Share

Bab 6. si Beruang Kutub

"Tolong! Ib—," mulutku langsung di bekap oleh tangan kekar.

"Sutt..!" Lelaki di hadapanku meletakkan telunjuknya di depan bibirnya.

"M–as Adnan?" Aku masih membeku menatap lelaki di hadapanku. Baru kali ini kami sedekat ini. Kesempatan langka jangan di sia-siakan.

"Mas kapan datangnya?" Tanyaku dengan tatapan yang masih tidak percaya. Mas Adnan yang tersadar langsung berdiri.

"Ma–af, tadi malam saya sampai di sini, mau bangunin nggak enak, maaf membuatmu terkejut." Jawabnya dengan mata menunduk dan suara bergetar.

Ck, dia masih memperlakukanku seperti bossnya, aku ingin di perlakukan sebagaimana perlakuan suami terhadap istrinya.

"Saya mau ke masjid dulu. Assalamu'alaikum." Ucapnya sambil keluar kamar.

"Waalaikumussalam," jawabku lirih dengan tampang yang masih syok.

Aku mengusap wajahku yang mulai sadar. Wangi parfumenya masih tertinggal.

Aku menghirup aroma parfumnya dalam-dalam dan bibirku seketika mengembangkan senyum membayangkan kejadian tadi.

"Yes yes yess.." tanganku terkepal sambil joget-joget ala robot. Sambil senyum-senyum aku berbalik hendak ke kamar mandi. Wajahku langsung bersemu merah dan panas melihat Mas Adnan yang terpaku di depan pintu.

"Maaf… pecinya ketinggalan," ucapnya sambil mengambil peci dan melangkah dengan senyum yang tertahan.

Ya Allah mau di taruh di mana nih muka. 

Aku merutuki tingkah konyolku tadi, apa Mas Adnan juga mendengar apa yang aku ucapkan tadi? Ya Allah malu sekali mana pake acara joget-joget lagi. 

Aku langsung bergegas mengambil handuk yang di gantung pada kapstok yang menempel pada pintu kamar. Aku berlalu ke kamar mandi masih sambil merutuki kekonyolanku.

Ibu dan Amira terlihat sudah segar wajahnya karena air wudhu. 

"Tungguin Zafira," pintaku pada Ibu dan Amira.

"Iyaa, pasti di tungguin kok," jawab Ibu tersenyum.

Aku langsung ngibrit ke kamar mandi. 

Setelah sholat subuh aku langsung ke dapur membantu ibu masak. Eh, ralat maksudnya melihat-lihat. 

 Aku masih malu bertemu dengan si beruang kutub. 

"Kenapa nduk? Kok kayak cemas?" tanya Ibu mertua. Ternyata sedari tadi ibu memperhatikan ekspresiku.

"Enggak apa-apa kok buk, apa yang bisa Zafira bantu nih?" tanyaku mengalihkan perhatian Ibu. 

"Ibu perhatikan kamu kayak gelisah, bantu irisin bawang nduk, bisa ngiris bawang?"

"Bisa Bu," jawabku yakin, hanya ngiris bawang kan apa susahnya. Aku langsung mengambil pisau dan talenan yang ibu berikan dan duduk di dekat Amira yang sedang memotong-motong wortel untuk di bikin sop. 

"Kok perih mataku." Aku kaget karena baru irisan kedua mataku perih sekali.

"Jangan di kucek mbak." Amira langsung memegang tanganku yang reflek hendak mengucek mataku yang perih.

"Itu perih karena ngiris bawang mbak, ini cuci tangan dulu." Amira berkata sambil menyodorkan baskom berisi air di hadapanku untuk mencuci kedua tanganku.

Yang benar saja bawang merah bisa bikin mata perih.

"Are you serriously?" tanyaku tak percaya pada Amira.

"Serius Mbak, coba mbak googling." Amira mentatapku dengan wajah serius yang membuat tawaku langsung meledak.

"Assalamu'alaikum..." salam dari depan seketika membuat tawaku berhenti. Suara di beruang kutub, aduh mau sembunyi di mana aku.

"Wa'alaikumussalam." Amira menjawab sambil melirik dan tersenyum ke arahku.

Malah senyam-senyum loh, nggak tau apa kakak iparnya sedang berjuang menahan rasa malu dengan memasang muka tembok.

"Acieeee… " Aku langsung terperanjat mendengar suara Amira dan melihat tangan kekar yang tersodor di depan  wajahku.

"Ciyeee manten anyar, malu-malu tikus. Huhuyyy yang jomblo bisa apa, jadi penonton doang." Setelah mencium tangan Mas Adnan seketika kecupan kecil mendarat di keningku. 

"Anggaplah dunia milik berdua  tolong kasihanilah adik kalian yang jomblo ini, Mas dan Mbak bikin jiwa jombloku meronta-ronta." 

