"Gimana Din, kamu udah buat keputusan?" tanya Salima to the point begitu waiters telah pergi mengambil buku menu.
"Keputusanku masih sama seperti kemarin Sal, maaf banget." Aku menyatukan kedua tangan, memohon maaf pada Salima.Salima terlihat menghela napas dan menatapku dengan tatapan kekecewaan."Tapi Din, tolong pikirkan sekali lagi, poligami itu diperbolehkan dalam agama, mungkin banyak manfaat juga dengan menikahnya kamu dengan Mas Fahri, kamu tidak perlu bersusah payah lagi berjualan. Ekonomi keluargamu akan terbantu, dan yang paling penting, kamu akan menyelamatkan pernikahan sahabatmu ini. Aku mohon, tolong kamu pikirkan dengan matang sebelum mengambil keputusan."Salima menggenggam erat tanganku. Tatapannya penuh dengan permohonan."Fahri, tak bisakah kamu membatalkan perjanjian itu? Bukannya aku mau ikut campur, tapi kalianlah yang menyeretku dalam permasalahan kalian.""Maaf Din, bukan maksudku membuatmu terlibat dalam masalah ini, aku sudah melakukan yang kubisa. Perjanjian itu sah di mata hukum dan itu dibuat berdasarkan keinginan dari Salima sendiri. Salima yang meyakinkanku untuk membuat perjanjian itu, dan kini, malah dia yang memohon-mohon padaku agar membatalkan perjanjian yang dia buat sendiri," Fahri mengusap wajahnya dengan kasar. Aku bisa melihat tatapannya sendu entah apa yang ia pikirkan."Aku hanya mengikuti permainan Salima, dia tidak ingin bercerai denganku padahal dia sendiri yang menandatangani surat itu. Aku sama sekali tidak ada niat poligami, aku berniat mendekatimu lagi ... nanti, setelah resmi bercerai dengan Salima." Fahri memelankan suaranya di kata terakhir."Aku tidak akan menerimamu jika sampai kamu menceraikan Salima, Fahri!"Fahri terlihat terkejut mendengar perkataanku. Ia lalu menghela napasnya, dan melanjutkan pembicaraan."Tapi aku akan tetap menceraikan Salima sebagaimana rencana awal. Aku kesini karena menghargai permintaan Salima, dia bilang kamu bersedia untuk dipoligami," tutur Fahri yang membuatku terkejut dan menoleh ke arah Salima. Apa-apaan ini maksudnya? Sejak kapan aku setuju padahal dari kemarin aku sudah jelaskan bahwa menolak mentah-mentah keputusan ini.Salima terlihat menutup wajah dengan tangan, entah menangis atau malu. Lalu, dia melepaskan tangannya, matanya terlihat memerah karena menangis, kemudian ia menatap Fahri."Maafkan aku, tidak bermaksud berbohong padamu Mas, kupikir Dinda akan menerima tawaranku." Entah darimana pikirannya itu, padahal sudah jelas sekali dari kemarin aku sudah menolak mentah-mentah tawaran konyolnya itu.Waiters menghampiri meja kami, dia menghidangkan makanan dan minuman ke atas meja, memotong percakapan kami yang sempat memanas."Sekarang kita makan dulu, jangan ada yang berbicara saat makan, aku tidak mau selera makanku hilang," ucap Fahri sambil menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. Ternyata Salima memesankan juga nasi goreng spesial untukku, daripada mubazir aku makan juga. Kami makan dalam diam, hanya terdengar bunyi sendok dan garpu yang beradu suara dengan piring."Aku mohon maaf Din, ini masalahku dengan istriku. Tidak sepatutnya kami menyeretmu dalam masalah ini. Perlu aku luruskan bahwa aku sama sekali tidak berniat poligami. Aku hanya akan menceraikan Salima seperti perjanjian awal kami. Kamu tidak perlu lagi memikirkan apapun."Apa? Jadi maksudnya, perkataan Salima yang kemarin adalah kebohongan? Aku semakin pusing saja!"Jangan bohong kamu, Mas. Kemarin pas aku bilang Dinda mau dipoligami, kamu terlihat senang kan, Mas?""Itu karena kupikir Dinda setuju dengan saranmu itu. Ternyata tidak, jadi yasudah tinggal kita sepakati saja sesuai perjanjian awal. Tidak usah bawa-bawa Dinda untuk kepentingan pribadimu, Salima. Ayo pulang!" Fahri menarik tangan Salima agar segera bangkit dari kursi.Salima terlihat enggan dan masih