Share

Bab 6

Author: Naila Author
last update Last Updated: 2023-10-05 15:58:12

Bab 6

Aku mematut diri di depan cermin, entah kenapa masih  belum percaya bahwa pantulan diri yang kulihat dari cermin itu aku.

Gaun putih yang aku pakai tampak pas di tubuh, bagian atas full payet dan ada kain seperti selendang di bahu bagian kanan dan kirinya. Gaun ini sangat terasa nyaman dan tidak berat. Riasan wajah yang tipis dan polesan lipstik berwarna pink membuatku  merasa sangat cantik. "Kamu sangat cantik Adinda!" ucapku pada cermin itu.

Aku masih asyik mematut diri di depan cermin, berpose dan berputar badan untuk melihat gaun yang terangkat begitu aku mengayunkannya. hingga tiba-tiba, sesuatu di belakangku menghujam tubuh, membuat tubuh tersentak ke depan dan menubruk cermin. Ada rasa sakit luar biasa dan rasa hangat menjalar di perutku. Saat menunduk, aku melihat darah  berwarna merah kehitaman yang mengalir dari perut.

"Rasakan!" ucap seseorang tepat di telingaku. Dengan susah payah, aku berusaha menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang sangat kukenal.

"Sa-salima?" aku sangat mengenalnya, dia juga memakai gaun yang sama denganku. Dia menyunggingkan senyum yang lebih terlihat seperti seringai. Gaun putih yang dia kenakan sudah terciprat darah di beberapa tempat.

"Ke--kenapa?" Sekuat tenaga aku mencoba bertahan dengan bertumpu pada cermin yang melekat di dinding. Namun darah yang mengalir deras membuat energiku semakin terkuras.

 

Aku tidak sanggup lagi menahan tubuh sendiri. Aku terhuyung dan terduduk, berusaha sekuat mungkin agar tidak jatuh telentang, karena pisau itu masih menancap dari belakang.

"Kamu pikir, kenapa aku memintamu jadi madu? Agar aku lebih mudah untuk membunuhmu, Adinda!"

Bruk!

Aku memegang kening yang terbentur lantai. Aku segera meraba tubuh bagian perut dan melihatnya. Tidak ada apapun. Ternyata tadi hanya mimpi buruk. 

Aku segera meludah ke kiri tiga kali sambil beristigfar dalam hati, sebagaimana yang diajarkan Ayah jika sedang bermimpi buruk. Entah apa maksud dari mimpi barusan, semoga saja bukan pertanda buruk.

***

Hari sudah sore, aku sedang menikmati segelas teh hangat bersama Ibu. Potongan roti bakar dan singkong rebus buatan Ibu masih mengepulkan asap, pertanda baru diangkat dari tempat kukusan.

"Kamu ada niat menikah lagi, Din?" Tanya Ibu sambil meniup singkong rebus. Ibu makan perlahan, dan mengunyahnya sambil menyeruput teh manis hangat.

"Aku ... Gak tau, Bu. Aku cuma takut kehilangan lagi." Pandanganku menerawang ke atas langit yang mulai gelap. Seolah aku bisa melihat wajah Mas Arkan yang tersenyum padaku dari atas langit itu.

"Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan, Nak. Tetaplah berhusnudzon pada Allah semoga pernikahanmu yang selanjutnya diberi takdir waktu yang panjang, seperti Ibu dan Bapakmu ini." Ibu mengelus pundakku, memberikan kehangatan seperti yang biasa ia lakukan ketika aku sudah mengingat Mas Arkan. Karena keberadaan Ibulah, aku tidak mengalami depresi pasca kehilangan Mas Arkan.

"Iya, Bu. Sekarang aku cuma ingin sendiri dulu, belum kepikiran nikah lagi."

"Iya tidak apa, Ibu kan hanya bertanya, bukan memaksa. Yang jelas, Ayah dan Ibu akan dukung apapun keputusanmu. Tapi, harapan Ibu pasti ingin kamu menikah lagi, Nak. Kamu masih muda, jangan menghabiskan masa tua sendirian karena kamu akan kesepian. Siapa nanti yang akan menemanimu jika Ayah dan Ibu tiada?"

