"Kurang ajar si anak si*lan itu!" Lelaki dengan tampang sangar itu tampak ngedumel."Berani-beraninya dia mengancamku, belum tau aja siapa Rusdi! Awas kamu Zafira. Aku akan membalasmu!" racau lelaki itu dengan nada emosi. Braakk!! Pintu rumah dihempaskan kuat. Wanita tambun yang tengah duduk di sofa itu langsung terperanjat."Ada apa toh, Pah? Datang-datang kok, marah-marah. Papa dari mana?" Siti yang terkejut langsung berdiri menyambut suaminya."Dari rumah Ningsih," ucap lelaki itu dengan wajah masam."Kurang ajar menantu Ningsih itu! Berani-beraninya dia mengancamku," lanjut Rusdi dengan wajah geram."Ngancam gimana maksudnya Pah? Memang kurang ajar menantu ningsih itu! Zafira ngancam apa pak?" cerca Siti dengan mimik wajah penasaran. "Jangan banyak tanya dulu! Cepat buatkan minum, aku haus!" bentak Lelaki bertampang sangar itu. "Nggak usah ngebentak juga pak!" balas Siti dengan nada sengit. Wajah Rusdi semakin memerah menahan kesal."Neeem! Inem! Buatkan minum!" teriak Siti l
POV Zafira Aku sedang jalan sore bersama Amira, ketika di depan rumah Bude Siti aku terkejut. Ada mobil yang terparkir di halaman rumah dan sepertinya tidak asing. "Kok platnya kayak kenal?" Monolog Ku dengan dahi berkerut. Aku terfokus menatap mobil hitam metalik di hadapanku. "Kenapa? Kaget? Pengen? Hahaha… sampe melotot gitu liatin mobil mewah. Katanya orang kaya, kok udik banget! Liatin mobil mewah langsung melotot gitu." Suara Bude Siti yang menggelegar berhasil membuatku kaget. Para tetangga pun berdatangan. Suara Bude Siti yang menggelegar seakan menjadi undangan gratis untuk tetangga. Tampang kepo terpampang jelas dari wajah-wajah mereka. " Ada apa, Mbak? Ayo!" Amira menarik tanganku. Sepertinya adik iparku ini takut di cerca lagi dengan hinaan. Alisya berdiri disamping Ibunya sambil bersedekap di dada. Wajahnya tampak angkuh. Sedangkan Pakde Rusdi berkacak pinggang dengan tampang garang yang menghiasi wajahnya."Mobil siapa ini?" Aku bertanya kepada Bude. Mobil ini
"Ibu kenapa?" tanyaku khawatir. "Nggak kenapa-kenapa kok, Nduk," jawab Ibu sambil tersenyum. Ibu sepertinya ingin menyembunyikan penyebab tangisnya. Namun mata sembab itu tidak bisa berbohong. "Matanya sembab gitu, Ibu habis nangis, ya?" Amira bertanya kepada Ibu Mertua. "Nggak apa-apa kok, Nduk. Ibu hanya kangen sama Ayah," ucap Wanita itu sambil menunduk. Bulir bening melintasi pipinya yang sudah tampak keriput termakan usia. Amira langsung berjalan menghampiri Ibu mertua, kemudian memeluknya erat. Menyalurkan kekuatan kepada sang Ibu. Sedangkan Mas Adnan– Si beruang kutub memalingkan wajahnya dari pemandangan yang mengharukan itu. Mata elangnya juga tampak berkaca-kaca. Kerinduan yang paling menyiksa adalah merindukan orang yang tidak dapat lagi kita temui lagi di dunia. Tanpa sadar air mataku juga turut menganak sungai menyaksikan pemandangan haru di depan mata. Aku langsung beranjak ke dapur untuk mengambilkan air."Minum dulu Bu," ucapku seraya mengusap-usap punggun
Para tetangga julid itu pun berlalu dengan wajah pias. Aku tersenyum puas menatap wajah mereka yang tampak pucat. Saat hendak masuk ke dalam rumah, tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul manusia yang selalu membuat tensi naik. Siapa lagi kalau bukan Bude Siti Squad. Mau apa lagi mereka ke sini? Kurang satu orang, Mbak Aira. Akhir-akhir ini si nenek lampir itu tidak pernah ikutan dengan squadnya. Mungkin masih trauma dengan gambar di layar handpone ku. Wkwkwk Aku langsung mempersilahkan mereka masuk dengan sopan. Dari dalam ada tukang yang hendak pulang setelah memasang Ac di ruang tamu dan tiap-tiap kamar. Sofa-sofa dan printilannya juga sudah tersusun rapi. Kali ini pemandangan di rumah mungil ini sangat berbeda. Aku menangkap tatapan iri dari wanita bertubuh gembrot itu. "Silahkan masuk, Bude, Pakde, Alisya," ucapku sambil tersenyum. Sedan
Aku tersenyum mendengar obrolan Ibu dan putrinya. Setelah sholat magrib, kami lanjut bercengkrama di ruang tamu merangkap ruang Tv. "Assalamualaikum," ucapan salam dari pintu depan membuat mata kami sontak beralih ke pemilik suara bariton di ambang pintu."Waalikumussalam." Serempak kami menjawab salam lelaki satu-satunya di rumah ini. Wajah teduhnya sungguh membuat siapa saja yang menatap wajahnya merasa damai. Lelaki impian banyak wanita. Aku wanita beruntung yang mendapatkan lelaki sholeh dan penyayang sepertinya. Meskipun belum pernah merasakan indahnya malam pengantin bersamanya. Duhh kesitu lagi kan? "Mbak! Melamun mulu dari tadi," suara panggilan Amira membuatku langsung tersentak dari lamunanku. Tangan kekar itu sudah menjukur di depan wajahku. Lelaki bermata sayu itu tersenyum ke arahku. Jantungku berdetak cepat seperti akan lepas dari tempatnya.
