Kedatangan Shofi membuat suasana di ruang tamu menjadi hening. Shofi yang menerima tatapan dari beberapa orang di sana segera menundukkan pandangannya. Ia segera berjalan menghampiri salah satu dari mereka. Wanita paruh baya bergamis hitam dengan hijab coklat yang menutupi kepala hingga dada itu menjadi tujuan Shofi.
"Assalamualaikum, Bu Nyai," ucap Shofi lalu mencium punggung tangan Nyai Fatimah beberapa saat, sebelum kemudian ia lepaskan dan segera disambut pelukan erat oleh wanita paruh baya itu.
"Umi, kangen kamu, Nak," ucap Nyai Fatimah setelah melepaskan pelukannya. Sorot mata wanita itu benar-benar memancarkan kerinduan meski baru beberapa hari kepergian Shofi dari pesantren. "Kamu sehat-sehat 'kan?" tanyanya memastikan.
Shofi mengangguk. "Alhamdulillah, Umi."
"Umi ...." Panggilan dari Kyai Sholeh segera mengalihkan pandangan dua perempuan itu.
Shofi memberi salam pada Kyai Sholeh, juga Gus Ikhsan yang duduk di sebelah Kyai Sholeh. Shofi lekas menundukkan pandangannya saat sorot mata dari pemuda berparas teduh itu terus membidik ke arahnya. Dan hal itu juga tak luput dari pandangan semua orang yang ada di sana tak terkecuali Rafa.
Tak mengenali siapa tamu yang tengah berkunjung, Rafa segera menyapa dan memperkenalkan diri sebagai kakak dari Shofi. Setelahnya dengan sopan Rafa pamit undur diri masuk ke dalam.
"Mas Rafa tadi adiknya, Mas Akbar?" Nyai Fatimah melempar pandang pada Akbar. Kedatangan Shofi dengan Rafa sesaat lalu membuat wanita itu menjadi gelisah. Setahunya, gadis yang sudah memikat hati putranya itu adalah anak tunggal dan Akbar hanya Kakak angkat saja.
"Rafa, putra saya, Bu Nyai." Heni yang lebih dulu memberi jawaban. "Sejak kecil sudah sangat dekat dengan Shofi, sudah seperti Adiknya sendiri," imbuhnya kemudian.
Jawaban dari Heni malah tak memberi kelegaan dari Nyai Fatimah. Namun, ia lebih memilih mengulas senyum lalu kembali diam saat menyadari isyarat dari suaminya untuk tak kembali melontarkan pertanyaan.
"Nak Shofi ...." Pangilan dari Kyai Sholeh membuat Shofi segera menatap laki-laki berbaju koko itu sekilas lalu menundukkan pandangan kembali. Kyai Sholeh kemudian mengutarakan kedatangannya ke rumah Akbar bukan hanya sekedar kebetulan karena bersamaan dengan kunjungan ke pondok pesantren milik saudaranya yang berada satu kota dengan tempat tinggal Akbar.
"Jadi begini ... Pak Akbar sekeluarga, kedatangan saya ke sini juga untuk menyampaikan kembali maksud baik putra saya ... Ikhsan." Kyai Sholeh menoleh pada Ikhsan yang duduk di sebelahnya. "Keinginan putra saya ini masih sangat besar untuk mengkhitbah adik Anda ... Nak Shofi."
Pernyataan Kyai Sholeh membuat Akbar dan Alya sangat terkejut. Terlebih Heni, tak bisa ditutupi jika kekecewaan jelas tergambar di wajahnya. Sedangkan Shofia, gadis itu meremas roknya guna meredakan kegugupan juga ketakutan saat melihat sorot mata Akbar yang tersirat penuh kekecewaan. Shofi memaklumi jika sang Kakak teramat kecewa dengan kabar ini, karena saat mendapat kabar jika Ikhsan menaruh hati padanya, ia sama sekali tak menyinggung hal itu saat berkomunikasi dengan Akbar.
"Abi ... izinkan saya berbicara dengan Shofi sebentar saja," ucap Ikhsan lalu menoleh ke arah Akbar setelah Abinya mengangguk. "Saya boleh berbicara sebentar dengan Shofi, Mas?" Kini Ikhsan meminta izin pada Akbar.