"Ibu! Jangan bilang gitu, aku gak akan sanggup kehilangan Ayah dan Ibu. Aku ikut mati saja kalau gitu!" 

"Hush! Bicaramu itu pakai bismillah dulu. Jangan asal nyebut!"

"Ya ibu juga, malah ngomong yang gak enak di dengar." Ibu menghela napas dan geleng-geleng kepala. Lalu kembali menyeruput teh manisnya.

"Kalau temanmu yang kemarin, itu siapa namanya?" tanya Ibu, mencoba mengalihkan pembicaraan sepertinya.

"Salima dan Fahri, bu. Mereka itu suami istri, dua-duanya temen SMA." Ketika Ibu menyebut lagi Salima, aku bergidik ngeri karena masih teringat dengan mimpi buruk semalam. Entah apa arti mimpi itu, yang pasti perasaanku jadi buruk hari ini.

"Oh begitu, mereka terlihat serasi ya, tampan dan cantik. Kamu segeralah punya pasangan lagi, biar bisa double date sama temanmu itu," ucap Ibu sambil menyenggol bahuku.

"Elah Ibu, tau dari mana kata double date gitu? Gaya amat." Bu, seandainya kau tahu kalau aku disuruh jadi orang ketiga diantara mereka, bagaimana perasaan Ibu nantinya?

***

Hari ini agak sepi dari biasanya, aku segera membereskan dagangan dan mulai menghitung hasil penjualan selama beberapa hari ini. Alhamdulillah, uang yang aku hasilkan dari berjualan nasi uduk ini sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan setiap jum'at aku masih bisa memberi 50 porsi gratis pada lansia, janda, dan tetangga sekitar yang hidupnya kekurangan.

Drap drap drap

Terdengar langkah cepat dan berlari dari arah luar. Lalu tak lama terdengar suara pintu rumah yang terbuka dan orang yang memanggil.

"Adinda ... Adinda!" Seru Ibu begitu melihatku di kamar.

"Kenapa, Bu?"

"Ayahmu!" Satu kata yang meluncur dari Ibu langsung membuatku bangkit. Firasat buruk mulai bermunculan. Ayah kenapa? Tapi aku tidak lagi banyak bertanya. Aku segera bersiap dan membawa dompet. Ibu mencoba  menjelaskan dengan patah-patah, dari yang kudengar dari Ibu, sepertinya Ayah kecelakaan saat pulang dari sekolah.

"Ayah dimana sekarang, Bu?"

"Katanya dibawa ke Puskesmas, ayo cepetan!" Ibu segera memakai helm dan naik motor begitu aku sudah siap. 

"Cepetan dikit, Adinda! Ibu gak tenang ini!" Suara Ibu terdengar panik.

"Bu, Ibu harus tenang dan sabar. Kita juga harus selamat, jangan sampai nanti di Puskesmas bukannya jaga Ayah, malah kita yang masuk UGD kalau ngebut mah. Ibu banyakin berdo'a supaya Ayah baik-baik aja."

"Iya, iya kamu benar, kita harus selamat di jalan. Jangan ngebut, Ibu akan berdo'a sepanjang jalan," kata Ibu akhirnya yang membuatku lega dan tenang di sepanjang jalan. Meskipun sebenarnya aku pun cemas,  namun kuredam agar Ibu bisa tenang. Bagaimanapun, Ibu punya riwayat penyakit hipertensi dan jantung yang berbahaya jika beliau dalam keadaan terkejut dan cemas.

Setelah sampai di Puskesmas, kami pun segera masuk ke ruang UGD. Ayah terlihat berbaring dengan beberapa luka di wajah dan tangan. Kakinya terbalut dengan gips. Ibu langsung menghambur ke pelukan Ayah dan menangis. Tanpa bisa dicegah lagi, aku pun ikut menangis melihat keadaan Ayah yang tak sadarkan diri dengan berbalut luka, sakit hati ini melihat orang yang disayangi terlihat tidak berdaya.

