Share

Hampir Ketemu Nathan

Selama perjalanan pulang, beberapa kali Marina sempat menolehkan kepala ke arah kursi kemudi. Marco jadi membisu sejak telepon yang diterimanya, yang mana itu malah membuat Marina penasaran banyak hal termasuk soal si ‘tikus kecil’.

Di tengah-tengah perjalanan, Marco harus menginjak rem dengan cepat setelah sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka.

“Sialan!” umpat Marco sambil memukul kemudi mobil. “Bosan hidup rupanya.”

Marina yang berada di sebelahnya hanya bisa melongo karena tak paham akan situasinya. Marina hanya tahu kalau pintu mobil yang menghalangi mereka tiba-tiba terbuka dan seorang pria turun dari sana.

“Ternyata kita bertemu di sini ‘tikus kecil’.”

Marina menoleh. “Tikus kecil?” cicitnya.

“Kamu tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku akan turun dan membasmi hama penggangu itu.” Marco coba bersikap santai, malah, masih sempat tebar pesona kepada Marina. Namun begitu pintu dibuka, senyum itu turun dan berganti menjadi kebengisan tiada tara.

Marina turut perintah. Dia tetap di mobil sambil mengamati dari jauh. Sampai lagu I Will Always Love You dari penyanyi terkenal Whitney Houston pada saat modulasi mau masuk reff, tiba-tiba mengalun dari ponselnya.

Setelah kaget, Marina lekas menjawab panggilan tersebut.

“Halo, siapa ini?” Nomor tak dikenal makanya langsung ke inti pertanyaan.

[“Ini aku, Nami. Tolong aku!”]

“Na-Nathan?” Marina tahu identitas si penelepon dengan sangat cepat. Sebab Nami adalah adalah panggilan sayang Nathan untuknya yang merupakan singkatan nama mereka berdua, NAthan dan Marina. “Kamu di mana? Kenapa kamu ninggalin aku?” Tak sadar emosinya malah memuncak.

[“Aku enggak bisa jelasin sekarang. Nyawaku sedang terancam dan ini bisa mengancam kamu juga.”]

Mata Marina membola. “Kamu ngomong apa sih? Sekarang kamu di mana, aku mau ketemu sama kamu!”

[“Kamu keluar dari mobil itu. Larilah ke seberang, di dekat hutan-hutan, aku menunggu di sana.”]

Tanpa pikir panjang. Marina membuka pintu mobil kemudian mengikuti instruksi yang diberikan oleh Nathan. Dia sama sekali tak memperdulikan larangan Marco tadi.

[“Kamu terus saja, aku ada di pohon ketiga sebelah kanan.”] Nathan masih terus memberi instruksi untuk Marina yang juga menuruti perintahnya.

Sementara itu Marco dan pria yang menghentikan perjalanannya, terlibat percakapan yang serius.

“Jangan mimpi terlalu ketinggian, Marco. Barkley itu tetap akan jatuh ke tanganku.”

“Hahaha!” tawa Marco, meledek. “Kamu yang harusnya bangun dari tidur panjangmu itu, adik terlaknatku, mama-boys.”

Yah, pria di depannya itu memang sang adik tiri. Anak yang selalu berlindung di ketiak ibunya makanya dia dapat julukan mama-boys dari Marco.

Sindiran Marco menyentil telak. Adiknya kelihatan emosi. Namun, berusaha menahan. Dia kembali kepada tujuannya untuk memberikan map cokelat kepada Marco.

“Hadiah kecil untukmu. Anggap saja itu bentuk kemurahan hatiku.” Setelah menyerahkan benda tersebut, dia berbalik badan dan masuk ke dalam mobilnya. Kemudian menghilang dari pandangan Marco.

Sedangkan Marco, memilih untuk kembali ke mobilnya sendiri sesudah menatap tak minat pada amplop cokelat tersebut. Dan saat itu pula dia sadar kalau Marina telah kabur. “Oh, shit!” umpatnya. “Marina!” Marco berkeliling sambil meneriakkan nama Marina, berharap wanita itu bisa mendengarnya.

[“Buruan, Nami. Pria itu kini mencarimu.”]

Benar saja perkiraan Marco, akan tetapi bukan hanya Marina yang bisa mendengar teriakannya, tetapi Nathan yang ada di seberang telepon juga.

“Kamu di mana sih? Aku takut loh, Nathan.”

Tadi katanya dekat, eh, dia malah merasa makin masuk ke dalam hutan. Mana kakinya sekarang lecet terkena duri-duri tanaman liar.

[“Sedikit lagi, sayang. Aku menunggu di depan.”]

Napas wanita itu mulai memburu. Keringat sampai mengucur deras. Dia berharap bisa bertemu Nathan dan keluar dari sana secepatnya.

[“Kamu lihat pohon besar sekitar lima puluh meter di depanmu, aku bersembunyi di situ, sayang.”