menatapku. Aku melengos menghindari tatapannya. Entah kenapa, aku jadi meragukan setiap perkataannya kemarin, apakah itu kebenaran ataukah kebohongan. Namun seperti yang Fahri katakan, ini adalah masalah mereka dan aku tidak berhak ikut campur sedikit pun."Ayo, Din. Aku antar pulang kamu dulu," Fahri menatapku, menanti jawaban."Aku masih ingin disini dulu, kalian duluan saja, aku bisa pulang naik ojek online.""Kamu yakin? Aku bisa mengantarmu lebih dulu, kita searah." Fahri masih tetap pada pendiriannya, memaksaku."Aku masih mau disini.""Baiklah, aku dan Salima duluan, kamu jangan pikirkan apapun, anggap saja tidak mendengar apapun dariku atau Salima. Aku benar-benar minta maaf Din, Assalamualaikum."Salima hanya diam membisu, dia tidak lagi banyak bicara. Lalu mereka berdua menghilang dari pandanganku. Tanpa sadar aku meneteskan air mata, aku merasa bersalah pada Mas Arkan, bahkan aku kesini karena membicarakan tentang poligami. Maafkan aku, Mas. Aku sungguh tidak berniat mengkhianatimu. Bahkan belum setahun sejak kepergian Mas Arkan, aku benar-benar merasa bersalah.Kuputuskan untuk mengunjungi makam Mas Arkan. Hendak bercerita mengenai segalanya, kepada Mas Arkanlah aku bisa bebas bercerita tanpa beban. Jika dengan Ibu atau Ayah, aku tidak ingin mereka kepikiran dengan masalahku. Aku pun segera memesan ojek online.Aku mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar pusara Mas Arkan. Membersihkan sampah plastik yang terbawa angin dan terkumpul di sekitar pusara Mas Arkan. Mengusap papan nisan yang tertulis namanya, Arkana Muhammad Ramdan. Nama yang indah dan akan selalu terkenang dalam hati ini.Masih ku ingat, dulu aku terkejut dengan kedatangan Mas Arkan. Aku tidak tahu siapa dia, kupikir dia adalah teman Ayah. Aku tidak memedulikannya dan mengantarkan teh manis karena disuruh Ibu. Lalu, Ayah mengenalkan kami berdua. Dia pun tersenyum sambil mengenalkan diri. Postur tubuhnya tegap, rambutnya disisir rapi dan berkilau seperti memakai minyak rambut, hidungnya mancung, alisnya tebal, dan senyumnya ... yang kemudian mengalihkan duniaku.Saat itu aku merasa sangat bersalah pada Fahri. Aku memang sedang berpacaran dengan Fahri, secara diam-diam. Karena Ayah dan Ibu tidak mengizinkan anaknya pacaran. Karena itulah, aku tidak pernah mengenalkan Fahri pada mereka.Mas Arkan semakin sering berkunjung ke rumah. Dia selalu membawa buah tangan yang disambut Ibu dengan senyum terkembang. Dia memang pandai merebut hati Ibu dan Ayahku. Tanpa kusadari, hatiku pun mungkin telah berpihak padanya.Suatu malam, Ayah mengajakku berbicara serius. Aku sudah menebak kemana arah pembicaraan ini. Sesuai dugaan, Ayah menyampaikan pesan bahwa Mas Arkan tertarik padaku dan ingin melamar jika aku bersedia. Aku bimbang, di satu sisi aku masih berstatus sebagai pacar Fahri, namun di sisi lain, aku pun menyukai Mas Arkan.Aku meminta waktu untuk berpikir, mereka setuju dan memberikan waktu selama seminggu. Saat itulah, kuputuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Fahri. Fahri tidak terima dengan keputusanku. Namun, aku beralasan bahwa ini permintaan dari Ayah dan Ibu yang tidak bisa aku tolak karena ingin berbakti. Padahal sebenarnya, aku pun menginginkan itu. Akhirnya, Fahri terpaksa menerima. Dia menjauh dariku dan memblokir semua kontak dan media sosial. Sedangkan aku, menikah dan bahagia dengan Mas Arkan.Lalu, beberapa tahun kemudian, aku mendapat undangan pernikahan Fahri dan Salima yang kemudian kuhadiri bersama dengan Mas Arkan. Aku tidak tahu, bahwa Fahri masih menyimpan rasa seperti dulu yang entah kenapa, membuatku merasa bersalah padanya.Selama pernikahan, aku tidak lagi menghubungi Fahri dan menjadi istri Mas Arkan sepenuhnya. Dia benar-benar pemuda dewasa yang mampu membimbingku dengan benar. Aku sangat merindukanmu, Mas!