Blurb Kenapa, sih, wanita kalau sudah di atas 30 tahun dan belum menikah, disebut perawan tua? Tidak laku? Dan berbagai titel lainnya. Tidak itu di kota atau pun desa. Selalu saja hal itu menjadi gunjingan para kawan, sanak saudara, juga para tetangga. Seakan status jomlo adalah aib besar yang sangat memalukan. Ada apa sebenarnya dengan sugesti orang-orang tentang status jomlo? Padahal jomlo itu kan tidak merugikan siapa pun. Mereka bukan virus, bukan pula kutukan. Jadi tidak perlu dipermasalahkan. Seperti halnya aku. Aku Hasmi Azzahra. Seorang perawat di sebuah rumah sakit, yang kini berusia 32 tahun dan aku seorang jomlo! Sebenarnya, bukan mauku masih menjomlo seperti ini di usiaku yang sudah tidak muda lagi. Pengalaman buruk tentang lelaki berengsek di masa lalulah yang membuat aku seperti ini. Bukan aku trauma. Aku hanya ingin lebih seleksi lagi dalam memilih pasangan, karena aku tidak ingin kecewa kembali. Untuk memilih pasangan, aku tidak mungkin asal tunjuk, dan asal pilih mumpung ada yang mau, iya, kan? Karena menikah itu perkara panjang yang punya banyak poin untuk dipikirkan dan dipertimbangkan. Pokoknya aku tidak mau sampai salah pilih lagi! Jadi … tolong dimengerti, ya? Jomlo itu bukan aib, kok. Meski aku tidak tahu sampai kapan harus menjomlo seperti ini? Aku hanya bisa menunggu jodohku datang saja. Sekalipun, sebenarnya ada seorang pria yang sering membuatku galau tingkat dewa. Tapi, sikap datarnya membuatku kesulitan menebak isi hatinya. Hatiku semriwing saat dia melirikku. Namun, tensi darahku pun selalu naik tiap kali berinteraksi dengannya. Dia sangat menyebalkan! Namun, juga selalu aku rindukan. Jadi, haruskah aku mengejarnya? Atau cari pria yang lain saja, yang bisa memberiku kepastian. Yang mana, yang harus aku pilih untuk mengakhiri kejomloan ini?
Lihat lebih banyakHari sudah lumayan larut saat aku terpaksa harus pergi ke minimarket terdekat, dikarenakan si bulan yang datang saat stok pembalut tinggal satu.
Entahlah. Aku tidak tahu, kenapa aku bisa seceroboh ini? Mungkin karena terlalu sibuk di rumah sakit, hingga aku kurang memperhatikan kebutuhanku sendiri.
Hari ini pun sebenarnya aku sudah sangat lelah dan ingin segera terlelap. Apalagi hujan juga sangat mendukung sekali agar tubuh ini segera masuk selimut dan menyambut mimpi.
Namun, sekali lagi karena tamu bulanan yang hadir tanpa kabar. Aku pun terpaksa menahan kantuk demi untuk membeli pembalut tanpa sayap.
Ingat! Tanpa sayap! Kalau pake sayap aku takut dibawa terbang!
Dugh!
"Aduh!"
Saat sedang mengecek kelengkapan belanjaanku sambil berjalan keluar minimarket. Tak sengaja, aku menabrak seseorang karena terus menunduk sedari tadi.
"Maaf ... maaf, saya--"
"Hasmi?"
Aku yang awalnya berniat minta maaf pun langsung menegang seketika. Saat mata ini akhirnya bersirobok dengan orang yang aku tabrak barusan.
"Benar! Kamu Hasmi, kan? Astaga! Kamu apa kabar?" Berbeda denganku yang menegang dengan degup jantung yang bertalu cepat, pria itu terlihat riang menyapa.
Riang? Tentu saja! Aku yakin pria ini pasti sangat bahagia sekali sekarang, karena bisa menemukanku lagi di sini.
"Wah! Sekarang kamu berhijab, ya? Sejak kapan?" Refleks, aku melangkah mundur saat pria itu menjulurkan tangan ke arah kepalaku. Sebisa mungkin menjaga jarak aman dari pria bajingan itu.
