Victoria Park atau Taman Victoria sedang penuh dengan ribuan manusia. Maklumlah, tempat ini memang menjadi tempat kami para tulang punggung keluarga yang sedang mengadu nasib untuk melepas lelah setelah enam hari bekerja atau sebagai ajang bersua dengan sesama tenaga kerja. Selain itu taman ini juga sebagai tempat untuk mempertunjukkan hiburan dan seni, tempat para TKW melakukan berbagai kreativitas dan banyak lagi.
Bukan hanya tenaga kerja dari Indonesia, tempat ini juga tempat berkumpul tenaga kerja dari negara lain seperti Filipina.
Hiruk pikuk di sekitarku tak terlalu menarik perhatianku. Aku sedang fokus dengan ponsel. Menunggu kabar dari keluargaku.
Nada dering dari ponselku membuat senyumku langsung terbit dan segera kuangkat panggilan dari Anggi, adik ketigaku.
"Assalamu'alaikum."
"W*'alaikumsalam, Mbak Ambar cowok Mbak."
Alhamdulillah, ucapan hamdalah berkali-kali kuucapkan. Akhirnya, putra pertama Saras lahir. Saras adalah adik keduaku.
"Saras gimana Nggi?"
"Masih dibersihkan Mbak, ditemani sama Ibu."
"Alhamdulillah. Wulan udah pulang belum?"
"Udah di perjalanan dari Kawunganten Mbak."
"Jatmiko mana?"
"Miko lagi beli makan dulu Mbak. Sama keperluan lain buat Mbak Saras."
"Kalau butuh uang pake punya Mbak aja."
"Tenang Mbak, Mas Ragil ada tabungan. Katanya biar semua biaya dia yang tanggung."
"Ya sudah."
Anggi memutuskan sambungan karena Saras mau dipindah ke ruang inap.
Aku dengan sabar menunggu chat dari Anggi hingga setengah jam selanjutnya dia mengirim chat. Langsung aku hubungi Anggi lagi.
"Mbak Ambar, aku jadi ibu," teriak Saras. Wajahnya kelihatan lelah tapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
"Selamat ya Sar, kamu sehat kan?"
"Sehat Mbak. Mbak Ambar lihat anakku nih." Saras mendekatkan kamera ke arah keponakanku nomer tiga.
Aku terharu menatapnya. Ya Allah, lucu sekali. Jadi pengin punya satu. Tapi sayang, calon bapaknya masih betah nyari duit di Korea. Calon emaknya juga terlalu betah hidup di negeri orang. Kapan jadinya coba.
"Mbar."
Aku segera mengalihkan perhatianku kepada ibu. Wanita berusia lima puluh tahun yang masih terlihat sehat dan cantik.
"Iya Bu."
"Kamu sehat?"
"Alhamdulillah Ambar sehat."
Ada binar bahagia dan kerinduan pada mata tua itu. Ah andai ibu tahu, akupun sangat merindukan mereka semua. Namun aku harus tetap bertahan, minimal satu tahun lagi biar Anggi lulus kuliah dan Miko lulus sekolah menengah kejuruannya.
"Kamu dimana Nduk?"
"Biasa Bu, di taman Victoria."
Obrolan mengalir begitu saja. Sesekali kami tertawa apalagi Miko sudah kembali dan ikut nimbrung.
Satu jam lebih aku menelepon keluargaku kemudian kuakhiri takut mereka juga mau melakukan hal lain. Aku hanya memandangi ponselku cukup lama.
Tepukan di bahu kananku mengalihkan fokusku dari menatap ponsel.
"Ngelamun. Awas nanti kesurupan kamu."
"Gak ngelamun Tuti. Aku masih kangen aja sama keluarga. Habis nelepon."
"Oh, aku juga udah nelepon Satria tadi."
"Satria sehat?"
"Sehat. Yang gak sehat kan bapaknya. Edan."
Aku tertawa mendengar Tuti mengumpat mantan suaminya.
"Bikin ulah apa lagi mantan kamu?"
"Dia itu menghasut Satria, nyuruh Satria minta dibeliin motor buat ke sekolah. Anak kelas 5 SD ngapain bawa motor? Pasti akal bulus dia. Dasar parasit mantanku itu. Saraf memang itu orang."
"Bawa ke rumah sakit aja Mbak Tuti." Yuyun yang termuda diantara kami duduk di sebelah kiriku. Usianya baru dua puluh tiga tahun. Sedangkan aku dan Tuti dua puluh sembilan.
"Ogah, biarin aja dia saraf. Emangnya gue pikirin."
