*Happy Reading*
Aku dan Alan disambut senyum penuh arti oleh Bang Elang. Saat kami baru saja tiba di depan ruangan Pak Nyoto.
Ck, pasti, deh. Nih polisi playboy satu mikirnya macem-macem.
"Nah, ruangan Pak Nyoto di sebelah sana, Pak. Tepat di depannya Pak Elang." Malas bertemu dengan polisi lebay itu, yang pasti berakhir dengan saling debat. Aku pun mempersilahkan Alan ke sana sendiri saja.
Bodo amat dia mau bilang aku gak sopan atau apa? Penting tugasku mengantarkannya udah selesai, kan? Lagipula, aku masih punya kerjaan lain setelah ini.
Alan melirik Bang Elang sejenak, sebelum kembali melihatku beberapa menit. Kemudian menghela napas pelan dan mengangguk.
"Terima kasih dan ... semangat, ya?"
Eh? Semangat? Semangat untuk apa nih? Semangat untuk melupakannya? Woyajelas! Aku pasti akan semangat untuk hal itu.
Mengangguk satu kali, aku pun membalas, "A--eh, Bapak juga semangat, ya? Jangan lupa undang saya nanti
*Happy Reading*Sebenarnya, aku ingin sekali mempercayai ucapan Dokter Karina waktu itu. Setidaknya itu menandakan aku gak ngarep sendirian, ya kan? Pikirku, Alan juga ternyata sedikit tertarik padaku, benar tidak? Meski sedikit, tapi mayanlah daripada ngarep sendirian. Lebih ngenes kedengerannya.Sayangnya, gimana aku bisa percaya kalau lagi-lagi harus melihat pria itu bermesraan dengan wanita lain? Memang bukan bermesraan seperti cipok-cipokan atau elus-elusan. Hanya duduk berdua di kantin rumah sakit, sambil ngobrol akrab sekali seakan dunia milik berdua. Kan, hatiku panas lagi ini.Kulkas mana kulkas?"Eh, Mi. Itu pacarnya selingkuhan Dokter Karina, ya?"Aku auto mendengkus kesal, saat mulut julid Devi kembali menebar racun. Tentunya, sambil melirik meja Alan dan pasangannya. Ugh ... kok rasanya gak rela ya menyebutnya begitu?"Jangan mulai, Dev. Udah berapa kali dibilang. Mereka itu cuma partner kerja. Gak lebih!" Aku tidak
*Happy Reading*"Aa, ih! Lepasin!" Aku menghela tangan Alan yang melingkar dipinggang lumayan kasar, saat kami sudah sampai parkiran."Tangannya jan kurang ajar, dong! Kita kan bukan mahram!" salakku kemudian, setelah memastikan keamanan situasi sekitar.Aman, gaes! Gak ada yang ngikutin kami. Eh, maksudnya teman sejawat yang baru aku tebar hoax gak ngikutin. Jadi aku gak harus pura-pura lagi.Seperti biasa, Alan menatapku datar seraya menaikan alisnya. "Jangan bawa-bawa kata Mahram. Kamu sendiri tadi yang pertama menggandeng saya.""Ya, kan saya cuma akting, Bapak. Biar temen-temen saya percaya kalau kita ini pasangan. Kasian loh, Dokter Karina jadi bahan gosip terus.""Dan saya hanya membantu kamu, membuat orang-orang LEBIH percaya pada gosip yang sudah kamu tebar. Gak salahkan?"Hish! Susah emang kalau ngomong sama pengacara. Pinter banget nyautinnya. Kan, aku jadi bingung ini mau membalas apa?"Ya, tapi gak harus seme
*Happy reading*Gara-gara pengacara jalan tol si-Alan kampretos minta dijotos. Aku terpaksa ijin pulang sebentar, untuk mengamankan semua belanjaan yang baru saja Alan kembalikan.Masalahnya belanjaanku terlalu banyak hingga tidak muat di loker. Makanya dari pada mengganggu hilir mudik teman sejawatku di sana, berakhir ketendang-tendang sampai rusak. Mending aku amankan segera, yee kan?Toh, Kontrakan aku juga gak jauh dari sana. Jadi gak akan memakan waktu lama jika hanya sekedar menaruhnya saja. Ya ... kecuali aku nyambi rebahan sambil nonton drakor. Alamat gak balik Rumah sakit sampai berabad-abad saking nyamannya.Tergoda sih melakukan hal itu. Tetapi berhubung aku masih butuh cuan buat naikin haji abah sama umi. Aku pun harus lebih giat lagi ngevet di Rumah sakit."Mi, dari mana aja lo? Abis mojok ya sama Pak Pengacara?" goda maya, yang tadi memang ada saat Alan menyeretku pergi."Biasa, bikin kuping dulu tadi di