Jujur saja, aku sangat takut sekali melihatnya. Aku punya pengalaman buruk di masa lalu, dengan pria ini yang sekarang berstatus 'mantan pacar' dalam hidupku.
"Jangan dekat-dekat!" seruku akhirnya, melakukan penolakan.
"Kenapa? Padahal aku kangen loh sama kamu." Seperti menemukan mainan yang lama hilang, pria itu tersenyum riang sekali.
Hatiku pun semakin bergemuruh hebat melihat senyum itu. Senyum yang sangat kuhapal dalam benak, meski tidak ingin aku ingat-ingat lagi.
"Jangan main-main, Edo! Ini tempat ramai, dan gue bisa teriak biar lo dihajar warga."
"Ramai? yakin? Coba Kamu perhatiin lagi baik-baik sekitar kamu," jawab Edo. Sukses membuat kepalaku otomatis melihat sekeliling.
Sepi! Aku salah ternyata. Aku lupa ini sudah tengah malam, dan hari juga masih gerimis. Pastinya, orang akan memilih cepat pulang, dan merajut mimpi di suasana malam yang dingin seperti ini.
Lalu, sekarang aku harus bagaimana?
Apa yang harus aku lakukan untuk bisa lepas dari pria bajingan ini?
Grep!
"Akh!"
Sedang berpikir cara melarikan diri. Edo tiba-tiba mencengkram belakang hijabku, membuat aku berteriak Refleks karena rambutku pun itu terjambak oleh tangan besarnya.
"Edo! Lepasin!"
"Lepasin apa? Hijab sama baju ini? Okeh! Dengan senang hati, Sayang."
Meronta, memukul, mencakar, sudah aku lakukan demi bisa melepaskan diri dari Edo. Namun karena beda gender, aku pun tidak bisa melawan tenaga Edo.
Jalan terakhir yang bisa kulakukan adalah melemparkan belanjaanku ke arah wajahnya, lalu menginjak kakinya kuat-kuat saat pria itu sedikit lengah.
Kebetulan, aku tadi juga beli minuman penghilang sakit saat haid. Jadi rasanya pasti lumayan sekali saat benda itu menimpa kepala pria titisan iblis itu.
Kerasnya botol minuman tersebut dan injakan mautku. Berhasil memberiku celah untuk kabur. Mengambil jalan sembarang arah, aku pun berusaha lari sekuat yang aku bisa, agar tidak sampai mengulang kejadian di masa lalu.
"Bangsat! Mau ke mana lo?" Edo murka melihat kepergianku.
"Berhenti, Hasmi! Dasar wanita sialan!" Dia berseru seraya menyusulku.
Tentu saja tidak aku turuti titahnya barusan. Memangnya aku bodoh!
Aku ini tidak bodoh! Hanya buta, mungkin. Buktinya dulu aku sampai tidak bisa melihat sifat asli Edo, dibalik akting mumpuninya sebagai seorang kutu buku saat mendekatiku.
Hingga akhirnya aku pun harus berakhir di tempatnya dan hampir menjadi pemuas nafsu pria itu bersama teman-temannya. Mengingat hal itu, bulu romaku meremang kembali.
"Hasmi! Berenti gue bilang!" Edo masih berteriak sambil mengejarku.
Namun, apa aku peduli? Tidak! Alih-alih berhenti, aku malah semakin mempercepat laju kakiku agar bisa segera menghilang dari hadapannya.
"Hasmi!"
"Edo, udahlah! Kenapa sih lo gak nyerah aja sama gue? Gue udah gak minat sama lo!" Aku mencoba menyahut di sela langkah, meski sebenarnya itu membuatku semakin kelelahan.
"Gue juga sebenarnya gak minat sama lo!"
Tidak minat, tapi terus mengejar? Jujur aku gagal paham dengan kalimat Edo barusan.
"Lah, terus kenapa lo masih ngejar, gue?"
"Karena gue pengen liat gimana tampang merana lo, saat menghiba dibawah tubuh gue minta dipuasin!"
Sakit jiwa!
"Mampus aja lo, Edo!" Aku pun menyalak kesal, dalam laju langkah yang semakin membuatku tersiksa.
Napasku sudah tersengal dan kakiku terasa sudah hampir lepas dari engselnya. Aku sudah tidak kuat berlari. Namun berhenti sekarang pun bukan pilihan tepat.