Tuti memang ceplas ceplos, bicaranya kasar. Namun dia sangat penyayang dan suka menabung. Beban hidup sebagai tulang punggung keluarga membuatnya berubah. Ditambah lagi suaminya selingkuh sampai selingkuhannya hamil pula, padahal disini dia banting tulang untuk menghidupi suami dan anaknya.
Yuyun juga sama, gadis belia dari keluarga sederhana. Terpaksa bekerja demi keluarga.
Yah, sebetulnya sama saja sih denganku.
Ambarwati, namaku. Sulung dari lima bersaudara. Adikku Wulandari 27 tahun, Saraswati 25 tahun, Anggraini atau Anggi 22 tahun dan si bungsu Jatmiko 18 tahun. Aku berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di salah satu kecamatan di daerah Banyumas.
Ibuku biasa jualan gorengan dan pecel. Bapak adalah penambang batu kapur juga bertani jika musim tanam sudah tiba.
Kehidupan kami sangat sederhana bahkan kalau boleh dikatakan kurang malahan. Kami berlima dididik dengan keras namun penuh kasih sayang. Sejak kecil sudah dibiasakan mandiri dan tidak manja. Terutama aku. Dibanding keempat adikku, bapak dan ibu paling keras mendidikku karena aku anak pertama.
Menurut bapak, anak pertama itu panutan jadi harus lebih kuat dari yang lain. Karena kami ini nantinya sebagai tumpuan dan pengganti orang tua nantinya.
Dan benar saja, ketika bapak harus pergi karena kecelakaan ketika menambang kapur, mau tak mau aku harus menjadi penopang bagi keluargaku.
Aku yang hanya lulusan SMA nekat menjadi TKW ke Hongkong. Alhamdulillah dengan perjuanganku semua adik-adikku bisa melanjutkan sekolah sampai lulus SMA. Ambar dan Wulan malah memilih mondok sejak SMP. Mereka tak mau kuliah, mereka lebih suka membaktikan diri di pondok hingga keduanya bertemu jodoh mereka. Hanya Anggi yang mau kuliah, S1-nya hampir selesai tinggal skripsi saja.
Jatmiko sendiri memilih sekolah di kejuruan. Mengambil jurusan Teknik Kendaraan Ringan. Tak ingin kuliah dan bercita-cita membuka bengkel sendiri. Karena itulah aku masih bertahan disini. Berharap masih bisa mengumpulkan pundi-pundi uang untuk merealisasikan keinginan Miko dan bekal untuk masa tua nanti.
"Tahun depan jadi pulang Mbar?"
"Gak tahu Tut, masih betah disini. Kamu gimana? Balik lagi gak?"
"Kayaknya enggak. Tabunganku udah lumayan. Aku mau fokus merawat Satria. Cukup bapaknya yang edan. Satria jangan."
"Yuyun juga mau pulang Mbak. Ibu udah punya warung. Bapak juga udah punya sawah. Mereka penginnya aku pulang lalu nikah."
Aku tersenyum. Nikah, entahlah sepertinya kata itu masih jauh dari hidupku. Prioritasku kini bukan lagi menikah dan punya anak. Bagiku yang penting kerja, dapat uang, membahagiakan ibu, nabung.
"Kamu gak pengen nikah Mbar?"
"Entahlah Tut, udah gak jadi prioritas buat hidupku."
"Mbak Ambar sih, pake dilangkahi. Dua kali lagi. Jauh kan jodohnya."
Pletak.
"Aw, sakit Mbak Tut."
"Ngomongmu loh. Doain kek. Jangan bikin Ambar down dong."
"Udah gak usah pada perang deh. Lagian aku gak papa. Udah biasa pada ngomongnya kesitu."
"Maafin Yuyun ya Mbak."
"Santai aja Yun, lagian emang realitanya aku dilangkahi kok. Udah ah, yuk cari makan."
"Ayuk."
Kami pun mencari makanan. Pilihan kami jatuh pada makanan cepat saji. Selain murah juga gak lama nunggunya.
Selesai makan, kami bergabung dengan TKW yang lain. Kami mengobrol hingga sampai maghrib dan memutuskan sholat disini.
Setelah saling berpamitan kami menuju ke angkutan pilihan masing-masing untuk kembali ke rumah majikan. Ada yang naik MRT (kereta listrik bawah tanah) atau bus.
Aku pribadi lebih suka naik bus, karena memang lebih mudah dan langsung dekat rumah majikan, dari halte bus tinggal jalan sepuluh menit sampai di rumah majikan, salah satu flat di District Kowloon, Hongkong.
