Share

Bab 3

"Gimana Din, kamu udah buat keputusan?" tanya Salima to the point begitu waiters telah pergi mengambil buku menu.

"Keputusanku masih sama seperti kemarin Sal, maaf banget." Aku menyatukan kedua tangan, memohon maaf pada Salima.

Salima terlihat menghela napas dan menatapku dengan tatapan kekecewaan.

"Tapi Din, tolong pikirkan sekali lagi, poligami itu diperbolehkan dalam agama, mungkin banyak manfaat juga dengan menikahnya kamu dengan Mas Fahri, kamu tidak perlu bersusah payah lagi berjualan. Ekonomi keluargamu akan terbantu, dan yang paling penting, kamu akan menyelamatkan pernikahan sahabatmu ini. Aku mohon, tolong kamu pikirkan dengan matang sebelum mengambil keputusan."

Salima menggenggam erat tanganku. Tatapannya penuh dengan permohonan.

"Fahri, tak bisakah kamu membatalkan perjanjian itu? Bukannya aku mau ikut campur, tapi kalianlah yang menyeretku dalam permasalahan kalian."

"Maaf Din, bukan maksudku membuatmu terlibat dalam masalah ini, aku sudah melakukan yang kubisa. Perjanjian itu sah di mata hukum dan itu dibuat berdasarkan keinginan dari Salima sendiri. Salima yang meyakinkanku untuk membuat perjanjian itu, dan kini, malah dia yang memohon-mohon padaku agar membatalkan perjanjian yang dia buat sendiri," Fahri mengusap wajahnya dengan kasar. Aku bisa melihat tatapannya sendu entah apa yang ia pikirkan.

"Aku hanya mengikuti permainan Salima, dia tidak ingin bercerai denganku padahal dia sendiri yang menandatangani surat itu. Aku sama sekali tidak ada niat poligami, aku berniat mendekatimu lagi ... nanti, setelah resmi bercerai dengan Salima." Fahri memelankan suaranya di kata terakhir.

"Aku tidak akan menerimamu jika sampai kamu menceraikan Salima, Fahri!"

Fahri terlihat terkejut mendengar perkataanku. Ia lalu menghela napasnya, dan melanjutkan pembicaraan.

"Tapi aku akan tetap menceraikan Salima sebagaimana rencana awal. Aku kesini karena menghargai permintaan Salima, dia bilang kamu bersedia untuk dipoligami," tutur Fahri yang membuatku terkejut dan menoleh ke arah Salima. Apa-apaan ini maksudnya? Sejak kapan aku setuju padahal dari kemarin aku sudah jelaskan bahwa menolak mentah-mentah keputusan ini.

Salima terlihat menutup wajah dengan tangan, entah menangis atau malu. Lalu, dia melepaskan tangannya, matanya terlihat memerah karena menangis, kemudian ia menatap Fahri.

"Maafkan aku, tidak bermaksud berbohong padamu Mas, kupikir Dinda akan menerima tawaranku." Entah darimana pikirannya itu, padahal sudah jelas sekali dari kemarin aku sudah menolak mentah-mentah tawaran konyolnya itu.

Waiters menghampiri meja kami, dia menghidangkan makanan dan minuman ke atas meja, memotong percakapan kami yang sempat memanas.

"Sekarang kita makan dulu, jangan ada yang berbicara saat makan, aku tidak mau selera makanku hilang," ucap Fahri sambil menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. Ternyata Salima memesankan juga nasi goreng spesial untukku, daripada mubazir aku makan juga. Kami makan dalam diam, hanya terdengar bunyi sendok dan garpu yang beradu suara dengan piring.

"Aku mohon maaf Din, ini masalahku dengan istriku. Tidak sepatutnya kami menyeretmu dalam masalah ini. Perlu aku luruskan bahwa aku sama sekali tidak berniat poligami. Aku hanya akan menceraikan Salima seperti perjanjian awal kami. Kamu tidak perlu lagi memikirkan apapun."

Apa? Jadi maksudnya, perkataan Salima yang kemarin adalah kebohongan? Aku semakin pusing saja!

"Jangan bohong kamu, Mas. Kemarin pas aku bilang Dinda mau dipoligami, kamu terlihat senang kan, Mas?"

"Itu karena kupikir Dinda setuju dengan saranmu itu. Ternyata tidak, jadi yasudah tinggal kita sepakati saja sesuai perjanjian awal. Tidak usah bawa-bawa Dinda untuk kepentingan pribadimu, Salima. Ayo pulang!" Fahri menarik tangan Salima agar segera bangkit dari kursi.

