Share

Bab 2

Seperti biasa hari ini, aku berjualan nasi uduk. Setiap pagi aku bangun pukul 2 pagi. Lalu pergi ke pasar, belanja bahan masakan untuk dimasak, karena pada jam itu, harga jual masih murah karena biasanya yang pergi belanja adalah para pedagang juga. Menu di nasi uduk cukup banyak, ada kentang balado, tempe orek, oseng bihun, kerupuk, dan juga nasi uduk yang tebuat dari santan. Itu adalah menu yang kumasak setiap harinya.

Salima menagih jawabanku lewat aplikasi chat hijau, ia menanyakan kesanggupanku menjadi madunya, namun aku abaikan. Aku kembali menjalani rutinitasku sebagai penjual nasi uduk.

Setelah kepergian Mas Arkan, mau tidak mau aku harus mencari nafkah sendiri. Orang tuaku sudah tua, Ayah hanya bekerja sebagai guru honorer yang bahkan gajinya saja hanya dibayar satu bulan sekali sebesar delapan ratus ribu rupiah. Itu sangat tidak cukup. Namun, ia tetap mengabdi menjadi pengajar meskipun gajinya sangat memprihatinkan. Saat menikah dengan Mas Arkan, beliau yang membantu perekonomian keluargaku. Mas Arkan memberi nafkah juga pada orang tuaku. Itulah salah satu hal yang membuatku semakin mencintainya.

Ah, Mas Arkan ... Aku merindukanmu sungguh. Sebelum mulai berjualan, aku sempatkan untuk shalat tahajud, memohon pada Rabb Semesta Alam agar menghadiahi surga untuk Mas Arkan, dan juga memohon petunjuk atas permasalahan yang sedang kuhadapi.

Ibu membantuku memasak dan berjualan. Sekarang, aku hanya tinggal dengan Ayah dan Ibu saja. Bagian warisanku dari Mas Arkan adalah motor yang kupakai untuk pergi ke pasar. Sedangkan sisanya, untuk keluarganya karena memang aku tidak punya anak dari Mas Arkan. Aku tidak menuntut apapun karena memang bukan warisan yang aku harapkan, tapi jiwanya. Separuh jiwaku seperti hilang saat dia dimakamkan. Beruntungnya aku, masih memiliki Ayah dan Ibu yang selalu mendukungku setiap saat, menguatkan dan menyadarkanku bahwa bukan hanya Mas Arkan yang menyayangiku, tapi mereka juga.

Aku hanya punya satu kakak laki-laki, Mas Bram namanya. Mas Bram sudah menikah dan punya satu anak. Mereka tinggal di luar kota.

"Nak, ini kerupuknya sudah selesai digoreng, tolong bawakan wadahnya kesini," ujar Ibu yang membuyarkan lamunanku tentang Mas Arkan. Aku segera mengambil wadah kerupuk dan menyerahkannya pada Ibu. Lalu membawa piring berisi aneka menu untuk ditata di meja depan.

Aku berjualan di depan rumah, karena kebetulan rumah orang tuaku terletak di pinggir jalan desa. Banyak dilalui orang terutama yang hendak pergi kerja dan belum sempat sarapan. Ibu membantuku karena aku seringkali keteteran dan kesiangan. Alhamdulillah sudah tiga bulan berjualan dan sudah punya pelanggan tetap. Aku berjualan dari pukul 5 pagi, dan biasanya sudah habis saat pukul 10 pagi.

"Teh, beli dong 2 bungkus, sambelnya dipisah ya," ucap pembeli pertamaku. Aku yang belum selesai persiapan segera buru-buru dan mempersiapkannya.

"Oke, tunggu sebentar ya, baru buka banget ini. Duduk dulu ya," jawabku sambil menyiapkan pesanan.

Setelah itu, para pembeli lain mulai berdatangan, mulai dari anak sekolah, para buruh pabrik, petani, bahkan kuli bangunan pun sarapan disini. Alhamdulillah katanya nasi uduk buatanku enak dan harganya juga ramah di kantong. Sampai jam sembilan, daganganku ludes tak bersisa. Aku segera membereskan semua wadah dan bersiap untuk istirahat. Lelah sekali rasanya.

***

Tok tok tok

"Adinda, bangun nak," ucap Ibu dari luar pintu. Aku segera terbangun mendengar ketukan dari luar. Kemudian aku mengecek jam lewat ponsel, ternyata pukul 2 siang.

"Iya Bu, kenapa Bu? Dinda udah shalat dzuhur ko tadi," jawabku yang masih meringkuk di kasur. Biasanya Ibu membangunkanku untuk shalat.

"Ada tamu Nak, temui dulu. Pakai kerudungnya," ucap Ibu lagi.

Tamu? Perasaan aku tidak janjian dengan siapapun. Apakah keluarganya Mas Arkan yang datang kesini?

Aku segera bangun dan pakai kerudung. Kebetulan daster yang kukenakan ukurannya panjang dan menutup aurat, jadi tidak perlu berganti baju. Aku segera keluar hendak menemui tamu yang dimaksud Ibu.

Tak kusangka, mereka sekarang ada di ruang tamu rumahku. Orang yang sedang kuhindari, sedang duduk di ruang tamu bersama Ayah. Fahri dan istrinya, Salima.

