Andrew tersentak bangun, tetapi ia tidak berada di dalam ruang sempit helikopter.
Ia berada di atas matras empuk. Di atasnya, plafon kayu tua dihiasi jaring-jaring yang melindungi dari nyamuk laut. Bau garam, kayu apung, dan sedikit aroma obat-obatan memenuhi udara. Suara ombak yang berirama menghantam pantai terdengar samar.
Andrew mencoba bangkit. Rasa sakit menusuk dari tulang rusuknya, tetapi rasa sakit di pergelangan kakinya sudah berkurang. Seseorang telah membersihkan luka-lukanya dan membalutnya dengan rapi. Ia mengenakan kaus katun bersih dan celana longgar, bukan lagi pakaian kurir atau kemeja yang robek.
Ia berada di sebuah kamar sederhana. Di luar jendela kecil, cahaya pagi yang keemasan menyebar di lautan yang biru tua.
"Kau tidur cukup lama, Tuan Andrew."
Andrew menoleh. Pak Hermawan duduk di kursi rotan di sudut ruangan, membaca sebuah buku bersampul kulit tebal. Pak Hermawan mengenakan kemeja putih sederhana, tampak jauh lebih santai daripada pengusaha elit yang biasa ia kenal. Pistol yang ia gunakan tadi malam tergeletak di meja samping, disembunyikan di balik buku.
"Di mana ini?" tanya Andrew, suaranya serak.
"Pulau kecil. Tidak ada sinyal, tidak ada nama. Tempat yang aman untuk saat ini," jawab Pak Hermawan, menutup buku itu. Ia berdiri dan mendekati Andrew, matanya menilai. "Kau terlihat lebih baik. Aku minta maaf soal suntikan itu. Itu perlu."
Andrew menggeleng, mencoba menjernihkan pikiran yang masih berkabut. Pengkhianatan Bima, tabrakan, dan kemudian pengakuan Pak Hermawan.
"Ibu saya," Andrew mengulang kata itu, rasa dingin menusuknya. "Anda bilang musuh sebenarnya adalah Ibu saya. Apa maksud Anda? Dia ada di New York, menjalankan yayasan amal."
Pak Hermawan mendesah, kembali duduk. "Yayasan amal? Itu hanya kedok, Andrew. Ibumu, Nyonya Wijoyo, telah mengendalikan Wijoyo Corp dari balik layar sejak ayahmu meninggal. Dia tidak pernah memercayaimu sepenuhnya. Dia melihatmu sebagai anak yang rapuh, yang mudah dimanipulasi oleh cinta. Terutama setelah Jovanka."
Andrew terdiam, hatinya terasa sesak. Itu menjelaskan mengapa ibunya selalu menanyakan detail kecil tentang hubungannya, mengapa setiap pencapaiannya di Wijoyo Corp selalu direspons dengan, 'Apakah ini cukup baik?'
"Cinta bersyarat," Andrew berbisik. "Selalu begitu."
"Tepat," Pak Hermawan menegaskan. "Dia mengukur nilaimu dari seberapa besar kekayaan yang bisa kau raih, dan seberapa strategis pasangan hidupmu. Dia berencana menjodohkanmu dengan putri seorang konglomerat Jepang tahun depan. Pernikahan politik yang akan melipatgandakan aset Wijoyo Corp."
"Dan penyamaran kurir ini?" Andrew menatapnya tajam. "Anda bilang Anda yang memicu ide itu. Kenapa?"
Pak Hermawan menghela napas panjang, menatap ke luar jendela. "Aku telah menjadi sahabat ayahmu selama empat puluh tahun, Andrew. Aku menyaksikan bagaimana Ibumu memanipulasi perusahaan, bagaimana ia merenggut kebahagiaan ayahmu, dan kini ia mencoba merenggut kebahagiaanmu. Ayahmu berpesan padaku untuk menjagamu."
"Jadi, Anda mengirim saya ke jalanan, menyamar, untuk apa? Menguji saya? Menguji Rania?"
"Aku menguji kesetiaanmu pada dirimu sendiri," koreksi Pak Hermawan. "Ibumu tidak akan pernah mengizinkanmu menikahi wanita yang dicintai sejati, wanita sederhana yang tidak membawa keuntungan strategis. Dia akan menghancurkan wanita itu, Andrew. Aku ingin kau menemukan wanita itu, dan aku ingin melihat seberapa jauh kau akan berjuang untuknya."
