Mobil yang membawa Shofi bergerak pelan menyusuri jalan berpaving perumahan di mana dirinya dan laki-laki yang berada di balik kemudi itu tinggal.
Shofi yang tak menolak ajakan Rafa memilih untuk duduk di kursi penumpang belakang. Tak ada obrolan dari keduanya, tapi sesekali pandangannya bertemu dengan sorot mata Rafa di spion tengah.
Rafa memang sengaja terus mencuri pandang ke arah Shofi saat ia merasa tak asing dengan wajah cantik gadis itu. "Rumah kamu di blok apa?" tanyanya memecah keheningan.
"Rafles Garden blok KL nomor 47," jawab Shofi menyebutkan alamat rumah Alya.
Rafa kembali memusatkan pandangan ke spion tengah saat alamat yang Shofi katakan sama dengan alamat rumah kakaknya. "Kamu tidak salah?" tanya Rafa dan langsung mendapat gelengan dari Shofia.
Rafa memilih diam dan melanjutkan laju mobilnya hingga tak lama berhenti tepat di mana alamat yang disebutkan oleh Shofia. Ia menatap ke arah teras rumah, terlihat wanita manis yang tak lain adalah Kakak kandung Rafa sedang berdiri sambil mengamati ke arah mobilnya.
"Ini rumah kamu?" Rafa kembali bertanya untuk memastikan.
"Bukan, ini rumah Kakakku," jawab Shofia yang membuat Rafa semakin bingung. "Terima kasih, Kak, sudah mengantarku." Tak menunggu jawaban dari Rafa, Shofi segera keluar dari mobil dan langsung disambut oleh Alya yang tampak cemas.
"Dek, kamu dari mana? Kakak cemas nungguin kamu," adunya. Alya beralih menatap ke arah mobil "Lhoh!" Alya sedikit terkejut saat melihat Rafa keluar dari dalam mobil. Ia bergantian menatap Rafa juga Shofi. "Kalian kok bisa bareng?" tanyanya kemudian.
"Aku nggak sengaja ketemu Kak Rafa di jalan." Jawaban Shofi membuat Rafa semakin bingung. Siapa sebenarnya gadis cantik itu? Bahkan ia telah tahu namanya juga kenal dengan Alya, sang Kakak.
"Kamu sebenarnya siapa?" tanya Rafa yang mengamati wajah Shofi lebih seksama. Ingatannya berusaha mengenali wajah Shofi, tapi sama sekali tak mengingat tentang wajah gadis itu.
"Astaghfirullah!" Alya menggeleng tak percaya saat Rafa tak bisa mengenali Shofi. "Kamu lupa, Dek?" Alya mengusap lengan Shofi lalu menatap gadis itu dengan tatapan lembut sebelum kemudian menatap ke arah Rafa yang tengah menunggu jawabannya.
"Dia Shofi, Dek. Adek kamu."
Ucapan Alya membuat mata Rafa membulat sempurna didera keterkejutan luar biasa. Pantas saja ia merasa tidak asing dengan wajah cantik gadis itu. Bocah cantik, imut dan lucu beberapa tahun lalu kini menjelma menjadi wanita anggun dengan balutan gamis longgar namun tetap stylist juga hijab menutupi kepala hingga dada yang membuat tampilan gadis itu berbeda, lebih cantik tentunya. Rafa menunjukkan wajah tak percaya.
"Assalamualaikum, Kak Rafa," sapa Shofi. Gadis itu mengulas senyum yang membuat Rafa terdiam dengan sorot mata yang terus membidik ke arahnya.
Jika beberapa tahun lalu senyum gadis itu sungguh imut dan lucu, lantas sekarang kenapa senyumnya berubah menjadi sungguh menawan?
***
Gemericik suara air mancur kecil di tengah kolam ikan yang ada di taman sebelah rumah menemani Shofia dan Rafa yang sedang duduk berdua dan terhalang oleh meja.
"Kamu banyak berubah, makanya Kakak sampai pangling nggak ngenalin kamu, Dek," ucap Rafa memulai obrolan setelah cukup lama hanya diam.
Shofi menoleh ke arah Rafa. "Aku masih sama, Kak." Gadis itu melempar senyum lalu menundukkan pandangan saat Rafa balik menatapnya.
