Hari ini, aku berniat untuk mengunjungi rumah Ibunya Mas Arkan yang biasa kupanggil, Mama. Setelah dagangan habis aku segera bersiap. Berbekal bolu pisang buatan Ibu, aku menuju rumah Mama.
Tok tok tok"Assalamu'alaikum ...""Wa'alaikumsalam ..." jawab seseorang di dalam sana. Terdengar derap langkah yang mendekat menuju pintu yang membuat jantungku berdegup kencang. Lalu kemudian pintu terbuka, menampilkan seorang wanita yang rambutnya sudah beruban, menatapku lekat. Raut wajah yang tadinya penuh senyum langsung berganti menjadi masam begitu melihat wajahku, tak nampak sedikitpun keramahan yang kuharapkan darinya."Mau apa kamu kesini? Jangan bilang kamu masih mengincar hartanya Arkan?" begitulah kalimat sambutan darinya. Suaranya langsung meninggi, sangat berbeda dengan nada suara saat menjawab salam tadi.Aku segera mengulurkan tangan, ingin mencium tangannya sebagai bentuk penghormatan yang seharusnya. Namun, Mama menepis tanganku dan melipat tangan di dadanya. Seolah aku adalah barang najis yang haram disentuhnya.Setelah menghela napas, aku bertekad dalam hati untuk tidak emosi dan memaklumi setiap perbuatannya. Aku mencoba untuk tetap tersenyum di hadapannya meskipun hatiku menahan rasa jengkel."Aku rindu sama Mama, bagaimana kabar Mama sehat?" ucapku sambil menahan bulir mata yang hendak keluar. Wajahnya sangat mirip dengan Mas Arkan, menemuinya adalah salah satu caraku menuntaskan rasa rindu pada Mas Arkan. Meskipun, Mama tidak menyambutku dengan ramah."Gak usah basa-basi, lebih baik kamu pulang. Jangan pernah mengharapkan apapun, apalagi harta peninggalan Arkan. Sudah cukup kau buat hidupku menderita dengan bawa sial hingga Arkan harus meninggal!" begitulah kata-kata yang keluar dari mulut Mama. Sangat menusuk dalam hati yang sudah rapuh, menjadikannya semakin rapuh."Ma, Mas Arkan pergi karena takdir bukan karena ulahku. Tolong Mama jangan begini, kita sama-sama kehilangan Mas Arkan. Harusnya kita bisa saling menguatkan dan saling memeluk, Ma ... " ucapku dengan nada memohon."Cih! Tidak sudi aku memelukmu gadis pembawa sial, cepat pergi! Jangan kau kotori rumahku dengan kesialan yang melekat pada dirimu!" teriaknya begitu tajam tepat di hadapan wajahku.Blam!Pintu rumah menutup kembali. Menyisakan rasa sesak yang sejak tadi kutahan. Tanpa bisa kucegah lagi, air mata mulai mengalir deras. Aku segera menghampiri motorku, agar tidak menangis disini.Berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis, namun air mataku tetap keluar dan menghalangi pandangan. Konsentrasi menyetirku buyar, aku segera menepi agar tidak menabrak kendaraan lain dan segera memarkirkan motor di pinggir jalan yang sepi. Aku menepi di pinggir pohon, lalu duduk setelah melepaskan helm. Tak bisa lagi kutahan, aku menangis agar sesak ini tidak lagi terasa.Bahkan bolu pisang untuk Mama tidak bisa kuberikan. Kenapa Mama masih menyalahkan aku atas kepergian Mas Arkan. Padahal, aku benar-benar sangat membutuhkan pelukan dari Mama, sebagai orang yang sama-sama kehilangan Mas Arkan.Sejak dulu, memang pernikahanku dengan Mas Arkan tidak disetujui oleh Mama, namun Mas Arkan yang sudah terlanjur menyukaiku, tetap teguh pendirian. Setiap hari ia membujuk Mama agar dapat merestui hubungan kami. Hingga akhirnya, beliau setuju. Entah apa yang dilakukan Mas Arkan, namun Mama hadir di setiap rangkaian pernikahanku termasuk saat lamaran. Aku hanya beranggapan bahwa Mama telah merestui hubungan kami. Namun, setelah menikah, Mama bilang padaku bahwa ia merestui pernikahan kami dengan terpaksa dan menjelaskan alasannya mengapa ia tak menerima aku sebagai menantu."Inget kamu ya ... Kamu itu gak sebanding dengan Arkan anak saya, anak saya itu punya pendidikan yang bagus, tidak seperti kamu yang tidak kuliah, ayahmu