Pernyataan dari dokter membuatku semakin resah. Ayah mengalami patah tulang dan harus segera di rontgen. Mereka membuat rujukan ke rumah sakit umum agar Ayah dapat penanganan khusus oleh dokter spesialis ortopedi. Aku menyetujui keputusan dokter untuk rujuk, dengan harapan Ayah bisa sembuh seperti sedia kala.

Aku menangis memikirkan bagaimana jika akhirnya Ayah harus operasi? Bagaimana cara aku bisa mendapat uangnya nanti? 

"Ya Allah ... Semoga saja hasil rontgen nanti tidak menunjukkan permasalahan yang fatal," harapku dalam hati.

***

   

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hazimah Mardhiyyah
seruuu ceritanyaaa......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Mauku jadi Madu   Bab 24

    Bab 24Kedatangan Ibu Mertua“Eh, Ibu. apa kabar, Ibu sehat?” tanyaku menepis rasa gugup yang mendera. Ibu masih bergeming dan tak menjawab sapaan dariku. Ia masih menatapku tajam dan menelisik dari atas sampai bawah. Ia juga seperti sedang mengamati sekitar rumah.Aku meneguk ludah, lalu membungkuk dan mencoba meraih tangannya ingin mencium tangannya. Namun, Mama langsung menepis tanganku dengan kasar. “Jangan sentuh tanganku, pelakor!”Aku mengelus dada sambil beristigfar dalam hati. Andaikan ada Mas Fahri disini, mungkin aku tak akan mati kutu seperti sekarang ini. Aku benar-benar tak tahu bagaimana harus menjelaskan pada Bu Halimah. Harusnya ini semua dilakukan oleh Mas Fahri.“Mas Fahri sedang tak ada di rumah, Bu. Sedang di luar kota.” Aku berusaha setenang mungkin menjawab pertanyaan darinya.“Saya tahu. Makanya saya kesini, mau lihat seperti apa sosok wanita yang menggoda anakku untuk melakukan poligami, dan menjadikannya anak durhaka dalam sekejap. Sama sekali aku tak diunda

  • Bukan Mauku jadi Madu   Bab 23

    Bab 23Kembali ke Masa KiniAku sudah memasukkan kembali baju ke dalam koper. Tak banyak barangku disini, hanya sebuah koper yang aku bawa saat pertama datang.“Sudah selesai packingnya?” tanya Mas Fahri sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar.“Sudah Mas,” jawabku sambil berdiri dan menyeret koper.Mas Fahri langsung mengambil alih koper itu dari tanganku, “Mas aja yang bawa.”“Makasih sayang,” gumamku pelan. Menjadi istrinya masih seperti mimpi saja. Mas Fahri langsung berhenti melangkah dan berbalik menatapku.“Bilang apa tadi, merdu banget dengernya,” katanya. Dia tertawa sambil terus menatapku.Aku hanya menggelengkan kepala dan mendorong punggungnya dari belakang agar dia mempercepat langkah. Masih banyak yang harus kami lakukan hari ini.Setelah semua barang masuk ke dalam mobil, aku menghampiri Salima yang sedang berdiri di dekat pintu.“Makasih banyak ya, Sal sudah diizinkan tingga

  • Bukan Mauku jadi Madu   Bab 22

    Bab 22Pov SalimaBeberapa hari sebelum pernikahan Adinda-FahriAku sudah menyiapkan surat perjanjian berisi pernyataan bahwa Adinda hanya akan menjadi istri simpanan dan harus menyembunyikan pernikahannya di depan umum. Dan perjanjian kedua berisi kerahasiaan perjanjian yang harus dijaga agar Fahri jangan sampai tahu. Jika ada yang melanggar maka konsekuensinya adalah membayar denda sebesar 100 juta rupiah. Entah kapan Adinda menandatangani kertas ini, namun aku harus menyiapkan segala kemungkinan.Aku puas melihat isi perjanjian itu. Tentu saja sudah kupikirkan dengan matang apa yang akan kulakukan kedepannya. Aku bukan lagi Salima yang hanya mendamba cintanya Fahri. Namun aku akan tetap menjadi orang ketiga yang ada dalam hubungan mereka, dan memastikan sendiri mereka tidak akan bahagia karena cinta mereka telah membuat hidupku merana.Setelah kemarin menemui Adinda dan menawarkan Adinda agar menjadi adik maduku, ternyata Adinda menola