"Aku kaget waktu dengar kamu ingin tinggal di pesantren. Kenapa tiba-tiba memilih ke sana?" Pertanyaan yang lama sekali berputar di kepala Rafa akhirnya terucap juga.
"Karena Kakak meninggalkanku dulu." Shofi menjawab cepat tanpa ragu, membuat Rafa segera menoleh dengan tatapan bersalah karena dirinya yang meninggalkan gadis itu di masa lalu tanpa pamit untuk menempuh pendidikan di luar negeri.
"Maaf, Dek."
Shofi terkekeh pelan. "Aku cuma bercanda, Kak," tuturnya. "Tapi aku memang marah sama kamu waktu itu, pergi nggak bilang-bilang," protes Shofi.
"Aku memang sengaja tidak pamit, aku takut kamu sedih dengan kepergianku---"
Kehadiran Alya segera memotong kalimat Rafa.
"Ayo, makan malam dulu," ajak Alya. "Ibu sama mas Akbar sudah nungguin."
Rafa dan Shofi pun menghentikan percakapannya lalu beranjak menuju meja makan. Di sana terlihat Akbar dan Heni sudah menunggu.
"Rafa, sampai pangling nggak ngenalin Shofi, Mas," adu Alya pada suaminya.
"Siapa yang tidak pangling lihat Shofi yang tiba-tiba jadi gadis yang sungguh cantik seperti ini," ucap Heni. "Sholehah pula," tambahnya kemudian.
Akbar dan Alya kali ini kompak saling melempar pandang, seolah paham meksud ucapan Heni yang bukan hanya sekedar memuji Shofi. Sedangkan Rafa tampak mengangguk sambil mengamati Shofi yang hanya menunduk menyembunyikan pipinya yang merona.
"Emang nggak nyangka loh, Dek. Perubahan kamu dari bocah sekarang jadi wanita dewasa." Rafa terkekeh dan hendak mengusap pucuk kepala Shofi, tapi dengan cepat Shofi menghindar.
"Maaf, Kak," ucap Shofi yang merasa segan atas reaksinya. Bagaimana pun dirinya bukan lagi bocah yang dulu selalu menempel pada laki-laki itu. Dirinya kini telah tahu batasan-batasan yang harus ia jaga agar tak menimbulkan dosa dari hal sepele.
Heni tersenyum melihatnya. "Beneran Sholihah 'kan?" Wanita dengan uban yang mulai memenuhi rambutnya itu berucap tanpa beban lalu melanjutkan makan malamnya. Tak peduli dengan berbagai reaksi yang ditunjukkan oleh yang lainnnya.
***
Seusai makan malam, seluruh penghuni rumah berkumpul di ruang keluarga. Mengobrol banyak hal dan yang paling banyak adalah pembahasan mengenai Shofi saat di pesantren. Rafa terlihat lebih antusias dalam memberikan pertanyaan pada Shofi. Lain halnya dengan Rafa yang sama sekali tak canggung, Shofi lebih irit bicara dan menjawab sekenanya. Entah kenapa kali ini ia melihat Rafa sungguh berbeda. Ia tak bisa sedekat dulu dengan laki-laki itu. Bahkan ia merasa begitu canggung.
"Kenapa nggak nerusin untuk belajar di pesantren?" tanya Rafa. Laki-laki itu cukup bisa menilai dari cara Shofi bercerita mengenai suasana pesantren yang terlihat begitu menyenangkan untuk gadis itu. "Di sana 'kan universitasnya juga ada," imbuh Rafa.
Shofi memandang sekilas ke arah Akbar dan seketika menundukkan pandangan saat bertemu dengan sorot mata teduh dari Akbar. Ia pun kembali menatap Rafa kemudian menjawab, "Aku ingin pulang, Kak," ucapnya sambil mengulas senyum. "Aku merindukan banyak hal disini."
Jawaban dari Shofi membuat sudut bibir Akbar tertarik membentuk sedikit senyuman. Namun, berbeda dengan Rafa yang tampak berbeda melihat arti senyuman Shofia.
Laki-laki itu pun memilih mengangguk sebelum melempar pertanyaan kembali. "Rencananya kamu mau kuliah di kampus mana, Dek?"
"Universitas Brawixxx." Shofi menyebutkan nama Universitasnya.