"Di sana banyak salju gak?""Banyak.""Senangnya.""Disitu dingin gak?""Dingin banget, nih sampai pake baju lima lapis.""Hahaha.""Kamu lagi makan?""Iya nih, mau makan mi kuah.""Jangan makan mi terus kenapa?""Paling gampang, 'kan bujang. Kalau sudah punya istri beda lagi." Dia menyeringai jahil padaku.Aku mencebik, "Halah, coba tahun depan 'kan kita pulang semua. Berani gak halalin aku?""Berani ya, tapi kalau aku dapat panggilan lagi ya aku minta waktu lagi," ucapnya enteng."Emangnya kamu siap aku halalin?" lanjutnya."Siap dong?" jawabku mantap."Tapi kita belum punya modal hidup loh?""Ya habis nikah, nyari lagi lah. Gampang. Situ aja yang bikin rumit."Kulihat pria berkulit sawo matang di depan layar ponselku menghembuskan nafasnya kasar."Mbar, kamu tahu sendiri 'kan? Aku pengen jadi orang sukses. Punya usaha sendiri biar gak nguli terus. Gak enak tahu j
Suara dentingan sendok mewarnai meja kami. Sesekali canda dan tawa ikut mengiringi. Kami sengaja makan di sekitar bandara, agar nanti gampang mencari transportasi menuju kawasan Malioboro."Habis ini, rencana kamu apa Mbar?" Aku menoleh ke arah Ilo yang rupanya sudah selesai makan."Gak tahu Il. Yang jelas bantu-bantu Ibu jualan dulu paling. Lainnya, nantilah. Kamu sendiri gimana?""Aku mau buka dealer mobil niatnya."Aku menghentikan suapanku, menoleh kearahnya. Kutatap mata Ilo dengan penuh selidik. Tatapan itu begitu yakin."Kamu yakin?""Iyalah, yakin banget.""Prospeknya kira-kira bagus gak?""Baguslah, kan sekarang roda empat banyak yang nyari.""Eh Il, gak mending motor aja?" celetuk Tuti."Gak ah, udah banyak. Aku mau mobil aja.""Modal lumayan tuh?""Iya Tut, makanya aku getol nyari modal dulu."Aku dan Tuti saling berpandangan. Sementara Yuyun yang paling polos asik makan. Tiba-tiba selera makanku jadi ambyar
Aku tengah berlarian bersama kedua keponakanku. Mereka adalah putra Wulan. Yang sulung Ibrahim berusia lima tahun sedangkan si bungsu Yusuf berusia 3 tahun."Kejar Budhe ... kejar Yusuf. Hahaha.""Awas ya, kena kalian.""Hahaha."Sudah seminggu aku di rumah. Rasanya aneh, biasanya aku kalau pagi sudah sibuk. Disini aku malah santai. Pagi hari hanya membantu ibu, siangnya hanya santai, malamnya rebahan sambil HP-an."Mbar.""Iya Bu.""Hari ini, kamu punya rencana kemana?""Tidur.""Gak pengen kemana-mana Mbar?""Gak Bu. Kenapa?""Ikut ibu ke acara pengajian ya.""Oke."Esok harinya, aku beneran ikut ibu ke pengajian."Loh, Ambar. Kapan pulang?""Seminggu yang lalu Bu Wahyu.""Owalah, makin cantik saja. Eh, ngomong-ngomong mau berangkat lagi gak.""Gak tahu Bu, lihat nantilah.""Mbak Ambar lama di Hongkong pasti duitnya banyak ya?" celetuk ibu-ibu yang lain."Pastilah, orang lama bange
"Dek Ambar tolong kopi satu.""Iya Pak Tarno." Aku berusaha tersenyum padahal rasanya ingin sekali mulut Ini mengumpat."Pecelnya dong? Jangan lupa mendoannya lima," Pak Tarno menatapku dengan tatapan genit. Aku segera meracik pecel permintaannya dan menggoreng mendoan."Mbak Ambar, kopi satu.""Iya Mas Ipung.""Mbak Ambar, saya juga. Yang pahit ya. Soalnya Mbak ambar udah manis takut saya nya diabetes.""Iya Mas Diki."Inilah pekerjaanku setiap hari selama kurang lebih satu bulan di rumah. Membantu ibu yang membuka warung pecel dan gorengan setiap hari dari jam sembilan sampai sore."Wah, kopi buatan Mbak Ambar maknyos, tiada duanya.""Iya, pas pokoknya. Pas pahitnya, pas manisnya. Jadi makin cinta sama kopinya. Eaak.""Kopinya apa sama yang buat?""Yang buatlah?""Hahaha."Sabar Ambar. Kalau gak sabar nanti kamu jadi ikutan edan. Rata-rata pelanggan warung pecel ibu itu laki-laki. Mana kebanyakan yang sudah beristri