Akbar menoleh pada Shofi sebelum memberi izin. "Kalian bisa berbicara di taman samping rumah," ucap Akbar.
Shofi kemudian berjalan dua langkah di belakang Ikhsan yang lebih dulu keluar dari ruang tamu lalu menuju taman.
***
"Kamu menghindariku?"
Pertanyaan dari Ikhsan membuat Shofi segera menggeleng, ia masih terus menunduk tak mau menatap lawan bicaranya. "Saya sudah menitipkan salam untuk Gus Ikhsan pada Bu Nyai sebelum meninggalkan pesantren."
"Kenapa susah sekali untuk meyakinkan kamu, Shofi?" Nada suara dari Ikhsan begitu terdengar frustasi hingga membuat Shofi mendongak lalu menatap sekilas pada Ikhsan kemudian menunduk kembali.
"Maafkan saya. Saya hanya merasa tidak pantas--"
"Kamu sangat pantas, Shofi," sela Ikhsan. "Aku sangat menginginkan kamu untuk menjadi pendampingku." Wajah tampan dan teduh miliknya berubah penuh harap dengan sorot mata kesedihan.
"Saya tidak ingin mempermalukan keluarga Anda, Gus. Saya mohon, Gus Ikhsan bisa mengerti," ucap Shofi lirih, ia tak ingin percakapannya terdengar oleh keluarga, sebab jarak tempatnya berdiri tak jauh dari ruang tamu di mana keluarga berkumpul.
"Jadi, bertahun-tahun belajar di pesantren kamu sama sekali tidak mendapatkan pelajaran mengenai hal ini?" Pertanyaan dari Ikhsan membuat Shofi menatap penuh tanya.
"Memilih jodoh bukankah hanya berlandaskan empat hal dan salah satu yang paling utama adalah agamanya? Dan aku memilih kamu karena hal itu."
Shofi memberanikan diri menatap pria berkemeja hitam itu. "Anda terlalu sempurna jika bersanding dengan saya," ucap Shofi lirih hampir tak terdengar oleh Ikhsan.
"Kesempurnaan hanya milik Allah."
"Anda bisa memilih wanita lain yang memenuhi empat kriteria itu--"
"Kamu juga memilikinya, Shofi--"
"Nasab dan keturunan," sela Shofia. Mata indah yang dihiasi bulu mata panjang dan lentik itu mulai berembun. "Saya cacat dalam hal itu, dan hal itu bisa mempermalukan keluarga, Gus Ikhsan."
"Shofi ...."
"Jika Allah mentakdirkan kita berjodoh, InsyaAllah jalannya pasti mudah, Gus."
"Kamu hanya mempersulit takdir yang Allah berikan pada kita." Ikhsan tampak putus asa dan terlihat meredam amarah atas penolakan Shofi yang sudah kesekian kalinya.
Shofi sendiri merasa tak ingin berlama-lama dengan percakapan yang berakhir dengan keputusan yang sama. "Maafkan ketidak sopanan saya, kelancangan saya, tapi ... saya harap Gus Ikhsan mau mengerti keputusan saya. Saya pamit, Gus ... Assalamualaikum." Shofi berbalik hendak melangkah pergi, tapi terhenti saat pertanyaan dari Ikhsan di luar dugaan.
"Apa penolakanmu ini karena laki-laki yang mengaku sebagai Kakakmu tadi?"
Shofi kembali berbalik menatap Ikhsan. Keningnya berkerut penuh tanya. "Maksud, Gus Ikhsan, apa?"
"Kamu punya hubungan dengan laki-laki bernama Rafa itu?"
Brakk!!
Shofi beserta Ikhsan segera menoleh ke arah kamar yang terdapat di sebelah taman saat mendengar suara benda jatuh dari dalam sana. Tak terlihat siapa yang berada di dalam kamar, yang Shofi tahu kamar itu milik keponakannya, 'Aska'.
Shofi kembali menoleh pada IKhsan. "Kak Rafa adalah Kakak saya, dan saya menghormati beliau sama seperti menghormati kak Akbar. Assalamualaikum." Shofi kemudian melangkah pergi kembali menuju ruang tamu.
