Suara dentingan sendok mewarnai meja kami. Sesekali canda dan tawa ikut mengiringi. Kami sengaja makan di sekitar bandara, agar nanti gampang mencari transportasi menuju kawasan Malioboro.
"Habis ini, rencana kamu apa Mbar?" Aku menoleh ke arah Ilo yang rupanya sudah selesai makan."Gak tahu Il. Yang jelas bantu-bantu Ibu jualan dulu paling. Lainnya, nantilah. Kamu sendiri gimana?""Aku mau buka dealer mobil niatnya."Aku menghentikan suapanku, menoleh kearahnya. Kutatap mata Ilo dengan penuh selidik. Tatapan itu begitu yakin."Kamu yakin?""Iyalah, yakin banget.""Prospeknya kira-kira bagus gak?""Baguslah, kan sekarang roda empat banyak yang nyari.""Eh Il, gak mending motor aja?" celetuk Tuti."Gak ah, udah banyak. Aku mau mobil aja.""Modal lumayan tuh?""Iya Tut, makanya aku getol nyari modal dulu."Aku dan Tuti saling berpandangan. Sementara Yuyun yang paling polos asik makan. Tiba-tiba selera makanku jadi ambyar."Habis ini kita jalan-jalan dulu yuk?" ajak Ilo."Tentulah. Buat apa jauh-jauh ke Jogja cuma naik sepur (kereta) sama ngubengi (mengelilingi) bandara doang. Rugi," celetuk Tuti."Ayo, jangan lupa kita beli jajanan ya sama mampir beli daster. Hehehe." Yuyun semangat sekali kalau masalah jajan dan belanja.Kami pun menuju ke kawasan Malioboro. Disana kami membeli beberapa daster, batik dan tentu saja jajanan khas Jogja."Mbar.""Hem."Kulirik Ilo, dia hanya menatapku tanpa suara membuatku malu dan sepertinya pipiku memerah karena rasanya hangat.Aku membuang mukaku. Tak sanggup bertatapan dalam waktu yang lama dengan mata tajam itu."Hahaha. Kamu itu gemesin tahu Mbar.""Apaain sih? Tahu ah."Aku berjalan duluan sambil menekan kedua pipiku dengan tanganku. Sebuah remasan pada tangan kiriku menerbitkan senyum pada bibirku."Sayang yah, kita cuma bisa ketemu sebentar.""Iya.""Nanti aku main ya?""Boleh. Ibu pasti seneng.""Ibu apa kamu?"Aku menatap Ilo dengan tatapan intens, aku mencoba mencari adakah cinta yang nyata dalam binar matanya untukku. Namun aku sama sekali tak menemukan apapun."Kenapa, Mbar?" Ilo bertanya padaku. Tatapannya pun lebih intens."Kamu sebenarnya suka sama aku gak sih, Lo?""Ya cinta lah, Mbar.""Terus kamu mau hubungan kita gimana?" Aku terus mencoba mencecar Ilo."Ya ... ya suatu saat aku pengen nikah sama kamu.""Kapan?"Ilo membuang mukanya, dia tampak merasa risih dengan pertanyaanku. Namun kali ini aku tak mau menunggu lagi, aku harus memastikan hubungan kami.
"Aku tidak akan kembali bekerja di Hongkong lagi. Ibu sudah memintaku untuk tak kembali ke sana. Beliau ingin aku di rumah, berumah tangga layaknya wanita pada umumnya. Dan aku ... aku ingin memastikan semuanya sama kamu. Apakah kamu benar mencintaiku? Mau hidup susah senang bersamaku? Atau ... kamu ragu?"
Ilo hanya diam, dia sama sekali tak menjawab apa pun. Aku kembali mencoba mencari sesuatu di matanya. Sebuah cinta. Tapi miris. Aku tak melihat apa pun di sana.
"Ambar. Mengertilah. Kita masih muda. Masih banyak hal yang belum aku wujudkan, aku cinta kamu. Aku akan menikahi kamu. Tapi gak sekarang. Nunggu aku sukses dulu, Ambar."
"Sampai kapan? Sampai aku semakin tua?"
"Mbar ...."
"Aku tunggu kamu di rumah, di rumah ibuku. Aku harap kali ini kamu benar-benar tegas dengan hubungan kita," putusku.