"Dan seberapa jauh saya berjuang? Saya berbohong padanya, Pak Hermawan! Kebohongan itu hampir menghancurkan saya!" Andrew membentak, frustrasi menyelimutinya.
"Kau hanya mengikuti naskah yang tak terhindarkan. Kebohonganmu adalah kelemahanmu, ya, tetapi itu juga bagian dari rencana Ibumu," Pak Hermawan kini menoleh sepenuhnya ke arah Andrew. "Jovanka adalah pionnya. Ibumu yang memberikan Jovanka Key Card cadangan, bukan Bima. Bima hanya diberi posisi untuk membantu Jovanka memutarbalikkan data akuntansi. Ibumu mengatur agar Jovanka menemukanmu saat kau sedang berproses dengan Rania, untuk melihat apakah kau akan memilih ketulusan Rania atau kembali ke zona nyaman kekayaan yang diwakili Jovanka."
Andrew merasakan kepingan puzzle itu terhubung, membentuk gambar yang mengerikan. Seluruh hidupnya, keputusannya, hubungannya dengan Rania—semuanya telah menjadi panggung sandiwara yang diatur oleh ibunya untuk menguji ketaatannya.
"Jadi, ketika saya memilih Rania, dia membalas dendam melalui Jovanka dan Bima," Andrew menyimpulkan. "Tuduhan manipulasi pasar, kehancuran Pustaka Senja... itu semua untuk memastikan saya kembali ke New York, menikah dengan siapa pun yang dia pilih, dan melupakan Rania."
"Tepat sekali," Pak Hermawan mengangguk. "Tujuannya bukan membunuhmu, Andrew, tetapi melumpuhkan posisimu di Wijoyo Corp dan secara finansial. Lalu, ia akan datang sebagai penyelamat, membersihkan namamu, dengan satu syarat: kau harus tunduk pada rencana pernikahannya."
Andrew terdiam lama, mencerna tingkat manipulasi yang mendalam ini. Ia bukan hanya CEO, ia adalah pion yang terperangkap dalam jaring laba-laba milik ibunya.
"Bagaimana dengan Pustaka Senja?" tanya Andrew, nada suaranya berubah menjadi putus asa. "Rania. Dia ada di sana, terkunci oleh segel Wijoyo Corp. Dia pikir saya adalah pengkhianat, dan perusahaan saya adalah monster."
"Itu adalah kartu truf Ibumu," kata Pak Hermawan. "Dia memastikan Rania tahu. Ibumu tahu betapa rapuhnya hatimu terhadap Rania. Menghancurkan toko itu di depan matanya adalah cara untuk memaksa Rania membencimu, memutus satu-satunya ikatan yang membuatmu berani memberontak."
Andrew mencoba berdiri lagi, kali ini berhasil, meskipun sedikit goyah. "Saya harus kembali. Saya tidak peduli dengan perusahaan. Saya harus menjelaskan pada Rania. Saya harus melepaskan segel itu."
Pak Hermawan menggeleng. "Itu bunuh diri, Andrew. Sekarang kau adalah buronan. Jika kau kembali, mereka akan menangkapmu dan memaksamu menandatangani dokumen pengunduran diri, menyerahkan kendali kepada Jovanka dan Bima—yang kini akan membersihkan nama Jovanka dan mengamankan posisinya."
"Lalu, apa yang harus saya lakukan? Hanya bersembunyi di pulau ini selamanya, membiarkan Rania berpikir saya meninggalkannya?" Andrew berjalan ke jendela, menatap lautan yang tenang.
"Tidak," kata Pak Hermawan. "Kita tidak akan bersembunyi selamanya. Aku telah mengumpulkan bukti, Andrew. Bukti yang menunjukkan keterlibatan Ibumu dan Bima dalam manipulasi laporan keuangan terbesar yang pernah ada di Wijoyo Corp."
Pak Hermawan membuka koper kecil yang ada di bawah meja. Di dalamnya, terdapat flash drive dan beberapa berkas cetak yang sangat tebal.
