P.O.V Zafirah
Aku tersenyum puas menatap wajah mbak Aira yang tampak seperti mayat hidup. "Silahkan pergi dari sini, atau—." Aku sengaja menjeda ucapanku sambil mengetuk ngetuk casing ponselku menikmati ekspresi panik mbak Aira.Dengan wajah yang kesal wanita sombong itu langsung melangkah meninggalkan teras rumah ibu yang penuh dengan barang belanjaan kami. Pastinya si nenek lampir penasaran dengan isi belanjaan kami. Ibu hanya melongo menyaksikan kepergian Mbak Aira yang terlihat kesal bercampur panik."Kok Aira nampak ketakutan ya?" tanya ibu dengan wajah keheranan. Amira hanya tersenyum karena sudah mengetahui penyebab si nenek lampir panik."Ayok masuk buk, nih martabak telur kesukaan ibu," ajak Amira sambil menggandeng tangan ibu masuk agar perhatian ibu teralihkan dan tidak bertanya lebih lanjut lagi. Semua akan terungkap pada saatnya."Tolong sekalian di bawa masuk ke dalam ya pak, nanti saya tambah upahnya," pintaku kepada sopir taxi yang sedari tadi menurunkan barang dari taxi yang kami tumpangi."Baik buk," jawabnya sambil membawa masuk barang belanjaan. Semoga ibu tidak kaget melihat barang-barang belanjaan yang akan menyusul besok."Ini pak," ujarku sambil mengangsurkan 2 lembar uang berwarna merah ke arah supir taxi yang sudah selesai pekerjaannya."Ini kebanyakan buk.""Ambil saja, Rezeki anak bapak." Jawabku sambil tersenyum."Terima kasih banyak buk, semoga rezekinya melimpah," awabnya sambil mengangguk, terlihat setitik bulir bening di sudut matanya. Hatiku juga ikut menghangat."Amiin.. sama-sama pak," jawabku. Setelah taxi di depan rumah berlalu aku melangkah ke dalam rumah. "Terima kasih nduk martabaknya, harusnya nggak perlu repot-repot." Ibu tersenyum menatapku yang baru masuk ke dapur.Aku menelan saliva menatap makanan yang tertata di atas meja makan. Ada sayur sop, Ikan asin, sambel terasi, ikan bakar yang di atasnya bertabur siraman sambel tomat mentah, juga nasi hangat di dalam bakul, dan lauk pauk lainnya.Sudah seminggu disini ini menjadi makanan favoritku. Makanan yang belum pernah aku cicipi, tetapi pertama kali mencoba langsung pas di lidah."Wah.. banyak sekali makanannya, ibu yang masak sendiri?" Tanyaku dengan mata berbinar namun kasihan juga karena ibu memasak sebanyak ini sendiri."Iyaa nduk, ayo duduk disini kita makan sama-sama." Kata ibu sambil menepuk kursi di sampingnya. Aku langsung duduk di samping ibu dan mengambil nasi beserta lauknya. "Ciyeee menantu kesayangan ibu mertua." Ledek Amira sambil tertawa."Iyalah.. kan aku satu-satunya menantu perempuan di rumah ini dan selamanya akan menjadi satu-satunya menantu perempuan di rumah ini." Jawabku sambil tertawa."Kok bisa?" tanya Amira dengan tampang keheranan."Kan Anak lelaki ibu cuma mas Adnan," jawabku sambil terbahak dan diiringi oleh tatapan gemas Amira."Sttt, kalau makan jangan sambil bicara! Nanti setelah makan baru lanjutkan lagi obrolannya," tegur ibu sambil menyendokkan nasi ke piringnya.Kami langsung bungkam dan lanjut menikmati menu yang sangat istimewa bagiku. Setelah makan kami lanjut duduk-duduk di ruang tamu yang hanya di gelari karpet tipis. Amira memindahkan martabak yang tadi di beli buat ibu ke piring. Kami menikmati martabak sambil menonton tv yang terletak di ruang tamu. "Ini buat ibu." Aku memberikan paperbag kepada ibu mertua."Apa ini? Kok banyak sekali? Boleh ibu buka?" Ibu terkejut sambil mengintip papperbag yang kusodorkan."Boleh. Kan untuk ibu," jawabku sambil tersenyum.Ibu terkejut setelah mengeluarkan isi dari dalam papperbag. "Bagus sekali bajunya Nduk, ini pasti mahal sekali, buat apa beli baju semahal ini?" Gurat wajah ibu terlihat sendu."Ibu tidak suka? Kenapa ibu sedih?" tanyaku khawatir."Ini sangat bagus, ibu sangat suka, tapi ini mau di pake buat apa?" sahut ibu dengan mata berkaca-kaca. "Nanti di pake di acara pernikahannya Alisya dan jeffry," jawabku sambil menatap ke arah tv."Ya Allah nduk, kita kan nggak di undang, apa kamu lupa?" tanya ibu sambil mengusap sudut matanya dengan punggung tangan.Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan ibu. "Pokoknya gaun ini di pake nanti di acara pernikahan Alisya." Aku kembali membuka barang di dalam papperbag yang lainnya.Aku mengeluarkan gelang dan cincin emas yang sangat cantik dan memakaikannya di tangan ibu. Mata ibu berkaca-kaca menatapku."Ini terlalu berlebihan Nduk, sebaiknya kamu simpan aja buat tabungan masa depan." Tangan ibu bergerak hendak membuka gelang di tanganya."Ini hadiah dari Zafira, kalau ibu menolak nanti Zafira sedih." Aku memasang wajah sedih agar ibu mau memakai gelang pemberianku. "Terima kasih ya nduk, tapi nanti ibu simpan aja ya" Ibu berucap sambil menatap kagum gelang di tangannya."Sama-sama buk, Terserah ibu deh, tapi nanti pas acara pernikahan Alisya di pake ya," pintaku sambil tersenyum."Oh iya, Amira mana ya bu?" tanyaku sambil melihat ke arah dapur."Ke belakang tadi, nggak tau juga kok belum balik-balik?" jawab ibu sambil mengikuti pandanganku ke arah dapur.Yang di bicarakan tiba-tiba muncul dengan tersenyum."Terima kasih ya mbak, sudah memperlakukan ibu dengan baik, biasanya yang Amira baca di novel-novel online banyak menceritakan ibu mertua dan menantu yang tidak akur." Amira tersenyum menunjukkan barisan giginya yang rapi."Nggak semua mertua dan menantu kayak gitu lah dek, iya kan bu." Aku tersenyum menatap wajah ibu mertua yang terlihat mulai mengantuk. "Yang itu buat Amira." Aku menunjuk papperbag di sudut meja tv."Kok banyak sekali mbak," jawab Amira yang tidak tahu isi dari papperbag karena tadi waktu belanja Amira asyik melihat dan membaca buku-buku novel di tempat penjualan buku."Nanti bukanya pas di kamar, sekalian cobain kan, semoga cocok ya." "Duh mbak, kebanyakan itu." Amira menjawab dengan tatapan tak enak."Itu hadiah dari mbak sebagai ucapan selamat atas kelulusan kamu," jawabku tersenyum."Di terima ya dek, kalau nggak mbak pasti sedih," ucapku sambil memasang tampang sedih. "Iyaa, terima kasih banyak mbak, tapi jangan sering-sering ya, nggak enak Mira." Amira tersenyum.* * *Adzan subuh terdengar dari mushollah desa. Aku mengucek mata yang masih mengantuk."Aaakh… siapa kamu?" Pekikku yang masih setengah sadar melihat punggung seseorang yang berdiri membelakangi di samping jendela kamar."Tolooong… Ib—." Aku hendak berteriak tetapi mulutku langsung di bekap.Siapa kira-kira ya, yang berani masuk di kamar?"Tolong! Ib—," mulutku langsung di bekap oleh tangan kekar."Sutt..!" Lelaki di hadapanku meletakkan telunjuknya di depan bibirnya."M–as Adnan?" Aku masih membeku menatap lelaki di hadapanku. Baru kali ini kami sedekat ini. Kesempatan langka jangan di sia-siakan."Mas kapan datangnya?" Tanyaku dengan tatapan yang masih tidak percaya. Mas Adnan yang tersadar langsung berdiri."Ma–af, tadi malam saya sampai di sini, mau bangunin nggak enak, maaf membuatmu terkejut." Jawabnya dengan mata menunduk dan suara bergetar.Ck, dia masih memperlakukanku seperti bossnya, aku ingin di perlakukan sebagaimana perlakuan suami terhadap istrinya."Saya mau ke masjid dulu. Assalamu'alaikum." Ucapnya sambil keluar kamar."Waalaikumussalam," jawabku lirih dengan tampang yang masih syok.Aku mengusap wajahku yang mulai sadar. Wangi parfumenya masih tertinggal. Aku menghirup aroma parfumnya dalam-dalam dan bibirku seketika mengembangkan senyum membayangkan kejadian tadi."Yes yes yess.." tanganku terkepal
P.O.V AuthorMobil Zafira berhenti di halaman luas Bude Siti. Terlihat dekorasi mewah terpampang di depan mata, pasti harganya sangat fantastic. Terlihat di depan yang menyambut tamu adalah Aira dan beberapa Wanita. Zafira dari rumah sudah mempersiapkan Amplop berwarna cokelat yang di dalamnya ada uang senilai 5 juta. Pandangan mereka teralihkan ke arah mobil mewah berwarna grey yang terparkir di halaman. Wajah Aira terlihat tersenyum lebar sambil berlari ke dalam memberitahu Ibunya. "Ibu ada tamu spesial, pake mobil mewah di depan, pasti amplopnya tebal," ucap Aira berbisik pelan di telinga Bude Siti yang sedang menyalami tamu dengan gelang yang kebak di tangannya. Juga cincin berjejer di jari nya. Pernikahan anaknya yang mewah menjadi ajang pamer juga. "Serius kamu Ai?" Bude Siti langsung bergegas ke depan setelah berpamitan dengan besannya. Sedangkan suaminya– Rusdi hanya menatap dengan tatapan penasaran. Bude siti seketika melotot melihat mobil mewah di depan rumahnya. Waja
"Rumah ini enggak usah di renovasi!" Ucapan Zafira membuat Adnan seketika membeku. "Maksud Zafira, Rumah ini nggak usah di renovasi, kita bangun rumah baru buat Ibu di tanah yang baru." Sambung Zafira yang membuat prasangka buruk Adnan terhadapnya terpatahkan. "Tapi—," Ucapan Adnan terhenti karena pintu depan di hempaskan kuat. Semua mata memandang ke arah pintu."Ada apa Mas?" Tanya Ningsih dengan wajah panik karena kaget."Kembalikan uang 50 juta yang dulu kalian pinjam untuk biaya rumah sakit Rusli–suamimu!" Bentak lelaki yang berdiri di ambang ointu rumah Ningsih."Astagfirullah Mas, seenggaknya ucapkan salam dulu sebelum masuk,"Ningsih menjawab dengan nada sopan."Halahh.. Rumah kayak kandang ayam aja harus pake salam segala. Cepat kembalikan Uang itu!" Bentak Rusdi–suami Bude siti dengan tatapan nyalang. "Pakde Rusdi yang terhormat, anda orang terpandang di desa ini, tolong sisipkan sedikit etika untuk menjaga marwah anda," Adnan berucap dengan wajah tenang. "Heh Anak miski
"Kurang ajar si anak si*lan itu!" Lelaki dengan tampang sangar itu tampak ngedumel."Berani-beraninya dia mengancamku, belum tau aja siapa Rusdi! Awas kamu Zafira. Aku akan membalasmu!" racau lelaki itu dengan nada emosi. Braakk!! Pintu rumah dihempaskan kuat. Wanita tambun yang tengah duduk di sofa itu langsung terperanjat."Ada apa toh, Pah? Datang-datang kok, marah-marah. Papa dari mana?" Siti yang terkejut langsung berdiri menyambut suaminya."Dari rumah Ningsih," ucap lelaki itu dengan wajah masam."Kurang ajar menantu Ningsih itu! Berani-beraninya dia mengancamku," lanjut Rusdi dengan wajah geram."Ngancam gimana maksudnya Pah? Memang kurang ajar menantu ningsih itu! Zafira ngancam apa pak?" cerca Siti dengan mimik wajah penasaran. "Jangan banyak tanya dulu! Cepat buatkan minum, aku haus!" bentak Lelaki bertampang sangar itu. "Nggak usah ngebentak juga pak!" balas Siti dengan nada sengit. Wajah Rusdi semakin memerah menahan kesal."Neeem! Inem! Buatkan minum!" teriak Siti l
POV Zafira Aku sedang jalan sore bersama Amira, ketika di depan rumah Bude Siti aku terkejut. Ada mobil yang terparkir di halaman rumah dan sepertinya tidak asing. "Kok platnya kayak kenal?" Monolog Ku dengan dahi berkerut. Aku terfokus menatap mobil hitam metalik di hadapanku. "Kenapa? Kaget? Pengen? Hahaha… sampe melotot gitu liatin mobil mewah. Katanya orang kaya, kok udik banget! Liatin mobil mewah langsung melotot gitu." Suara Bude Siti yang menggelegar berhasil membuatku kaget. Para tetangga pun berdatangan. Suara Bude Siti yang menggelegar seakan menjadi undangan gratis untuk tetangga. Tampang kepo terpampang jelas dari wajah-wajah mereka. " Ada apa, Mbak? Ayo!" Amira menarik tanganku. Sepertinya adik iparku ini takut di cerca lagi dengan hinaan. Alisya berdiri disamping Ibunya sambil bersedekap di dada. Wajahnya tampak angkuh. Sedangkan Pakde Rusdi berkacak pinggang dengan tampang garang yang menghiasi wajahnya."Mobil siapa ini?" Aku bertanya kepada Bude. Mobil ini
"Ibu kenapa?" tanyaku khawatir. "Nggak kenapa-kenapa kok, Nduk," jawab Ibu sambil tersenyum. Ibu sepertinya ingin menyembunyikan penyebab tangisnya. Namun mata sembab itu tidak bisa berbohong. "Matanya sembab gitu, Ibu habis nangis, ya?" Amira bertanya kepada Ibu Mertua. "Nggak apa-apa kok, Nduk. Ibu hanya kangen sama Ayah," ucap Wanita itu sambil menunduk. Bulir bening melintasi pipinya yang sudah tampak keriput termakan usia. Amira langsung berjalan menghampiri Ibu mertua, kemudian memeluknya erat. Menyalurkan kekuatan kepada sang Ibu. Sedangkan Mas Adnan– Si beruang kutub memalingkan wajahnya dari pemandangan yang mengharukan itu. Mata elangnya juga tampak berkaca-kaca. Kerinduan yang paling menyiksa adalah merindukan orang yang tidak dapat lagi kita temui lagi di dunia. Tanpa sadar air mataku juga turut menganak sungai menyaksikan pemandangan haru di depan mata. Aku langsung beranjak ke dapur untuk mengambilkan air."Minum dulu Bu," ucapku seraya mengusap-usap punggun
Para tetangga julid itu pun berlalu dengan wajah pias. Aku tersenyum puas menatap wajah mereka yang tampak pucat. Saat hendak masuk ke dalam rumah, tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul manusia yang selalu membuat tensi naik. Siapa lagi kalau bukan Bude Siti Squad. Mau apa lagi mereka ke sini? Kurang satu orang, Mbak Aira. Akhir-akhir ini si nenek lampir itu tidak pernah ikutan dengan squadnya. Mungkin masih trauma dengan gambar di layar handpone ku. Wkwkwk Aku langsung mempersilahkan mereka masuk dengan sopan. Dari dalam ada tukang yang hendak pulang setelah memasang Ac di ruang tamu dan tiap-tiap kamar. Sofa-sofa dan printilannya juga sudah tersusun rapi. Kali ini pemandangan di rumah mungil ini sangat berbeda. Aku menangkap tatapan iri dari wanita bertubuh gembrot itu. "Silahkan masuk, Bude, Pakde, Alisya," ucapku sambil tersenyum. Sedan
Aku tersenyum mendengar obrolan Ibu dan putrinya. Setelah sholat magrib, kami lanjut bercengkrama di ruang tamu merangkap ruang Tv. "Assalamualaikum," ucapan salam dari pintu depan membuat mata kami sontak beralih ke pemilik suara bariton di ambang pintu."Waalikumussalam." Serempak kami menjawab salam lelaki satu-satunya di rumah ini. Wajah teduhnya sungguh membuat siapa saja yang menatap wajahnya merasa damai. Lelaki impian banyak wanita. Aku wanita beruntung yang mendapatkan lelaki sholeh dan penyayang sepertinya. Meskipun belum pernah merasakan indahnya malam pengantin bersamanya. Duhh kesitu lagi kan? "Mbak! Melamun mulu dari tadi," suara panggilan Amira membuatku langsung tersentak dari lamunanku. Tangan kekar itu sudah menjukur di depan wajahku. Lelaki bermata sayu itu tersenyum ke arahku. Jantungku berdetak cepat seperti akan lepas dari tempatnya.