***
Setelah mendengarkan penjelasan dari Shofi, Kyai Sholeh beserta Nyai Fatimah tampak lebih mengerti dan menerima meski kecewa. Berbeda dengan Ikhsan yang terlihat jelas tak terima dengan penolakan Shofi. Wajah laki-laki itu mengeras dengan sorot mata yang enggan menatap kembali ke arah Shofi.
"Kamu tetap anak Umi. Jangan sampai tali silaturahmi kita terputus gara-gara hal ini." Nyai Fatimah terus menggenggam jemari Shofi hingga hendak memasuki mobilnya. Seolah berat meninggalkan gadis itu.
"Iya, Umi. InsyaAllah, Shofi akan berkunjung ke pesantren jika ada waktu," ujar Shofi.
Keluarga Kyai Sholeh akhirnya berpamitan dan benar-benar pergi meninggalkan kediaman Akbar. Setelah memastikan mobil yang ditumpangi Kyai Sholeh tak terlihat lagi, Shofi segera menyusul Akbar memasuki rumah. Ia harus menjelaskan sesuatu pada laki-laki itu.
"Maaf, aku membuat keputusan tanpa meminta pendapat, Kak Akbar," ucap Shofi lirih pada laki-laki yang duduk di gazebo samping rumah sambil bersedekap.
Akbar tersenyum lembut menatap wajah takut Shofi. "Kakak menghargai dan setuju keputusan kamu, Dek," tutur Akbar. Ia menggeser duduknya lalu memberi isyarat untuk Shofi duduk di sebelahnya dan gadis itu pun menurut. "Masa depan kamu masih sangat panjang. Pernikahan sepertinya masih sangat lama untuk kamu menjalaninya. Kakak ingin kamu menjadi seseorang yang besar, Dek. Harapan Kakak, sangat besar padamu."
Shofi kemudian menoleh pada Akbar, pernyataan Akbar seolah menambah beban hatinya. Bukan itu yang ia inginkan. Sekali lagi, ia memilih untuk diam dan menuruti keinginan sang kakak.
"Tapi, Kakak sangat tidak suka dengan alasan kamu menolak putra Kyai Sholeh." Akbar menggeser duduknya untuk menatap wajah sang adik. Ia memberikan diri mengusap kepala yang terbungkus dengan hijab berwarna peach itu dengan lembut saat Shofi memberi reflek terkejut. "Ini terhalang hijab," ucapnya memberi pengertian.
Shofi tersenyum, jauh dalam hatinya ia merindukan pelukan kasih sayang dari Akbar yang sudah tak bisa ia dapatkan meski hanya sekedar bersentuhan tangan. "Gus Ikhsan terlalu sempurna untukku, Kak," ucap Shofi lirih sambil menunduk.
"Kamu juga berharga, Dek. Jangan memandang rendah dirimu hanya karena ketidakmapuanmu melawan takdir."
Shofi mendongak menatap Akbar. Sorot matanya benar-benar memancarkan kesedihan. Benar yang dikatakan oleh laki-laki itu, tapi ia masih belum setegar itu untuk melangkah tanpa rasa bersalah atas dosa orang tuanya di masa lalu hingga lahirlah dirinya yang kini hanya dianggap sebelah mata untuk beberapa pihak.
