermawan, kenapa Anda membantu saya?" "Karena aku percaya pada kejujuran, Tuan Andrew. Dan kau harus tahu," Pak Hermawan memapah Andrew melewati semak-semak lebat, "Aku yang memberimu ide penyamaran kurir itu, sejak awal." Andrew membeku, terlepas dari rasa sakitnya. "Apa?" "Ya. Aku memintamu melakukannya. Aku ingin menguji ketulusanmu. Dan semua yang terjadi... itu adalah skenario yang kubuat," Pak Hermawan mengakui, sementara suara sirine mendekat dengan cepat. "Dan sekarang, waktunya untuk permainan terakhir. Kita harus pergi. Jovanka... dia adalah pion. Musuh sebenarnya lebih besar dari yang kau kira, Tuan Andrew." Mereka tiba di tepi jurang kecil. Di bawahnya, sebuah helikopter kecil, hitam pekat, menunggu. "Masuk!" perintah Pak Hermawan, suaranya tajam. Andrew tidak punya pilihan. Ia merangkak masuk ke dalam helikopter, masih terpana dengan pengakuan Pak Hermawan. Saat helikopter mulai lepas landas, Andrew melihat ke bawah. Pondok itu kini dikelilingi oleh lampu sorot dan polisi. "Siapa musuh sebenarnya?" Andrew berteriak, mencoba mengalahkan suara baling-baling. Pak Hermawan menatapnya dengan pandangan yang kompleks. "Ibumu," jawab Pak Hermawan, sebelum Andrew sempat memproses kata-kata itu, ia merasakan jarum lain menusuk lengannya. "Tidur, Tuan Andrew," bisik Pak Hermawan, menarik suntikan itu. "Kita punya perjalanan panjang. Dan kau harus siap menghadapi Ibumu di Babak Berikutnya." Pandangan Andrew mulai kabur lagi, tetapi kali ini, ia tahu ia tidak akan bangun di penthouse mewah atau di lobi. Ia akan bangun menghadapi rahasia tergelap dari trauma masa lalunya yang ia coba hindari sejak awal. Imajinasinya berputar liar, menghubungkan cinta bersyarat, Wijoyo Corp, dan Ibunya. Kegelapan menelan Andrew, meninggalkan ia tergantung di udara, melayang jauh dari Rania, dari Jakarta, dan dari setiap kebenaran yang ia yakini.Andrew membeku, kobaran api menyelimuti bahunya, dan di tengah keramaian wartawan dan teriakan panik, ia sadar: penembak itu pasti salah satu anak buah Hermawan, yang seharusnya menjaga Rania. Rania telah——diculik.Teriakan Rania yang memilukan bergema di lorong sempit menuju pintu belakang toko buku, suara yang langsung mengalahkan suara gemuruh api yang melahap seragam Andrew.Rasa sakit dari nyala api di tubuh Andrew seketika teredam, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan ketakutan yang murni. Ia tidak lagi merasakan panasnya kain yang melekat di kulitnya. Satu-satunya fokusnya kini adalah suara teriakan itu.Ia mendorong Jovanka, yang masih memegangi lengan baju seragam yang terbakar, dan berbalik. Ia melihat kilasan siluet. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan jaket gelap—bukan salah satu kurir—tengah menyeret Rania yang meronta-ronta menuju sebuah mobil SUV hitam yang sudah menunggu di ujung gang.“Rania!” raung Andrew, suaranya serak dan menyakitkan, dipengaruhi oleh as
Andrew membeku, kobaran api menyelimuti bahunya, dan di tengah keramaian wartawan dan teriakan panik, ia sadar: penembak itu pasti salah satu anak buah Hermawan, yang seharusnya menjaga Rania. Rania telah——diculik.Teriakan Rania yang memilukan bergema di lorong sempit menuju pintu belakang toko buku, suara yang langsung mengalahkan suara gemuruh api yang melahap seragam Andrew.Rasa sakit dari nyala api di tubuh Andrew seketika teredam, digantikan oleh adrenalin yang dingin dan ketakutan yang murni. Ia tidak lagi merasakan panasnya kain yang melekat di kulitnya. Satu-satunya fokusnya kini adalah suara teriakan itu.Ia mendorong Jovanka, yang masih memegangi lengan baju seragam yang terbakar, dan berbalik. Ia melihat kilasan siluet. Seorang pria bertubuh besar, mengenakan jaket gelap—bukan salah satu kurir—tengah menyeret Rania yang meronta-ronta menuju sebuah mobil SUV hitam yang sudah menunggu di ujung gang.“Rania!” raung Andrew, suaranya serak dan menyakitkan, dipengaruhi oleh as
