Share

Chapter 6

last update Last Updated: 2025-10-01 09:35:42

"...Mungkin aku butuh se—" Andrew menelan ludahnya, merasakan tenggorokannya masih tercekat oleh emosi yang campur aduk. Matanya beradu dengan tatapan lembut Luna. Ia melihat ketulusan di sana, sesuatu yang langka dalam pengalamannya belakangan ini. "...sesuatu yang hangat. Teh tawar saja, Mbak Luna, kalau tidak merepotkan."

Luna tersenyum. Senyum yang sederhana, namun mampu menenangkan riuhnya badai di hati Andrew. “Tidak merepotkan sama sekali, Mas Kurir. Tunggu sebentar, ya.” Gadis itu segera berbalik menuju konter, meraih cangkir bersih dan mulai menyeduh teh. Setiap gerakannya tampak alami, tanpa paksaan, sebuah kontras yang mencolok dengan kepalsuan yang baru saja ia rasakan.

Baskara menyenggol bahu Andrew pelan. “Gimana? Lumayan, kan? Dunia belum kiamat, Dre.” Ia mengedikkan dagu ke arah Luna yang sibuk di balik konter, seolah ingin menyampaikan pesan tanpa kata. Andrew hanya mengangguk samar, membiarkan kehangatan cangkir kopi di tangannya meresap, perlahan menghalau dingin yang mencengkeram. Dalam benaknya, sebuah pemikiran samar mulai terbentuk: mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa ia masih bertahan dalam penyamaran ini. Untuk menemukan cahaya-cahaya kecil yang tulus seperti Luna.

Ia menghabiskan kopinya, menyesap teh hangat buatan Luna, dan berbincang ringan dengan Baskara mengenai hal-hal biasa, berusaha mengusir bayangan pahit Jovanka. Namun, kata-kata putus itu terus bergema di benaknya, sebuah lagu sumbang yang tak henti diputar. Ia tahu, ada satu hal lagi yang harus ia lakukan untuk benar-benar menutup babak ini. Mengambil barang-barangnya dari Jovanka. Ia tidak bisa lari dari konfrontasi terakhir itu.

*

Dua hari kemudian, awan kelabu masih menggantung rendah di langit metropolitan. Namun, kali ini, hujan tak lagi membersamai perjalanannya menuju apartemen mewah Jovanka. Andrew telah mengganti jaket kurir lusuhnya dengan kaus polos dan jaket denim yang sama sederhananya. Ia ingin memastikan bahwa penampilannya, bahkan untuk perpisahan ini, tetap mencerminkan "Andrew si kurir", sosok yang telah ditolak oleh Jovanka.

Jantungnya berdebar, namun bukan lagi karena adrenalin seperti saat nyaris terjatuh dari motor. Kali ini adalah debaran kecemasan, campuran antara sakit hati yang belum sepenuhnya sembuh dan antisipasi akan konfrontasi yang tak terhindarkan. Ia sudah mempersiapkan diri untuk kata-kata menyakitkan yang mungkin akan keluar dari bibir Jovanka, seolah mempersenjatai dirinya dengan tameng mental.

Apartemen Jovanka terletak di salah satu menara paling prestisius di pusat kota, sebuah ironi yang begitu menusuk bagi Andrew. Ia tahu persis berapa harga sewa satu unit di sana. Harga yang mungkin bisa ia bayar seratus kali lipat tanpa berkedip. Namun, di sini ia berdiri, sebagai seorang yang dianggap "tidak punya apa-apa", membunyikan interkom dengan jemari yang sedikit gemetar.

"Ada apa lagi?" Suara Jovanka terdengar datar, nyaris tanpa emosi dari interkom.

"Aku mau ambil barang-barangku," jawab Andrew, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.

Ada jeda sejenak, hening yang terasa berat. Kemudian, sebuah desahan panjang terdengar. "Tunggu sebentar."

Andrew menunggu. Setiap detik terasa memanjang, seperti karet yang ditarik hingga hampir putus. Ia memperhatikan refleksi dirinya di pintu kaca, melihat seorang pria muda yang tampak lelah, dengan mata yang menyimpan banyak cerita tersembunyi. Sebuah persona yang ia ciptakan, yang kini telah mengkhianatinya dengan rasa sakit yang begitu nyata.

Pintu terbuka dengan decitan pelan. Jovanka berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun sutra rumahan yang anggun, rambutnya digulung rapi, wajahnya dipoles riasan tipis—selalu siap, bahkan di dalam rumah. Ia tampak sempurna, tak ada jejak air mata atau kesedihan yang terlihat, sebuah gambaran yang sangat bertolak belakang dengan Andrew yang masih membawa sisa-sisa kehancuran batinnya.

