Share

Bukan Menantu Tersayang
Bukan Menantu Tersayang
Penulis: Ziie Kato

Part 1 - Kegalauan Hati

"Apa! Menikah?" Fandy tersentak mendengar penuturan Hasna. "tidak!" lanjutnya lagi, sesungguhnya ia pun ingin mengiyakan namun di satu sisi kendala orang tua yang membuatnya bimbang. Hasna bergeming tak menyangka Fandy semarah itu. Bukankah ini kabar gembira? Kenapa lelaki yang mengaku mencintainya tak mau menikahi dirinya.

"Mm … maksud aku tidak sekarang. Tapi nanti,  aku janji. Kita pasti akan menikah. Aku mohon kamu bersabar,” ucap Fandy melunak. Diraihnya tangan wanita manis didepannya.

"Tapi kapan? Sebenarnya paman dan bibiku sudah pernah menanyakan perihal ini. Hingga akhirnya muncul gosip itu yang menyebar kemana-kemana."

Suara wanita itu parau, ia nyaris meneteskan air matanya. Hasna Safitri namanya, sejujurnya ia pun gemas dengan fitnah yang dituduhkan padanya. Ia tak tega pamannya harus menerima cibiran pedas karena kejadian itu.

"Argg ... fitnah sialan! Dasar orang kampung." Geram Fandy kesal. Wajahnya pemuda bermata sipit itu tampak memerah.

"Satu hal yang ingin aku tanyakan padamu, apakah kamu mencintaiku."

Fandi terdiam menatapnya.

Sorot mata Hasna tajam menatap lelaki itu seakan ingin menyelami lebih jauh isi hatinya. Bukankah kata pepatah mata adalah jendela hati?

"Kenapa kamu tanyakan itu. Jelaslah aku sangat mencintaimu. Apa kita lakukan saja seperti apa yang mereka tuduhkan terhadap kita?” ucap Fandi asal. Ia sendiri geram. Sesungguhnya menikah dengannya adalah hal yang menggembirakan, ia sendiri tak ingin kehilangan wanita itu. Namun dilain sisi ia pun butuh waktu untuk melakukan pendekatan agar orang tuanya mau merestui hubungan mereka.

"Gila kamu! sama saja kita membenarkan fitnah itu." Matanya yang bulat dengan bulu mata yang lentik melototi pemuda di depannya.

"Apa itu akal-akalan kamu saja agar bisa segera menikah denganku. Biasanya perempuan begitu selalu mendesak menikah dan menikah. Dengan alasan ini itu. Ah.. dasar wanita." Lirih Fandy sambil menyeringai. Ucapannya masih terdengar jelas ditelinga Winda. Fandi yang biasanya menyukai tatapan mata indah itu kini menghindarinya. Emosi membuatnya berbicara tanpa berpikir.

"Semuanya gara-gara kamu. Kalau saja malam itu kamu tak datang. Ah, sudahlah lebih baik kita akhiri saja hubungan ini. Aku tidak akan menyuruhmu lagi untuk menikah denganku." Hasna amat tersinggung dengan perkataan lelaki itu.

"Maksud kamu apa? Kita putus? Tidak, aku tidak mau." tolak Fandi menggelengkan kepalanya.

"Kita sedang sama-sama emosi. Menikah tidak semudah itu, sayang. Bagaimana untuk sementara ini hubungan kita brek dulu untuk beberapa hari, seminggu dua minggu." Diraihnya tangan wanita itu, ditatapnya mata indahnya.

"Maksudnya brek, bagaimana? Tidak saling memberi kabar, kita akan saling menjauh dan lama-lama akan saling melupakan?" balasnya tajam, hatinya benar-benar sesak. Dihempaskannya tangan Fandi dengan kasar.

"Maksudku bukan begitu, tap-i."

"Sudahlah, keputusan ada ditanganmu, kita lanjutkan ke arah yang lebih serius atau sampai disini saja." ucap Hasna tegas. Pertemuan terkhir mereka tanpa kejelasan ke arah mana hubungan kedua sejoli itu akan berlanjut.

Kalimat  wanita itu membuat hari-hari Fandi resah. Ini adalah hari ketiga mereka tak saling memberi kabar. Berkali-kali pemuda tampan itu membolak balikan badan di kasur empuk milikinya. Rambut cepaknya sesekali diremas membuatnya berantakan. Matanya sulit sekali terpejam. Kejadian beberapa hari lalu membuat otaknya kebas. Kini seakan dinding kamar pun ikut mencibirnya. Apa yang harus aku lakukan? Hatinya bermonolog.

Wanita manis berkulit kuning langsat disertai bulu mata lentik sungguh membuatnya ingin terus bersama memandang wajahnya yang ayu. Senyum yang menciptakan lesung dipipinya membuat pemuda itu enggan untuk berpaling. Wanita satu-satunya yang membuat  jiwa mudanya menggelora. Kini sebuah keputusan harus ia ambil mengingat pilihan terakhir darinya.

“Lanjutkan ke arah yang lebih serius atau cukup sampai disini saja.”

