Share

Antar Jemput

Setelah melewati jalanan yang cukup lengang, mobil yang dikendarai Rafa akhirnya berhenti di parkiran kampus. Pria itu menoleh pada gadis yang duduk manis di sebelahnya setelah mematikan mesin mobil.

"Kenapa?" tanya Rafa saat melihat wajah tak nyaman dari Shofi.

Shofi menggeleng lalu membuka sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. Gadis itu tampak heran saat Rafa mengantarnya sampai parkiran, bukankah di gerbang kampus saja sudah cukup. "Makasih, ya, Kak. Aku masuk dulu," ucapnya lalu kemudian turun setelah Rafa mengangguk.

"Kak Rafa ngapain ikut turun?" tanya Shofi saat pria itu sudah berada di luar mobil lalu menghampiri dirinya.

"Kakak anterin sampai kelas kamu," jawab Rafa kemudian berjalan mendahului Shofi yang masih tertegun di tempatnya. "Ayo, Dek!" Rafa mengulurkan tangan meski ia tahu jika tak akan mendapat sambutan.

"Kak ... aku bukan anak kecil lagi. Aku udah gede," ucap Shofi lirih sambil menatap takut ke arah Rafa, tak lama ia mengangkat wajah saat terdengar kekehan dari pria itu.

"Bagi Kakak, kamu masih Shofi kecil," tutur Rafa. "Seperti dulu saat kamu masih SD, Kakak selalu nganterin kamu sampai kelas."

"Nggak perlu, Kak! Aku bisa sendiri."

"Kenapa? Kamu malu Kakak anterin?"

Shofi tanpa sadar tiba-tiba saja menggeleng menjawab pertanyaan pria itu. Memang bukan malu yang ia rasakan saat mendapat perlakuan hangat dari Rafa. Jika dulu ia merasa sangat senang, kali ini ia merasa benar-benar segan. Mungkin tak bertemu cukup lama membuat gadis itu tak bisa akrab seperti dulu dengan Rafa.

"Aku udah gede, Kak. Nggak usah dianterin sampai kelas juga."

Rafa tersenyum. "Sampai kapanpun kamu masih Adikku yang harus Kakak jaga karena kamu telah kembali."

Shofi pun memilih mengangguk samar lalu mulai berjalan satu langkah di depan Rafa. Ia memandang sekilas saat beberapa mahasiswi menatap ke arahnya dan lebih tepat ke arah pria di belakanganya. Tak bisa dipungkiri, jika Rafa memang punya wajah yang tampan. Ditambah tubuh tinggi dan tegap menambah nilai plus dalam diri pria tersebut.

"Nanti pulangnya aku jemput," ucap Rafa setelah menghentikan langkah tepat di depan kelas Shofia. "Kamu selesai jam berapa?" tanyanya kemudian.

Shofi menggeleng. "Masih belum tahu."

"Ya sudah nanti kamu hubungi, Kakak, kalau sudah selesai."

"Aku nggak punya hape."

Rafa menghela nafas kemudian mengambil ponsel dalam sakunya. "Bawa ini." Rafa menyodorkan ponsel miliknya ke arah Shofia dan gadis itu segera menolaknya.

"Itu barang pribadi kamu, Kak," tolak Shofi.

"Nggak apa, Dek. Kamu tinggal bawa saja, nanti biar Kakak gampang menghubungi kamu," kata Rafa meyakinkan. "Ini juga pakai password jadi kamu cuma tinggal angkat waktu Kakak telfon."

Setelah mengamati ruang kelas Shofi, tanpa menunggu persetujuan gadis itu, Rafa segera pamit undur diri.

Sedangkan Shofi, gadis itu terus mengamati benda pipih yang berada di tangannya. Hingga ia menyelesaikan mata kuliah, akhirnya benda pipih itu kemudian menyala lalu berdering. Nama kontak 'Restoran 1" tertera pada layar ponsel itu. Sesaat penuh pertimbangan akhirnya ia mengusap tombol hijau.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam, Dek." Shofi menghembuskan nafas lega saat mendengar suara Rafa di seberang sana. "Kamu sudah selesai?" tanya Rafa kemudian.

"Iya, Kak. Ini aku sudah mau pulang."

"Tunggu di parkiran, sebentar lagi Kakak, sampai." Belum sempat Shofi menjawab, panggilan itu sudah terputus. Ia menatap layar ponsel yang masih menyala. Gambar seorang wanita berambut panjang bergelombang yang membelakangi kamera tergambar di sana. Wajah wanita itu tak terlihat, tapi pakaian juga kulit putih yang sungguh terawat itu menandakan kemungkinan besar wanita itu sungguh cantik. Shofi hanya berfikir mungkin wanita itu adalah kekasih dari Rafa.

Hingga akhirnya layar itu padam, Shofi segera melangkahkan kaki menuju parkiran.