Aku tidak mau jadi penghangat tempat tidur Edo!
Karena itulah aku terus memaksakan diri berlari sekuat yang aku bisa, hingga akhirnya abai pada kondisi jalan dan terjatuh.
"Nah, Kena!" Dengan cepat Edo menjambak cepolan rambutku lagi.
"Edo, please! Gue mohon, lepasin gue! Gue kan gak pernah jahat sama Lo. Kenapa lo jahat banget sama gue?" Akhirnya aku pun menghiba, mencoba mencari belas kasihan Edo.
Semoga saja dia masih punya. Meski sedikit, itu sangat berharga untukku saat ini.
"Gak jahat lo bilang? Heh! Lo lupa? Gara-gara elo gue sama temen-temen gue, babak belur malam itu ditangan Suami atasan lo itu!" bantah Edo menoyor kepalaku dengan tangannya yang bebas, seraya mengingatkan kejadian malam nahas, di mana aku hampir digilir olehnya dan teman-temannya.
Pak Arjuna yang di maksud Edo. Dulu, memang Pak Arjuna dan Dokter Karina lah yang menyelamatkan aku dari niat jahatnya.
"Itukan karena lo jahat! Lo--"
Plak!
Satu tamparan pun melayang cepat ke arah pipiku, saat aku mencoba membantah ucapannya. Rasa panas pun langsung menjalar di sana, mengantarkan nyeri yang mulai merambat.
"Gue gak jahat, Bego! Gue kan cuma mau bikin lo enak. Gak tahu terima kasih banget lo!" ucapnya kemudian tanpa dosa.
"Tapi gue--"
Plak!
Sekali lagi. Edo menamparku di tempat yang sama, saat aku mencoba buka suara. Kali ini bukan hanya panas dan perih yang terasa, tapi juga rasa amis, yang berasal dari sudut bibirku yang robek.
"Jangan banyak bacot! Gue gak suka dibantah."
Lalu aku harus apa? Menerima begitu saja semuanya dan pasrah dijadikan pemuas nafsu? Tentu saja tidak! Iya kan?
"Edo, gue mohon ... lepasin gue."
Hanya menangis tergugu, yang bisa aku lakukan. Berharap dengan itu Edo akan sedikit luluh dan mau melepaskan aku karena iba.
Namun bukan rasa iba yang aku dapatkan. Malah cengkraman kuat di kedua pipi yang membuat bekas tamparan Edo semakin sakit.
"Nanti gue lepasin. Setelah lo bikin junior gue dan temen-temen gue muntah berkali-kali."
Tuhan ... Tolong selamatkan aku.
"Udah, Diem lo! Bangun!" Edo lalu menjambakku rambutku makin kuat, demi memaksaku segera berdiri.
Setelah itu, Edo pun menyeretku paksa mengikuti langkah kakinya yang cepat. Namun aku tak serta merta menurut. Sepanjang perjalanan aku terus menghiba, dan meronta minta dilepaskan.
Namun Edo menulikan telinga, terus menyeret aku tanpa perasaan. Aku sampai terseok-seok mengikuti langkahnya.
Cengkraman Edo yang sudah beralih ke atas lengan atasku pun sangat kuat, rasanya tulangku hampir patah karenanya.
Sakit. Sakit sekali. Entah mana yang lebih sakit. Tubuhku atau kenyataan jika aku mungkin tidak akan bisa lepas dari Edo kali ini. Siapa yang harus kumintai tolong?
"Edo--"
"Ck, lo bisa diem gak, sih? Atau mau, gue pake di sini?!" Dia akhirnya mengeluarkan ancamannya.
"Tapi gue gak mau, Edo! Gue gak sudi harus ngelayanin lo!"
"Nanti juga lo mau, minta nambah malah. Gue jamin hal itu!"
Pria ini memang gila. Aku yakin itu. Lalu aku harus bagaimana menghadapinya? Adakah yang mau menolongku? Adakah yang ....
Alan!
Entah ini sebuah keajaiban atau hanya kebetulan semata. Saat Edo masih sibuk menyeretku mengikuti langkahnya. Mataku tak sengaja melihat Alan keluar dari tenda pecel lele sebrang jalan, sambil memasukan dompet ke saku belakangnya.