"Ini semua barangmu. Aku nggak mau lihat lagi," kata Jovanka, suaranya dingin, nyaris tanpa intonasi. Ia mendorong sebuah kotak kardus berwarna cokelat ke arah Andrew dengan kakinya, seolah barang-barang itu adalah sampah. Kotak itu meluncur di lantai marmer yang mengilap, berhenti tepat di kaki Andrew.

Andrew menatap kotak itu. Hatinya mencelos. Ia membungkuk, meraih kotak itu dengan kedua tangannya. Tidak ada pelukan perpisahan. Tidak ada tatapan mata yang lama. Hanya sebuah kotak dan kata-kata tajam.

"Aku kira kamu akan lebih peka," lanjut Jovanka, melipat tangannya di dada, tatapannya menyapu Andrew dari atas ke bawah dengan jijik. "Maksudku, setelah semua yang terjadi, kamu masih berani datang ke sini dengan penampilan seperti ini? Aku kira kamu akan mencoba sedikit... berubah. Lebih mapan? Setidaknya pakai kemeja, jangan jaket jeans lusuh seperti itu."

Andrew menatapnya, matanya menyiratkan kelelahan. "Berubah untuk siapa, Jovanka? Untukmu? Agar kamu tidak malu?"

"Tentu saja untukku! Untuk kita!" Jovanka meninggikan suaranya, sedikit kesal. "Aku sudah bilang, aku butuh masa depan! Aku butuh seseorang yang bisa kubanggakan di depan teman-temanku. Bukan kurir yang pulang pergi kehujanan dan cuma bisa traktir aku makan di warung tenda!"

Andrew merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu, yang seharusnya sudah ia duga, tetap menusuk tajam. Ia mengintip ke dalam kotak. Di dalamnya, bertumpuk beberapa benda yang dulunya penuh makna: sebuah buku kumpulan puisi yang Andrew berikan pada ulang tahunnya, sebuah sketsa wajah Jovanka yang ia gambar sendiri saat mereka piknik di taman kota, dua tangkai bunga kering yang ia simpan dari kencan pertama mereka. Benda-benda sederhana, tanpa nilai materi, namun tak ternilai harganya bagi Andrew sebagai representasi ketulusan hatinya.

Kini, benda-benda itu teronggok tak berharga, dilemparkan ke dalam kotak seperti barang bekas.

"Kamu ingat bunga ini?" Andrew mengangkat tangkai bunga kering itu perlahan. "Kamu bilang ini bunga terindah yang pernah kamu terima, karena itu dari hatiku."

Jovanka mendengus. "Oh, Andrew, tolonglah. Itu sudah kering dan jelek. Aku tidak bisa menyimpan sampah seperti itu. Itu hanya debu." Ia mengibaskan tangah, seolah mengusir kenangan pahit. "Sudahlah, buang saja. Aku tidak butuh kenangan murahan seperti itu."

Kata "murahan" itu bagai palu godam yang menghantam jantung Andrew. Bukan hanya benda-benda itu yang disebut murahan, tetapi juga perasaannya, hatinya, dan seluruh usahanya.

"Buku ini," Andrew mengeluarkan buku puisi itu. "Kamu bilang ini buku favoritmu. Kita habiskan berjam-jam membaca ini bersama."

"Itu buku sampah yang kamu dapat dari toko loak," Jovanka membantah, bibirnya menipis. "Aku terpaksa bilang suka karena tidak enak hati. Andrew, kita sudah dewasa. Aku butuh realita, bukan puisi-puisi klise yang tidak bisa membayar cicilan apartemen atau membeli tas baru."

Setiap kata yang keluar dari bibir Jovanka seperti anak panah beracun. Andrew bisa merasakan amarahnya mendidih, namun ia menahannya dengan sekuat tenaga. Ia tidak akan memberinya kepuasan melihatnya hancur. Ini adalah bagian dari "eksperimennya". Sebuah ujian yang harus ia lalui, sebuah konfirmasi yang pahit.

"Aku lelah berpura-pura, Andrew," Jovanka melanjutkan, nadanya kini beralih menjadi sedikit lebih lunak, namun tetap penuh kepedihan yang egois. "Aku lelah bilang sama teman-teman kalau pacarku kerja 'freelance'. Mereka semua tahu aku bohong. Aku malu. Mereka semua punya pacar yang sukses, punya mobil bagus, bisa ajak jalan-jalan ke luar negeri. Sedangkan aku? Setiap kencan, kamu selalu sibuk hitung-hitungan agar tidak kehabisan uang."

"Apakah semua itu yang paling penting bagimu?" Andrew bertanya, suaranya kini lebih rendah, lebih berbahaya. "Status? Uang? Apa kata teman-temanmu?"

Jovanka menatapnya, matanya menyala. "Tentu saja! Itu adalah hal mendasar! Kita hidup di dunia nyata, Andrew. Cinta tidak akan membayar tagihan. Cinta tidak akan memberiku kebahagiaan sejati. Aku butuh jaminan! Aku butuh stabilitas! Dan kamu... kamu tidak bisa memberikannya."

