Share

Bab 5

Hari ini, aku berniat untuk mengunjungi rumah Ibunya Mas Arkan yang biasa kupanggil, Mama. Setelah dagangan habis aku segera bersiap. Berbekal bolu pisang buatan Ibu, aku menuju rumah Mama.

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum ..."

"Wa'alaikumsalam ..." jawab seseorang di dalam sana. Terdengar derap langkah yang mendekat menuju pintu yang membuat jantungku berdegup kencang. Lalu kemudian pintu terbuka, menampilkan seorang wanita yang rambutnya sudah beruban, menatapku lekat. Raut wajah yang tadinya penuh senyum langsung berganti menjadi masam begitu melihat wajahku, tak nampak sedikitpun keramahan yang kuharapkan darinya.

"Mau apa kamu kesini? Jangan bilang kamu masih mengincar hartanya Arkan?" begitulah kalimat sambutan darinya. Suaranya langsung meninggi, sangat berbeda dengan nada suara saat menjawab salam tadi.

Aku segera mengulurkan tangan, ingin mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan yang seharusnya. Namun, Mama menepis tanganku dan melipat tangan di dadanya. Seolah aku adalah barang najis yang haram disentuhnya.

Setelah menghela napas, aku bertekad dalam hati untuk tidak emosi dan memaklumi setiap perbuatannya. Aku mencoba untuk tetap tersenyum di hadapannya meskipun hatiku menahan rasa jengkel.

"Aku rindu sama Mama, bagaimana kabar Mama sehat?" ucapku sambil menahan bulir mata yang hendak keluar. Wajahnya sangat mirip dengan Mas Arkan, menemuinya adalah salah satu caraku menuntaskan rasa rindu pada Mas Arkan. Meskipun, Mama tidak menyambutku dengan ramah.

"Gak usah basa-basi, lebih baik kamu pulang. Jangan pernah mengharapkan apapun, apalagi harta peninggalan Arkan. Sudah cukup kau buat hidupku menderita dengan bawa sial hingga Arkan harus meninggal!" begitulah kata-kata yang keluar dari mulut Mama. Sangat menusuk dalam hati yang sudah rapuh, menjadikannya semakin rapuh.

"Ma, Mas Arkan pergi karena takdir bukan karena ulahku. Tolong Mama jangan begini, kita sama-sama kehilangan Mas Arkan. Harusnya kita bisa saling menguatkan dan saling memeluk, Ma ... " ucapku dengan nada memohon.

"Cih! Tidak sudi aku memelukmu gadis pembawa sial, cepat pergi! Jangan kau kotori rumahku dengan kesialan yang melekat pada dirimu!" teriaknya begitu tajam tepat di hadapan wajahku.

Blam!

Pintu rumah menutup kembali. Menyisakan rasa sesak yang sejak tadi kutahan. Tanpa bisa kucegah lagi, air mata mulai mengalir deras. Aku segera menghampiri motorku, agar tidak menangis disini.

Berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis, namun air mataku tetap keluar dan menghalangi pandangan. Konsentrasi menyetirku buyar, aku segera menepi agar tidak menabrak kendaraan lain dan segera memarkirkan motor di pinggir jalan yang sepi. Aku menepi di pinggir pohon, lalu duduk setelah melepaskan helm. Tak bisa lagi kutahan, aku menangis agar sesak ini tidak lagi terasa.

Bahkan bolu pisang untuk Mama tidak bisa kuberikan. Kenapa Mama masih menyalahkan aku atas kepergian Mas Arkan. Padahal, aku benar-benar sangat membutuhkan pelukan dari Mama, sebagai orang yang sama-sama kehilangan Mas Arkan.

Sejak dulu, memang pernikahanku dengan Mas Arkan tidak disetujui oleh Mama, namun Mas Arkan yang sudah terlanjur menyukaiku, tetap teguh pendirian. Setiap hari ia membujuk Mama agar dapat merestui hubungan kami. Hingga akhirnya, beliau setuju. Entah apa yang dilakukan Mas Arkan, namun Mama hadir di setiap rangkaian pernikahanku termasuk saat lamaran. Aku hanya beranggapan bahwa Mama telah merestui hubungan kami. Namun, setelah menikah, Mama bilang padaku bahwa ia merestui pernikahan kami dengan terpaksa dan menjelaskan alasannya mengapa ia tak menerima aku sebagai menantu.

"Inget kamu ya ... Kamu itu gak sebanding dengan Arkan anak saya, anak saya itu punya pendidikan yang bagus, tidak seperti kamu yang tidak kuliah, ayahmu pun hanya guru honorer bukan guru PNS. Entah pelet apa yang diberikan pada anakku itu!" begitulah ucapan Mama saat aku berkunjung di rumahnya pasca hari pernikahan kami. Namun, karena tidak serumah, aku tidak keberatan dengan sikapnya karena Mas Arkan selalu membelaku bahkan di depan Mamanya.