***l"Assalamualaikum, Mas. Aku datang, aku minta maaf baru kesini lagi. Aku benar-benar kerepotan setelah kepergianmu Mas. Betapa bergantungnya aku padamu. Hampir saja aku hendak menyusulmu, Mas. Aku ..."Tidak sanggup lagi berbicara, aku menumpahkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Mengeluarkan semua rasa sesak yang menyeruak dalam dada. Tenyata, aku masih begitu merindukannya."Aku mau cerita, Mas. Tapi tolong jangan marah ya, tentang apapun yang kukatakan. Tolong dengarkan dulu sampai tuntas."Setelah Menghela nafas, aku melanjutkan cerita."Kemarin aku bertemu teman SMA-ku, Salima namanya. Mungkin Mas pernah dengar aku sering menceritakannya dulu, dan kita pernah menghadiri pernikahannya tahun lalu. Namun ada hal yang belum pernah aku ceritakan padamu, Mas. Suaminya Salima, adalah mantanku saat SMA. Aku tidak pernah cerita karena takut menyakitimu. Tapi aku pastikan aku tidak pernah mengkhianatimu selama pernikahan kita. Kemarin, Salima datang padaku memintaku menjadi
Hari ini, aku berniat untuk mengunjungi rumah Ibunya Mas Arkan yang biasa kupanggil, Mama. Setelah dagangan habis aku segera bersiap. Berbekal bolu pisang buatan Ibu, aku menuju rumah Mama. Tok tok tok"Assalamu'alaikum ...""Wa'alaikumsalam ..." jawab seseorang di dalam sana. Terdengar derap langkah yang mendekat menuju pintu yang membuat jantungku berdegup kencang. Lalu kemudian pintu terbuka, menampilkan seorang wanita yang rambutnya sudah beruban, menatapku lekat. Raut wajah yang tadinya penuh senyum langsung berganti menjadi masam begitu melihat wajahku, tak nampak sedikitpun keramahan yang kuharapkan darinya."Mau apa kamu kesini? Jangan bilang kamu masih mengincar hartanya Arkan?" begitulah kalimat sambutan darinya. Suaranya langsung meninggi, sangat berbeda dengan nada suara saat menjawab salam tadi. Aku segera mengulurkan tangan, ingin mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan yang seharusnya. Namun, Mama menepis tanganku dan melipat tangan di dadanya. Seolah aku adalah
Bab 6Aku mematut diri di depan cermin, entah kenapa masih belum percaya bahwa pantulan diri yang kulihat dari cermin itu aku.Gaun putih yang aku pakai tampak pas di tubuh, bagian atas full payet dan ada kain seperti selendang di bahu bagian kanan dan kirinya. Gaun ini sangat terasa nyaman dan tidak berat. Riasan wajah yang tipis dan polesan lipstik berwarna pink membuatku merasa sangat cantik. "Kamu sangat cantik Adinda!" ucapku pada cermin itu.Aku masih asyik mematut diri di depan cermin, berpose dan berputar badan untuk melihat gaun yang terangkat begitu aku mengayunkannya. hingga tiba-tiba, sesuatu di belakangku menghujam tubuh, membuat tubuh tersentak ke depan dan menubruk cermin. Ada rasa sakit luar biasa dan rasa hangat menjalar di perutku. Saat menunduk, aku melihat darah berwarna merah kehitaman yang mengalir dari perut."Rasakan!" ucap seseorang tepat di telingaku. Dengan susah payah, aku berusaha menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang sangat kukenal."Sa-salima
Sesak rasanya hatiku melihat Ayah yang tidak kunjung sadar, dokter bilang kepala Ayah terbentur. Namun tidak ada luka serius di kepalanya. Ayah hanya tertidur karena di beri obat penghilang rasa sakit. Tadi Ayah sempat berteriak kesakitan saat sedang diobati.Ibu masih setia duduk di sebelah ranjang Ayah sambil memegang tangan yang tidak diinfus. Pikiranku kacau karena memikirkan dari mana aku bisa dapat uang untuk mengurus rujukan Ayah ke Rumah Sakit Umum dan biaya lainnya untuk perawatan Ayah. Sedangkan Ayah sama sekali tidak punya asuransi kesehatan. Itu berarti, harus memakai biaya pribadi."Bu, aku keluar dulu sebentar. Mau shalat dzuhur. Kita shalat barengan yuk, Bu?" "Kamu duluan, nanti kalau sudah kesini ya, Ibu juga mau shalat.""Barengan aja sekarang, Bu.""Ibu takut Ayahmu bangun, tapi gak ada siapa-siapa. Ibu disini dulu aja, nanti shalatnya gantian." Tidak bisa memaksa,
