Share

Bukan Mantan
Bukan Mantan
Penulis: Bai_Nara

1. Tulang Punggung

Victoria Park atau Taman Victoria sedang penuh dengan ribuan manusia. Maklumlah, tempat ini memang menjadi tempat kami para tulang punggung keluarga yang sedang mengadu nasib untuk melepas lelah setelah enam hari bekerja atau sebagai ajang bersua dengan sesama tenaga kerja. Selain itu taman ini juga sebagai tempat untuk mempertunjukkan hiburan dan seni, tempat para TKW melakukan berbagai kreativitas dan banyak lagi.

Bukan hanya tenaga kerja dari Indonesia, tempat ini juga tempat berkumpul tenaga kerja dari negara lain seperti Filipina.

Hiruk pikuk di sekitarku tak terlalu menarik perhatianku. Aku sedang fokus dengan ponsel. Menunggu kabar dari keluargaku.

Nada dering dari ponselku membuat senyumku langsung terbit dan segera kuangkat panggilan dari Anggi, adik ketigaku.

"Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam, Mbak Ambar cowok Mbak."

Alhamdulillah, ucapan hamdalah berkali-kali kuucapkan. Akhirnya, putra pertama Saras lahir. Saras adalah adik keduaku.

"Saras gimana Nggi?"

"Masih dibersihkan Mbak, ditemani sama Ibu."

"Alhamdulillah. Wulan udah pulang belum?"

"Udah di perjalanan dari Kawunganten Mbak."

"Jatmiko mana?"

"Miko lagi beli makan dulu Mbak. Sama keperluan lain buat Mbak Saras."

"Kalau butuh uang pake punya Mbak aja."

"Tenang Mbak, Mas Ragil ada tabungan. Katanya biar semua biaya dia yang tanggung."

"Ya sudah."

Anggi memutuskan sambungan karena Saras mau dipindah ke ruang inap.

Aku dengan sabar menunggu chat dari Anggi hingga setengah jam selanjutnya dia mengirim chat. Langsung aku hubungi Anggi lagi.

"Mbak Ambar, aku jadi ibu," teriak Saras. Wajahnya kelihatan lelah tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya.

"Selamat ya Sar, kamu sehat kan?"

"Sehat Mbak. Mbak Ambar lihat anakku nih." Saras mendekatkan kamera ke arah keponakanku nomer tiga.

Aku terharu menatapnya. Ya Allah, lucu sekali. Jadi pengin punya satu. Tapi sayang, calon bapaknya masih betah nyari duit di Korea. Calon emaknya juga terlalu betah hidup di negeri orang. Kapan jadinya coba.

"Mbar."

Aku segera mengalihkan perhatianku kepada ibu. Wanita berusia lima puluh tahun yang masih terlihat sehat dan cantik.

"Iya Bu."

"Kamu sehat?"

"Alhamdulillah Ambar sehat."

Ada binar bahagia dan kerinduan pada mata tua itu. Ah andai ibu tahu, akupun sangat merindukan mereka semua. Namun aku harus tetap bertahan, minimal satu tahun lagi biar Anggi lulus kuliah dan Miko lulus sekolah menengah kejuruannya.

"Kamu dimana Nduk?"

"Biasa Bu, di taman Victoria."

Obrolan mengalir begitu saja. Sesekali kami tertawa apalagi Miko sudah kembali dan ikut nimbrung.

Satu jam lebih aku menelepon keluargaku kemudian kuakhiri takut mereka juga mau melakukan hal lain. Aku hanya memandangi ponselku cukup lama.

Tepukan di bahu kananku mengalihkan fokusku dari menatap ponsel.

"Ngelamun. Awas nanti kesurupan kamu."

"Gak ngelamun Tuti. Aku masih kangen aja sama keluarga. Habis nelepon."

"Oh, aku juga udah nelepon Satria tadi."

"Satria sehat?"

"Sehat. Yang gak sehat kan bapaknya. Edan."

Aku tertawa mendengar Tuti mengumpat mantan suaminya.

"Bikin ulah apa lagi mantan kamu?"

"Dia itu menghasut Satria, nyuruh Satria minta dibeliin motor buat ke sekolah.  Anak kelas 5 SD ngapain bawa motor? Pasti akal bulus dia. Dasar parasit mantanku itu. Saraf memang itu orang."

"Bawa ke rumah sakit aja Mbak Tuti." Yuyun yang termuda diantara kami duduk di sebelah kiriku. Usianya baru dua puluh tiga tahun. Sedangkan aku dan Tuti dua puluh sembilan.

"Ogah, biarin aja dia saraf. Emangnya gue pikirin."

