Share

Bab 4

"Assalamualaikum, Mas. Aku datang, aku minta maaf baru kesini lagi. Aku benar-benar kerepotan setelah kepergianmu Mas. Betapa bergantungnya aku padamu. Hampir saja aku hendak menyusulmu, Mas. Aku ..."

Tidak sanggup lagi berbicara, aku menumpahkan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Mengeluarkan semua rasa sesak yang menyeruak dalam dada. Tenyata, aku masih begitu merindukannya.

"Aku mau cerita, Mas. Tapi tolong jangan marah ya, tentang apapun yang kukatakan. Tolong dengarkan dulu sampai tuntas."

Setelah Menghela nafas, aku melanjutkan cerita.

"Kemarin aku bertemu teman SMA-ku, Salima namanya. Mungkin Mas pernah dengar aku sering menceritakannya dulu, dan kita pernah menghadiri pernikahannya tahun lalu.

Namun ada hal yang belum pernah aku ceritakan padamu, Mas. Suaminya Salima, adalah mantanku saat SMA. Aku tidak pernah cerita karena takut menyakitimu. Tapi aku pastikan aku tidak pernah mengkhianatimu selama pernikahan kita.

Kemarin, Salima datang padaku memintaku menjadi madunya. Aku baru tahu ada orang yang seperti itu ya, Mas? Dia orang yang sangat aneh kan, Mas?

Aku bahkan tidak pernah membayangkan menjadi madu. Tapi Salima memaksaku, dia bilang hanya dengan cara aku menjadi madunyalah, pernikahan dia bisa selamat dari perceraian. Kamu tau kan Mas, aku orangnya gak enakan, ingin selalu membantu teman. Tapi entah kenapa, permintaan Salima kali ini sepertinya tidak bisa aku penuhi. Aku tidak sanggup mengkhianatimu. Aku masih ingin menjadi istrimu di surga nanti.

Semoga keputusanku tepat, ya Mas? Kamu pasti setuju kan dengan keputusanku? Meskipun aku akan merasa bersalah nanti setelah perceraian mereka? Ah, kuharap mereka tidak jadi bercerai saja,"

Aku bercerita panjang lebar pada Mas Arkan, meskipun dia tidak menjawabnya, setidaknya hatiku lebih lega setelah berkeluh kesah di depan pusara Mas Arkan.

***

"Loh Din, ko baju kamu banyak tanah gini, kamu habis dari mana sih? Mata kamu merah juga, kamu nangis Din?" tanya Ibu begitu melihatku masuk rumah.

Aku segera memeluknya, membuatku nyaman ada di pelukan Ibu.

"Kamu diapain sih sama temanmu itu, kok sampai nangis, Din?" Ibu masih saja bertanya mungkin karena rasa penasarannya belum tuntas.

"Aku habis dari makam Mas Arkan, Bu." Ibu langsung terdiam mendengar perkataanku. Nama Mas Arkan memang tidak pernah lagi terucap dari mulut Ibu. Mungkin beliau takut membuatku sedih.

"Kenapa sendirian? Kan bisa minta Ibu temani." Ibu mengelus pundakku, aku tahu ia khawatir, terlihat dari tatapannya yang sangat cemas.

"Aku hanya ingin curhat saja dengan Mas Arkan, Bu. Lagi kangen sama dia."

"Yasudah, sekarang ganti dulu bajumu, bersih-bersih, lalu kita makan ya."

"Aku sudah makan tadi disana, Bu. Aku mau tidur aja, capek, Bu."

"Yasudah kalau gitu kamu istirahat, jangan lupa bahwa Ibu sama Ayah sangat sayang sama kamu, Din." Ibu menatapku sambil tersenyum. Aku membalasnya dengan anggukan lemah dan masuk ke kamar.

Ternyata, bertemu belum tentu dapat menuntaskan rindu. Setelah menemui Mas Arkan di makam, aku malah semakin merindukannya. Mencari diantara deretan buku, sesuatu yang mungkin sedang ingin kulihat, album pernikahan.

Masih teringat kala itu, di hari pernikahanku dengan Mas Arkan, aku malah menunggu kedatangan Fahri. Dari sekian banyak tamu undangan yang datang, tak kutemukan batang hidungnya Fahri. Padahal, aku sudah susah payah mengundangnya karena ia memblokir kontak milikku. Aku mengundangnya dengan menitipkan pada saudara yang rumahnya dekat dengan Fahri.

"Dek, cari siapa celingukan terus daritadi?" tanya Mas Arkan saat itu.

"Em-- itu, aku nungguin temen SMA. Padahal udah undang dia, tapi kayanya belum datang,"

"Yaudah, ditungguin aja, atau coba ditelpon aja tanyain, udah sampai mana biar kamu tenang," Mas Arkan mengusap kepalaku dan tersenyum. Seandainya dia tahu aku menunggu kedatangan mantanku, akankah dia tetap tersenyum seperti itu?