Lalu aku segera berbalik dan meninggalkan Ilo. Aku sudah tak berniat membeli apa-apa lagi. Ketidakseriusan Ilo semakin membuatku miris. Sungguh, aku berharap kepulanganku akan disambut hal-hal manis. Seperti kesiapan Ilo untuk meminangku, menjadikanku istrinya. Tapi rupanya hal ini terjadi lagi. Lagi-lagi dia menggantungkan hubungan kami.
"Ambar!" Sebuah cekalan pada lengan kananku terasa kuat. Bahkan belum sempat aku mengelak, aku merasakan sentakan yang kuat dari seseorang hingga aku berbalik dan langsung bertatapan dengan Ilo.
"Kenapa ninggalin aku? Kamu marah?"
"Menurutmu?" ujarku sinis.
Ilo hanya tertawa lalu menarik tanganku untuk mengunjungi salah satu toko batik."Jangan marah! Kita bahas itu nanti ya, ayok kita beli sesuatu dulu untuk oleh-oleh."
Ilo dengan paksa menarik lenganku. Aku hanya mengikuti saja dengan enggan. Selama acara memilih baju aku hanya diam. Ilo yang sibuk memilih-milih. Terkadang dia meminta pendapatku dan hanya kubalas ala kadarnya. Aku masih terlalu marah.
"Ini buat kamu, ibu sama adik-adikmu."Ilo mengulurkan beberapa batik padaku dan aku sama sekali tak menerimanya, hingga dia menarik paksa tanganku dan menyerahkan beberapa kantung plastik padaku.
"Aku tahu kamu marah dan kecewa sama aku. Tapi aku mohon padamu, mengertilah Ambar. Menikah itu sesuatu yang butuh pertimbangan matang-matang. Bukan hanya sekedar cinta. Beri aku waktu lagi, pasti aku akan menikahi kamu."
"Sampai kapan?"
"Nanti aku akan mengabarimu lagi."
"Sampai kapan?" Lagi-lagi aku menanyakan tentang waktu yang dia minta padaku.
Ilo tampak mengembuskan napas sedikit kasar.
"Sebulan lagi. Aku pasti akan datang ke rumah kamu."
"Baik, aku tunggu." Aku menjawab dengan memasang wajah datar. Selanjutnya aku segera berbalik namun Ilo mencegah aksiku.
"Plis, jangan marah. Percaya sama aku. Sebulan lagi, oke. Selama itu, aku harap kamu bisa menjaga hatimu hanya buatku. Kamu bisa, 'kan?"
Aku tertawa. Lebih tepatnya tertawa miris. Kenapa dia begitu meragukanku sedangkan yang selama ini meragukan ketulusannya padaku adalah dia sendiri. Namun aku sedang malas berdebat jadi kuangguki saja perkataannya.
"Yuk ah, jalan lagi. Kita kan di sini buat melepas kangen. Bukan buat marah-marahan kayak gini."
Ilo lagi-lagi menarik lenganku dan membawaku berjalan-jalan menyusuri Kota Jogja.
"Jangan jauh-jauh, Mbar. Takut kamu ilang. Gawat nanti, susah nyari yang sama kayak kamu."
Ada godaan dalam suara Ilo. Aku yang masih kesal hanya bisa berkata sinis.
"Gak usah lebay deh Il."
"Ini bukan lebay, Mbar. Ini wujud cinta."
"Cinta itu menghalalkan, bukan tarik ulur perasaan," sinisku.
Ilo sedikit terhenyak. Dia terdiam untuk waktu yang lama."Kamu kalau marah awet ya, Mbar." Dia mengucap dengan helaan napas yang terdengar berat. Aku sama sekali tak menanggapi dan fokus menatap ke depan.
Hampir dua jam kami menghabiskan waktu untuk menjelajahi Malioboro dan sekitarnya. Sejak pembahasan status kami, kami sama sekali tak bersuara. Beruntung tadi kami bertemu dengan Tuti dan Yuyun sehingga aku memutuskan ikut bersama mereka dan berkeliling. Ilo pun melakukan hal yang sama. Kebisuan di antara kami tersamarkan karena sikap antusias Yuyun dan kehebohan Tuti.