Belum sampai lima menit Shofia menunggu, terlihat mobil Rafa sudah datang. Ia lekas masuk ke dalam mobil dan segera meninggalkan kampus. Shofi segera menoleh ke arah Rafa saat ia manyadari jika mobil yang ia tumpangi tak melewati jalan pulang.

"Kita mau kemana, Kak?" tanya Shofi. Ia menatap ke arah Rafa yang tengah tersenyum.

"Ikut Kakak, sebentar ya, ada sesuatu yang harus, Kakak beli."

Mobil memasuki area parkir Mall, keduanya turun lalu memasuki Mall. Shofi hanya mengekor saja saat Rafa memasuki sebuah Counter hape. Ia dipersilahkan duduk oleh SPG di sana menuju sofa sembari menunggu Rafa yang terlihat tengah memilih sebuah hape. Tak lama, laki-laki itu kembali ke arahnya.

"Buat kamu." Rafa menyodorkan kotak ponsel dengan merk ternama ke arah Shofi.

"Aku nggak butuh ponsel, Kak," tolak Shofi. Lagi-lagi ia merasa segan saat memikirkan harga dari ponsel itu pasti sungguh mahal. Namun Rafa sepertinya tak menerima penolakan. Laki-laki itu segera memasukkan benda pipih itu ke dalam totebag milik Shofi kemudian segera mengajak gadis itu keluar dari toko tersebut. Hingga langkahnya berhenti pada sebuah restoran. Keduanya duduk dengan tenang usai memesan menu makanan.

"Zaman sekarang nggak ada manusia yang nggak pakai hape, Dek." Rafa berkata saat melihat wajah Shofi yang seolah tak nyaman dengan pemberian darinya. "Kamu bakalan sulit berkomunikasi kalau nggak punya hape," imbuh Rafa.

"Asalkan aku tidak kesulitan berkomunikasi dengan Allah, itu sudah cukup, Kak."

Jawaban dari Shofi membuat Rafa terdiam sesaat sebelum kemudian ia mengulas senyum. Kali ini ia memandang berbeda pada Shofi. Jika dulu gadis itu akan sangat cerewet, kali ini lebih tampak dewasa. Tutur kata gadis itu juga membenarkan kalimat sang ibu, gadis Sholihah.

"Aku masih penasaran, bagaimana bisa kamu memutuskan untuk tiba-tiba masuk ke pesantren?" Pertanyaan Rafa beberapa waktu yang lalu masih belum mendapat jawaban yang tepat. Hingga ia memilih untuk kembali bertanya.

"Di sana nggak ada yang menganggap aku berbeda. Semua yang ada di sana sama tanpa memandang apapun, membuatku begitu nyaman menjalani hidup." Shofi segera menundukkan pandangannya saat mendapat tatapan iba dari Rafa.

Rafa yang tahu betul masa lalu Shofi segera paham arah pembicaraan gadis itu. "Kamu terlalu menghakimi diri kamu sendiri atas apa yang nggak kamu perbuat, Dek."

"Tapi kenyataannya dunia menghakimiku, dan aku tidak sekuat itu untuk menerimanya."

"Meskipun begitu--" Kalimat Raga terpotong saat waiters datang mengantarkan pesanannya.

"Kita makan dulu," ucap Rafa pada Shofi setelah waiters itu pergi.

Rafa yang sudah hendak menyendok makanan segera meletakkan kembali sendok garpunya saat melihat Shofi masih terdiam. Gadis itu tengah mengucapkan doa, setelah mengusap ke dua telapak tangan ke wajah, Shofi mulai memakan makanannya, tapi segera ia urungkan saat menyadari tatapan Rafa. Ia kemudian bertanya. "Kenapa, Kak?"

Rafa tertawa kecil, laki-laki itu kemudian tampak ikut berdoa lalu kembali tersenyum. "Sering lupa," ucapnya kemudian mulai menyendok menu makanannya.

"Kesannya sepele, tapi dengan berdoa dulu InsyaAllah jadi berkah," tutur Shofi.

Keduanya pun segera melanjutkan makan siang mereka. Usai makan siang, keduanya kembali ke dalam mobil dan mulai meninggalkan area mall.

Tak lama Rafa menghentikan mobil di depan halaman rumah Alya saat halaman rumah sang Kakak telah berisi mobil yang tidak ia kenali.

"Sepertinya ada tamu," ucap Rafa sambil melepas sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya. Shofipun demikian, ia lekas turun dari dalam mobil lalu melangkah beriringan dengan Rafa memasuki rumah.

"Assalamualaikum."

"Wa'laikumsalam."

Langkah Shofi berhenti tepat di ambang pintu rumah saat melihat beberapa tamu yang sangat ia kenali tengah menatapnya dengan berbagai ekspresi. Tatapan rindu, tatapan haru juga kecemasan. Dan yang paling menyita perhatiannya adalah pada sosok pemuda dengan wajah teduh yang tengah memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Gus Ikhsan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status