Mobil yang membawa Shofi bergerak pelan menyusuri jalan berpaving perumahan di mana dirinya dan laki-laki yang berada di balik kemudi itu tinggal.
Shofi yang tak menolak ajakan Rafa memilih untuk duduk di kursi penumpang belakang. Tak ada obrolan dari keduanya, tapi sesekali pandangannya bertemu dengan sorot mata Rafa di spion tengah.
Rafa memang sengaja terus mencuri pandang ke arah Shofi saat ia merasa tak asing dengan wajah cantik gadis itu. "Rumah kamu di blok apa?" tanyanya memecah keheningan.
"Rafles Garden blok KL nomor 47," jawab Shofi menyebutkan alamat rumah Alya.
Rafa kembali memusatkan pandangan ke spion tengah saat alamat yang Shofi katakan sama dengan alamat rumah kakaknya. "Kamu tidak salah?" tanya Rafa dan langsung mendapat gelengan dari Shofia.
Rafa memilih diam dan melanjutkan laju mobilnya hingga tak lama berhenti tepat di mana alamat yang disebutkan oleh Shofia. Ia menatap ke arah teras rumah, terlihat wanita manis yang tak lain adalah Kakak kandung Rafa sedang berdiri sambil mengamati ke arah mobilnya.
"Ini rumah kamu?" Rafa kembali bertanya untuk memastikan.
"Bukan, ini rumah Kakakku," jawab Shofia yang membuat Rafa semakin bingung. "Terima kasih, Kak, sudah mengantarku." Tak menunggu jawaban dari Rafa, Shofi segera keluar dari mobil dan langsung disambut oleh Alya yang tampak cemas.
"Dek, kamu dari mana? Kakak cemas nungguin kamu," adunya. Alya beralih menatap ke arah mobil "Lhoh!" Alya sedikit terkejut saat melihat Rafa keluar dari dalam mobil. Ia bergantian menatap Rafa juga Shofi. "Kalian kok bisa bareng?" tanyanya kemudian.
"Aku nggak sengaja ketemu Kak Rafa di jalan." Jawaban Shofi membuat Rafa semakin bingung. Siapa sebenarnya gadis cantik itu? Bahkan ia telah tahu namanya juga kenal dengan Alya, sang Kakak.
"Kamu sebenarnya siapa?" tanya Rafa yang mengamati wajah Shofi lebih seksama. Ingatannya berusaha mengenali wajah Shofi, tapi sama sekali tak mengingat tentang wajah gadis itu.
"Astaghfirullah!" Alya menggeleng tak percaya saat Rafa tak bisa mengenali Shofi. "Kamu lupa, Dek?" Alya mengusap lengan Shofi lalu menatap gadis itu dengan tatapan lembut sebelum kemudian menatap ke arah Rafa yang tengah menunggu jawabannya.
"Dia Shofi, Dek. Adek kamu."
Ucapan Alya membuat mata Rafa membulat sempurna didera keterkejutan luar biasa. Pantas saja ia merasa tidak asing dengan wajah cantik gadis itu. Bocah cantik, imut dan lucu beberapa tahun lalu kini menjelma menjadi wanita anggun dengan balutan gamis longgar namun tetap stylist juga hijab menutupi kepala hingga dada yang membuat tampilan gadis itu berbeda, lebih cantik tentunya. Rafa menunjukkan wajah tak percaya.
"Assalamualaikum, Kak Rafa," sapa Shofi. Gadis itu mengulas senyum yang membuat Rafa terdiam dengan sorot mata yang terus membidik ke arahnya.
Jika beberapa tahun lalu senyum gadis itu sungguh imut dan lucu, lantas sekarang kenapa senyumnya berubah menjadi sungguh menawan?
***
Gemericik suara air mancur kecil di tengah kolam ikan yang ada di taman sebelah rumah menemani Shofia dan Rafa yang sedang duduk berdua dan terhalang oleh meja.
"Kamu banyak berubah, makanya Kakak sampai pangling nggak ngenalin kamu, Dek," ucap Rafa memulai obrolan setelah cukup lama hanya diam.
Shofi menoleh ke arah Rafa. "Aku masih sama, Kak." Gadis itu melempar senyum lalu menundukkan pandangan saat Rafa balik menatapnya.
"Aku kaget waktu dengar kamu ingin tinggal di pesantren. Kenapa tiba-tiba memilih ke sana?" Pertanyaan yang lama sekali berputar di kepala Rafa akhirnya terucap juga.