Marina memandang ke depan, memang benar ada satu pohon yang berada tak jauh darinya. Merasa jarak mereka makin dekat, Marina memaksa kakinya meski mulai terasa lelah dan pedih untuk bergerak lebih cepat lagi.

Jarak Marina dan pohon tempat Nathan bersembunyi tinggal beberapa langkah sampai sebuah tangan meraih pundaknya.

“Ahhhhhh!” Marina sontak berteriak. Ponselnya jatuh dan sambungannya dengan Nathan seketika terputus.

“Marina ini aku,” kata Marco.

“Kenapa kamu di sini?”

“Malah balik nanya. Dasar kepala batu. Kamu lupa aku pesan apa tadi ke kamu, heh?”

Tak memperdulikan pertanyaan Marco, Marina langsung menunduk untuk memungut ponselnya yang terjatuh lalu, “Halo? Halo Nathan ....”

Berapa keras pun Marina memanggil, sayangnya mantan kekasihnya itu tak lagi bisa dihubungi. Handphone-nya telah dimatikan secara total.

“Ayo kita pulang, Marina. Di sini berbahaya.”

“Ngak!” Tangan Marco disentak. Sambil tetap mencoba berbagai cara untuk terhubung kembali dengan Nathan.

“Ke mana mantanmu itu? Kenapa harus sembunyi-sembunyi segala?”

“Kalau aku tahu alasannya, mana mungkin aku ada di sini!” jawab Marina ketus. “Harusnya tadi kami ketemu, kamu malah datang. Pasti dia kabur gara-gara kamu.” Lalu balik menyalahkan Marco. Tetapi tak salah juga sih, karena Nathan memang memutus kontak sebab tahu Marco berhasil menyusul Marina. “Ah!” Ingin rasanya Marina menangis kencang saat itu.

“Kita balik sekarang juga. Di sini berbahaya,” tekan Marco sekali lagi.

“Kalau kamu mau balik, balik aja sendiri. Aku harus ketemu Nathan. Surat-surat rumahku harus dia kembalikan.” Marina sibuk dengan layar ponselnya, tengah mengirimkan pesan. Pikirnya, Nathan pasti akan membaca pesannya setelah kembali aktif.

Andai kata, Nathan punya kesempatan untuk sekedar mengecek hape.

“Keras kepala!” maki pria berwajah blasteran tersebut. Tanpa aba-aba dia menunduk untuk kemudian mengangkat Marina ke atas pundaknya. Seperti sedang memanggul karung beras.

“Turunkan aku ... aku harus ketemu Nathan.” Tak serta merta menerima, Marina tentu saja protes. Dia coba berontak minta diturunkan. Namun Marco malah acuh tak acuh, dia mengokohkan tubuh demi bertahan dari pukulan-pukulan yang dilayangkan ke arahnya.

Mereka akhirnya sampai di dekat mobil. Pintu di kursi depan dibuka, Marina diturunkan di sana. Marco menyusul masuk dan mengunci semua pintu.

“Jangan pikir kamu bisa kabur dariku, Marina.” Nada bicara Marco memang pelan, tetapi suara beratnya membuat Marina ketar-ketir dan memupuskan niatnya untuk kabur.

“Kita balik!”

Gerakan Marina yang mencoba untuk membuka pintu terhenti. Mobil telah bergerak dalam kecepatan penuh kembali ke rumah.

“Hiks!” Masih setia membelakangi pria tersebut, bulir-bulir kesedihan Marina mulai membuat sesak. Pikirannya benar-benar kalut saat itu. Kesempatan bertemu Nathan dirasa terbuang percuma.

“Kamu lupa sama perjanjian kita?”

Marina dengar, namun enggan menyahut.

“Saat aku setuju akan bantu, maka aku akan bantu. Aku tegaskan sekali lagi padamu ... aku bukan pembohong! Apa yang keluar dari mulutku, itu yang akan aku lakukan. Lagian kenapa kamu gampang percaya sih. Gimana kalau yang nelpon tadi itu bukan Nathan?”

“Dia pasti Nathan.”

“Oke taruhlah dia benar Nathan. Tetapi bagaimana kalau dia berbohong? Dia sengaja nelpon untuk menjebak kamu.”

“Tidak mungkin ... Nathan bukan orang seperti itu.”

Marco terkekeh pelan. “Tidak katamu? Trus masalah rumah kamu yang dijadikan jaminan bank, itu apa namanya kalau bukan menjebak?”

Mulut Marina terkatup otomatis. Marco menghela napas. “Kamu percayakan saja padaku. Orang suruhanku pasti bisa mencarinya.”

Dari yang tadinya masih tak mau berbalik, sekarang Marina pelan-pelan mensejajarkan posisi duduknya.

Bak pucuk dicinta ulam pun tiba, benda pipih berteknologi tinggi di kantung Marco berbunyi.

“Nah apa kubilang, anak buahku pasti berhasil nemuin Nathan,” kata Marco bangga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status