 Wah, kesempatan dalam kesempitan nih si beruang kutub. Terlihat biasa saja wajahnya. Nggak gerogi seperti ketika di kamar. Duh bilang kamar membuat wajahku bersemu merah akibat mengingat kejadian subuh tadi. Mau taruh di mana muka ini.

"Husst.. Mir, masih kecil kamu tuh." Ibu berkata dari dapur.

"Anak segede gini dibulang masih kecil. Amira udah 19 tahun gini masih di bilang anak kecil," sungut Amira dengan bibir mencebik.

"Sedewasa apapun seorang anak, tetaplah anak kecil bagi orang tuanya." Mas Adnan berucap bijak dan membuatku semakin tersepona eh terpesona.

"Iya mas, makanya cepat hadirkan anak kecil di rumah ini biar aku nggak di anggap anak kecil terus," ucap Amira yang membuat mas Adnan kalah telak.

"Prosesnya aja belum dek," Jawabku dalam hati tentunya, nggak mungkin dong aku menjawab dengan lantang. Nanti di kiranya mengharap. Harus jaga image dong.

"Doakan dek." Mas Adnan hanya menjawab singkat kemudian berlalu ke dapur mencium tangan Ibu.

Tambak tangan ibu mengusap kepala Mas Adnan. 

 "Wajahnya kok terlihat santai ya, apa dia sudah melupakan kejadian tadi? Syukurlah kalau sudah lupa," monologku dalam hati.

"Nanti siap-siap ya, kita ke Acaranya Alisya," ucap mas Adnan.

"Adnan utusan dari kantor mewakili Papa mertua. dan Papa menyuruhku mengajak ibu, Zafira, dan Amira," lanjut Mas Adnan yang membuat mata ibu langsung berbinar. 

"Kalau datang hanya untuk dihina, sebaiknya Amira di rumah saja mas," Amira menjawab.

"Kali ini mas tidak akan membiarkan mereka menghina kita," jawab Mas Adnan dengan sorot mata tajam yang semakin tampan di mataku.

 Akhirnya Papa mengabulkan keinginanku. Kemaren aku menelpon Papa agar mengutus Mas Adnan menjadi perwakilan perusahaan di pernikahannya Jeffry.

Kan malu kalau aku yang ngajak. Meskipun Jeffry hanya karyawan biasa, tujuanku hanya ingin membuat Bude kapok dengan tingkahnya yang sombong.

 Setelah semua tersaji di meja makan kami langsung sarapan bersama-sama.

"Pengantin baru nggak suap-suapan nih?" Amira masih terus menggoda.

"Husst… Mir, di godain terus dari tadi, kalau lagi makan jangan sambil bicara." Ibu menegur Amira. 

 Yang ditegur malah menampakkan cengiran tanpa dosa.

Si beruang kutub malah datar aja mukanya namun kelihatan berwibawa. Mungkin ini yang membuatnya menjadi menantu kesayangan Papa.

Iyalah.. kan Mas Adnan satu-satunya menantu Papa. Lama menatapnya membuat otakku ngelag juga.

 Setelah makan kami bersiap-siap. Si beruang kutub yang sudah selesai ganti baju langsung duduk di ruang tamu sambil menikmati kopi.

Lantai ruang tamu masih dilapisi Karpet tipis, karena furniture yang dibeli kemarin nanti siang baru di antarkan.

 Ketika keluar dari kamar, aku yang salting dengan tatapan Mas Adnan yang membeku menatapku. Apa ada yang salah dengan penampilanku? 

"Masya Allah, Cantik sekali Mbak Zafira, itu Mas Adnan sampe nggak berkedip," ucap Amira sambil meledek Kakaknya.

Mas Adnan langsung tertunduk dan terlihat memerah wajahnya. Aku juga salah tingkah mendengar pujian gadis cerewet ini. 

"Ayo berangkat." Lelaki itu berucap singkat tanpa menatapku. Ibu mertua tersenyum melihat Mas Adnan.

"Masya Allah, Ibu cantik sekali." Ucap Mas Adnan kepada Ibu mertua.

"Iya, bajunya di beliin nduk Zafira. Ini sama gelang dan cincin juga, Amira yang mekapin Ibu." Jawab ibu sambil mengangkat tangannya memperlihatkan gelang dan cincin nya kepada Mas Adnan.

Kemudian tatapan lelaki itu beralih ke arah ku dengan sorot mata yang seperti mengungkapkan rasa terima kasih. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

"Pakai mobil aja bu," Ucapku.

"Dekat nduk, jalan aja." Jawab Ibu.

"Pakai Mobil aja buk, hayuuk lah," Rayuku sambil menarik lembut tangan ibu masuk ke dalam mobil.

Mas Adnan masuk dan duduk di kursi kemudi kemudian Aku duduk di samping ibu dan meminta Amira duduk di samping Mas Adnan.

Aku ingin melihat seperti apa reaksi keluarga bude Siti melihat tamu yang tak diundang ini datang?

Penasaran dengan reaksi Bude siti? 

Nantikan di Next Bab😁✌️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status