"Benarkah? Itu dekat dengan tempat kerjaku yang baru," ujar Rafa. "Nanti sering-sering aku anterin, Dek, kalau berangkat."
Shofi tersenyum lalu mengangguk.
Obrolan itu akhirnya harus terhenti saat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Shofi dengan sopan pamit undur diri untuk segera masuk ke dalam kamar. Heni telah masuk lebih awal, wanita itu tak bisa tidur terlalu larut. Sedangkan Akbar, pria itu sudah memasuki kamarnya lebih dulu, dan kini hanya menyisakan Alya dan Rafa yang masih berada di ruang keluarga.
Kakak beradik itu sesaat hanya diam sebelum kemudian Alya melempar pertanyaan pada Rafa. "Terus, mau sampai kapan?" tanyanya.
Rafa mengalihkan pandangan dari ponsel di tangannya lalu menatap Alya. "Biarin ngalir aja lah, Mbak." Jawaban yang selalu sama dan membuat Alya menghela nafas frustasi.
"Ayolah, Dek ... umur kamu sudah nggak muda lagi, hampir kepala tiga," ujar Alya.
"Masih satu tahun lagi," sahut Rafa mengingatkan.
"Kamu mau nunggu yang nggak pasti?" tanya Alya kembali.
Rafa berdecak kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Aku nggak sedang nunggu dia, Mbak."
"Terus alasan kamu nolak mereka itu apa kalau nggak nungguin yang nggak pasti? Mereka semua perempuan baik-baik, anak dari relasinya Mas Akbar yang sudah jelas masa depannya, mereka cantik, berpendidikan juga mapan." Emosi Alya selalu tersulut saat membahas perihal jodoh sang adik.
"Namanya juga nggak cocok." Jawaban enteng dari Rafa membuat Alya memejamkan mata sejenak untuk meredam emosinya. Ia benar-benar harus bersabar menghadapi Rafa yang sangat santai dalam mencari jodohnya.
"Rafa ... kamu lihat Ibu." Ucapan Alya berubah melembut. "Hampir semua keinginannya sudah terpenuhi, cuma satu yang membuat Ibu sering kepikiran, dan akibatnya beliau sering tidak sehat. Ibu cuma pingin lihat kamu segera nikah sama orang yang tepat, Dek. Ibu juga pingin dapat cucu dari kamu," bujuk Alya. Wanita itu menatap ke arah Rafa yang mulai terpengaruh dengan bujukannya, terlihat raut wajah Rafa terlihat berpikir dan cemas.
Sesaat terdiam, Rafa kemudian mengangguk. "Iya, Mbak. Tahun ini aku bakalan nikah."
"Sama siapa?" Alya tampak terkejut.
"Terserah, Mbak, sama Mas Akbar saja, mau pilih wanita yang mana aku nurut saja kali ini."
Bukannya merasa lega, Alya malah semakin sedih mendengar kepasrahan adiknya. Bukan itu jawaban yang ingin ia dengar. Ia berharap, setidaknya Rafa akan menentukan pilihannya sendiri dengan menjalin hubungan serius pada salah satu wanita yang sudah ia kenalkan pada adiknya itu beberapa waktu yang lalu.
"Aku pulang dulu, Mbak." Rafa sudah berdiri dari duduknya hendak melangkah menuju kamar sang Ibu untuk pamit, tapi tertahan saat Alya melarang.
"Nggak usah kemana-mana! Sudah malam, kamu nginep sini aja," ujar Alya. "Kamu bisa tidur di kamar Aska." Tanpa menunggu persetujuan dari Rafa, Alya memilih pergi lebih dulu meninggalkan sang adik.
***
Malam telah berganti pagi. Semua penghuni rumah kembali berkumpul di meja makan untuk sarapan kecuali Rafa yang masih belum terlihat batang hidungnya.
"Biar Shofi ambilin, Tante." Shofi mencegah Heni yang hendak menyendok nasi ke dalam piringnya.
"Terima kasih, ya, Nak," ucap Heni setelah menerima piring dari Shofi. Wanita tua itu meraih jemari Shofi lalu mengusapnya lembut. "Tante senang kamu kembali kerumah ini." Tatapan Heni tampak berbinar menatap Shofia dan berhasil membuat gadis itu canggung.
Interaksi keduanya tak luput dari pandangan Akbar dan Alya yang memilih untuk melempar pandang dalam diam.