Tentu saja, Hal itu tak aku sia-siakan begitu saja. Sekuat mungkin menahan tarikan Edo di tanganku, aku pun segera berteriak memanggil manusia beton itu.
"Aa!"
Sayangnya, panggilanku terhalang mobil yang tiba-tiba lewat dengan kencang. Sialan!
"A--hmmfftt!"
Baru saja aku ingin berteriak kembali. Edo sudah lebih cepat membungkam mulutku, membuat teriakanku tertelan kembali kedalam tenggorokan.
"Jangan macam-macam lo Hasmi! Gue bisa nekad kalau lo berani minta bantuan," desis Edo di sebelah telingaku.
Persetan dengan peringatan itu. Aku tidak perduli. Bagiku ini adalah kesempantan emas. Pertolongan Tuhan yang tidak boleh disia-siakan.
Aku pun membuka mulut dengan lebar, dan mengigit tangan Edo keras-keras hingga pria itu melolong kesakitan. Setelahnya, aku mendorongnya hingga tersungkur, lalu berlari ke arah Alan.
"Aa?!"
Ttiiiinnn ....
Bertepatan dengan itu. Sebuah kelakson panjang terdengar memekakan telinga, disertai sinar yang yang sangat menyilaukan ke arahku.
Aakkhhh ....
"Aduh! Terus kumaha iye? Mana si Bapak udah pergi? Saya telepon Bapak lagi aja, gimana? Pasti belum jauh, kan?" Asisten yang bernama Mbok Minah itu pun seketika panik. "Jangan, Mbok. Jangan ganggu Bapak," larang Hasmi yang kini berusaha mengatur napasnya, demi meredakan sakit yang semakin mendera perut bawahnya. "Ya, terus. Ini gimana, Bu? Saya harus apa?" Meski agak heran dengan permintaan sang nyonya. Mbok Minah pun kembali bertanya. "Suruh Pak Komang siapin mobil. Terus, tolong ambilin tas bayi di kamar yang sudah saya siapin. Mbok nanti temenin saya ke Rumah sakit, mau, ya?" pinta Hasmi setelah memberi titah pad sang asisten. "Iya, iya, Bu. Nanti saya temani. Kalau gitu, ibu tunggu bentar, ya? Saya nyari si Komang dulu." Mbok Minah pun pamit, mencari sopir yang sengaja Alan pekerjakan untuk mengantar-antar Hasmi jika ingin bepergian sendiri. Sementara Mbok Minah melaksanakan titah Sang nyonya. Hasmi sendiri kini tengah sibuk mera
Ektra part 5*Happy Reading*Hasmi mendesah berat, saat terbangun dari tidur malamnya tapi tidak menemukan Alan di sisi tempat tidur. Melirik jam di atas nakas sejenak, yang menunjukan pukul dua pagi. Hasmi pun memutuskan turun dari tempat tidur, dan menghampiri suaminya itu. Ruang kerja menjadi tujuan Hasmi. Karena setelah makan malam, Alan memang pamit meneruskan pekerjaan yang belum sempat dia selesaikan di kantor. Sementara Hasmi, memilih langsung tidur setelah sholat isya.Kehamilan yang sudah semakin besar membuatnya mudah lelah. Itulah kenapa, Hasmi jadi sering mengantuk dan mageran. Ditambah lagi, sekarang ada beberapa asisten rumah tangga di rumahnya. Makin-makin saja kemagerannya itu. Hasmi kembali menghela napas panjang, saat menemukan kebenaran atas dugaannya. Di sana, di dalam ruang kerjanya. Alan tengah menatap layar laptopnya dengan tampang serius sekali. Membuatnya terlihat bersahaja dan tampan sekali. Ah, mema
