Share

Aku Setuju

Malam sebelum kontrak penyelamat diajukan.

“Pokoknya kakek mau kamu yang mewarisi harta keluarga kita. Kamu cucuku, Marco. Kamulah sang penerus.”

Pria berwajah blasteran Jerman tersebut hanya bisa mengusap wajah. Dia mau bahkan sangat mau menjadi ahli waris. Namun, yang membuatnya tak mudah adalah syarat untuk mendapatkan hak tersebut.

“Jangan merengut begitu, Marco. Turuti saja apa kata kakek. Lusa begitu kakek dan nenek pulang, rapat pemegang saham dilakukan dan kamu sudah harus siap.”

Pria itu mengangguk malas. Pembicaraan ini bukan yang pertama. Kakeknya, meskipun berada di luar negeri masih menyempatkan waktu menghubungi secara teleconference hanya untuk memperingatkan dirinya.

“Ngangguk-ngangguk aja bisamu. Cari pacar sana! Masakan dengan wajah tampanmu tidak ada satu pun wanita yang tertarik?”

“Siapa yang bilang?” ujarnya tak terima. “Yang mau ke Marco itu banyak. Bejibun. Akunya aja yang belum mau. Lagi pula Marco masih muda, masih waktunya senang-senang.”

Pria paruh baya dibalik layar televisi besar tersebut terkekeh. “Sudah cukup main-mainnya Marco. Masalah ini adalah masalah yang serius. Kakek tahu kamu tidak sudi membaginya dengan saudara tirimu itu.” Mimik muka pria tua itu berubah serius dan tegang. “Orang serakah macam mereka tidak pantas berada di Barkley.”

Marco menghela napas panjang. “Iya, kakek. Udah dulu kalau begitu, Marco harus ke kantor.”

“Ngapain ke kantor malam-malam?” Pria tua itu selain banyak mengatur juga banyak tanya.

“Ambil dokumen. Oke, Marco tutup. Bye,” jawab Marco sambil mematikan televisi. Alasan mau ke kantor hanya alibi agar percakapan ini selesai. Karena semakin lama mereka membahasnya, kepala Marco juga makin mumet.

“Di mana aku bisa menemukan calon istri secepat itu?” tanyanya entah pada siapa sambil menatap langit-langit ruang kerjanya.

***

Kembali kepada Marina dan Marco di meja makan.

“A-aku setuju.”

“Bagus! Aku akui kamu cepat juga dalam menentukan pilihan. Dan aku orang yang cerdas dalam memilih partner.” Marco bertepuk tangan tetapi untuk dirinya sendiri. “Karena suasana hatiku sedang bagus, hari ini kita makan di luar.”

“Makan di luar? Tetapi makanan sudah di atas meja.” Marina mengedarkan pandangan ke sekeliling, di mana para maid sedang menata meja dengan berbagai menu menggugah selera.

“Mereka yang akan menghabiskannya. Udah jangan banyak protes. Ikuti saja apa kataku.””

Kemudian Marco membawa Marina ke garasi rumahnya. “Hari ini biar aku yang menyetir. Bapak istirahat saja di dalam,” katanya kepada pria tua yang telah puluhan tahun menyupirinya. Lalu memberi kode kepada Marina agar dia segera naik.

Dalam hitungan detik mobil sport hitam milik pria itu melaju kencang di jalanan aspal ibukota.

“Kenapa? Takut yah?”

Marina yang sedang menggenggam sabuk pengaman erat, ingin sekali berteriak di depan muka Marco bahwa dia masih sayang nyawanya.

“Ini belum kencang, Marina.” Padahal spedometer sudah menyentuh angka 100. “Kalau ini baru bisa dibilang kencang.” Pedal gas diinjak dalam. Dan mobil makin melesat, selap-selip di antara kendaraan lain.

Beruntung doa Marina didengar oleh Tuhan karena akhirnya mereka tiba di restoran dalam keadaan selamat.

“Malah bengong, buruan!” Marco menyentak. Padahal Marina bukannya bengong, dia masih dalam kondisi menormalkan pernapasan. Tak lama setelah itu barulah dia turun dan mengekori Marco.

“Selamat datang di Blue Sky restoran, selamat datang tuan muda. Atas permintaan tuan muda, seluruh restoran telah dikosongkan, jadi tuan muda dan teman tuan bisa menikmati waktu dengan baik” Setelah ucapan penyambutan itu seluruh pegawai restoran kompak menundukkan kepala begitu Marco lewat.

“T-tuan muda?” Pandangan Marina kontan ke arah Marco. Dia bisa melihat satu sudut bibir pria itu terangkat.

Marco memilih lantai paling atas atau lantai ke tiga, tepat di dekat jendela sehingga sembari makan mereka bisa menikmati pemandangan gedung-gedung tinggi ibukota.

Sambil Marco sibuk mengatakan pesanan, Marina lebih memilih untuk melihat pemandangan indah di balik jendela besar di dekat mereka. Masalah menu, semua diserahkan ke tangan Marco.

“Pertama kali?”

Marina menoleh, lantas berkata, “Iya. Ini pertama kalinya buatku,” jawab Marina malu-malu.

“Nanti lama-lama bosan juga kok. Kalau menatap hamparan sawah, gunung, lautan, itu baru the real pemandangan.”