Akhirnya, tibalah saatnya aku dan Ilo akan berpisah. Dan kini kami berdua sedang duduk di deretan kursi tunggu. Yuyun dan Tuti sedang berada di toilet. Keheningan menyelimuti kami berdua. Baik aku dan Ilo tak ada yang bersuara. Kedatangan Tuti dan Yuyun serta panggilan kedatangan kereta memecah keheningan kami. Aku menatap Ilo dengan sorot kesedihan. Ingin menangis namun sengaja kutahan."Aku balik ya Il," pamitku. Kuulurkan tangan kananku hendak mengajaknya bersalaman.
"Iya, hati-hati." Dia menyambut tanganku dan kami pun akhirnya bersalaman. Untuk beberapa saat tangan kami saling menjabat. Mata kami saling menatap erat. Kulihat sorot kesedihan di mata Ilo dan aku yakin mataku pun tak kalah sama sedihnya.Suara panggilan dari bagian informasi menyadarkanku kembali dari kesedihan. Yah, sepertinya ini saatnya kami berpisah. Kulepas jabatan kami. Kutatap Ilo dengan mencoba bersikap tegar."Aku pulang, Ilo. Kamu hati-hati ya di jalan. Dan salam buat ibumu."
"Salam juga buat ibumu."
Hening. Tak ada dari kami yang bersuara lagi."Coba aku masih di Cilacap ya Mbar, pasti kita bisa pulang bareng." Ilo bersuara kembali."Ya mau gimana lagi."
Keluarga Ilo pindah ke Pati sejak dua tahun lalu. Ayah Ilo asli Pati.
"Ya sudah aku naik ya, Ilo. Selamat tinggal."
"Selamat tinggal juga. Hati-hati ya Ambar. Aku cinta kamu."
Aku tersenyum mendengar kalimat terakhir yang Ilo ucapkan.
"Aku pulang," ucapku.
"Iya. Hati-hati.""Kamu juga."Aku segera menaiki gerbong dan sepintas menatap Ilo. Ilo menyunggingkan senyumnya kemudian melambaikan tangan. Aku pun ikut tersenyum lalu melambaikan tangan dan segera masuk untuk mencari tempat duduk. Kebetulan tempat dudukku berada di sebelah kiri sedangkan Tuti dan Yuyun berada di sebelah kanan.Karena kursi dekat jendela masih kosong aku sengaja duduk di sana sambil menyandar pada kaca jendela. Cukup lama aku memandang ke luar seolah-olah aku melihat bayangan Ilo yang tengah menatapku dari luar.Ada sedikit ketakutan dalam diriku tentang bagaimana mengarungi kehidupan nantinya. Apalagi nanti statusku jelas begitu menggelikan di mata masyarakat. Mantan TKW sekigus perawan tua. Aku sesekali menghembuskan napas dengan kasar. Sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku.
"Permisi, maaf kursi saya di dekat jendela.""Oh, maaf."
Aku segera menggeser tempat dudukku menjauh dari jendela.
"Terima kasih."
Sama sekali aku tak melirik pada penumpang itu. Aku bukan tipe wanita yang suka beramah tamah dengan teman perjalanan, apalagi jika teman perjalanan adalah laki-laki.
Laki-laki itu sudah duduk dengan nyaman di kursinya sementara aku sibuk memposisikan diri dan mencoba memejamkan mata.
Mungkin karena lelah, tak lama kemudian aku pun tertidur.