pun hanya guru honorer bukan guru PNS. Entah pelet apa yang diberikan pada anakku itu!" begitulah ucapan Mama saat aku berkunjung di rumahnya pasca hari pernikahan kami. Namun, karena tidak serumah, aku tidak keberatan dengan sikapnya karena Mas Arkan selalu membelaku bahkan di depan Mamanya.Sekarang, saat Mas Arkan tidak ada, Mama semakin membenciku. Dan tidak ada lagi Mas Arkan yang membela dan menguatkanku seperti dulu. Ternyata sesakit ini rasanya di bentak oleh Mama saat hatiku sedang rapuh.Bahkan, setelah Mas Arkan dimakamkan, Mama langsung mengambil seluruh aset milik Mas Arkan. Hanya motor pemberian Mas Arkan yang tidak dibawa karena motor itu dibeli atas nama diriku. Sedangkan rumah dan mobil, Mas Arkan sudah punya sebelum menikah denganku."Pergi kamu dari sini! Jangan meminta apapun lagi. Sudah cukup banyak harta Arkan yang kau habiskan bersama orang tuamu itu, jangan pernah kembali lagi kesini, aku tak sudi!" begitulah kalimat terakhir dari Mama sebelum ia mengambil alih semua harta Mas Arkan dan mengusirku dari rumah. Aku hanya bisa pasrah karena tidak ingin ribut dengan Mama."Din ... kamu Adinda, kan?" tanya seseorang yang entah siapa membuyarkan lamunanku. Duh, kenapa saat memalukan seperti ini, harus ada orang yang mengenaliku? Padahal aku sedang ingin sendirian.Aku segera menghapus air mata. Lalu mengangkat wajah untuk mengenali siapa yang datang. Ternyata ... Fahri!"Aku ... Sedang ingin sendiri, tolong pergilah kumohon," ujarku sambil mengibaskan tangan, memberi isyarat padanya agar menjauh.Tanpa kuduga, Fahri pergi. Kupikir butuh banyak tenaga untuk mengusirnya, ternyata dia menurut. Aku menghirup napas dan menghembuskannya, mencoba kuat agar bisa meneruskan perjalanan."Ini minum dulu." ternyata Fahri tidak pergi, dia menyodorkan sebotol teh manis dingin padaku, dia sepertinya membeli minum di warung sekitas sini.Sebenernya ingin kutolak saja, tapi ... Aku haus. Akhirnya aku menerimanya dan segera minum sampai tandas tak bersisa."Makasih," ucapku tanpa menoleh padanya. Aku malu karena sudah pasti mata ini sembab dan hijabku tak karuan bentuknya.Fahri tak kunjung pergi, ia hanya diam di sisi sebelah ujung tapi tetap mengamatiku, membuatku risih. Akhirnya, aku bangkit dan hendak pulang saja daripada Fahri bertanya macam-macam."Mau kemana?" Fahri bangkit dan menatapku yang sedang memakai helm."Pulang," jawabku singkat."Aku anterin.""Lah, terus motorku gimana?""Gampang, nanti aku minta tolong karyawanku buat ambil motor ini,""Ribet, aku udah gapapa. Jangan ikut campur, kamu bukan siapa-siapa."Fahri terlihat sedikit terkejut mendengar ucapanku. Ia menghela napas dan mengangguk pasrah."Hati-hati," gumam Fahri akhirnya.Saat hendak menyalakan motor, aku melihat plastik berisi kue yang tadi Ibu buat untuk Mama. Tidak mungkin aku bawa pulang, Ibu pasti sedih kalau tahu aku masih belum dimaafkan oleh Mama."Em-- aku boleh minta tolong?" kalimat itu akhirnya muncul setelah beberapa detik berpikir. Fahri terlihat menahan senyumnya mendengar ucapanku."Boleh Din, minta tolong apa?" tanya Fahri begitu antusias. Terlihat dari wajahnya yang sumringah."Ini, tolong kasih sama siapa aja, ke orang di jalanan juga gapapa. Tolong ya." aku menyerahkan plastik berisi kue bolu pisang buatan Ibu."Oke, bebas ke siapa aja ya, terserah aku, 'kan?" tanya Fahri lagi sambil mengacungkan plastik berisi bolu."Iya bebas, makasih ya, dan tolong jangan beri tahu Salima kalau kita ketemu disini, aku gak mau dia salah paham," ucapku sambil berlalu pergi setelah mengucap salam.Sepertinya aku tak boleh bertemu Fahri lagi, tatapan mata Fahri membuatku tak bisa berpikir jernih. Tatapannya padaku ... masih sama seperti dulu.