Heningnya malam membuat Shofia masih terjaga. Kejadian sore tadi dan ucapan Akbar masih berputar-putar di kepalanya hingga membuat ia kesulitan untuk memejamkan mata meski jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Ia menyudahi lantunan dzikir yang ia ucapkan, melepas mukenah lalu berjalan membuka jendela kamar. Hembusan udara sepagi ini cukup segar memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak.Shofi menengadah sambil memejamkan mata. Kemudian tak lama mata terpejam itu terbuka dan bersikap waspada saat mendengar tapak kaki seseorang di sekitar taman sebelah kamarnya."Astagfirullahhaladzim!" Shofi memekik pelan, terkejut saat melihat bayangan seseorang yang duduk di gazebo taman."Kenapa belum tidur?" Suara berat dari Rafa membuat Shofi menghembuskan nafas lega. Ia pikir Rafa adalah pencuri yang menyelinap masuk ke dalam rumah."Baru selesai sholat," jawab Shofi. "Kakak sendiri ngapain di sini jam segini?" tanyanya kemudian.Rafa memberi isyarat
Rumah megah dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh menyanggah bangunan rumah terlihat sungguh indah dan mewah. Suasana rumah yang Shofi tahu selalu sepi itu kali ini terlihat ramai. Pintu ganda bercat putih yang jarang sekali di buka kali ini terbuka lebar. Tentunya Shofi sadar diri jika hal itu bukan dikhususkan untuk bersiap menyambut kedatangannya.Shofi berjalan beriringan dengan Alya dengan degub jantung yang tak berirama teratur. Jemarinya meremas gamis yang ia pakai. Shofi merasa takut dan entah apa yang ia takutkan. Jika bisa ia ingin lari menjauh tak ingin menapaki rumah itu."Ayo masuk, Dek," ajak Alya. Wanita itu lekas menggandeng Shofi berjalan masuk ke dalam rumah mertuanya."Mamiii ...!" Panggilan dari bocah laki-laki yang berlari menuju ke arah Alya menyambut rombongan Alya. Bocah sepuluh tahun itu lekas meloncat ke gendongan sang Papi lalu meraih tubuh Alya kemudian memeluk erat wanita itu.Beberapa hari berada di rumah sang Oma membuat boc
Tuk!Suara gelas yang diletakkan kasar oleh Rafa di atas meja makan sedikit mengagetkan Shofi. Gadis itu hanya menunduk takut dengan kemarahan Rafa. Selama perjalanan pulang dari rumah Tari hingga memasuki rumah Alya, Rafa hanya diam dengan sorot mata menajam. Hal itu semakin membuat Shofi ketakutan dan merasa bersalah. Menyesali kenapa dirinya harus kembali ke keluarga ini. Baru beberapa hari saja ia sudah membuat keributan seperti tadi.Rafa mengambil gelas kosong yang lain lalu mengisinya dengan air putih. Ia sodorkan ke hadapan Shofia. "Minum dulu, Dek," kata Rafa."Maafkan aku, Kak."Wajah Rafa seketika melembut mendengar ucapan Shofi, ia baru menyadari jika adiknya ketakutan. "Maaf untuk apa?" tanyanya lembut."Kehadiranku malah menimbulkan keributan buat keluarga ini," ujar Shofi dengan nada bergetar. Shofi memberanikan diri menatap Rafa yang terdiam.Kini Rafa beralih menatap Shofi. "Bukan itu yang ingin Kakak dengar dari ka
Di salah satu kursi pengunjung yang terdapat di restoran itu terlihat kakak beradik yang tak memiliki ikatan darah itu duduk bersebrangan. Manik mata indah berhias bulu lentik itu terus bergerak ke sana kemari mengikuti pergerakan pada waiters yang berlalu-lalang melayani para pengunjung restoran yang cukup ramai sore ini.Sedang sorot mata lembut dari Rafa terus membidik ke arah sang adik. Rafa bersedekap sambil mengulas senyum melihat begitu besar tekad Shofi.Shofi yang baru menyadari tatapan Rafa kini beralih menatap Rafa dengan sungguh-sungguh. "Aku bisa, kok, seperti mereka," kata Shofi sambil menunjuk ke arah para waiters."Alasan kamu buat kerja itu apa, Dek? Kamu punya segalanya. Tinggal minta ke Kak---""Enggak! Enggak!" sahut Shofi. "Aku mohon jangan bilang apapun tentang masalah ini sama Kak Akbar atau Kak Alya," pintanya."Apapun yang kamu lakukan Kak Akbar akan tahu.""Setidaknya kali ini, Kak Rafa mau membant