"Dinda, sini kok malah bengong disitu? Temui dulu, katanya mereka temanmu saat SMA. Sini duduk," ajak ayah padaku. Ia menggeser duduknya agar aku bisa duduk di sebelah Ayah. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Fahri sedang menatapku, ketika aku balas menatapnya, ia langsung menunduk. Harus kuakui ada gelenyar aneh saat aku melihatnya. Bagaimanapun, Fahri dan aku pernah bersama meskipun itu hanya di masa lalu.

Ingin kabur rasanya melihat mereka karena aku sudah tahu apa niat mereka kesini. Namun, Ayah dan Ibu sepertinya senang dengan kehadiran mereka. Aku segera duduk di samping Ayah sambil menundukkan pandangan.

"Ini katanya mereka temanmu, kok malah diam gitu sih, biasanya juga cerewet," ucap Ayah dengan tatapan herannya.

"Yaudah, mungkin kalian canggung karena ada Ayah disini, Ayah tinggal dulu ke belakang kalau begitu ya, mau bantuin Ibu masak dulu, diminum dulu tehnya."

"Iya terima kasih Om," jawab Salima dengan sopan.

Ayah bangkit dari kursinya dan meninggalkan kami bertiga.

"Mau apa kalian kesini?" ucapku dengan nada setengah berbisik. Aku takut Ayah dan Ibu mendengar pembicaraan kami.

"Kami hanya ingin bersilaturahmi denganmu Din, masa tidak boleh?" jawab Salima. Dia tersenyum menatapku.

"Aku sudah tahu niat kalian, tolong jangan ganggu hidupku. Aku sudah cukup menderita setelah ditinggal Mas Arkan, jangan tambah lagi permasalahan kalian dalam hidupku," jawabku masih dengan nada rendah. Sepertinya bukan hal yang tepat membicarakan ini di rumah. Aku takut Ayah dan Ibu mendengarkan pembicaraan kami.

"Tolong jangan disini, aku tidak ingin Ayah dan Ibu terlibat lebih jauh dengan kalian."

Fahri hanya diam saja tak menimpali pembicaraan kami. Bahkan dia terlihat seperti orang yang kebingungan.

"Kami kesini dengan niat baik Dinda ... kami hanya ingin bersilaturahmi dengan Ayah dan Ibu. Apa itu salah?" tutur Salima masih dengan nada yang tenang.

"Ayo kita cari tempat aja kalo gitu, kalo di cafe gimana?" tanya Salima padaku.

"Baiklah, tunggu aku bersiap dulu sebentar," aku segera ke kamar dan berganti baju secepatnya, karena takut mereka menunggu lama. Aku menyiapkan mental dan bertekad untuk menolak permintaan Salima yang kemarin. Aku tidak ingin terlibat dengan rumah tangga mereka. Setelah berganti baju, aku menemui Salima dan Fahri yang masih duduk di ruang tamu.

"Loh, Dinda mau kemana? Kan lagi ada tamu masa ditinggal pergi?" tanya Ayah yang melihatku sudah berganti baju dan membawa tas kecil.

"Aku mau pergi sama mereka kok, mau ke cafe biar enak ngobrolnya," jawabku pada Ayah, "kita berangkat dulu," ucapku sambil berpamitan pada Ayah.

"Oh iya hati-hati ya, Nak," ucap Ayah sambil tersenyum. Fahri dan Salima juga ikut berpamitan dengan Ayah.

Kami lekas menaiki mobil yang dibawa Fahri. Aku duduk di belakang, sedangkan Salima duduk di samping Fahri.

"Apa kabarmu, Dinda?" tanya Fahri memecah keheningan diantara kami.

"A-aku baik Alhamdulillah," entah mengapa, tiba-tiba aku gugup. Tolonglah hati, jangan bergetar dengan apapun yang Fahri lakukan. Aku masih mencintai Mas Arkan, tidak boleh ada siapapun yang menggantikannya. Titik!

"Kamu sekarang berjualan, Din?" tanya Salima.

"Ya, aku jualan nasi uduk, dari ba'da subuh sampai habis, kalo tadi jam sembilan juga udah habis."

"Wah hebat kamu Din, laris ya dagangnya." Salima menatapku lewat kaca depan, entahlah aku merasa ada maksud lain dalam setiap tatapannya itu.

Setelah sampai di cafe kami segera memilih tempat duduk. Aku duduk di samping Salima yang berhadapan dengan suaminya.

"Sebelum memulai, baiknya kita pesan dulu, biar lebih enak ngobrolnya." Fahri menyerahkan buku menu pada Salima.

"Ayo pesan apa, Din?" tanya Salima padaku. Sungguh, aku sangat tidak nyaman disini, berada diantara mereka, berasa jadi orang ketiga.

"Aku pesan minum aja deh, ini milky strawberry," kataku sambil menunjuk salah satu menu.

"Kamu masih gak berubah dari dulu ya, masih suka sama milky strawberry," ucap Fahri tiba-tiba yang membuatku salah tingkah. Aku menoleh ke arah Salima, merasa bersalah. Aku tidak menanggapi ucapan Fahri. Sedangkan Salima, tatapannya berubah tajam pada suaminya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status