  • Bukan Mauku jadi Madu   Bab 21

    Bab 21Salima menunggu dengan sabar setiap harinya. Sebentar lagi adalah jadwal menstruasinya. Dia mendadak gelisah karena sangat berharap datang bulan itu tak akan datang. Salima bahkan sudah menyiapkan beberapa buah testpack yang akan segera dipakai jika sudah melewati masa menstruasinya.Setelah melewati satu minggu setelah masa datang bulannya terlewat, Salima memantapkan hati untuk menggunakan salah satu testpacknya. Setelah beberapa menit menunggu, dia melihat hasilnya ternyata … negative.“Apa aku belum ditakdirkan memiliki anak dari Mas Fahri?” Salima membatin dalam hatinya.Hatinya dilanda cemas luar biasa, bagaimana tidak, kehadiran anak tentunya akan berdampak besar akan kelanjutan hubungan antara dia dengan Fahri. Salima tidak rela jika dia harus bercerai dengan Fahri setelah satu tahun. Fahri adalah tipe suami idaman Salima yang tak akan pernah dilepas begitu saja.Dan hari berlalu dengan cepat. Fahri bersikap dingin seperti sedia kala. Tidak ada malam panas yang terulang

  • Bukan Mauku jadi Madu   Bab 20

    Pihak laboratorium mengatakan jika sample yang diberikan oleh Fahri sudah berhasil diidentifikasi. Fahri segera pergi ke lab untuk mengecek langsung. Petugas lab mengatakan jika botol itu mengandung ramuan herbal yang berfungsi sebagai obat perangsang dan obat kuat. Fahri mengepalkan tangannya mendengar pemberitahuan itu. Dia merasa dicurangi karena tak diberi tahu apapun mengenai obat itu sebelumnya.Fahri langsung memacu mobilnya untuk pulang ke rumah. Sudah dua hari sejak kejadian itu, dia tak pulang ke rumah dan bermalam di kantornya. Tentu saja dia masih marah pada dirinya sendiri karena melanggar janji yang sudah dia ucapkan.Tok tok tokFahri langsung mengetuk pintu dengan keras. Amarahnya telah berada di level puncak. Dan dia harus segera meluapkannya.Beberapa saat kemudian, Salima membukakan pintu. Tangan Salima terlipat di dada. Tentu saja dia kesal. Fahri dua hari tak pulang, dan sekarang mengetuk pintu dengan tak sabaran. Apa maksudnya?“Masih ingat jalan pulang ternyata?

  • Bukan Mauku jadi Madu   Bab 19

    Bab 19Mencari DalangFahri telah sampai di laboratorium, dia segera menyerahkan botol itu kepada petugas. Lalu mereka memintanya untuk kembali lagi nanti jika hasilnya sudah keluar. Petugas meminta Fahri untuk menuliskan nomor ponsel agar mudah dihubungi.Fahri berjalan gontai memasuki mobilnya. Ia memukul stir berkali-kali sebagai bentuk meluapkan amarahnya. Pikirannya kacau sekarang. Bagaimana jika sampai Salima hamil anaknya? Sudah pasti tak akan ada masa depannya bersama Adinda.“Semoga perbuatanku yang semalam tidak menghasilkan anak,” harapnya dalam hati. Fahri bertekad, mulai sekarang ia akan lebih berhati-hati terhadap apapun yang diberikan Salima. Dia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan memakan atau meminum sesuatu yang dibuat oleh tangan Salima lagi.“Mulai sekarang, kamu tak perlu lagi menyiapkan makanan untukku, siapkan saja untuk dirimu sendiri. Aku akan makan diluar mulai hari ini.” Fahri mengirimkan pesan itu pada nomor Salima.Lalu Fahri menghidupkan mobilnya dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status