***
Pemberitahuan kalau kereta sebentar lagi memasuki stasiun Purwokerto terdengar. Aku menggeliat kemudian menoleh ke arah kanan. Kedua sahabatku rupanya juga baru bangun."Nyampe Purwokerto ya Mbak.""Iya." Ucapku sambil menata barang-barangku, takut ada yang ketinggalan."Ayuk siap-siap.""Oke."Kami beriringan menuju pintu keluar. Yuyun sejak tadi menatapku aneh. Seperti ada binar memuja. Kenapa tuh anak? Kesambet atau gimana?"Jalan Yun, cepetan.""Eh. Hehehe."Turun dari kereta kami langsung berjalan keluar stasiun."Ngopi dulu yuk?" ajak Tuti."Oke."Kami beriringan menuju Indonesiamart dan memesan tiga cup kopi. "Mbak Ambar.""Hem ... apa Yun?""Cowok yang tadi duduk sama Mbak, ganteng banget loh."Aku mengernyit, "Oh ya?""Hooh. Suer ewer ewer mirip Wang Yibo."Plak."Aw, Mbak Tut? Sakit?""Halumu kejauhan. Gak kok Mbar, kulitnya emang putih tapi gak mirip Wang Yibo.""Jadi intinya cakep apa nggak nih?" tanyaku."Cakep." Kompak keduanya."Ooo."Plak."Apa sih Tut?""Kamu itu kebiasaan kalo sama cowok cuek. Pasti kamu gak merhatiin tampangnya 'kan?""Enggak.""Ck. Dasar. Diajak kenalan kek, malah kamu tinggal tidur. Malah pake nyandar manjah lagi.""Hah? Yang bener?"Kedua sahabatku mengangguk. Alamak, aku lupa punya kebiasaan asal nyandar kalau lagi bobo cantik. "Ya Allah, beneran aku nyandar ke dia?""Beneran?""Suer?""Wer ewer ewer." Lalu keduanya tertawa.Aku menutup mukaku. Ya Allah malunya."Gak papa lah, toh gak bakalan ketemu lagi.""Kalau ketemu lagi gimana Mbak?""Pura-pura gak kenal lah? Orang aku aja gak hafal mukanya.""Ntar juga lama-lama hafal ya Mbar?" Tuti menatapku dengan senyum jahil."Iyalah bakalan hafal, orang ntar jadi suamiku. Kamu mau aku ngomong gitu?" ucapku dengan nada sinis."Aamiin.""Astaghfirullah, kok diaminin sih?" "Doa baik harus diaminin ya gak Yun.""Hooh Mbak, dari pada nungguin Mas Ilo yang gak jelas. Mending sama yang jelas.""Emangnya yang mau ngasih kejelasan buat aku selain Ilo siapa?""Tarnooooo." Kompak keduanya."Apa? Big no. Hiiii, plis deh. Hidungku imut tapi muka gak jelek-jelek amat kali.""Ya gak papa, Juragan Tarno lumayan kok. Lumayan kaya ya gak Yun.""Hooh, siapa tahu Mbak Ambar jadi istrinya.""Istri kelima maksudnya," lanjut Tuti."Astagfirullah. Ogah. Kenapa gak kalian aja?""Ogah!" seru keduanya. Dan kami pun tertawa.Berita lamaran antara Joko dan Tuti sudah menyebar seantero kampung. Banyak pemuda, jejaka tua dan duda yang menyukai Tuti jadi patah hati. Sama halnya dengan para perawan dan janda muda yang menyukai Joko juga kini merasa patah hati. "Kalah telak dah, kalau sama Joko." "Lah, duda sugih, ya aku kalah." "Wah, janda sama duda ini?" "Haduh, ada perawan kenapa aku kalah sama janda sih?" "Wah, janda selalu di depan." "Janda kaya sama duda kaya, makin kaya dah." Begitulah kira-kira omongan-omongan yang selalu terdengar selama tiga hari ini. Hampir semua warga Gumilang banyak menggosipkan lamaran Joko dan Tuti. Karena saking banyaknya yang menggosip, berita ini pun sampai ke para mantan. Rini hanya bisa menangis semalaman begitu mengetahui kalau mantan suaminya bakal menikah lagi. Keesokan harinya, setalah tadi malam mendengar berita lamaran Joko dan Tuti, dia langsung memburu ke rumah Joko. Rini tanpa salam langsung masuk ke dalam rumah, dimana Joko saat itu sedang mengi
