*Happy Reading*
"APA YANG KAMU LAKUKAN PADA ANAK SAYA ALAN?! SAYA BUNUH KAMU KALAU TERJADI SESUATU SAMA ANAK SAYA?!"
Alan langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Saat baru saja akan menyapa si penelepon, namun sudah di sambut seruan lantang penuh emosi. Membuatku cukup terkejut mendengarnya.
"Maaf. Tapi apa maksud Bapak? Saya tidak mengerti," balas Alan akhirnya. Menempelkan kembali ponselnya di telinga.
Pria di depanku ini terdiam beberapa saat, menyimak dengan seksama ucapan orang di seberang sana. Keningnya tiba-tiba berlipat dalam.
"Maaf, Pak. Tapi saya benar-benar tidak mengerti maksud Bapak. Memanfaatkan? Membuang? Saya tidak pernah merasa melakukan itu." Alan kembali membuka suara lagi.
Pria di hadapanku ini kembali terdiam menyimak. Dengan kening berkerut makin dalam. Alan lalu mendesah panjang dan berat, kemudian memijat keningnya beberapa kali.
"Saya turut prihatin dengan apa yang menimpa anak bapak. Tapi sek
*Happy Reading*Flashback onHari ini,adalah hari ulang tahun pacarku yang ke 27. Namanya Dimas dan dia adalah Dokter umum di kampungku.Sebenarnya aku udah sengaja ambil cuti beberapa hari buat merayakan ultah Dimas hari ini. Tetapi karena aku ingin memberikan kejutan padanya, semalam aku menelponnya jam 12.01 malam untuk mengucapkan selamat ulang tahun, dan pura-pura meminta maaf karena tahun ini tidak bisa pulang untuk menemaninya merayakan hari jadinya itu.Aku ini memberikan surprise gitu ceritanya, gengs. Seperti di tivi-tivi.Biar romantis aku bakalan datang tiba-tiba di depan kontrakannya, dan memberikan kejutan juga hadiah yang sangat dia idamkan selama ini.Sebuah henpon terbaru yang sangat dia idam-idamkan.Terus acara selanjutnya. Nanti aku bakalan ajak dia makan malam berdua dan ya ... pokoknya bakal menghabiskan waktu sama-sama. Apa aja? Yang penting kami bakal pacaran sampe puas.Sekaligus melepaskan rindu, yang su
*Happy Reading*Sebenarnya, saat mendengar nama itu dari umi tadi. Aku ingin sekali mengajukan seribu alasan untuk menolaknya. Bagaimana pun, rasa sakit itu masih kerap kali terasa kala aku mengingat mereka berdua.Nah, jika dengan mengingat mereka saja hatiku udah nyeri. Kalian bisa bayangin kan, gimana sakitnya kalau aku bertemu langsung dengan dua penghianat itu?Sakitnya sampe pengen nyakar kedua wajah mereka!!Tidak, aku bukannya belum bisa move on atau apa? Aku udah bisa move on kok, setelah kejadian itu. Serius, deh! Buktinya sejak kejadian itu, aku sempet menjalin hubungan dengan beberapa pria. Ya ... walaupun tidak ada yang berhasil satu pun. Akan tetapi, yang penting aku nggak trauma sama laki-laki, kan?Hanya saja, entah kenapa hatiku masih saja sakit, jika ingatan itu tak sengaja melintas di kepalaku. Rasanya nyesek gitu. Apalagi yang aku rasakan langsung doubel penghianatan. Dari cinta pertama, plus sahabatku. Jadi, ya ... kalian ngert
*Happy Reading*"Oh ya? Wah, selamat ya, Rin."Alih-alih sakit hati. Aku lebih suka mengikuti permainan Rina saja yang benar-benar keliatan ingin membandingkan aku dengan kakak perempuannya itu.Akan tetapi gak papa, katanya doa itu berbalik, kan? Makanya, aku sih doa yang baik-baik saja buat mereka, biar nanti baliknya baik juga sama aku."Makasih ya, Mi. Alhamdulilah rezeki si jabang bayi kayaknya," jawab Ririn, polos-polos ngeselin gimaaa gitu. Sambil mengusap perutnya yang sebenarnya masih rata, dan menggandeng tangan suaminya yang dari tadi hanya diam.Oh, dia hamil lagi."Wah, doubel selamat dong, ya? Moga sehat-sehat selalu ya, ibu sama debaynya sampai harinya." Doaku setulus mungkin.Tenang pemirsah, aku gak sejahat itu kok, sampai doain dia keguguran. Karena, seperti yang aku bilang tadi, doa itu berbalik. Jadi, siapa tahu abis ini aku yang isi, yee kan?Eh, iya lupa belum toel Alan. Gak papa. Nanti aku toe