*Happy Reading*"Hasmi, Abah kritis! Kamu bisa pulang sekarang, gak?"Degh!"Astaga, Hasmi! Kamu kenapa?!" Dokter Karina dengan tanggap menahan tubuhku yang tiba-tiba oleng dan hampir jatuh terduduk, akibat syok seusai mendengar kabar dari orang di seberang sana.Abah Kritis?! Bagaimana bisa?Bukannya Abah selama ini sehat dan bugar? Kenapa tiba-tiba kritis? Apa yang terjadi?"Mi? Hasmi?" Umi terdengar memanggilku, meminta atensiku kembali. Aku pun sekuat tenaga menguatkan diri agar bisa melanjutkan sambungan telpon ini."A-apa, Umi? A-Abah kritis?" Terbata aku menyahuti Umi, benar-benar tak percaya dengan Info yang dibawanya barusan."Iya, Neng. Abah kritis. Sekarang sedang ada di Rumah sakit terdekat. Makanya kamu bisakan ijin pulang, Neng. Cuti atau apalah gitu, Mi. Pokoknya cepet pulang. Umi mohon!" jawab Umi dengan suara sengau khas orang kebanyakan menangis.Ya Tuhan ... apa kondisi abah seb
*Happy Reading*"Kenapa?" tanya Alan tiba-tiba muncul, seraya menghampiri dengan alis bertaut bingung.Tentu saja, dia pasti bingung dengan seruan Bang Elang tadi. Alan kan baru datang dan tidak tahu duduk masalah yang tengah terjadi."Benar! Kamu aja deh, Lan, yang anter Hasmi pulang." Dokter Karina mengambil alih obrolan dengan semangat."Gak usah! Gak perlu! Dok? Saya beneran bisa pulang sendiri. Saya janji gak akan ngebut, kok. Percaya kenapa, sih? Saya gak mau ngerepotin orang." Aku menolak dengan keras, karena benar-benar tak ingin membebani siapapun."No!" tolak Dokter Karina keras kepala."Dok? ayolah! Saya cuma mau pulang. Kenapa harus dipersulit seperti ini?" Tangisku pecah kembali. Benar-benar kesal dengan keadaan.Aku ingin pulang! Tidak adakah yang bisa mengerti perasaanku?"Lan, anterin Hasmi pulang bisa, kan? Dia baru saja dapat kabar Abahnya kritis. Uminya minta dia pulang sek
*Happy Reading*"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya Pak RT, yang juga merangkap sebagai seorang penghulu. Sesaat setelah pria di sampingku ini, mengucapkan ijab qobul atas nama diriku, dengan satu tarikan napas saja."Sahhh!" Para saksi di ruang kecil itu pun menjawab bersamaan."Alhamdulilah …." ucap kami serempak, sebelum Pak Penghulu membacakan doa untukku dan pria di sebelahku, yang kini telah sah menjadi suamiku dimata agama.Setelah doa diakhiri kata 'Aamiin'. Aku pun meraih tangan suamiku dan menciumnya dengan perlahan. Sebagai tanda baktiku padanya. Dilanjutkan dengan dia yang mencium keningku cukup lama, dan sebuah lantunan doa, yang ku tahu biasa diucapkan seorang suami pada istrinya.Kemudian, aku pun melirik Abah di ranjang rumah sakit, dan memaksakan tersenyum semanis mungkin kepadanya. Yang juga dibalas Abah dengan senyum tipis."Alham … du … lillah … " ucapnya tanpa suara, sesaat sebelum matany
*Happy Reading*"P-pak?" panggilku lirih, di belakang tubuhnya yang berjarak beberapa langkah dariku.Merasa ada yang memanggil, pria itu pun menghentikan pekerjaannya sebelum menoleh, dan ...Glek!Seketika aku menelan saliva kelat, saat melihat tatapan tajamnya padaku. Membuat aku seperti seorang tersangka yang baru saja tercyduk maling ayam.Njir! Tatapannya tajem banget, sih? Bikin aku jadi deg-degan aja."Kenapa?" tanyanya datar sekali."Eh? Uhm … itu … anu … uhm …." Tiba-tiba aku malah gelagapan mendapatkan pertanyaan, yang sebenarnya jawabannya sangat mudah."Anu ... apa?" tanya pria itu lagi. Masih dengan wajah datarnya."Anu … uhm … itu … uhm … ma-makan dulu." Akhirnya, aku pun berhasil memberitahukan tujuanku, walaupun masih dengan grogi parah.Bagaimana tidak grogi. Kalau sekarang aku harus menganggap pria ini adalah suamiku. Padahal sebelumn
*Happy Reading*Flashback on (part 1)Aku hampir saja mengangguk pasrah jika saja tak mendapatkan tepukan di bahu dari Dokter Karina.Astaga!!Saking paniknya. Aku sampai lupa pada orang-orang yang mengantarku pulang. Dokter Karina dan Alan. Eh, tapi ... kenapa Alan masuk? Bukannya dia katanya mau langsung pergi?"Dok?" panggilku dengan suara parau akhirnya."Jangan menyerah, Mi. Jangan lakukan jika memang kamu gak mau melakukannya. Saya udah pernah bilang, kan? Jangan pernah menikah, hanya karena desakan orang lain atau desakan usia. Tapi menikahlah karena Allah.""Tapi ... Abah saya--""Ayo! Saya bantu jelasin sama Abah kamu," sela Dokter Karina lagi, seraya menyemangati dan meraih handle pintu."Tapi, Neng. Di dalam ada ...." Tiba-tiba Umi menyela dengan ragu-ragu."Ada apa, Umi?" Tak ayal, rasa penasaran pun hadir seketika di sana."Uhm ... itu ... itu ... di dalem, itu ... uhm ....""Di Da