***Bab 6Aku mematut diri di depan cermin, entah kenapa masih belum percaya bahwa pantulan diri yang kulihat dari cermin itu aku.Gaun putih yang aku pakai tampak pas di tubuh, bagian atas full payet dan ada kain seperti selendang di bahu bagian kanan dan kirinya. Gaun ini sangat terasa nyaman dan tidak berat. Riasan wajah yang tipis dan polesan lipstik berwarna pink membuatku merasa sangat cantik. "Kamu sangat cantik Adinda!" ucapku pada cermin itu.Aku masih asyik mematut diri di depan cermin, berpose dan berputar badan untuk melihat gaun yang terangkat begitu aku mengayunkannya. hingga tiba-tiba, sesuatu di belakangku menghujam tubuh, membuat tubuh tersentak ke depan dan menubruk cermin. Ada rasa sakit luar biasa dan rasa hangat menjalar di perutku. Saat menunduk, aku melihat darah berwarna merah kehitaman yang mengalir dari perut."Rasakan!" ucap seseorang tepat di telingaku. Dengan susah payah, aku berusaha menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang sangat kukenal."Sa-salima
Sesak rasanya hatiku melihat Ayah yang tidak kunjung sadar, dokter bilang kepala Ayah terbentur. Namun tidak ada luka serius di kepalanya. Ayah hanya tertidur karena di beri obat penghilang rasa sakit. Tadi Ayah sempat berteriak kesakitan saat sedang diobati.Ibu masih setia duduk di sebelah ranjang Ayah sambil memegang tangan yang tidak diinfus. Pikiranku kacau karena memikirkan dari mana aku bisa dapat uang untuk mengurus rujukan Ayah ke Rumah Sakit Umum dan biaya lainnya untuk perawatan Ayah. Sedangkan Ayah sama sekali tidak punya asuransi kesehatan. Itu berarti, harus memakai biaya pribadi."Bu, aku keluar dulu sebentar. Mau shalat dzuhur. Kita shalat barengan yuk, Bu?" "Kamu duluan, nanti kalau sudah kesini ya, Ibu juga mau shalat.""Barengan aja sekarang, Bu.""Ibu takut Ayahmu bangun, tapi gak ada siapa-siapa. Ibu disini dulu aja, nanti shalatnya gantian." Tidak bisa memaksa,
"Apa? Gak boleh! Ayah gak setuju! mendingan Ayah pulang aja sekarang kalau kamu maksa mau operasi tapi pakai uang hasil menggadaikan rumah. Mau tinggal dimana nanti kita, Adinda? Mikir!" sentak Ayah saat aku mengutarakan niat yang sempat terpikir. Aku buntu, tidak tahu pada siapa harus meminta tolong, Ibu sudah setuju namun beliau tidak punya kuasa karena harus atas seizin Ayah. Ternyata, Ayah menolak mentah-mentah, padahal ini untuk kesembuhan Ayah sendiri.Aku berjalan keluar ruangan, tidak ingin berdebat dengan Ayah yang sedang sakit. Sungguh, aku merasa sebagai anak tidak berguna. Saat aku sedih dan butuh pelukan, Ayah dan Ibu selalu ada untukku dan memberikan pelukan hangatnya. Namun sekarang, saat Ayah dan Ibu yang membutuhkan pertolongan, aku tidak bisa melakukan apapun. Tabunganku sudah habis dipakai biaya merawat Ayah sejak beberapa hari yang lalu. Tepukan lembut terasa pundak. Aku yang sedang menunduk langsung menoleh dan mendapati Salima
"Dinda ... Kamu serius mau jadi istri kedua?" tanya Ibu begitu aku mengutarakan niat Fahri yang akan datang melamar besok sore."Iyah, Bu.""Tunggu sebentar, bukankah Fahri itu yang kemarin kesini sama istrinya yang bernama, Salima?" Ayah ikut nimbrung diantara aku dan Ibu."Betul, Ayah.""Ya Allah Nak ... Mengapa kamu tega sekali? Kamu menikung temanmu sendiri yang meminjamkan uang untuk operasi Ayah?" sengit Ayah tidak terima.Aku menunduk, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Salima bilang, tidak boleh ada yang tahu bahwa aku menerima pernikahan ini karena menerima uang 30 juta. Lalu apa alasan yang paling tepat?"Salima yang memintaku Ayah, dia yang memaksa. Tapi tolong rahasiakan ini dari Fahri dan keluarganya karena mereka tidak tahu bahwa aku meminjam uang pada Salima.""Salima yang memintamu, benarkah?" tanya Ibu dengan tatapan penuh kecurigaan.Aku mengangg