Tuti heran melihat kedatangan Joko, Ambar, Syafiq dan keluarga besar Joko ke rumahnya menjelang pukul delapan malam. Dia bingung tentu saja. "Ada apa? Kok tumben rame-rame ke sininya malam-malam?" Tuti menatap pada Ambar, "Ada apa Mbar? Ada masalah?" Ambar hanya tersenyum lalu menoleh ke arah Joko. "Ayo Jok, ngomong." Joko terlihat gugup. Tidak seperti biasanya yang terlihat berkharisma dan garang, kali ini Joko terlihat gugup sekali seperti seorang bujang yang baru pertama kali melamar anak perawan. Padahal dulu saat akan melamar Rini, Joko biasa saja, dia memang merasa takut, deg-degan tapi tidak setakut dan sedeg-degan seperti saat ini. Bapaknya Joko terkekeh melihat mimik wajah putranya. Dia pun mencandai sang putra. "Apa perlu bapak yang ngomong?" Joko menoleh kepada bapaknya lalu menggelengkan kepala. Tanda kalau dia sendiri yang akan bicara dengan kedua orang tua Tuti. Joko terlihat mengatur napas. Semua orang diam. Satria dan Chika yang awalnya sibuk bercerita pun memi
Juragan Tarno yang merupakan juragan paling kaya sekecamatan Gumilang hanya mampu menatap Joko dengan tatapan nyalang yang dibalas Joko dengan tatapan sinis. Di samping kanan kiri Joko ada Syafiq dan juga Rafi yang membantunya lepas dari tuduhan Juragan Tarno.Ya, Juragan Tarno sengaja menyabotasi usaha Joko. Dia melakukan tindakan curang dengan menukar jenis kayu yang akan dikirimkan Joko kepada salah satu pelanggan setianya.Joko mengalami kerugian yang luar biasa dan hampir masuk penjara. Karena sang pemborong mengkasuskan tindak kecurangan ini. Beruntung dengan bantuan salah satu putra kyai yang dulu menjadi guru ngajinya Syafiq, Joko bisa terbebas dari tuduhan. Bahkan dia bisa menuntut ganti rugi pada si dalang. Orang yang membantu Joko mengungkap dalang dari sabotase ini juga hadir. Meski tampangnya dingin bak preman pasar dengan rambut gondrong, tapi yang melihatnya tahu, si pak polisi memiliki aura kharismatik yang luar biasa.“Tolong Pak Joko, saya khilaf. Juragan Tarno. In
Tuti tersenyum melihat sang putra begitu gagah. Meski masih ada beberapa luka di wajahnya. Tidak membuat kadar ketampanan Satria berkurang."Nanti, kalau ada yang gangguin kamu lagi. Lawan. Cowok gak boleh kalah. Tapi mainnya yang pinter. Kalau mereka main keroyokan. Ya kamu pakai akal dong.""Siap Ibu.""Sip. Ayo berangkat."Tuti mengantar sang anak ke sekolah. Saat sampai di halaman sekolah Satria tampak beberapa ibu-ibu yang mengantar anak-anak mereka. Beberapa dari mereka ada yang menyapa Tuti dengan ramah, tapi banyak juga yang menatapnya sinis. Tapi Tuti tak peduli. Tuti melihat beberapa anak yang kemarin menganiaya sang putra. Dia tersenyum sinis bahkan melototi mereka satu per satu. "Mbak Tuti, situ ngapain ngelihatin anak saya kayak gitu.""Oh, ini Mbak Tresna cuma pengen tahu wajah anak-anak yang kemarin menganiaya anak saya.""Eh jangan nuduh dong.""Loh. Emangnya saya nyebut anaknya situ.""Lah dari tatapan mata, Mbak Tuti kan nuduh.""Kalau iya kenapa? Harusnya Mbak Tres
Tuti dan Satria baru saja sampai di parkiran sebuah mall terbesar di Purwokerto. Keduanya segera berjalan hendak menuju ke dalam mall.Langkah keduanya terhenti karena teriakan seorang gadis cilik."Mas Sat? Tante Tuti?" Chika berteriak memanggil keduanya sambil melambaikan tangan.Baik Tuti dan Satria tersenyum senang. Kedua keluarga saling mendekat. Chika langsung menghambur ke arah Tuti dan memeluknya. Puas memeluk Tuti, Chika menggelayut manja pada Satria."Mas Sat, temenin Chika main ke Timezone ya?""Beres. Halo, Om. Apa kabar?" Satria menyalamai Joko, keduanya saling berjabat tangan dan tersenyum."Baik. Kamu gimana? Udah kelas enam ya?""Iya, Om.""Bagus, nanti sekolah dimana?""Pengennya sih yang kota tapi ....""Kalau mau yang di kota belajarnya harus semangat, terus harus bisa jaga kepercayaan.""Hehehe. Ok!""Bagus." Joko mengacak-ngacak rambut Satria. Pemandangan yang membuat Tuti