Salima terlihat enggan dan masih menatapku. Aku melengos menghindari tatapannya. Entah kenapa, aku jadi meragukan setiap perkataannya kemarin, apakah itu kebenaran ataukah kebohongan. Namun seperti yang Fahri katakan, ini adalah masalah mereka dan aku tidak berhak ikut campur sedikit pun.

"Ayo, Din. Aku antar pulang kamu dulu," Fahri menatapku, menanti jawaban.

"Aku masih ingin disini dulu, kalian duluan saja, aku bisa pulang naik ojek online."

"Kamu yakin? Aku bisa mengantarmu lebih dulu, kita searah." Fahri masih tetap pada pendiriannya, memaksaku.

"Aku masih mau disini."

"Baiklah, aku dan Salima duluan, kamu jangan pikirkan apapun, anggap saja tidak mendengar apapun dariku atau Salima. Aku benar-benar minta maaf Din, Assalamualaikum."

Salima hanya diam membisu, dia tidak lagi banyak bicara. Lalu mereka berdua menghilang dari pandanganku.

Tanpa sadar aku meneteskan air mata, aku merasa bersalah pada Mas Arkan, bahkan aku kesini karena membicarakan tentang poligami. Maafkan aku, Mas. Aku sungguh tidak berniat mengkhianatimu. Bahkan belum setahun sejak kepergian Mas Arkan, aku benar-benar merasa bersalah.

Kuputuskan untuk mengunjungi makam Mas Arkan. Hendak bercerita mengenai segalanya, kepada Mas Arkanlah aku bisa bebas bercerita tanpa beban. Jika dengan Ibu atau Ayah, aku tidak ingin mereka kepikiran dengan masalahku. Aku pun segera memesan ojek online.

Aku mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar pusara Mas Arkan. Membersihkan sampah plastik yang terbawa angin dan terkumpul di sekitar pusara Mas Arkan. Mengusap papan nisan yang tertulis namanya, Arkana Muhammad Ramdan. Nama yang indah dan akan selalu terkenang dalam hati ini.

Masih ku ingat, dulu aku terkejut dengan kedatangan Mas Arkan. Aku tidak tahu siapa dia, kupikir dia adalah teman Ayah. Aku tidak memedulikannya dan mengantarkan teh manis karena disuruh Ibu. Lalu, Ayah mengenalkan kami berdua. Dia pun tersenyum sambil mengenalkan diri. Postur tubuhnya tegap, rambutnya disisir rapi dan berkilau seperti memakai minyak rambut, hidungnya mancung, alisnya tebal, dan senyumnya ... yang kemudian mengalihkan duniaku.

Saat itu aku merasa sangat bersalah pada Fahri. Aku memang sedang berpacaran dengan Fahri, secara diam-diam. Karena Ayah dan Ibu tidak mengizinkan anaknya pacaran. Karena itulah, aku tidak pernah mengenalkan Fahri pada mereka.

Mas Arkan semakin sering berkunjung ke rumah. Dia selalu membawa buah tangan yang disambut Ibu dengan senyum terkembang. Dia memang pandai merebut hati Ibu dan Ayahku. Tanpa kusadari, hatiku pun mungkin telah berpihak padanya.

Suatu malam, Ayah mengajakku berbicara serius. Aku sudah menebak kemana arah pembicaraan ini. Sesuai dugaan, Ayah menyampaikan pesan bahwa Mas Arkan tertarik padaku dan ingin melamar jika aku bersedia. Aku bimbang, di satu sisi aku masih berstatus sebagai pacar Fahri, namun di sisi lain, aku pun menyukai Mas Arkan.

Aku meminta waktu untuk berpikir, mereka setuju dan memberikan waktu selama seminggu. Saat itulah, kuputuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Fahri. Fahri tidak terima dengan keputusanku. Namun, aku beralasan bahwa ini permintaan dari Ayah dan Ibu yang tidak bisa aku tolak karena ingin berbakti. Padahal sebenarnya, aku pun menginginkan itu. Akhirnya, Fahri terpaksa menerima. Dia menjauh dariku dan memblokir semua kontak dan media sosial. Sedangkan aku, menikah dan bahagia dengan Mas Arkan.

Lalu, beberapa tahun kemudian, aku mendapat undangan pernikahan Fahri dan Salima yang kemudian kuhadiri bersama dengan Mas Arkan. Aku tidak tahu, bahwa Fahri masih menyimpan rasa seperti dulu yang entah kenapa, membuatku merasa bersalah padanya.

Selama pernikahan, aku tidak lagi menghubungi Fahri dan menjadi istri Mas Arkan sepenuhnya. Dia benar-benar pemuda dewasa yang mampu membimbingku dengan benar. Aku sangat merindukanmu, Mas!

***l

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status