Aku mengendap-endap keluar dari kamar mandi. Malu kalau sampai kepergok Ibu mertua mandi dan keramas sebelum subuh. Sedangkan Mas Adnan tampak santai saja. "Udah mandi, Dek? Katanya mau minum? Nggak bilang kalau mau mandi, biar Aku temenin," ujar si Beruang kutub yang sudah mulai mencair. Aku hanya cengengesan mendengar ocehannya. "Malu kalau mandi sebelum sholat subuh. Biasanya Ibu udah bangun, kalau ketahuan keramas gimana dong?" ucapku sambil mencari baju ganti."Ya nggak apa-apa tho Dek, Ibu juga pasti paham kok," sahut Mas Adnan sambil beranjak menuju pintu kamar. "Mau kemana, Mas?" tanyaku. "Mau mandi juga, malu kalau ketemu Ibu habis keramas," jawabnya sambil nyelonong keluar. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum simpul. Katanya nggak apa-apa, padahal malu juga. Setelah sholat subuh kami langsung melakukan rutinitas seperti biasanya. "Dek, mau jalan-jalan pagi nggak?" bisik Mas Adnan. Suaranya terdengar oleh Ibu yang berada di dekatku. "Sana jalan-jalan gih. Pagi beg
"Aku ingin jalan-jalan ke kebun teh di ujung Desa sana Mas, boleh?" pintaku kepada lelaki dengan rahang tegas itu. "Ayoo!" Lelaki bermata elang itu menjawab singkat. Aku tersenyum senang mendengar jawabannya."Terima kasih, Mas," ucapku dan hanya di tanggapi dengan senyumnya yang membuatku semakin klepek-klepek. Lelaki itu menggenggam tanganku erat. Kami sampai di kebun teh yang sangat luas dan pemandangannya sangat indah. Kebun teh ini menjadi perbatasan antara kampung ini dan kampung seberang. Banyak pemetik teh yang juga berasal dari desa seberang. Aku menghirup napas dalam-dalam guna mengisi rongga dada dengan udara segar pedesaan. Udara yang fresh dan masih belum terkontaminasi debu dan polusi seperti di perkotaan. "Seneng bener," ucap Lelaki di sampingku. "Udaranya seger Mas, bikin rileks, nggak kayak di kota. Sepertinya aku bakalan betah disini," ujarku sambil tersenyum memandang hijaunya daun teh yang menyegarkan mata. Aku menatap bangunan yang hampir selesai di se
"Sebaiknya jangan beritahu Ibu dulu, Mas," ujarku pada Mas Adnan. "Lha? Kenapa?" Lelaki itu mengerinyitkan dahinya bingung. "Biar jadi kejutan nanti," sahutku sambil tersenyum."Baiklah! Mmm… kapan balik ke kota? Cuti Mas seminggu lagi habis," tanya Lelaki dengan manik legam itu. "Sepertinya aku betah disini deh, Mas. Mas aja yang balik ke Kota." Aku ingin tau reaksi Mas Adnan. "Mmm… tapi, kalau Papa tanya gimana?" Lelaki ini seperti enggan dan keberatan balik sendiri ke Kota. "Atau nanti Aku usulin ke Ayah kita pindah kesini ngurus kebun Teh aja, gimana? Lagian Papa juga masih kuat mimpin perusahaan." Aku memberi usul kepada lelaki yang berjalan di sisiku. Sebenarnya Aku juga tidak mau berjauhan dari Mas Adnan. Tapi melihat kondisi di sini, belum saatnya aku balik ke Kota sebelum menyelesaikan permasalahan disini. Kalau Aku kembali ke kota sekarang. Seperti kalah sebelum bertempur. Aku ingin membungkam mulut julid para tukang gosip. Aku hahya ingin Ibu mertuaku dihormati s