Ekstra part 4"Sudahlah, Alan. Biar aku saja yang jadi mengajak istrimu berkeliling. Aku janji tidak akan membuat istrimu lecet. Jadi, kau tidak harus menyusahkan diri sendiri seperti itu."Alan langsung mendengkus kesal, saat lagi-lagi Frans mengejeknya ketika jatuh dari motor.Ya. Demi Hasmi. Alan akhirnya memutuskan belajar motor kembali, agar bisa memenuhi ngidam sang istri. Meminta bantuan pada Frans yang memang lihai dalam hal kendaraan beroda dua itu. Awalnya Alan ingin minta di ajarkan lagi dalam mengendarai motor. Siapa sangka? Ternyata pria itu malah terus mengejeknya sepanjang latihan."Terima kasih, Frans. Aku masih bisa menuruti ngidam istriku seorang diri. Kau diam menyimak saja," balas Alan kemudian. Tidak akan pernah mengijinkan Frans berdekatan dengan istrinya lagi. Apalagi, setelah tahu perasaan pria itu pada sang istri. Alan tidak ingin memberi celah sedikitpun untuk sebuah perselingkuhan. Ah, ya! Satu rahasia ya
*Happy Reading*Entah sudah jadi sugesti atau memang kebetulan saja. Sejak mengetahui jika sudah berbadan dua, tubuh Hasmi pun mulai merasakan kodisi yang biasa ibu hamil rasakan. Mual-mual dan lain macamnya. Namun, yang paling membuat Hasmi kewalahan adalah muntah-muntah yang di alaminya. Karena hal itu bukan cuma saat pagi hari saja, tetapi bisa seharian full dan membuatnya tidak bisa berjauhan dari kamar mandi. Selain muntah yang berlebihan, Hasmi juga tidak berselera makan sejak hamil. Semakin dia makan, semakin sering dia muntah. Terutama dengan makanan pokok negara kita, yaitu nasi. Jangankan memakannya, mendengar namanya saja dia sudah mual. Dengan kondisinya yang seperti itu, sudah bisa dipastikan. Hanya dalam hitungan hari saja, Hasmi pun drop. Mengharuskannya bedrest total dan mendapat asupan makanan dari selang infus.Sebagai seorang suami, Alan pun dirundung kesedihan melihat kondisi Hasmi. Seandainya saja dia bisa menggant
*Happy Reading*"Nah, udah kelar! Lo? Udah kelar juga, gak?" Hasmi melirik Mira, menanyakan pekerjaan gadis itu. "Bereslah! Miwra gitchu, loh!""Najis! So imut bet lo!" Hasmi misuh-misuh kesal melihat tingkah Mira. "Emang imoet kakak ...." sahut Mira sengaja mengedip-ngedipkan mata seperti orang cacingan. Ingin menggoda Hasmi"Semerdeka lo aja dah, Mir. Males debat gue." Hasmi mengalah. "Dahlah, yuk sholat dulu. Udah masuk waktunya, kan?" Hasmi memilih mengalihkan obrolan pada yang lebih berfaedah. "Udah, sih. Tapi lo duluan aja.""Lah, Ngapa? Lagi males atau ngerasa udah banyak pahala?" sindir Hasmi."Bukan, gela! Gue lagi dateng bulan."Owh ... pantas saja. Soalnya setahu Hasmi, meski si Mira ini bar-bar dan adminnya lambe jemblehnya rumah sakit ini. Tetapi perkara sholat, gak pernah ketinggalan. Bahkan bisa dikatakan jempolan, soalnya gak nunda-nunda waktu. "Oh gitu ...." Hasmi menganggu
*Happy Reading*(Author pov)Hari ini sabtu dan Alan sedang libur. Pria itu sengaja tidur lagi sehabis sholat subuh, karena memang tak punya rencana apapun hari ini. Hanya bersantai ria dengan istri tercinta yang pastinya sedang sibuk membersihkan rumah.Jangan salah kira. Alan bukannya mau menjadikan istrinya itu sebagai pembantu di rumahnya sendiri. Hanya saja, Hasmi memang suka bebenah orangnya, dan tidak ingin memiliki pembantu dulu."Nanti saja punya pembantunya, A. Sekarang Hasmi belum butuh. Lagian, di rumah ini juga hanya kita berdua. Hasmi masih bisa mengurus semuanya sendirian."Itu katanya, saat Alan tawarkan seorang pembantu untuk membantunya mengurus rumah mereka. Meski sudah dibujuk bagaimana pun. Jawaban wanita itu tetap sama. Belum butuh. Begitu saja terus. Sampai Alan menyerah dalam membujuk wanitanya. Karena tak ingin malah jadi ribut nantinya. Kadang, istrinya itu memang sangat keras kepala. Makanya Alan memilih me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen