Share

Bab 5. Siapa Itu?

P.O.V Zafirah

Aku tersenyum puas menatap wajah mbak Aira yang tampak seperti mayat hidup. 

"Silahkan pergi dari sini, atau—." Aku sengaja menjeda ucapanku sambil mengetuk ngetuk casing ponselku menikmati  ekspresi panik mbak Aira.

Dengan wajah yang kesal wanita sombong itu langsung melangkah meninggalkan teras rumah ibu yang penuh dengan barang belanjaan kami. Pastinya si nenek lampir penasaran dengan isi belanjaan kami. 

Ibu  hanya melongo menyaksikan kepergian Mbak Aira yang terlihat kesal bercampur panik.

"Kok Aira nampak ketakutan ya?" tanya ibu dengan wajah keheranan. Amira hanya tersenyum karena sudah mengetahui penyebab si nenek lampir panik.

"Ayok masuk buk, nih martabak telur kesukaan ibu," ajak Amira sambil menggandeng tangan ibu masuk agar perhatian ibu teralihkan dan tidak bertanya lebih lanjut lagi. Semua akan terungkap pada saatnya.

"Tolong sekalian di bawa masuk ke dalam ya pak, nanti saya tambah upahnya," pintaku kepada sopir taxi yang sedari tadi menurunkan barang dari taxi yang kami tumpangi.

"Baik buk," jawabnya sambil membawa masuk barang belanjaan. 

Semoga ibu tidak kaget melihat barang-barang belanjaan yang akan menyusul besok.

"Ini pak," ujarku sambil mengangsurkan 2 lembar uang berwarna merah ke arah supir taxi yang sudah selesai pekerjaannya.

"Ini kebanyakan buk."

"Ambil saja, Rezeki anak bapak." Jawabku sambil tersenyum.

"Terima kasih banyak buk, semoga rezekinya melimpah," awabnya sambil mengangguk, terlihat setitik bulir bening di sudut matanya. Hatiku juga ikut menghangat.

"Amiin.. sama-sama pak," jawabku. 

Setelah taxi di depan rumah berlalu aku melangkah ke dalam rumah. 

"Terima kasih nduk martabaknya, harusnya nggak perlu repot-repot." Ibu tersenyum menatapku yang baru masuk ke dapur.

Aku menelan saliva menatap makanan yang tertata di atas meja makan. Ada sayur sop, Ikan asin, sambel terasi, ikan bakar yang di atasnya bertabur siraman sambel tomat mentah, juga nasi hangat di dalam bakul, dan lauk pauk lainnya.

Sudah seminggu disini ini menjadi makanan favoritku. Makanan yang belum pernah aku cicipi, tetapi pertama kali mencoba langsung pas di lidah.

"Wah.. banyak sekali makanannya, ibu yang masak sendiri?" Tanyaku dengan mata berbinar namun kasihan juga  karena ibu memasak sebanyak ini sendiri.

"Iyaa nduk, ayo duduk disini kita makan sama-sama." Kata ibu sambil menepuk kursi di sampingnya. Aku langsung duduk di samping ibu dan mengambil nasi beserta lauknya. 

"Ciyeee menantu kesayangan ibu mertua." Ledek Amira sambil tertawa.

"Iyalah.. kan aku satu-satunya menantu perempuan di rumah ini dan selamanya akan menjadi satu-satunya menantu perempuan di rumah ini." Jawabku sambil tertawa.

"Kok bisa?" tanya Amira dengan tampang keheranan.

"Kan Anak lelaki ibu cuma mas Adnan," jawabku sambil terbahak dan diiringi oleh tatapan gemas Amira.

"Sttt, kalau makan jangan sambil bicara! Nanti setelah makan baru lanjutkan lagi obrolannya," tegur ibu sambil menyendokkan nasi ke piringnya.

Kami langsung bungkam dan lanjut menikmati menu yang sangat istimewa bagiku.

 Setelah makan kami lanjut duduk-duduk di ruang tamu yang hanya di gelari karpet tipis. Amira memindahkan martabak yang tadi di beli buat ibu ke piring. Kami menikmati martabak sambil menonton tv yang terletak di ruang tamu.

 "Ini buat ibu." Aku memberikan paperbag kepada ibu mertua.

"Apa ini? Kok banyak sekali? Boleh ibu buka?" Ibu terkejut sambil mengintip  papperbag yang kusodorkan.

"Boleh. Kan untuk ibu," jawabku sambil tersenyum.

Ibu terkejut setelah mengeluarkan isi dari dalam papperbag. 

"Bagus sekali bajunya Nduk, ini pasti mahal sekali, buat apa beli baju semahal ini?" Gurat wajah ibu terlihat sendu.

"Ibu tidak suka? Kenapa ibu sedih?" tanyaku khawatir.

"Ini sangat bagus, ibu sangat suka, tapi ini mau di pake buat apa?" sahut ibu dengan mata berkaca-kaca.

 

"Nanti di pake di acara pernikahannya Alisya dan jeffry," jawabku sambil menatap ke arah tv.

"Ya Allah nduk, kita kan nggak di undang, apa kamu lupa?" tanya ibu sambil mengusap sudut matanya dengan punggung tangan.

Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan ibu. 

"Pokoknya gaun ini di pake nanti di acara pernikahan Alisya." Aku kembali membuka barang di dalam papperbag yang lainnya.

Aku mengeluarkan gelang dan cincin emas yang sangat cantik dan memakaikannya di tangan ibu. Mata ibu berkaca-kaca menatapku.

"Ini terlalu berlebihan Nduk, sebaiknya kamu simpan aja buat tabungan masa depan." Tangan ibu bergerak hendak membuka gelang di tanganya.

"Ini hadiah dari Zafira, kalau ibu menolak nanti Zafira sedih." Aku memasang wajah sedih agar ibu mau memakai gelang pemberianku. 

"Terima kasih ya nduk, tapi nanti ibu simpan aja ya" Ibu berucap sambil menatap kagum gelang di tangannya.

"Sama-sama buk, Terserah ibu deh, tapi nanti pas acara pernikahan Alisya di pake ya," pintaku sambil tersenyum.

"Oh iya, Amira mana ya bu?" tanyaku sambil melihat ke arah dapur.

"Ke belakang tadi, nggak tau juga kok belum balik-balik?" jawab ibu sambil mengikuti pandanganku ke arah dapur.

Yang di bicarakan tiba-tiba muncul dengan tersenyum.

"Terima kasih ya mbak, sudah memperlakukan ibu dengan baik, biasanya yang Amira baca di novel-novel online banyak menceritakan ibu mertua dan menantu yang tidak akur." Amira tersenyum menunjukkan barisan giginya yang rapi.

"Nggak semua mertua dan menantu kayak gitu lah dek, iya kan bu." Aku tersenyum menatap wajah ibu mertua yang terlihat mulai mengantuk. 

"Yang itu buat Amira." Aku menunjuk papperbag di sudut meja tv.

"Kok banyak sekali mbak," jawab Amira yang tidak tahu isi dari papperbag karena tadi waktu belanja Amira asyik melihat dan membaca buku-buku novel di tempat penjualan buku.

"Nanti bukanya pas di kamar, sekalian cobain kan, semoga cocok ya." 

"Duh mbak, kebanyakan itu." Amira menjawab dengan tatapan tak enak.

"Itu hadiah dari mbak sebagai ucapan selamat atas kelulusan kamu," jawabku tersenyum.

"Di terima ya dek, kalau nggak mbak pasti sedih," ucapku sambil memasang tampang sedih. 

"Iyaa, terima kasih banyak mbak, tapi jangan sering-sering ya, nggak enak Mira." Amira tersenyum.

* * *

Adzan subuh terdengar dari mushollah desa. Aku mengucek mata yang masih mengantuk.

"Aaakh… siapa kamu?" Pekikku yang masih setengah sadar melihat punggung seseorang yang berdiri membelakangi di samping jendela kamar.

"Tolooong… Ib—." Aku hendak berteriak tetapi mulutku langsung di bekap.

Siapa kira-kira ya, yang berani masuk di kamar?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status