Tuti memang ceplas ceplos, bicaranya kasar. Namun dia sangat penyayang dan suka menabung. Beban hidup sebagai tulang punggung keluarga membuatnya berubah. Ditambah lagi suaminya selingkuh sampai selingkuhannya hamil pula, padahal disini dia banting tulang untuk menghidupi suami dan anaknya.

Yuyun juga sama, gadis belia dari keluarga sederhana. Terpaksa bekerja demi keluarga.

Yah, sebetulnya sama saja sih denganku.

Ambarwati, namaku. Sulung dari lima bersaudara. Adikku Wulandari 27 tahun, Saraswati 25 tahun, Anggraini atau Anggi 22 tahun dan si bungsu Jatmiko 18 tahun. Aku berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di salah satu kecamatan di daerah Banyumas.

Ibuku biasa jualan gorengan dan pecel. Bapak adalah penambang batu kapur juga bertani jika musim tanam sudah tiba.

Kehidupan kami sangat sederhana bahkan kalau boleh dikatakan kurang malahan. Kami berlima dididik dengan keras namun penuh kasih sayang. Sejak kecil sudah dibiasakan mandiri dan tidak manja. Terutama aku. Dibanding keempat adikku, bapak dan ibu paling keras mendidikku karena aku anak pertama.

Menurut bapak, anak pertama itu panutan jadi harus lebih kuat dari yang lain. Karena kami ini nantinya sebagai tumpuan dan pengganti orang tua nantinya.

Dan benar saja, ketika bapak harus pergi karena kecelakaan ketika menambang kapur, mau tak mau aku harus menjadi penopang bagi keluargaku.

Aku yang hanya lulusan SMA nekat menjadi TKW ke Hongkong. Alhamdulillah dengan perjuanganku semua adik-adikku bisa melanjutkan sekolah sampai lulus SMA. Ambar dan Wulan malah memilih mondok sejak SMP. Mereka tak mau kuliah, mereka lebih suka membaktikan diri di pondok hingga keduanya bertemu jodoh mereka. Hanya Anggi yang mau kuliah, S1-nya hampir selesai tinggal skripsi saja.

Jatmiko sendiri memilih sekolah di kejuruan. Mengambil jurusan Teknik Kendaraan Ringan. Tak ingin kuliah dan bercita-cita membuka bengkel sendiri. Karena itulah aku masih bertahan disini. Berharap masih bisa mengumpulkan pundi-pundi uang untuk merealisasikan keinginan Miko dan bekal untuk masa tua nanti.

"Tahun depan jadi pulang Mbar?"

"Gak tahu Tut, masih betah disini. Kamu gimana? Balik lagi gak?"

"Kayaknya enggak. Tabunganku udah lumayan. Aku mau fokus merawat Satria. Cukup bapaknya yang edan. Satria jangan."

"Yuyun juga mau pulang Mbak. Ibu udah punya warung. Bapak juga udah punya sawah. Mereka penginnya aku pulang lalu nikah."

Aku tersenyum. Nikah, entahlah sepertinya kata itu masih jauh dari hidupku. Prioritasku kini bukan lagi menikah dan punya anak. Bagiku yang penting kerja, dapat uang, membahagiakan ibu, nabung.

"Kamu gak pengen nikah Mbar?"

"Entahlah Tut, udah gak jadi prioritas buat hidupku."

"Mbak Ambar sih, pake dilangkahi. Dua kali lagi. Jauh kan jodohnya."

Pletak.

"Aw, sakit Mbak Tut."

"Ngomongmu loh. Doain kek. Jangan bikin Ambar down dong."

"Udah gak usah pada perang deh. Lagian aku gak papa. Udah biasa pada ngomongnya kesitu."

"Maafin Yuyun ya Mbak."

"Santai aja Yun, lagian emang realitanya aku dilangkahi kok. Udah ah, yuk cari makan."

"Ayuk."

Kami pun mencari makanan. Pilihan kami jatuh pada makanan cepat saji. Selain murah juga gak lama nunggunya.

Selesai makan, kami bergabung dengan TKW yang lain. Kami mengobrol hingga sampai maghrib dan memutuskan sholat disini.

Setelah saling berpamitan kami menuju ke angkutan pilihan  masing-masing untuk kembali ke rumah majikan. Ada yang naik MRT (kereta listrik bawah tanah) atau bus.

Aku pribadi lebih suka naik bus, karena memang lebih mudah dan langsung dekat rumah majikan, dari halte bus tinggal jalan sepuluh menit sampai di rumah majikan, salah satu flat di District Kowloon, Hongkong.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status