Andrew jatuh, bersama dengan debu, karat, dan potongan-potongan logam yang tajam, menuju kegelapan yang tidak diketahui di bawahnya— Tubuhnya menghantam permukaan beton dengan bunyi Buk! yang membuat udara keluar dari paru-parunya. Suara gemuruh logam yang runtuh menggelegar, diikuti oleh keheningan yang memekakkan telinga. Andrew berbaring di antara puing-puing, matanya menyipit karena rasa sakit. Ia tidak jatuh terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar dua meter, tetapi dampak dari pecahan saluran udara yang berkarat telah melukai sisi tubuhnya. Ia mencium bau darah bercampur karat dan debu kimia yang tajam. Ia berhasil mendarat di atas tumpukan kardus tua di sudut gudang penyimpanan yang gelap. Gudang itu tampak ditinggalkan, hanya diterangi oleh sedikit cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui jendela kecil berdebu yang tertutup jeruji besi. Andrew berjuang untuk duduk. Rasa sakit menusuk pergelangan kakinya, tetapi itu bisa diabaikan. Hal yang paling penting: bukti itu. Ia mer
Andrew merasakan denyutan adrenaline yang membakar semua rasa sakit akibat kotoran dan luka di tubuhnya. Seruan Jovanka, dingin dan merdu, menghantam telinganya bersamaan dengan suara klik mekanis yang tak salah lagi dari pistol perak itu. “Permainanmu sudah berakhir—” “Rio, menunduk!” Andrew berteriak, suaranya serak. Rio, yang telah terbiasa dengan kecepatan gila kurir Jakarta, tidak menunggu perintah kedua. Ia membanting motor tuanya ke kanan, menembus celah sempit di antara truk sampah yang berhenti dan sebuah gerobak gorengan. Bau minyak panas dan asap knalpot menyengat hidung Andrew, tetapi bau itu lebih baik daripada bau belerang dari selokan. DOR! Tembakan itu terdengar seperti petasan raksasa di pagi yang sunyi. Motor Rio bergoyang hebat. Andrew merasakan panasnya peluru yang meleset, memecahkan kaca spion truk sampah. “Mereka menembak, Bos! Dia menembak!” Rio panik, gas motornya ditarik hingga maksimal. “Aku tahu! Tetap di jalur! Jalan tikus, Rio! Jangan pernah masuk
Ia melompat, meraih besi dingin itu, dan mulai memanjat— Tangga darurat yang berkarat itu terasa seperti gigitan dingin pada kulitnya. Andrew mendaki dengan liar, otot-ototnya menjerit karena kelelahan, tetapi adrenalin membakar urat nadinya. Setiap anak tangga berderit memekakkan telinga di keheningan malam Jakarta, suara yang ia tahu akan menarik perhatian para pengejar di bawah. Bau asam dari sampah di gang sempit itu menghilang, digantikan oleh aroma karat dan debu beton yang menempel di besi. Jantungnya berdebar kencang di balik seragam kurir yang basah kuyup oleh keringat dan hujan. Seragam itu, simbol kebohongan terbesarnya, kini berfungsi sebagai kain kamuflase yang menyedihkan. Tiba-tiba, ia berhenti. Dari ketinggian lantai tiga, Andrew bisa melihat mobil hitam yang mengejarnya. Cahaya strobo kecil yang tersembunyi berkedip di balik kaca depan, mengirimkan denyutan biru yang menyeramkan. Di samping mobil, ia melihat siluet dua pria berseragam mendekati motor yang tergeleta
“Andrew, Jovanka baru saja mengungkapkannya. Dia bilang kau meninggalkan dia demi kekasihmu yang lain… kekasihmu yang seorang kurir!” Kata-kata Bima menembus keheningan yang tegang, membeku di udara malam seperti kabut dingin. Pengertian yang salah itu sungguh luar biasa, fatal, dan menghancurkan. Andrew tidak bergerak. Ia tidak bisa bergerak. Otaknya mencoba memproses tiga realitas yang saling bertabrakan: kebohongan korporat yang baru saja ia sampaikan kepada Pak Hermawan, pengkhianatan emosional yang ia torehkan pada Rania, dan sekarang, kesimpulan gila yang ditarik oleh Jovanka dan media—bahwa Rania, sang pemilik toko buku sederhana, adalah selingkuhan kurir Andrew. Rania, yang masih menangis, mengangkat wajahnya yang basah kuyup. Ia menatap Bima, lalu kembali menatap Andrew. Ekspresinya bukan lagi kesedihan, melainkan kemarahan yang membara. “Kekasihmu?” Rania mengulang, suaranya naik satu oktaf, terdengar seperti pecahan kaca. Andrew melangkah maju, tangannya terentang. “R