"Aku memegang kendali atas saham mayoritas Ayahmu yang dipegang sebagai perwalian. Kita punya senjata, Andrew. Kita bisa membersihkan namamu, kita bisa mengalahkan Ibumu dan para pionnya, tetapi kita harus bergerak dari luar. Kau harus menjadi hantu. Kau harus menghilang, tetapi suaramu harus tetap terdengar."
Andrew menoleh, matanya kembali menunjukkan kilatan tajam sang CEO, kini bercampur dengan api balas dendam. "Bagaimana?"
"Kau harus menghubungi Rania, tetapi bukan sebagai kurir atau sebagai CEO. Kau harus menghubunginya sebagai 'Musuh'," Pak Hermawan menyerahkan sebuah ponsel satelit kecil. "Rania masih mencintaimu, Andrew, meskipun dia merasa dikhianati. Dia hanya butuh satu konfirmasi: apakah kebaikanmu yang ia lihat di Pustaka Senja itu nyata, atau hanya tipuan?"
"Dan jika saya menghubunginya, apa yang harus saya katakan?"
"Katakan padanya untuk menunggu. Katakan padanya bahwa segel itu akan dicabut, tetapi dia harus melakukan sesuatu untukmu. Ini adalah ujian terakhir, Andrew. Kau menguji cintanya, dia menguji penebusanmu. Hubungan ini hanya bisa diselamatkan jika kalian berdua berhenti bermain sandiwara. Jujur padanya, Andrew. Kali ini, jujur sepenuhnya."
Andrew memegang ponsel satelit itu, beban dunia terasa ada di tangannya. Ponsel itu terasa seperti jembatan yang rapuh menuju Rania, jembatan yang mungkin akan runtuh di tengah jalan.
"Jika saya jujur, dia akan membenci saya lebih lagi," gumam Andrew.
"Bisa jadi," Pak Hermawan mengangkat bahu. "Tetapi setidaknya dia akan membenci dirimu yang sebenarnya, bukan dirimu yang dibuat-buat. Sekarang, mari kita bicara strategi. Jovanka dan Bima telah menunjuk pengacara baru, mereka mencoba merampas aset pribadimu."
Mereka menghabiskan sisa pagi itu di pondok, menyusun langkah demi langkah untuk memukul balik Wijoyo Corp. Andrew belajar bahwa Pak Hermawan telah memprediksi setiap langkah Jovanka, bahkan membiarkan tabrakan itu terjadi (meski dia yakin Andrew akan selamat) untuk memalsukan kematian Andrew di mata publik.
"Kau harus menghilang seolah-olah kau mati dalam kecelakaan itu," Pak Hermawan menjelaskan. "Itu akan membuat Jovanka dan Bima lengah, berpikir mereka sudah menang."
"Dan Rania?"
"Dia akan menderita, Andrew. Itu adalah harga yang harus kau bayar karena telah berbohong. Tetapi penderitaannya akan terbayar jika kau datang kembali sebagai pahlawan, yang berjuang bukan hanya untuk toko bukunya, tetapi untuk keadilan."
Sore harinya, Andrew merasa lebih kuat, mentalnya kembali tajam. Ia mengaktifkan ponsel satelit itu. Setelah berkali-kali mencoba, ia akhirnya mendapatkan sinyal. Ia tahu Rania tidak akan menerima panggilan dari nomor tak dikenal, jadi ia harus mengirim pesan.
Ia mengetik pesan itu berulang kali, menghapus, lalu mengetik lagi. Bagaimana ia bisa meringkas kebohongan yang rumit ini dalam beberapa kalimat?
Akhirnya, ia menekan kirim.
Kepada Rania. Aku tahu kau membenciku. Kau berhak. Aku tidak mati, seperti yang akan kau dengar di berita. Aku sedang bersembunyi. Aku akan kembali untuk menghancurkan Wijoyo Corp dan membersihkan namaku. Tolong, percayalah pada satu hal: semua yang kurasakan saat bersamamu itu nyata. Jaga dirimu. Dan tolong, jangan pergi dari Pustaka Senja.
Ia menekan kirim. Tidak ada balasan.
"Sekarang kita menunggu," kata Pak Hermawan.