"Apa? Gak boleh! Ayah gak setuju! mendingan Ayah pulang aja sekarang kalau kamu maksa mau operasi tapi pakai uang hasil menggadaikan rumah. Mau tinggal dimana nanti kita, Adinda? Mikir!" sentak Ayah saat aku mengutarakan niat yang sempat terpikir. Aku buntu, tidak tahu pada siapa harus meminta tolong, Ibu sudah setuju namun beliau tidak punya kuasa karena harus atas seizin Ayah. Ternyata, Ayah menolak mentah-mentah, padahal ini untuk kesembuhan Ayah sendiri.Aku berjalan keluar ruangan, tidak ingin berdebat dengan Ayah yang sedang sakit. Sungguh, aku merasa sebagai anak tidak berguna. Saat aku sedih dan butuh pelukan, Ayah dan Ibu selalu ada untukku dan memberikan pelukan hangatnya. Namun sekarang, saat Ayah dan Ibu yang membutuhkan pertolongan, aku tidak bisa melakukan apapun. Tabunganku sudah habis dipakai biaya merawat Ayah sejak beberapa hari yang lalu. Tepukan lembut terasa pundak. Aku yang sedang menunduk langsung menoleh dan mendapati Salima
"Dinda ... Kamu serius mau jadi istri kedua?" tanya Ibu begitu aku mengutarakan niat Fahri yang akan datang melamar besok sore."Iyah, Bu.""Tunggu sebentar, bukankah Fahri itu yang kemarin kesini sama istrinya yang bernama, Salima?" Ayah ikut nimbrung diantara aku dan Ibu."Betul, Ayah.""Ya Allah Nak ... Mengapa kamu tega sekali? Kamu menikung temanmu sendiri yang meminjamkan uang untuk operasi Ayah?" sengit Ayah tidak terima.Aku menunduk, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Salima bilang, tidak boleh ada yang tahu bahwa aku menerima pernikahan ini karena menerima uang 30 juta. Lalu apa alasan yang paling tepat?"Salima yang memintaku Ayah, dia yang memaksa. Tapi tolong rahasiakan ini dari Fahri dan keluarganya karena mereka tidak tahu bahwa aku meminjam uang pada Salima.""Salima yang memintamu, benarkah?" tanya Ibu dengan tatapan penuh kecurigaan.Aku mengangg
Bab 10"Kamu selalu cantik Adinda. Di mataku, kamu adalah wanita tercantik di dunia." Fahri memulai gombalannya. Aku hanya tersenyum karena teringat sikap ia yang sejak dulu memang jago menggombal."Bolehkah ... Malam ini, aku mencicipimu?" tanya Fahri sambil mengelus pipiku."Aku bukan kue!" jawabku akhirnya setelah menetralisir degup jantung.Fahri mengusap kepalaku dan membaca doa. Lalu ia menuntunku ke atas pembaringan. Aku tidak menolak karena ini adalah hak nya Fahri dan sudah kewajibanku untuk melayaninya.Tak kusangka, Fahri yang pendiam dan pemalu di luar bagaikan singa jantan jika di atas pembaringan. Aku kelelahan dibuatnya karena setelah selesai, ia mengambil wudhu lalu mendatangiku kembali seolah belum melakukan apapun tadi. "Maaf karena ini adalah pembalasanku padamu karena pernah meninggalkanku saat lagi sayang-sayangnya," terang Fahri saat ia telah selesai untuk yang kesekian kalinya
Bab 11 BMJMSesuai permintaan dari Mas Fahri, hari ini aku memakai lingerie berwarna pink yang entah dibeli kapan. Masih ada tag sebagai tanda bahwa itu adalah pakaian baru. Aku bahkan belum sempat mencucinya karena Mas Fahri meminta untuk dipakai malam ini juga.Setelah memakai lingerie, aku duduk di depan meja rias sambil mengoleskan krim malam dan juga hand body ke seluruh tubuh. Tak lupa, parfum kesukaan Mas Fahri aku pakai agar ia makin senang. Setelah itu, aku duduk sambil menunggu kepulangannya.Suara garasi yang dibuka lebar menandakan kepulangan Mas Fahri. Hatiku berdegup kencang dibuatnya. Padahal ini sudah hari ketiga pernikahan, namun rasa malu padanya masih sering kurasakan.Aku bersembunyi di dalam selimut dan pura-pura tertidur karena malu jika ketahuan sudah menunggunya sejak tadi. Tak lama kemudian, Mas Fahri masuk kamar dan menghampiriku. Ia langsung menyibak selimut dan tersenyum penuh arti.“Senangnya ada yang udah nun