Kembali Fandy teringat hari itu, ia datang ke tempat kos Hasna dengan membawa bunga. Ia hendak menyatakan cintanya sekali lagi. Pemuda itu yakin  Hasna juga mencintainya, akan tetapi ada sesuatu yang mengganjalnya.

"Halo, Na. Kamu dimana? Aku sudah sampai di depan kos kamu." Sengaja ia ingin memberi kejutan, tapi nihil, wanita itu tak ada di rumah.

"Aku pulang kampung kemarin, Paman sakit. Maaf tidak memberi kabar." Terang wanita itu dari seberang telepon.

"Ya sudah tidak apa-apa. Aku yang salah tidak memberi tahu dulu akan datang. Pantas saja sudah beberapa hari ini kamu tidak ada kabar." Fandi kecewa mendengar penuturan Hasna.

"Ah, iya aku sibuk. Aku minta ma'af jika ada salah sepertinya aku akan kembali lagi ke Jakarta. Aku akan bekerja di kampung saja." Bola mata pemuda sipit itu membulat, ia tak ingin jauh darinya.

"Bolehkah aku main ke kampung kamu?"

"Tidak usah." tolak Hasna dari seberang telepon, ia merasa sungkan.

"Tapi aku merindukanmu. Cepat kirim alamat lengkapnya. Dan share lokasi.” Akhirnya wanita itu mengirimkan alamat lengkap beserta lokasi.

Fandi yang terbiasa dari kecil apa pun keinginannya harus terpenuhi. Kini ia pun bertekad untuk mengejar cintanya. Ia harus berhasil mendapatkan hati wanita itu. Seharusnya perjalanan Jakarta-Sukabumi membutuhkan waktu sekitar 2 atau 3 jam. Akan tetapi Fandi yang belum mengetahui persis rumahnya alhasil membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di rumahnya.

Waktu menunjukan pukul 10 malam pemuda itu sampai di rumah Hasna. Malam itu paman dan bibinya belum pulang, mereka sedang berada dirumah saudaranya. Hasna yang sendirian merasa canggung menerima Fandi yang sudah terlanjur datang, apalagi kondisi Fandi yang kedinginan karena hujan cukup deras. Mau tak mau wanita itu menyuruhnya masuk. Entah siapa yang melapor, tiba-tiba  para warga sudah ramai di halaman rumah Hasna. Mendengar mereka menteriaki dan memaki-maki, membuat Fandy terburu-buru keluar. Pemuda itu yang baru saja berganti celananya yang basah lupa masih bertelanjang dada. Sontak teriakakan warga semakin ramai. Kesalahpahaman itu menimbulkan fitnah keji.

"Nikahkan saja mereka!” teriak lelaki bertubuh besar.

“Hei kalian menikahlah. Kampung kami bukan tempat zina,” timpal yang lainnya.

“Tak sangka keponakan Edi begitu kelakukannya."  Berbagai cibiran dilontarkan.

“Iya yah kelihatan lugu ternyata suhu."

"Ah, dasar janda genit."  Seseorang yang terkenal julid seakan tak ingin ketinggalan gosip.

"Kalian salah paham. Kami tidak serendah itu. Kami tidak seperti apa yang kalian pikirkan."

Bagai angin penjelasan Hasna tak mereka dengar.

"Siapa pemuda itu." Lantang seseorang berbadan kekar tersenyum sinis.

“Entahlah asal usulnya tidak jelas juga.”

Terdengar desas desur warga mencibirnya.

“Sudahlah usir saja mereka dari kampung ini!” seru yang lainnya.

“Iya kalo perlu seret di arak keliling kampung!”

“Usir mereka..! Seret!!”

“Ayo..ayo!”

Namun dibalik kerumunan itu, salah satu lelaki setengah baya tampak menyunggingkan senyum tipis. Malam itu hampir saja mereka berdua dihakimi warga. Beruntung paman dan bibi Hasna datang. Paman Edi berhasil meredakan amarah warga. Beliau cukup terkenal dikampungnya banyak yang segan padanya. Mang Edi panggilannya, ia dikenal berkepribadian baik dan jujur.

Mengingat amukan warga malam itu membuat rahang Fandi mengeras, kedua tangannya mengusap wajah dengan kasar kemudian membuang napas berat. Benar-benar harga dirinya telah diinjak-injak. Andai mereka tahu siapa Afandy Putra Gemilang anak Surya Gemilang pemilik saham terbesar perusahaan kontruksi.

'Sebaiknya aku mandi dulu, dan membicarakan ini dengan mami.' Pemuda berusia 23 tahun itu melangkah tegap ke kamar mandi. Membiarkan setiap kucuran air membasahi tubuhnya. Setelah itu ia putuskan untuk membahas semua dengan orang tuanya. Apapun hasilnya nanti, ia putuskan nanti. Langkah tegapnya menuruni anak tangga satu persatu.

"Mih," sapanya menampakan senyum, tapi senyum itu surut setelah matanya bersirobok dengan seseorang yang duduk bersebelahan dengan ibunya. "Ah, kenapa ada dia," desisnya kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status