Tak lama, Rafa yang sudah terlihat rapi dengan kemeja biru muda yang melekat di tubuhnya segera ikut bergabung di meja makan. Pria itu melempar senyum pada Shofi sebelum kemudian duduk di sebelah gadis itu.
"Mau kemana kamu? Sepagi ini sudah rapi," tanya Alya pada Rafa. Wanita itu tengah sibuk mengambilkan lauk pauk untuk suaminya.
"Mau ninjau restoran."
Akbar menoleh pada Rafa. "Kenapa? Ada masalah?" tanyanya kemudian.
"Enggak, cuma aku merasa pembangunannya sedikit lambat dari jadwal yang sudah ditentukan."
"Kak Rafa punya restoran?" Pertanyaan Shofi membuat semua mata menatap ke arah gadis itu dan seketika membuatnya menunduk.
"Iya, Dek. Kak Rafa punya beberapa cabang restoran di kota ini," tutur Alya. "Kenapa? Kok, kayak kaget gitu?" tanyanya kemudian.
Shofi menggeleng. "Aku kira Kak Rafa, kerja bareng Kak Akbar."
"Kakak yang nggak mau, Dek," sahut Rafa. "Pekerjaan Kak Akbar bikin pusing," ucap Rafa kembali. Pria itu melempar senyum bercanda pada kakak iparnya.
"Kamu akan menakuti Shofi jika berbicara seperti itu, Raf. Aku menaruh harapan besar pada Shofi perihal perusahaan." Akbar menatap dengan tatapan lembut pada Shofia yang juga menatapnya.
Sedangkan Rafa kini hanya menatap Shofi dengan tatapan yang menelisik. Tak lama ia memusatkan pandangan kembali pada menu di piringnya.
Merasa terlalu jauh untuk menggapai mangkok sayur, ia menoleh pada Shofi yang berada lebih dekat. "Minta tolong, itu, Dek," pintanya pada Shofi.Shofi mengangguk lalu mengambil mangkok sayur. "Lagi?" tanya Shofi setelah menuang sayur pada piring Rafa. Shofi meletakkan kembali mangkuk sayur saat pria itu mengatakan cukup.
Heni yang sejak tadi diam kini mengulas senyum melihat interaksi keduanya."Rafa ... kamu anterin Shofi pergi kuliah," perintahnya dan mendapat anggukan dari pria itu.
Setelah menyelesaikan sarapan, Shofi dan Rafa berpamitan kemudian segera berangkat meninggalkan Alya, Akbar dan Heni yang masih berada di meja makan.
"Shofi umur berapa tahun ini?" Pertanyaan Heni membuat Alya menoleh secepat kilat pada sang Ibu. Wanita itu kemudian menatap sang suami.
"Tahun ini masih sembilan belas tahun, Bu," ucap Akbar.
"Memangnya kenapa, Bu?" Alya mulai curiga.
"Tidak apa-apa." Heni menjawab singkat, tapi senyumnya memiliki makna tersembunyi. Wanita itu lekas berdiri menyudahi sarapnnya. "Aska sudah terlalu lama di rumah Omanya, Ibu kangen. Cepat susul dia untuk pulang," perintah Heni kemudian berlalu meninggalkan anak dan menantunya.