Heningnya malam di kediaman Alya terusik oleh deru mobil yang baru saja masuk dan berhenti di halaman rumah. Shofi yang berada dalam mobil itu hendak turun, tapi tertahan saat menoleh pada Rafa yang diam dengan tatapan kosong ke depan. Shofi sendiri enggan bertanya meski selama perjalanan laki-laki itu tiba-tiba berubah diam seribu bahasa."Kakak nggak turun?" tanya Shofi dengan hati-hati."Kakak masih ada urusan di luar, Dek. Kamu masuk gih. Kunci semua pintunya."Shofi melirik ke arah jarum jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Kakak nggak pulang?" tanyanya lagi. Entah kenapa tiba-tiba Shofi merasa cemas dengan kediaman Rafa.Rafa terlihat ragu untuk menjawab. Ia hanya menatap Shofi dengan tatapan kosong."Aku turun dulu, Kak. Assalamualaikum." Shofi memilih untuk pamit saat sang kakak sepertinya tak berniat memberi jawaban. Ia lalu segera turun dari mobil dan lekas masuk ke dalam rumah. Setelah memasuki rumah, Sh
"Tante boleh minta tolong satu hal, Nak?"Shofi mengangguk. "Boleh, Tante. Mau minta tolong apa?"Heni menggeser duduknya untuk lebih mendekat pada Shofi. Sorot mata renta itu penuh pengharapan. "Tante minta tolong buat kamu ... kamu bisa menyayangi Kak Rafa," pinta Heni. "Kamu bisa 'kan, Sayang?"Shofi terdiam sesaat mencerna permintaan dari Heni yang terasa janggal menurutnya. Namun, Shofi pun memilih mengangguk. "Iya, Tante. Selama ini Shofi menyayangi Kak Rafa ... sama seperti Shofi menyayangi Kak Akbar."Sorot mata dan senyum Heni yang penuh harapan itu hilang seketika mendengar jawaban Shofi. Remasan Heni di tangan Shofi melemah dengan segala kekecewaan. Bukan! Bukan itu yang ingin Heni inginkan. Wanita itu segera melepaskan tangannya pada tangan Shofi. Membuang muka menghindari tatapan Shofi yang terlihat bingung dengan perubahan sikapnya."Tante?" Shofi tampak cemas saat melihat wajah Heni tiba-tiba sangat pucat seolah tak ada aliran darah
"Katakan!" kata Akbar. Laki laki itu berdiri di dekat jendela kaca ruang kerjanya. Melipat tangan di dada sambil melihat rintik hujan yang masih turun mengalir beriringan di permukaan kaca jendela.Akbar segera berbalik saat tak mendapat jawaban yang sudah ia tunggu sejak beberapa hari yang lalu. "Kamu tidak punya alasan?" tanya Akbar.Suasana semakin terasa tegang saat lawan bicara Akbar tak segera memberi jawaban. Alya yang juga berada di sana terlihat resah. Ia tahu suaminya tampak tak sabar dan menahan marah. Ia melirik sekilas pada lawan bicara Akbar yang duduk di sebelahnya. Laki-laki di sebelahnya terlihat juga tak kalah keras kepala dengan memberi reaksi diam."Dek ...." Alya berucap lirih lalu menyenggol lengan Rafa."Aku sebenarnya nggak punya alasan, Mas." Akhirnya Rafa membuka suara. "Aku hanya tidak tega saat Shofi memohon untuk bekerja di restoran.""Itu bukan alasan yang ingin aku dengar, Rafa!""Itu memang kenyataannya. Meman
Pagi ini Rafa terlihat sangat buru-buru setelah mendapat telfon dari restoran barunya. Berita tentang kedatangan Tiara di restoran tak terlalu mengejutkan baginya, tapi keadaan wanita itu yang membuat Rafa berlarian panik."Nona Tiara tak sengaja terkena pecahan kaca saat pekerja membetulkan jendela. Lengan kirinya sobek dan berdarah."Laporan dari salah satu pekerja sesaat lalu terus terngiang di telinga Rafa. Jalanan yang ia lalui seolah terasa sangat jauh hingga lama sekali dirinya sampai. Jantungnya terus berdegub dilanda kecemasan. Untuk apa Tiara sampai di restoran?" pertanyaan itu terus berputar di kepalanya sepanjang perjalanan.Setelah menempuh setengah jam perjalanan, mobil yang dikendarai Rafa sampai di depan bangunan bergaya Eropa dengan warna putih yang mendominasi setiap sisi dinding bangunan. Matanya menatap sekeliling mencoba mencari keberadaan Tiara tapi tak ia temukan. Rafa meneruskan langkah masuk ke d