*Happy Reading*"Nanti saya delivery order buat situ," jawabku akhirnya dengan sinis.Tamu kok ya ngerepotin."Emang di sini bisa delivery juga? Bukannya ini kampung terpencil?"Allahhu robbi, nih orang gak ngerti sindiran apa gimana, sih?"Tentu aja bisa. Tapi mungkin datangnya dua tahun kemudian," jawabku lagi, yang sukses membuat Gito meradang."Kamu--""Gito cukup!! Kita ini lagi ngelayat. Bukan lagi me time di cofee shop. Jadi berhenti merengek." Dimas memotong omongan Gito dengan pedas. Membuat Gito kembali mendengus kesal.Mamam tuh!!Lalu tak lama kemudian. Teh Laras pun datang, dengan salep luka bakar yang kumaksudkan tadi, dan sebelum Dimas meraih salep itu. Aku lebih dulu mengambilnya, kemudian langsung mengoleskannya pada Umi dengan perlahan. Agar tidak menyakiti kulit tangan Umi yang benar-benar merah akibat ulah si Gito-Gito itu.Bangsul emang tuh cowok! Pepes juga dah nih lama-lama, sama cabe sekilo
*Happy Reading*"Pak Alan?! Astaga! Apa kabar, Pak? Gak nyangka saya bisa ketemu Bapak di sini."Gito tiba-tiba menyeruak ke hadapan Alan, yang baru saja ingin melangkah ke rumah. Kemudian langsung menjabat tangan Alan dengan hormat dan buru-buru. Mirip orang yang sedang cari muka.Jujur, aku masih bingung dengan keadaan ini. Karenanya, lebih baik aku menyimak saja apa yang akan terjadi selanjutnya."Kamu siapa?" tanya Alan datar, ternyata tidak mengenal Gito sama sekali.Alan melihat Gito dengan bingung, sebelum melirik aku dan menaikan alis satu tanda minta clue soal Gito. Tetapi karena aku juga gak tahu, ya sudah kujawab saja dengan bahu terangkat."Saya salah satu karyawan Bapak di Jakarta." Gito mengenalkan diri dengan sopan."Karyawan saya? Baru?" Alan memastikan."Betul, Pak. Saya Karyawan baru di firma hukum Bapak." Gito masih menjawab dengan senyum ala bintang iklan pasta gigi."Oh
*Happy Reading*"Uhm ... Mi, boleh kita bicara?"Aku baru saja melepas pelukan Ibunya Dimas, yang tidak berhenti menangis saat kuantar ke mobil. Saat Dimas tiba-tiba menghampiri, mengabaikan tatapan kesal dan tajam istrinya.Mau apa lagi pria ini?"Sebentar. Aa?" Aku pun lalu memanggil Alan, yang baru saja membantu Gito menaikan Mertua dan istrinya yang pingsan ke dalam Mobil yang berada di sebelah mobil Dimas. Mereka memang menggunakan dua mobil berbeda."Ya?""Sini, deh." Aku melambai, meminta Alan menghampiriku. Pria itu pun menurut."Kenapa?" tanya Alan saat sudah di dekatku."Aa ada waktu? Katanya Pak Dimas ini ingin bicara sama kita." Dengan sengaja, aku menggandeng lengan Alan dengan mesra."Eh, bukan. Maksud Kakak. Kita berdua aja, Mi. Tidak dengan suami kamu. Soalnya, Kakak ada--""Kalau gitu maaf. Saya tidak bisa!" putusku tegas, tanpa menunggu Dimas melanjutkan kalima
*Happy Reading*"Teh?""Hm ....""Nanti bintitan, loh, ngintipin orang kayak gitu!"Ck! Aku langsung berdecak kesal, lalu mendelik galak pada Putra yang baru saja menyindirku. Resek!Padahal, bukan mauku ngintipin orang begini. Akan tetapi, siapa suruh Alan tidak mengajakku turut serta saat bicara dengan mamanya? Kan, aku kepo!"Kajen, ih! Yang bintitan Teteh ini nanti, bukan kamu. Udah kamu mah fokus aja tuh bantuin di Asep belajar. Gak usah ngurusin Teteh. Teteh kan udah kurus!" sahutku kesal, yang malah di tanggapi bahu terangkat oleh Putra."Padahal kalau kepo mah ya tinggal samperin aja, terus duduk di sisi Aa Alan. Aa Alan juga gak akan marah. Ngapain sih nyusahin diri sendiri kayak gitu. Lagian, emang kedengeran nguping di jarak segini?"Si Putra tuh emang ngeselin! Sukanya nyahut aja kalau di kasih tahu. Belum pernah ngerasain gaplokan maut sendalku kayaknya. Atau, ciuman sama pantat panci Umi yang udah keling kek
*Happy Reading*Aku baru saja hendak mengambil wudhu untuk sholat malam, saat tak sengaja melihat pintu dapur yang tidak dikunci selot. Kukira, Umi atau yang lainnya lupa mengecek pintu ini semalam. Ternyata setelah aku cek, pintunya juga tidak tertutup rapat.Ceroboh sekali. Kalau sampai ada maling, gimana? Meski kampungku terbilang cukup aman dari curanmor, tetap saja. Waspada itu perlu, iya kan?"Kalakuan si Putra pasti iye, mah. Kaasyikan main Ps mangkana--Dumelanku pun sontak terhenti, kala baru saja ingin merapatkan pintu itu, ekor mataku tak sengaja menangkap bayangan Alan yang sedang duduk sendirian di bale-bale bawah pohon belakang Rumah, tempat dulu aku ngerujak sama Dokter Karina.Lah? Lagi ngapain dia? Ngelamun? Sendirian? Tengah malam gini? Kek anak perawan nunggu jodoh aja, deh.Melihat hal itu, aku pun menunda niatku untuk sholat, dan malah melanjutkan langkah ke arah Alan yang sepertinya tengah asik dengan lamunannya,