Mereka menunggu. Senja berubah menjadi malam. Gelombang laut terdengar menenangkan.
Tiba-tiba, ponsel satelit berdering. Andrew segera meraihnya. Bukan Rania. Itu adalah nomor yang tidak dikenali, tetapi dengan kode area Jakarta.
"Jangan angkat," Pak Hermawan memperingatkan. "Itu mungkin jebakan."
Andrew mengabaikannya. Ini bisa jadi terkait dengan Rania.
Ia menekan tombol jawab.
"Halo?"
Terdengar jeda. Lalu, suara berat dan dingin yang jauh di seberang sana.
"Andrew Wijoyo. Sangat sulit menemukanmu."
Itu suara Jovanka.
"Kau pikir kau bisa lolos setelah membunuh sahabatmu sendiri?" tanya Andrew, nadanya penuh kebencian.
Jovanka tertawa, tawa yang tajam dan tidak menyenangkan. "Bima? Oh, dia pantas mendapatkannya. Dia menjadi serakah. Tapi dengarkan aku baik-baik, Andrew. Aku tidak menelepon untuk membicarakan kekalahan kami. Aku menelepon untuk memberitahumu tentang Rania."
Jantung Andrew berdebar kencang. "Apa yang kau lakukan padanya?"
"Oh, tidak ada. Dia masih di sana, di toko bukunya. Tapi segel Wijoyo Corp itu sangat mengganggu, ya kan? Memutus semua aksesnya. Dia butuh uang untuk makanan, Andrew. Dia butuh pengacara. Dan kau tahu, dia sekarang dalam bahaya yang jauh lebih besar daripada sekadar kehilangan tokonya."
"Apa maksudmu?"
"Aku hanya perlu memastikan dia tidak mati kedinginan atau kelaparan di dalam toko sialan itu. Jadi, aku mengirim bantuan, Andrew. Kurir tulus lain, mungkin. Kali ini, kurir itu membawa makanan dan minuman. Dan dia akan bermalam di sana untuk menjaganya."
Andrew merasakan ketakutan yang dingin menjalari punggungnya. Jovanka tidak hanya ingin Rania menderita, dia ingin mengancam integritas Rania.
"Kau tidak akan menyentuhnya!" Andrew menggeram.
"Aku tidak menyentuhnya," Jovanka terkekeh. "Tapi tahukah kau? Aku tahu persis ke mana ia akan pergi setelah dia menyadari kau tidak akan datang. Dia akan mencari orang yang memberinya kartu CEO-mu, Andrew. Kurir 'tulus' yang pertama. Dan kau tahu, kurir itu, yang kini bekerja untukku, sangat marah karena kau memanipulasi Rania."
"Kau mengirim premanmu ke sana?"
"Tentu saja. Untuk memastikan bahwa jika kau tidak kembali untuknya, dia akan punya... teman baru. Malam ini, Andrew. Jika kau tidak muncul di Pustaka Senja sebelum fajar, Rania akan menghadapi kebenaran yang lebih kejam daripada kebohongan yang kau buat. Dan kau tidak akan pernah bisa menebusnya. Pikirkan baik-baik, CEO. Apakah kau akan terus bersembunyi, atau kembali sebagai kurir yang hancur untuk menyelamatkannya?"
Panggilan terputus.
Andrew menatap ponsel satelit itu, wajahnya pucat pasi. Ia tidak bisa menunggu strategi Pak Hermawan. Rania dalam bahaya yang segera.
"Andrew, jangan dengarkan dia! Itu trik!" Pak Hermawan berdiri. "Jika kau kembali sekarang, kau akan ditangkap!"
"Saya tidak peduli, Pak Hermawan," kata Andrew, berbalik. Mata Andrew kini dipenuhi tekad yang brutal. "Jika saya kehilangan dia karena saya pengecut, saya akan kalah dalam setiap tes yang pernah ada. Mereka tidak akan menyentuhnya."
Andrew mengambil sepotong besi yang sebelumnya digunakan untuk mengganjal pintu. Ia berjalan pincang menuju pintu, meninggalkan ponsel satelit di atas meja.
"Kau mau pergi ke mana? Kita jauh sekali dari Jakarta!" Pak Hermawan memohon.