Sekarang, saat Mas Arkan tidak ada, Mama semakin membenciku. Dan tidak ada lagi Mas Arkan yang membela dan menguatkanku seperti dulu. Ternyata sesakit ini rasanya di bentak oleh Mama saat hatiku sedang rapuh.

Bahkan, setelah Mas Arkan dimakamkan, Mama langsung mengambil seluruh aset milik Mas Arkan. Hanya motor pemberian Mas Arkan yang tidak dibawa karena motor itu dibeli atas nama diriku. Sedangkan rumah dan mobil, Mas Arkan sudah punya sebelum menikah denganku.

"Pergi kamu dari sini! Jangan meminta apapun lagi. Sudah cukup banyak harta Arkan yang kau habiskan bersama orang tuamu itu, jangan pernah kembali lagi kesini, aku tak sudi!" begitulah kalimat terakhir dari Mama sebelum ia mengambil alih semua harta Mas Arkan dan mengusirku dari rumah. Aku hanya bisa pasrah karena tidak ingin ribut dengan Mama.

"Din ... kamu Adinda, kan?" tanya seseorang yang entah siapa membuyarkan lamunanku. Duh, kenapa saat memalukan seperti ini, harus ada orang yang mengenaliku? Padahal aku sedang ingin sendirian.

Aku segera menghapus air mata. Lalu mengangkat wajah untuk mengenali siapa yang datang. Ternyata ... Fahri!

"Aku ... Sedang ingin sendiri, tolong pergilah kumohon," ujarku sambil mengibaskan tangan, memberi isyarat padanya agar menjauh.

Tanpa kuduga, Fahri pergi. Kupikir butuh banyak tenaga untuk mengusirnya, ternyata dia menurut. Aku menghirup napas dan menghembuskannya, mencoba kuat agar bisa meneruskan perjalanan.

"Ini minum dulu." ternyata Fahri tidak pergi, dia menyodorkan sebotol teh manis dingin padaku, dia sepertinya membeli minum di warung sekitas sini.

Sebenernya ingin kutolak saja, tapi ... Aku haus. Akhirnya aku menerimanya dan segera minum sampai tandas tak bersisa.

"Makasih," ucapku tanpa menoleh padanya. Aku malu karena sudah pasti mata ini sembab dan hijabku tak karuan bentuknya.

Fahri tak kunjung pergi, ia hanya diam di sisi sebelah ujung tapi tetap mengamatiku, membuatku risih. Akhirnya, aku bangkit dan hendak pulang saja daripada Fahri bertanya macam-macam.

"Mau kemana?" Fahri bangkit dan menatapku yang sedang memakai helm.

"Pulang," jawabku singkat.

"Aku anterin."

"Lah, terus motorku gimana?"

"Gampang, nanti aku minta tolong karyawanku buat ambil motor ini,"

"Ribet, aku udah gapapa. Jangan ikut campur, kamu bukan siapa-siapa."

Fahri terlihat sedikit terkejut mendengar ucapanku. Ia menghela napas dan mengangguk pasrah.

"Hati-hati," gumam Fahri akhirnya.

Saat hendak menyalakan motor, aku melihat plastik berisi kue yang tadi Ibu buat untuk Mama. Tidak mungkin aku bawa pulang, Ibu pasti sedih kalau tahu aku masih belum dimaafkan oleh Mama.

"Em-- aku boleh minta tolong?" kalimat itu akhirnya muncul setelah beberapa detik berpikir. Fahri terlihat menahan senyumnya mendengar ucapanku.

"Boleh Din, minta tolong apa?" tanya Fahri begitu antusias. Terlihat dari wajahnya yang sumringah.

"Ini, tolong kasih sama siapa aja, ke orang di jalanan juga gapapa. Tolong ya." aku menyerahkan plastik berisi kue bolu pisang buatan Ibu.

"Oke, bebas ke siapa aja ya, terserah aku, 'kan?" tanya Fahri lagi sambil mengacungkan plastik berisi bolu.

"Iya bebas, makasih ya, dan tolong jangan beri tahu Salima kalau kita ketemu disini, aku gak mau dia salah paham," ucapku sambil berlalu pergi setelah mengucap salam.

Sepertinya aku tak boleh bertemu Fahri lagi, tatapan mata Fahri membuatku tak bisa berpikir jernih. Tatapannya padaku ... masih sama seperti dulu.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hazimah Mardhiyyah
makin penasaran sama kelanjutan ceritanyaa...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status