Maaf untuk kali ini aku lama sekali Up nya. Seminggu terakhir aku sedang berduka jadi benar-benar nggak bisa nulis. Dan Alhamdulillah, hari ini bisa menyelesaikan bab terakhir dari kisah Rafa dan Shofi ini. Semoga kalian suka😘🤗***Kini Shofi disibukkan menjadi seorang mama muda yang merawat putri semata wayangnya yang kini telah menginjak usia delapan bulan. Nia tumbuh menjadi balita yang cantik, semakin hari wajah Nia bukan mirip kedua orang tuanya tapi lebih mirip pada almarhum neneknya---Monica Larasati. Tingkah balita itu sangat aktif, Nia sudah bisa berdiri sendiri meski belum berani melangkah terlalu jauh, lebih gesit ketika merangkak kesana kemari dan sudah mulai tidak mau digendong. Apalagi jika bermain dengan Rafa, balita itu pasti sering tertawa dan berceloteh sekenanya.Meski Nia sangat aktif, Shofi masih bisa membagi waktu untuk terus mengikuti kelas desain yang semakin ia tekuni. Mesin jahit yang sempat terabaikan beberapa bulan
Langit biru membentang indah tanpa onggokan awan putih sedikitpun di atas sana. Udara dingin sisa semalam telah berubah menghangat terkena terpaan sinar mentari pagi menyambut para tamu yang mulai berdatangan di kediaman Rafa dan Shofi. Sepasang orang tua baru itu tengah menggelar acara Aqiqah untuk sang putri yang hari ini genap berumur 40 hari.Suasana bahagia sungguh terasa sejak memasuki halaman rumah mewah tersebut. Apalagi di ruang tengah di mana Shofi bersama Alya dan Heni terus menyunggingkan senyum menikmati keindahan dan kecantikan dua malaikat kecil yang berada di box bayi yang tengah tertidur pulas.“Ellea sangat sehat, ya, Kak. Pipinya gembul banget,” puji Shofi pada bayi Alya. Ia masih terpaku memandangi Ellea yang baru berumur 1 bulan, tapi pipinya sudah mulai meluber. Benar-benar menggemaskan.“Dedek Nia nanti juga bakalan nyusul gendut kaya Kakak Ellea ya, Nak.” Alya mengusap lemb
Semilir angin yang berembus menerbangkan gaun putih gading yang tengah dikenakan wanita cantik dengan perut buncit yang baru saja turun dari mobil bersama laki-laki yang menggunakan setelan jas berwarna senada. Keduanya hendak menghadiri sebuah acara pernikahan. Suasana mewah dan hangat langsung terasa ketika keduanya memasuki tempat acara ketika langsung disambut oleh suguhan tata ruang yang penuh dengan bunga-bunga beraneka rupa yang di dominasi warna putih. Bibir kedunya mengulas senyum ketika melihat sepasang pengantin yang berada di atas pelaminan melambaikan tangan padanya.“Kak Susan cantik banget, ya, Kak,” puji Shofi pada sang pengantin wanita. Ia melambaikan tangan pada Susan.Rafa hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Shofi. Ia menoleh sekilas pada Susan di atas pelaminan lalu kembali menatap sang istri, tangannya terulur mengusap perut buncit Shofia yang sebentar lagi akan segera melahirkan. “Istriku p
Rintihan dan desahan yang keluar dari mulut wanita yang tengah merasakan sakit di perut dan pinggangnya itu terdengar sungguh pilu dan menyayat hati. Sudah hampir satu jam Alya berada di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Air matanya terus merembes keluar merasakan desakan hebat di punggungnya seolah tulang-tulangnya patah.Sedangkan Rafa yang sejak tadi berada di samping kakaknya tersebut berulang kali menyeka keningnya yang terus berembun. Pertama kalinya ia menunggui seorang yang akan melahirkan dan itu adalah kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan dirinya berada di ruangan yang mencekam baginya saat ini, karena ia sedang menggantikan tugas Akbar yang masih dalam perjalanan usai melakukan business trip di luar negeri. Melihat kondisi sang kakak, Rafa merasa tubuhnya tercabik dan ikut merasakan perih ketika mendengar rintihan Alya yang kesakitan."Dek, telfon Mas Akbar lagi. Sudah sampai mana? Mbak nggak kuat ini," pinta Alya dengan terbata. Wanita i