"Helikopter itu, apakah ia masih ada?"
Pak Hermawan ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya, di belakang pondok."
"Siapkan bahan bakar," perintah Andrew. "Saya kembali ke Jakarta. Tapi kali ini, saya tidak kembali sebagai CEO, atau kurir. Saya kembali sebagai pengkhianat yang sedang mencari penebusan."
Pak Hermawan melihat tekad di mata Andrew dan tahu ia tidak bisa menghentikannya. Ia segera keluar untuk mempersiapkan helikopter.
Andrew kembali ke kamar, meraih beberapa perban dan beberapa pil pereda nyeri. Ia mengikat pergelangan kakinya sekuat mungkin.
Ia keluar dari pondok, berjalan pincang di atas pasir pantai menuju helikopter hitam. Suara baling-baling mulai berputar.
Saat ia mencapai helikopter dan mulai menarik dirinya masuk, ponsel satelitnya yang ia tinggalkan di dalam pondok berdering lagi.
Andrew mengabaikannya, menaiki tangga.
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar!
Bukan dari pondok, tetapi dari hutan lebat di sebelah kiri mereka. Helikopter itu berguncang hebat. Salah satu baling-baling mengeluarkan percikan api.
"Turun! Mereka menemukan kita!" teriak Pak Hermawan dari kursi pilot, wajahnya panik.
Andrew melompat turun dari helikopter yang kini mengeluarkan asap tebal. Di hutan, ia melihat senter-senter bergerak cepat ke arah mereka, diiringi suara anjing melolong.
"Jovanka tidak hanya mengirim preman! Dia mengirim tim!" Pak Hermawan mencengkeram lengan Andrew. "Kita harus masuk ke hutan. Ikuti jalanku!"
Mereka berlari terpincang-pincang menjauh dari pantai dan helikopter yang rusak, menuju hutan lebat yang gelap. Andrew bisa mendengar suara tembakan peringatan yang kini semakin dekat.
Andrew jatuh tersungkur di tanah basah, rasa sakit di kakinya tak tertahankan.
"Andrew! Bangun!" Pak Hermawan mencoba menariknya.
"Aku... aku tidak bisa lari," Andrew terengah-engah.
Tepat pada saat itu, tiga sosok tinggi berjaket hitam muncul dari pepohonan, senter mereka menyinari wajah Andrew. Mereka tidak terlihat seperti preman biasa. Mereka membawa senjata yang lebih canggih.
"Andrew Wijoyo. Nyonya ingin kau ikut dengan kami. Sekarang!" perintah salah satu pria itu dengan suara berat.
Pak Hermawan menarik pistol yang ia selipkan di pinggangnya, menembak sekali ke udara sebagai peringatan.
"Menjauhlah darinya!"
Tiga pria itu tidak terpengaruh. Mereka mengangkat senjata mereka, siap membalas tembakan. Andrew menatap ke mata salah satu pria itu, dan ia menyadari—mata itu tanpa emosi, mata yang terlatih. Ini bukan anak buah Jovanka. Ini adalah pengawal pribadi level tinggi.
"Kau tidak bisa mengalahkanku, Hermawan," kata pria itu.
Andrew melihat sekilas lencana kecil di kerah jaket pria itu. Lencana yang pernah ia lihat hanya sekali, bertahun-tahun lalu, saat ia masih remaja, dibawa oleh pengawal ibunya.
Mereka bukanlah musuh. Mereka adalah…
"Aku harus bertemu Rania!" Andrew berteriak, mencoba merangkak menjauh, tetapi ia merasakan tangan dingin mencengkeram bahunya dan mengangkatnya paksa, menyeretnya kembali ke dalam kegelapan.
Andrew meronta, mengayunkan potongan besi yang ia pegang, tetapi ia terlalu lemah.
"Lepaskan aku!"
"Maaf, Tuan Andrew," bisik pria yang memegang bahunya, "Nyonya mengirim kami ke sini bukan untuk melukaimu, tapi untuk memastikan kau tidak melakukan hal bodoh. Kau tidak akan pergi ke Rania. Belum."
Andrew diseret ke kedalaman hutan, meninggalkan Pak Hermawan yang kini menembak membabi buta ke arah yang salah.