*Happy Reading*
"Nanti saya delivery order buat situ," jawabku akhirnya dengan sinis.
Tamu kok ya ngerepotin.
"Emang di sini bisa delivery juga? Bukannya ini kampung terpencil?"
Allahhu robbi, nih orang gak ngerti sindiran apa gimana, sih?
"Tentu aja bisa. Tapi mungkin datangnya dua tahun kemudian," jawabku lagi, yang sukses membuat Gito meradang.
"Kamu--"
"Gito cukup!! Kita ini lagi ngelayat. Bukan lagi me time di cofee shop. Jadi berhenti merengek." Dimas memotong omongan Gito dengan pedas. Membuat Gito kembali mendengus kesal.
Mamam tuh!!
Lalu tak lama kemudian. Teh Laras pun datang, dengan salep luka bakar yang kumaksudkan tadi, dan sebelum Dimas meraih salep itu. Aku lebih dulu mengambilnya, kemudian langsung mengoleskannya pada Umi dengan perlahan. Agar tidak menyakiti kulit tangan Umi yang benar-benar merah akibat ulah si Gito-Gito itu.
Bangsul emang tuh cowok! Pepes juga dah nih lama-lama, sama cabe sekilo
*Happy Reading*"Pak Alan?! Astaga! Apa kabar, Pak? Gak nyangka saya bisa ketemu Bapak di sini."Gito tiba-tiba menyeruak ke hadapan Alan, yang baru saja ingin melangkah ke rumah. Kemudian langsung menjabat tangan Alan dengan hormat dan buru-buru. Mirip orang yang sedang cari muka.Jujur, aku masih bingung dengan keadaan ini. Karenanya, lebih baik aku menyimak saja apa yang akan terjadi selanjutnya."Kamu siapa?" tanya Alan datar, ternyata tidak mengenal Gito sama sekali.Alan melihat Gito dengan bingung, sebelum melirik aku dan menaikan alis satu tanda minta clue soal Gito. Tetapi karena aku juga gak tahu, ya sudah kujawab saja dengan bahu terangkat."Saya salah satu karyawan Bapak di Jakarta." Gito mengenalkan diri dengan sopan."Karyawan saya? Baru?" Alan memastikan."Betul, Pak. Saya Karyawan baru di firma hukum Bapak." Gito masih menjawab dengan senyum ala bintang iklan pasta gigi."Oh
*Happy Reading*"Uhm ... Mi, boleh kita bicara?"Aku baru saja melepas pelukan Ibunya Dimas, yang tidak berhenti menangis saat kuantar ke mobil. Saat Dimas tiba-tiba menghampiri, mengabaikan tatapan kesal dan tajam istrinya.Mau apa lagi pria ini?"Sebentar. Aa?" Aku pun lalu memanggil Alan, yang baru saja membantu Gito menaikan Mertua dan istrinya yang pingsan ke dalam Mobil yang berada di sebelah mobil Dimas. Mereka memang menggunakan dua mobil berbeda."Ya?""Sini, deh." Aku melambai, meminta Alan menghampiriku. Pria itu pun menurut."Kenapa?" tanya Alan saat sudah di dekatku."Aa ada waktu? Katanya Pak Dimas ini ingin bicara sama kita." Dengan sengaja, aku menggandeng lengan Alan dengan mesra."Eh, bukan. Maksud Kakak. Kita berdua aja, Mi. Tidak dengan suami kamu. Soalnya, Kakak ada--""Kalau gitu maaf. Saya tidak bisa!" putusku tegas, tanpa menunggu Dimas melanjutkan kalima
*Happy Reading*"Teh?""Hm ....""Nanti bintitan, loh, ngintipin orang kayak gitu!"Ck! Aku langsung berdecak kesal, lalu mendelik galak pada Putra yang baru saja menyindirku. Resek!Padahal, bukan mauku ngintipin orang begini. Akan tetapi, siapa suruh Alan tidak mengajakku turut serta saat bicara dengan mamanya? Kan, aku kepo!"Kajen, ih! Yang bintitan Teteh ini nanti, bukan kamu. Udah kamu mah fokus aja tuh bantuin di Asep belajar. Gak usah ngurusin Teteh. Teteh kan udah kurus!" sahutku kesal, yang malah di tanggapi bahu terangkat oleh Putra."Padahal kalau kepo mah ya tinggal samperin aja, terus duduk di sisi Aa Alan. Aa Alan juga gak akan marah. Ngapain sih nyusahin diri sendiri kayak gitu. Lagian, emang kedengeran nguping di jarak segini?"Si Putra tuh emang ngeselin! Sukanya nyahut aja kalau di kasih tahu. Belum pernah ngerasain gaplokan maut sendalku kayaknya. Atau, ciuman sama pantat panci Umi yang udah keling kek
*Happy Reading*Aku baru saja hendak mengambil wudhu untuk sholat malam, saat tak sengaja melihat pintu dapur yang tidak dikunci selot. Kukira, Umi atau yang lainnya lupa mengecek pintu ini semalam. Ternyata setelah aku cek, pintunya juga tidak tertutup rapat.Ceroboh sekali. Kalau sampai ada maling, gimana? Meski kampungku terbilang cukup aman dari curanmor, tetap saja. Waspada itu perlu, iya kan?"Kalakuan si Putra pasti iye, mah. Kaasyikan main Ps mangkana--Dumelanku pun sontak terhenti, kala baru saja ingin merapatkan pintu itu, ekor mataku tak sengaja menangkap bayangan Alan yang sedang duduk sendirian di bale-bale bawah pohon belakang Rumah, tempat dulu aku ngerujak sama Dokter Karina.Lah? Lagi ngapain dia? Ngelamun? Sendirian? Tengah malam gini? Kek anak perawan nunggu jodoh aja, deh.Melihat hal itu, aku pun menunda niatku untuk sholat, dan malah melanjutkan langkah ke arah Alan yang sepertinya tengah asik dengan lamunannya,