"Bagaimana Adik saya dan kandungannya, Dok?" tanya Akbar. Laki-laki itu menghadang langkah Dokter Anggun yang baru saja menutup pintu kamar Shofi.Akbar yang mendapat kabar dari Alya segera menuju rumah Rafa sebab Shofi menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Wanita itu terus menangis sambil menahan sakit di perut dan enggan bertemu banyak orang."Bu Shofi mengalami syok, Pak. Tekanan darahnya langsung turun bersamaan kram di perutnya disertai gerakan janin yang kuat. Untuk itu beliau mengalami sakit yang hebat di perutnya," tutur Dokter Anggun."Lalu bagaimana dengan janinnya, Dok?" tanya Alya yang tak kalah khawatir."Detak jantungnya normal, Bu. Namun, sebaiknya Bu Shofi segera dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya harus melakukan USG pada janinnya. Saya juga sudah berpesan pada Pak Rafa untuk lebih menjaga Bu Shofi, jika melihat reaksi Bu Shofi barusan, sepertinya beliau punya satu trauma terhadap sesuatu. Bu Sho
Malam semakin larut, udara semakin dingin menyelimuti bumi mengajak semua manusia untuk beristirahat dalam mimpi yang indah.Tak terkecuali Shofi, wanita itu tampak begitu lelap dalam tidurnya. Usapan di kepala yang diberikan sang suami membuat wanita itu terlihat semakin nyaman dan pulas. Rafa memang masih terjaga sebab dirinya tengah memikirkan kabar yang disampaikan Akbar sesaat lalu."Nico dan David tertangkap di pelabuhan sebelum melarikan diri. Polisi sudah lama mengincarnya dengan kasus pencucian uang dan aku juga telah membuat laporan perihal penyalahgunaan kepemilikan aset milik almarhum Ibunya Shofi," tutur Akbar. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan Rafa di depannya."Katamu kau mengajukan dua kasus, Mas? lalu satu lagi kasus apa?" Rafa tampak menatap dalam pada Akbar. "Jangan bilang kau melaporkan tentang kejadian dulu," tebak Rafa."Itu rahasia yang tidak mungkin aku buka lagi. Kau pikir aku secerobo
Semilir angin pagi yang berembus menggoyangkan helaian daun tanaman palm yang berjejer rapi di halaman rumah Akbar. Beberapa mobil mewah juga turut berjajar rapi harus terparkir di sepanjang jalan perumahan sebab halaman rumah yang besar itu sudah dipenuhi oleh tenda berwarna putih yang mewah dan indah. Beberapa security dan pengawal berbaju serba hitam tampak mengawasi sekitar agar acara majikannya tersebut berjalan lancar tanpa gangguan. Para tamu undangan juga yang mulai datang tampak menggunakan busana muslim senada berwarna serba putih mulai memenuhi kursi tamu yang sudah disediakan.Tujuh bulan bagi Shofi dan selisih satu bulan bagi Alya memasuki usia kehamilannya, untuk itu Akbar dan Rafa sengaja menggelar acara pengajian yang cukup besar. Sebagai wujud rasa syukur akan datangnya dua malaikat kecil dalam keluarganya. Kedua laki-laki itu mengundang seluruh saudara, kerabat, tetangga, beberapa kolega dan banyak anak yatim yang juga sudah berkumpul sejak pagi.
"Jangan lari, Dek!"Entah sudah keberapa kalinya Rafa mengucapkan kalimat peringatan tersebut pada Shofi sejak keduanya menapaki lantai bandara. Tangisan Shofi sesaat lalu akhirnya meluluhkan Rafa. Mau tak mau ia memilih menuruti sang istri untuk mengejar Tiara. Namun, sebelumnya Rafa telah memastikan jika Shofi tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengguncang kembali rumah tangganya atau kembali lari dari dirinya. Tanpa pikir panjang Shofi mengiyakan.Shofi yang merasa panik karena takut melewatkan Tiara sebelum menyampaikan sesuatu terlihat tak sabar. Ia bahkan terus berlari kecil dengan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Tiara di antara banyaknya pengunjung di bandara.Rafa segera mencekal tangan Shofi untuk menghentikan langkah wanita tersebut. "Kalau kamu nggak nurut, Kakak bakalan gendong kamu biar nggak lari lagi." Ancaman Rafa berhasil membuat Shofi berhenti dan menatap takut padanya.
Beberapa hari sejak kedatangan Rafa di vila, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa pulang kembali istri kecil yang amat ia cintai tersebut. Rafa membawa Shofi menuju rumah Alya terlebih dahulu, sebab Heni begitu menunggu kedatangan Shofi. Wanita itu sangat bahagia juga sangat khawatir dengan kehamilan menantunya. Begitu juga dengan Shofi yang sangat merasa bersalah pada mertuanya tersebut."Maafkan Shofi, ya, Bu? Maaf telah membuat Ibu sakit karena memikirkan rumah tangga Shofi," ucap Shofi penuh rasa bersalah. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi tak sampai menangis.Heni segera membawa sang menantu dalam pelukan. "Enggak, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Malah Ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak pergi dari Rafa. Terima kasih, Nak."Heni kemudian menghela tubuh Shofi. Ia pandangi wajah cantik sang menantu yang tampak lebih berisi tersebut. "Mau 'kan janji sa