Bab 10"Kamu selalu cantik Adinda. Di mataku, kamu adalah wanita tercantik di dunia." Fahri memulai gombalannya. Aku hanya tersenyum karena teringat sikap ia yang sejak dulu memang jago menggombal."Bolehkah ... Malam ini, aku mencicipimu?" tanya Fahri sambil mengelus pipiku."Aku bukan kue!" jawabku akhirnya setelah menetralisir degup jantung.Fahri mengusap kepalaku dan membaca doa. Lalu ia menuntunku ke atas pembaringan. Aku tidak menolak karena ini adalah hak nya Fahri dan sudah kewajibanku untuk melayaninya.Tak kusangka, Fahri yang pendiam dan pemalu di luar bagaikan singa jantan jika di atas pembaringan. Aku kelelahan dibuatnya karena setelah selesai, ia mengambil wudhu lalu mendatangiku kembali seolah belum melakukan apapun tadi. "Maaf karena ini adalah pembalasanku padamu karena pernah meninggalkanku saat lagi sayang-sayangnya," terang Fahri saat ia telah selesai untuk yang kesekian kalinya
Bab 11 BMJMSesuai permintaan dari Mas Fahri, hari ini aku memakai lingerie berwarna pink yang entah dibeli kapan. Masih ada tag sebagai tanda bahwa itu adalah pakaian baru. Aku bahkan belum sempat mencucinya karena Mas Fahri meminta untuk dipakai malam ini juga.Setelah memakai lingerie, aku duduk di depan meja rias sambil mengoleskan krim malam dan juga hand body ke seluruh tubuh. Tak lupa, parfum kesukaan Mas Fahri aku pakai agar ia makin senang. Setelah itu, aku duduk sambil menunggu kepulangannya.Suara garasi yang dibuka lebar menandakan kepulangan Mas Fahri. Hatiku berdegup kencang dibuatnya. Padahal ini sudah hari ketiga pernikahan, namun rasa malu padanya masih sering kurasakan.Aku bersembunyi di dalam selimut dan pura-pura tertidur karena malu jika ketahuan sudah menunggunya sejak tadi. Tak lama kemudian, Mas Fahri masuk kamar dan menghampiriku. Ia langsung menyibak selimut dan tersenyum penuh arti.“Senangnya ada yang udah nun
Kepulangan SalimaTak terasa sudah sepekan berlalu sejak pernikahanku dengan Mas Fahri. Aku masih sering mengunjungi Ibu dan Ayah saat Mas Fahri sedang pergi bekerja. Karena masih tinggal satu kota, Mas Fahri mengizinkanku untuk pergi sendiri dengan syarat harus naik taksi online. Alhamdulillah, keadaan Ayah semakin baik dan kakinya sudah mulai bisa diajak berjalan meski harus tertatih-tatih.Hari ini adalah jadwal kepulangan Salima. Aku sangat menunggunya dengan hati berdebar. Seperti seorang junior yang akan menghadapi seniornya saat Masa orientasi kampus. Begitulah kira-kira perasaanku sekarang.Mas Fahri pergi untuk menjemput Salima di rumah orang tuanya. Tentu saja aku tidak diajak ikut karena khawatir akan reaksi keluarganya Salima, terutama orang tuanya. Orang tua mana yang akan ridho dan ikhlas melihat anaknya dipoligami? Sudah pasti cap pelakor akan dilayangkan padaku, dan aku belum siap untuk itu.Aku masih sibuk berkutat di dapur demi m
Pov SalimaMasakan Adinda memang sangat lezat. Aku mengaku kalah jika beradu skill memasak dengannya. Dia kan memang jago masak karena pernah berdagang nasi uduk juga, sudah pasti masakannya lezat. Setelah selesai membereskan meja. Aku mengambil segelas dessert creamy avocado sago yang ada di kulkas dan membawanya ke halaman belakang. Makan di halaman belakang sebetulnya memang paling menyenangkan, seperti healing tersendiri buatku.Halaman belakang memang sengaja aku desain sedemikian rupa. Ada kolam ikan, taman bunga, dan beberapa sangkar burung peliharaan Mas Fahri bertengger di halaman belakang. Tempat ini aku ciptakan untuk melepas kepenatanku atas pernikahan yang kujalani. Yang sampai sekarang belum kuikhlaskan untuk dilepas begitu saja.Adinda datang dan menanyakan beberapa hal, termasuk hatiku. Dia menanyakan bagaimana perasaanku tentang poligami ini. Haruskah aku jelaskan bahwa hatiku hancur berkeping-keping dengan pernikahan mereka? Wajah polos dan lugunya Adinda benar-benar