Andrew berdiri tegak, membiarkan kotak kardus itu merosot pelan ke lantai. Ia menatap Jovanka dengan tatapan yang dingin, sebuah kehampaan yang menakutkan. Rasa sakit itu kini bercampur dengan resolusi yang membara. Pembuktian. Ia akan membuktikan bahwa ia bisa memberikan semua itu, dan bahkan lebih. Namun, bukan untuk Jovanka.

"Baiklah, Jovanka," kata Andrew, suaranya tenang, mengagetkan Jovanka. "Terima kasih atas semua 'pelajaran' yang kamu berikan."

Jovanka sedikit terkejut dengan ketenangannya. "Apa maksudmu?"

Andrew tersenyum tipis, senyuman yang tidak mencapai matanya. "Maksudku, kamu benar. Aku memang tidak bisa memberimu 'masa depan' yang kamu inginkan. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik." Ia menekankan kata "terbaik" dengan nada sarkasme yang hampir tak terdengar.

"Baguslah kalau kamu sadar," kata Jovanka, mengangkat dagunya dengan angkuh. "Setidaknya ada satu hal yang bisa kamu pahami. Jadi, bisakah kamu pergi sekarang? Aku ada janji penting."

Andrew mengangguk. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menunduk, mengangkat kotak kardus berisi 'sampah' kenangan mereka, dan berbalik. Saat ia melangkah pergi, suara Jovanka memanggilnya lagi, kali ini dengan nada yang sedikit... ragu.

"Andrew, tunggu."

Ia berhenti, tidak berbalik. Jantungnya berdebar, antisipasi akan kata-kata terakhir Jovanka. Apakah ini penyesalan? Sebuah permintaan maaf? Harapan kecil itu kembali menyelinap, meski ia tahu itu bodoh.

"Aku cuma ingin memastikan," suara Jovanka terdengar lagi, kini lebih keras dan tegas, memecah kesunyian koridor apartemen mewah itu. "Kamu tidak akan pernah memberitahuku soal ini lagi, kan? Maksudku, kamu tidak akan pernah memaksaku untuk balikan atau menceritakan kejelekanmu pada orang lain. Aku tidak ingin reputasiku rusak karena—"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Kurir Biasa   Chapter 6

    "...Mungkin aku butuh se—" Andrew menelan ludahnya, merasakan tenggorokannya masih tercekat oleh emosi yang campur aduk. Matanya beradu dengan tatapan lembut Luna. Ia melihat ketulusan di sana, sesuatu yang langka dalam pengalamannya belakangan ini. "...sesuatu yang hangat. Teh tawar saja, Mbak Luna, kalau tidak merepotkan."Luna tersenyum. Senyum yang sederhana, namun mampu menenangkan riuhnya badai di hati Andrew. “Tidak merepotkan sama sekali, Mas Kurir. Tunggu sebentar, ya.” Gadis itu segera berbalik menuju konter, meraih cangkir bersih dan mulai menyeduh teh. Setiap gerakannya tampak alami, tanpa paksaan, sebuah kontras yang mencolok dengan kepalsuan yang baru saja ia rasakan.Baskara menyenggol bahu Andrew pelan. “Gimana? Lumayan, kan? Dunia belum kiamat, Dre.” Ia mengedikkan dagu ke arah Luna yang sibuk di balik konter, seolah ingin menyampaikan pesan tanpa kata. Andrew hanya mengangguk samar, membiarkan kehangatan cangkir kopi di tangannya meresap, perlahan

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 5. Secangkir Kopi Pahit

    ...membuat motornya oleng, dan ia—Andrew mencengkeram stang motornya erat-erat, seolah nyawanya bergantung pada pegangan itu. Seluruh tubuhnya menegang. Sepasang mata di balik visor helm yang buram itu membelalak, melihat ban depan motornya terpeleset di atas genangan air bercampur oli yang mengilap, tepat setelah truk itu lewat. Ia bisa merasakan motornya limbung ke kanan, gravitasi menariknya dengan ganas, seolah ingin mencampakkannya ke aspal dingin. Jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seperti genderang perang.Tidak. Tidak sekarang.Dengan insting yang terlatih dari ribuan kilometer di jalanan ibu kota, Andrew mengeraskan otot-otot pahanya, mengarahkan stang ke kiri dengan kasar, sekaligus menginjak rem belakang. Ban belakang motornya berderit, sempat mengunci, tapi gerakan refleksnya berhasil menstabilkan motor itu dalam sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. Ia nyaris menabrak pembatas jalan. Napasnya terengah-engah, bau knalpot dan aspal basah memen