“Selera orang kaya sama orang miskin emang beda,” cebik Marina.

“Inilah pola pikir yang salah. Dipikir karena hidup glamour, bergelimang harta, bisa jalan-jalan keluar negeri, pakai pakaian branded ....”

Muka Marina berkerut. Semua yang dikatakan oleh Marco justru membuatnya makin minder.

“Tak usah manyun, toh apa yang aku bilang tadi emang benar.” Dia seakan tahu bahwa Marina sedang kesal. “Sayangnya, semua itu hanya topeng. Kalian orang luar tidak tahu akan soal perebutan harta warisan, perang dingin antar saudara, bisnis gelap, permainan licik saling menjatuhkan satu sama lain. Hanya karena flexing sana-sini menjamin hidup mereka bahagia? Tidur mereka nyenyak kalau malam? Sakit, stress yang dihadapi? Semua orang mana tahu hal- seperti itu.”

Marina diam seribu bahasa. Dia seperti sedang diberikan kultum oleh Marco.

“Sama seperti yang kuhadapi sekarang.” Senyumnya merekah, tetapi sayangnya Marina malah melihat itu seperti sebuah senyum penuh dendam. “Kamu sudah baca tentang saudara tiriku di lembar ketiga dalam kontrak kita?”

Jangankan halaman ketiga, halaman kedua tentang cerita pertemuan mereka berdua belum kelar dibaca.

“Tak masalah, bisa dibaca nanti-nanti. Tetapi harus kau hapalkan biar tahu harus bersikap apa saat berhadapan dengan mereka.”

Pembicaraan mereka terinterupsi oleh kedatangan pramusaji. Semua makan itu menggugah selera. Apalagi Marina yang jarang sekali menikmati makan makanan mahal, seketika meneteskan liur.

“Kamu sudah putuskan akan meminta apa padaku?”

Gerakan Marina yang sedang menyumpit pasta terhenti. Dia sudah memikirkannya. Namun baru satu yang sempat terlintas di kepalanya.

“Mobil, rumah, uang, pakaian mahal, apapun yang kamu mau akan aku berikan. Semua Itu tidak ada apa-apanya dengan harta warisan yang akan aku dapatkan besok.”

“Aku mau minta tolong mencari tahu keberadaan mantan kekasihku.” Dia memang tergiur akan semua hal yang tadi Marco sebutkan, tetapi perkara Nathan jauh lebih mudah.

“Mantan kok masih dicariin. Belum move on yah?”

“Bukan begitu, dia berutang pada bank lalu menjadikan rumah peninggalan orang tuaku sebagai jaminan. Sekarang karena tidak bisa bayar, rumahku pun disita.”

“Wah ... toxic juga mantanmu itu. Berapa banyak pinjamannya?”

“Tiga ratus juta.”

“Hanya segitu sampai menggadaikan rumah orang segala?” Marco mendecak sambil geleng-geleng kepala. “Kenapa sertifikat rumahmu bisa ada padanya. Dicuri atau gimana?”

“Secara teknis iya.” Meski mulut Marco kadang mengeluarkan lava panas, namun Marina yakin dia dapat dipercaya menyimpan rahasia. “Aku memberinya tumpangan di rumahku setelah dia diusir dari kontrakannya.” Marina menghela napas panjang demi menahan air mata yang sebentar lagi menetes turun.

Definisi air susu dibalas air tuba.

“Oke! Sebagai laki-laki aku anggap dia beresengsek. So katakan siapa nama pria beresengsek itu biar anak buahku yang mencarinya.”

Apa yang tadi Marina pikirkan terbukti benar kan? Marco lebih bisa diandalkan. “Nathan.”

Marco menjentikkan jari kemudian mengambil handphone lalu mengetik-ngetik sesuatu. Ini menjadi angin segar buat Marina. Masalahnya akan mulai menemukan titik terang.

“Lalu permintaan yang kedua dan ketiga?”

“Apa bisa aku mintanya nanti saja? Aku belum memikirkannya.”

“Off course. Kalau begitu silakan nikmati makanannya, habis ini kita belanja. Kita tidak mungkin bertemu kakek dan nenekku dalam tampilanmu yang seperti ini.”

Marina kontan mengikuti arah tatapan Marco. Baju lusuh, warna kain mulai memudar, bahkan ada robek sedikit di bagian ketiak dan ujung kiri sampai kancing yang lepas satu.

“Yah, walaupun kamu merasa bahwa pakai apa pun kamu tetap cantik, tetapi kakek dan nenekku orangnya sangat detail.”

Kepala Marina mendadak terasa gatal. Tak satu pun kata-kata yang keluar dari mulut pria di depannya itu yang bisa membuat perasan jadi lebih baik ―kecuali janji akan menemukan Nathan.

Mereka pun melanjutkan kegiatan yang sempat terinterupsi oleh banyak percakapan. Setengah jam kemudian, semua kembali menundukkan kepala saat Marco dan Marina meninggalkan restoran. Sayang sekali, rencana belanja mereka tampaknya harus tertunda setelah orang-orang dari rumah Marco menelepon.

Auranya naik dua kali lipat jadi lebih menakutkan. “Maaf, Marina. Rencananya kita pindahkan ke malam saja. Aku harus mengurus ‘tikus kecil’ terlebih dahulu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status