*Happy Reading*Aku tidak munafik. Aku ini bukan wanita suci. Maksudku, sebelum hijrah dan memakai hijab seperti sekarang. Dulu aku seperti remaja pada umumnya.Pacaran, pegangan tangan, cium pipi dan cium bibir sedikit mah, aku pernah melakukannya. Yah ... namanya juga ABG, ya kan?Intinya, meski bukan pemain pro dalam pacaran. Aku sudah tidak asing dengan yang namanya skinship dan ciuman. Bagiku, asal tidak sampai melewati batas. Tidak masalah.Nah, seharusnya dengan semua itu, aku sudah tidak kaget lagi dengan aksi Alan semalam. Dan bisa bersikap tenang membalas ciumannya. Namun, yang terjadi adalah, Alan benar-benar membuat aku gila.He is a good kisser!Dia ... apa, ya? Aku bingung jelasinnya sama kalian. Pokoknya, dia benar-benar luar biasa. Nah, coba itu bayangkan. Baru bibir aja udah bikin aku hampir gila, apalagi kalau naik tingkat coba. Bisa-bisa aku--"Hasmi?!""Eh, iya Umi?" Seketika aku langsung g
*Happy Reading*"Saya pegang ucapan kamu barusan, Mi. Kebetulan, panthouse hadiah dari Pak Arjuna dan Dokter Karina, sudah siap kita tempati hari ini. Dan ... tentunya tidak akan ada yang bisa mengganggu kita di sana."Waduh!Wajahku auto merona mendengar ucapan Alan barusan. Dengan hati yang kebat-kebit saat sebuah bayangan nakal melintas di kepalaku.Aduh ... aduh ... padahal aku cuma becanda loh, nantangin dia. Tapi kayaknya Alan sangat serius menanggapinya. Lalu, aku harus bagaimana sekarang? Haruskah aku pesan lingerie satu kodi untuk persiapan? Atau ... ah, kayaknya gak usah. Sarungan aja udah biar cepet kalau pengen.Astaga! Mikir apa aku barusan?"Siap dah, Pak Bos! Mau sekalian tujuh musim pun, Hasmi ikhlas, kok. Tapi ... dengan satu syarat lagi." Aku mengikuti permainan Alan."Apa?""Bilang cinta dulu sama Hasmi. Sekarang juga!"Wajah Alan tiba-tiba berubah. Seakan apa yang aku ucapkan barusan adalah voni
*Happy Reading*Author povAlan berusaha berlari sekuat mungkin mengejar para pengendara motor itu. Meski kakinya terasa mulai kebas karena terus di paksakan berlari, namun Alan tidak ingin berhenti sama sekali.Hatinya merepih dan takut diwaktu yang sama, saat melihat istrinya terseret mengenaskan di depan matanya sendiri.Sialan!Siapa mereka? Berani-beraninya mencari masalah dengan Alan!Namun, siapa pun mereka, Alan pastikan akan membuat mereka menyesal karena berani mencari ribut dengannya.Alan lalu mengerahkan usaha terakhirnya. Menambah lagi laju larinya, hingga akhirnya berhasil meraih besi bagasi motor tersebut. Alan mencoba menahan laju motor itu sekuat tenaga. Meski tangannya manjadi sakit, bahkan hampir ikut terseret. Alan tidak menyerah dan terus menahan motor itu sekuat yang dia bisa. Alan lalu dengan sengaja mencoba menggulingkan motor itu, agar oleng dan terjatuh.Dia berhasil!Motor itu benar-
*Happy Reading*Dimas benar. Cidera Hasmi memang serius. Selain benturan keras di kepala yang mengkhawatirkan. Sebelah tulang wajahnya retak, hidungnya pun patah. Serta memar pada seluruh tubuh akibat aksi terseret itu.Hasmi memerlukan pengobatan intensif ditangan tenaga medis yang mumpuni. Itulah kenapa, seperti rujukan Dimas pula, Alan langsung meminta Hasmi di pindahkan ke Rumah Sakit Setiawan Healthy.Beruntung baik Hasmi atau pun Alan memiliki akses spesial ke rumah sakit tersebut. Hingga saat Alan menghubungi Dokter Karina dan memberitahukan apa yang terjadi, istri bosnya itu langsung mengirim helipad untuk menjemput Hasmi."Alan, Umi, Putra?" Bahkan, Dokter Karina sendiri yang langsung menyambut mereka saat mendarat di atap gedung.Ya, Alan memang membawa turut serta Umi yang tidak mau berjauhan dari Hasmi. Dan Putra, ditugaskan A' Jaka untuk menemani Umi."Jangan khawatir. Kami akan melakukan yang terbaik unt