Tuti menatap sinis ke arah Dani, sang mantan. Sementara Dani menatap Tuti penuh permohonan. "Plis, Tut. Beri aku kesempatan buat memperbaiki kesalahanku dulu, ijinkan aku membahagiakan kamu dan Satria." Dani memohon sambil berlutut ke arah Tuti. Tuti tertawa keras membuat para pelanggan yang sedang antri membeli pulsa sesekali menoleh. Satria sendiri abai dengan tingkah kedua orang tuanya. Dia fokus melayani para pembeli. "Kalau kamu mau memperbaiki, itu perbaiki hubunganmu sama istri dan anakmu yang sekarang. Bukan sama aku. Ingat ya Dani, kita cuma mantan. Dari pada kamu ngemis-ngemis sama aku, mending kamu cari kerja. Sana kasih nafkah yang bener buat anak istrimu. Bukan malah merecoki aku sama Satria. Kita udah bahagia." "Tapi aku gak cinta sama Fani, Tut. Cintaku sama kamu." Tuti tertawa. "Gak cinta tapi bisa bikin anak? Gak cinta tapi kamu nikah diam-diam? Hahaha." Dani hanya bisa menunduk. Tak mampu mengelak. Menyesal jelas. Han
*Susilo alias Ilo* “Harus, kamu begini terus tiap tahun? Ck. Move on dong kalau gak bisa move on harusnya dulu kamu jangan gantung dia. Udah dibilangin ngeyel. Nyesel, ‘kan? Sekarang kamu mau apa ngintipin dia terus tiap tahun. Helow, lihat suaminya, lihat kerjanya, lihat rumahnya, lihat wajah mantan kamu itu, emang kelihatan seperti istri teraniaya gitu? Mana ada istri teraniaya terawat banget, suka senyum, tiap tahun hamil lagi. Orang pun bakalan paham kalau dia itu sangat sangat bahagia.” Saiful temanku masih saja ngomong.Aku tak begitu peduli dengan omongannya yang sama. Karena bisa melihatnya saja sudah membuatku bahagia. Iya, aku punya kebiasaan setiap tahun mengamati kehidupan Ambar dengan suaminya. Ini adalah tahun ketiga aku mengawasinya selama seharian penuh, di tanggal yang sama dengan tanggal jadian kami beberapa tahun yang lalu.Bukan tanpa alasan aku melakukan hal memalukan yakni mengawasi istri orang. Aku hanya ingin memastikan Ambar hidup bahagia dan t
*Syam*Aku mengulas senyum, tepatnya senyum miris. Melihat bagaimana Syafiq sedang memangku anak berusia dua tahun yang wajahnya sama persis dengan Syafiq. Padahal pas lahir, anak itu mirip Ambar tetapi malah kian besar kian mirip bapaknya.Ya Tuhan, lagi-lagi aku hanya bisa menatap kebahagiaan sebuah keluarga yang kuidam-idamkan.Menyesal? Jelas. Itu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku. Padahal Tuhan telah memberiku kesempatan untuk mencecap kebahagiaan bersama Ambar. Tapi apa yang kulakukan? Yang kulakukan adalah melepas Ambar hanya karena tergoda dengan mantan. Ah, padahal sudah banyak cerita tak mengenakkan tentang mantan. Tapi kenapa aku malah ikut-ikutan terjebak nostalgia bersama mantan?“Hai, ponakan gantengnya Om Rafi. Ikutan ngajar ya? Mbak Ambar mana Mas?” Rafi sepertinya baru selesai mengajar dan langsung duduk di dekat Syafiq.“Lagi ngurusi Amira. Amira sakit. Kasihan Ambar kalau ngurusi dua-duanya, jadi Mas bawa aja Amm
*Marwan*Wajah itu masih terlihat cantik meski usianya sudah diatas lima puluh tahun. Dan senyum itu masih sama, hangat, terlihat tulus dan sangat menawan. Senyum yang selalu membuatku jatuh cinta setiap kali memandangnya.Inayah. Bunga desa yang sejak usianya masih dua belas tahun sudah kupuja. Kami hanya selisih tiga tahun. Dengan berbagai upaya aku berusaha mendapatkan perhatiannya. Inayah adalah tipe gadis penurut yang pandai membawa diri. Tingkah lakunya membuatku jatuh cinta.Perjuanganku mendapatkan perhatian Inayah, membuahkan hasil ketika usianya dua puluh dua tahun. Kami akhirnya berpacaran. Ah, senangnya hatiku.Tapi pacaran ala kami hanya sebatas aku mengunjungi rumah Inayah dan malah ngobrol ditemani kedua orang tuanya. Kami jarang pergi keluar. Andai pun keluar, yang bisa kami lakukan hanya sebatas makan atau jalan-jalan dengan motor. Aku dan Inayah tak pernah berbuat lebih, disamping aku takut kebablasan, Inayah juga sangat menjaga diri. Makanya