Aku, Anggi dan Miko sedang berwisata ke Baturaden. Beberapa tempat wisata di sana kami singgahi, mulai dari The Garden, Small World, lokawisata Baturaden, pancuran telu hingga pancuran pitu."Capek," keluh Anggi."Banyak yang berubah ya Nggi.""Iya Mbak, Baturaden makin banyak spot wisatanya. Terutama buat tempat selfi.""Iya.""Mbak Ambar lihat deh?"Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Miko, saat ini kami berada di Small World, lokasi terakhir yang kami kunjungi."Iya. Foto yuk."Kami bertiga pun berfoto. Ketika asik berfoto, ada seseorang yang memanggil Anggi."Anggi.""Eh, Dika. Mbak, Miko kenalin ini Dika temen kuliahku dulu."Kami berkenalan. Kebetulan Dika juga datang bersama beberapa rekannya. Dika dan Anggi mengobrol seru pun dengan Miko yang sepertinya kenal dengan Dika.Salah satu rekan Dika menatapku sejak tadi membuatku kikuk. Aku memilih bermain dengan ponselku.Cukup lama mereka berbincang hingga Dika
Aku menatap banyaknya hantaran pernikahan yang ada di depanku dengan tatapan sedih. Meski hati mencoba ikhlas tapi tetap saja nyeri.Ini kali ketiga aku akan menyaksikan, seorang lelaki menjabat tangan Pakdhe Rusdi, kakaknya bapak.Tepukan halus mendarat di bahuku membuatku kaget."Pakdhe.""Jangan melamun.""Enggak Pakdhe, cuma lihat-lihat, hantarannya banyak banget.""Kamu nanti lebih banyak.""Amin.""Bapakmu bakalan bangga sama kamu, Mbar."Aku tersenyum. Kupandangi wajah pakdhe yang tersenyum kearahku. Gurat wajahnya begitu mirip dengan adiknya, almarhum bapak."Kamu itu putri kebanggaan Rasdi. Setiap cerita tentang kamu. Binar mata Rasdi selalu terlihat. Dari kamu kecil sampai besar. Rasdi selalu bangga sama kamu. Begitupun pakdhe."Pakdhe mengelus kepalaku yang berbalut kerudung."Kamu itu wanita yang kuat. Kalau jatuh, kamu harus bangkit. Ada kami semua yang senantiasa mendoakanmu.""Iya Pakdhe.""Tunjukan
"Jadi muncaknya?""Jadilah Mbar, aku udah siapin semuanya. Sabtu pagi kita berangkat.""Oke."Sabtu pagi, aku, Joko dan Miko menuju ke Boyolali. Kami akan mendaki gunung Merbabu melalui jalur Selo."Ckckck. Beneran mantan Pradani SMANSA ini.""Kamu juga, mantan si Bolang. Hahaha.""Ya ampun. Gak kece banget julukannya. Tapi iya sih. Hahaha.""Capek Mik?""Enggak Mbak. Kan Miko udah biasa naik gunung."Aku menepuk bahu adikku. Aku sungguh bangga padanya."Mbak Ambar lihat?""Sabana?"Kami segera mengambil beberapa foto di padang sabana. Berbagai pose dari biasa, lebay, alay dan jablay."Ayok semangat. Kita hampir sampai di pos perkemahan."Kami membangun dua tenda. Setelahnya mulai memasak dengan menggunakan kompor portabel.Sesekali bercanda dan tertawa sambil menikmati secangkir kopi dengan sosis panggang yang lezat."Ambar."Aku menoleh ke sumber suara. Dahiku mengernyit."Syam. I
Begitu bus berhenti di terminal Gumilang, aku segera turun. Rupanya Joko dan Miko tepat berada di belakangku."Mbar, kamu kok jalannya cepet banget sih?""Biar segera dapat angkot, Jok. Tahu sendiri kalau jam segini angkot penuh. Kita harus rebutan sama para pedagang. Ayuk.""Ambar." Suara teriakan menghentikan langkah kami. Agh sial, mau tak mau aku pun berbalik dan mencoba tersenyum. Dalam hati berdoa semoga sisa perileran di wajahku sudah hilang."Kalian mau kemana?""Nyegat angkot lah Syam." Joko yang menjawab."Naik mobil aja, mobilnya Syafiq sih.""Gak usah! Kita naik angkot. Ayok."Aku menarik lengan Joko dan Miko namun sekali lagi Joko berulah."Ikut aja sih, lumayan irit duit. Ya kan Syam?""Iya.""Lagian Syafiq gak keberatan kan kita ikut?""Enggak," sahut Syafiq kalem."Yuk ah," ajak Syam antusias.Aku menatap Syam, Rafi dan Syafiq dengan ragu kemudian mengalihkan pandangku, ah malah gambar peta p