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 4. Hujan di Bulan Desember

    dan ia—Terhuyung. Bukan jatuh, melainkan tubuh Jovanka terdorong ke belakang, tepat ke dada seorang petugas keamanan yang lain, yang segera menahan gerakannya. Jovanka merasakan cengkeramannya yang kuat, napas yang terengah-engah, dan matanya terpaku pada sosok Andrew yang kini menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali pada ayahnya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, senyum yang tanpa kata, namun jauh lebih menyakitkan daripada seribu makian. Senyum yang seolah berkata, ‘Sekarang kamu lihat aku, kan?’Petugas itu menarik Jovanka dengan paksa. Jovanka meronta, mencoba meraih Andrew, memanggil namanya, tetapi suaranya tenggelam oleh dentuman musik dan bisikan-bisikan sinis yang menghantamnya dari segala arah. Setiap langkah menjauh dari Andrew terasa seperti cabikan, setiap bisikan bagai belati yang menusuk. Ia adalah pusat perhatian yang memalukan, sebuah tontonan gratis atas kehancurannya. Jantung Jovanka berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya. Ia harus melakukan sesu

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 3. Mata yang Menilai

    ... jatuh.Jovanka merasakan tubuhnya limbung. Bukan hanya kakinya yang lemas, tetapi seluruh fondasi yang ia bangun untuk hidupnya runtuh dalam sekejap. Rasanya seperti didorong dari tebing tinggi, gravitasi menariknya ke bawah tanpa ampun. Napasnya tercekat, dan ia harus mencengkeram lengan petugas keamanan yang masih memeganginya dengan erat, bukan untuk meronta, melainkan untuk mencari tumpuan agar tidak benar-benar ambruk di sana.Mata petugas keamanan itu tidak berkedip, wajahnya datar, seolah ia hanya menjalankan tugas, memindahkan benda mati. Andrew, pria yang dulu ia buang, kini berdiri tegak di tengah keramaian, berbicara dengan para petinggi, senyumnya tipis namun penuh wibawa. Senyum yang sama, tetapi kini memancarkan aura berbeda, aura yang mengintimidasi, aura seorang pemenang.Jovanka melihat Andrew melirik ke arahnya lagi, tatapan yang sama sekali tanpa emosi. Bukan marah, bukan sedih, melainkan kehampaan yang menusuk. Kehampaan yang jauh lebih menyakitkan daripada kem

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 2. Sebuah Nama yang Terlupakan

    "...Bapak Andrew..."Suara pembawa acara itu menggantung di udara, beradu dengan dentuman musik yang tiba-tiba meredup. Ruangan pesta yang riuh seketika hening, menyisakan gemuruh antisipasi. Jovanka merasakan cengkeramannya pada lengan Andrew mengendur, tatapannya terpaku pada panggung yang kini disinari cahaya sorot utama. Ia melihat Andrew, pria di hadapannya, perlahan menarik tangannya, senyumnya kini tampak lebih jelas, namun masih menyimpan rahasia yang tak terduga."...Wijaya!"Kata terakhir itu meledak di udara, bagai petir menyambar di tengah keramaian. Nama itu, Wijaya. Nama keluarga yang selama ini ia kejar, impian yang ia gantungkan pada sosok pewaris misterius. Dan sekarang, nama itu keluar dari bibir pembawa acara, menyatu dengan nama Andrew. Andrew. Andrew Wijaya.Jovanka merasakan dunia berputar di sekelilingnya. Otaknya berusaha memproses informasi yang baru saja ia dengar, namun logika menolaknya mentah-mentah. Tidak. Tidak mungkin. Andrew, si kurir? Andrew, pria yan

  • Bukan Kurir Biasa   Bab 1. Gema di Ruang Pesta

    Dentuman musik yang membingungkan pikiran menyembunyikan sebagian dari bisikan tajam. Namun, gema kalimat Jovanka tetap menusuk, membelah hiruk-pikuk pesta amal kelas atas itu seperti pisau tajam. "Kita putus karena kamu nggak punya apa-apa, Andrew," desisnya, bibirnya membentuk senyum palsu yang lebih menyerupai ringisan. Kilauan kristal gelas sampanye memantul pada manik matanya yang menyala marah. "Dan sekarang kamu berani muncul di sini? Satpam!"Pria di hadapannya, Andrew, hanya tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tak membalas amarah Jovanka, melainkan justru mengikisnya, menggantikan emosi itu dengan kebingungan dan kegelisahan yang menggerogoti. Ia mengenakan setelan jas hitam yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, kainnya mahal dan jatuh tanpa cela, dasi sutranya mengkilap di bawah cahaya sorot. Rambutnya tertata rapi, dan aura yang dipancarkannya—aura tenang yang mengintimidasi—sama sekali berbeda dengan sosok yang dulu ia kenal."Maaf, Jovanka," Andrew membalas, suaranya pel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status