Ternyata, Fahri benar-benar tidak datang. Padahal, aku hanya ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kali dan memastikan dia baik-baik saja, agar aku tak lagi dihantui rasa bersalah karena merasa telah mengkhianatinya.

Pada malam pertama kami, aku benar-benar menghabiskan malam dengan menangis. Menangisi Fahri dan segala rasa bersalah yang menghantuiku. Bagaimana jika Fahri tidak memaafkanku? Mas Arkan terlihat kebingungan, tapi dia hanya memelukku sepanjang malam dan tidak banyak bertanya.

Satu bulan lamanya aku tidak juga menyerahkan mahkota pada Mas Arkan. Entah kenapa hatiku belum ikhlas sepenuhnya. Mas Arkan tidak memaksa, dia bilang akan menunggu hingga aku siap. Sampai akhirnya aku luluh, dengan semua ketulusan dan keluasan hatinya.

Malam itu, aku menyiapkan diri, menyambut kepulangan suami dengan lingerie yang dibeli secara online. Meskipun malu luar biasa, aku memaksakan diri menepis rasa malu itu. Setelah beberapa kali mematut diri di cermin dan memoles wajah dengan make up tipis, aku menunggunya di ruang tamu.

Tak lama kemudian, terdengar suara gerbang yang dibuka, pertanda Mas Arkan sudah pulang. Aku mengintip dari jendela, memeriksa. Benar saja, dapat kulihat wajah lelahnya. Mas Arkan datang dengan seragam yang membalut tubuhnya yang tegap dan tas ransel di pundaknya.

Tiba- tiba aku tertawa sendiri, mengingat moment itu, moment yang harusnya menggairahkan dan romantis berubah jadi moment yang lucu dan menggelikan.

Saat kukira Mas Arkan akan senang melihatku, ternyata dia malah menutup mata dengan tangannya dan berteriak,

"Siapa kamu, Kenapa ada di rumahku? Mana istriku, Adinda?" aku bisa melihat dia mengintip dari sela jarinya itu, percuma saja dia menutup mata kalau begitu.

Saat melihat reaksi Mas Arkan begitu, aku malah berniat menjahilinya. Aku berjalan menghampirinya yang masih sekuat tenaga menutup mata, lalu berbicara padanya dengan sedikit mengubah suara.

"Aku disuruh istrimu untuk melayanimu, katanya dia merasa bersalah tidak memberi nafkah batin padamu, come on beib," ucapku dengan suara yang kubuat mendayu-dayu.

Namun ternyata, dia sepertinya malah mengenali suaraku. Mas Arkan membuka matanya.

"Adinda? Kamu beneran Adinda?" Tanya Mas Arkan sambil menelisik wajahku. Setelah tertangkap basah, aku hanya nyengir lalu menunduk malu.

"Ya ampun, kamu beli baju gitu dimana? Ganti pokonya, gimana kalau ada yang lihat, bahaya!"

"Ya ampun Mas, kan di rumah ini cuma ada kita aja!"

"Nggak, pokonya jangan, takut ada yang lihat! Ganti pakai piyama biasa aja jangan kaya gini, Mas malah keinget sama bencong yang suka ada di pinggir jalan itu, pakaiannya begini, sama kaya kamu!"

Mendengar perkataan Mas Arkan, aku tersinggung dan langsung masuk kamar. Menangisi kebodohanku karena berpikir Mas Arkan akan menyukainya, ternyata tidak. Dan malam pertama itu sudah pasti tertunda lagi.

Esoknya, melihat aku yang marah, Mas Arkan mencoba meminta maaf dan menjelaskan padaku alasannya. Ternyata, dia pernah dikejar bencong saat pulang malam. Bencong itu tiba-tiba saja mencium bibir Mas Arkan karena tidak terima dengan penolakan dari Mas Arkan. Ternyata, bencong itu memakai baju yang berwarna sama dengan baju lingerie yang kukenakan.

Sebenarnya aku masih marah, namun mendengar cerita dan melihat ekspresi Mas Arkan, aku jadi terbahak dan memaafkannya. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi memakai lingerie. Mas Arkan bilang, piyama berkancing lebih seksi dibandingkan lingerie. Ada sensasi membuka kancing satu persatu dan mendapat kejutan dari setiap kancing yang terbuka. Benar-benar membuatku tersipu malu, tau gitu buat apa aku susah payah membeli lingerie kalau ternyata yang Mas Arkan sukai adalah piyama.

Dan hari itu, setelah pengakuan Mas Arkan tentang lingerie, aku bertekad tidak akan pernah lagi memakainya. Lalu kami melaksanakan sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan sebulan yang lalu. Mas Arkan sepertinya balas dendam, karena membuatku harus begadang semalam suntuk karena ulahnya.

Aku memeluk album pernikahan, berharap malam ini bisa memimpikan Mas Arkan, dan menyiapkan energi untuk melanjutkan esok hari sebagai Adinda sang penjual nasi uduk.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status