"Karena Kakak meninggalkanku dulu." Shofi menjawab cepat tanpa ragu, membuat Rafa segera menoleh dengan tatapan bersalah karena dirinya yang meninggalkan gadis itu di masa lalu tanpa pamit untuk menempuh pendidikan di luar negeri.
"Maaf, Dek."
Shofi terkekeh pelan. "Aku cuma bercanda, Kak," tuturnya. "Tapi aku memang marah sama kamu waktu itu, pergi nggak bilang-bilang," protes Shofi.
"Aku memang sengaja tidak pamit, aku takut kamu sedih dengan kepergianku---"
Kehadiran Alya segera memotong kalimat Rafa.
"Ayo, makan malam dulu," ajak Alya. "Ibu sama mas Akbar sudah nungguin."
Rafa dan Shofi pun menghentikan percakapannya lalu beranjak menuju meja makan. Di sana terlihat Akbar dan Heni sudah menunggu.
"Rafa, sampai pangling nggak ngenalin Shofi, Mas," adu Alya pada suaminya.
"Siapa yang tidak pangling lihat Shofi yang tiba-tiba jadi gadis yang sungguh cantik seperti ini," ucap Heni. "Sholehah pula," tambahnya kemudian.
Akbar dan Alya kali ini kompak saling melempar pandang, seolah paham meksud ucapan Heni yang bukan hanya sekedar memuji Shofi. Sedangkan Rafa tampak mengangguk sambil mengamati Shofi yang hanya menunduk menyembunyikan pipinya yang merona.
"Emang nggak nyangka loh, Dek. Perubahan kamu dari bocah sekarang jadi wanita dewasa." Rafa terkekeh dan hendak mengusap pucuk kepala Shofi, tapi dengan cepat Shofi menghindar.
"Maaf, Kak," ucap Shofi yang merasa segan atas reaksinya. Bagaimana pun dirinya bukan lagi bocah yang dulu selalu menempel pada laki-laki itu. Dirinya kini telah tahu batasan-batasan yang harus ia jaga agar tak menimbulkan dosa dari hal sepele.
Heni tersenyum melihatnya. "Beneran Sholihah 'kan?" Wanita dengan uban yang mulai memenuhi rambutnya itu berucap tanpa beban lalu melanjutkan makan malamnya. Tak peduli dengan berbagai reaksi yang ditunjukkan oleh yang lainnnya.
***
Seusai makan malam, seluruh penghuni rumah berkumpul di ruang keluarga. Mengobrol banyak hal dan yang paling banyak adalah pembahasan mengenai Shofi saat di pesantren. Rafa terlihat lebih antusias dalam memberikan pertanyaan pada Shofi. Lain halnya dengan Rafa yang sama sekali tak canggung, Shofi lebih irit bicara dan menjawab sekenanya. Entah kenapa kali ini ia melihat Rafa sungguh berbeda. Ia tak bisa sedekat dulu dengan laki-laki itu. Bahkan ia merasa begitu canggung.
"Kenapa nggak nerusin untuk belajar di pesantren?" tanya Rafa. Laki-laki itu cukup bisa menilai dari cara Shofi bercerita mengenai suasana pesantren yang terlihat begitu menyenangkan untuk gadis itu. "Di sana 'kan universitasnya juga ada," imbuh Rafa.
Shofi memandang sekilas ke arah Akbar dan seketika menundukkan pandangan saat bertemu dengan sorot mata teduh dari Akbar. Ia pun kembali menatap Rafa kemudian menjawab, "Aku ingin pulang, Kak," ucapnya sambil mengulas senyum. "Aku merindukan banyak hal disini."
Jawaban dari Shofi membuat sudut bibir Akbar tertarik membentuk sedikit senyuman. Namun, berbeda dengan Rafa yang tampak berbeda melihat arti senyuman Shofia.
Laki-laki itu pun memilih mengangguk sebelum melempar pertanyaan kembali. "Rencananya kamu mau kuliah di kampus mana, Dek?"
"Universitas Brawixxx." Shofi menyebutkan nama Universitasnya.
"Benarkah? Itu dekat dengan tempat kerjaku yang baru," ujar Rafa. "Nanti sering-sering aku anterin, Dek, kalau berangkat."
Shofi tersenyum lalu mengangguk.
Obrolan itu akhirnya harus terhenti saat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Shofi dengan sopan pamit undur diri untuk segera masuk ke dalam kamar. Heni telah masuk lebih awal, wanita itu tak bisa tidur terlalu larut. Sedangkan Akbar, pria itu sudah memasuki kamarnya lebih dulu, dan kini hanya menyisakan Alya dan Rafa yang masih berada di ruang keluarga.
Kakak beradik itu sesaat hanya diam sebelum kemudian Alya melempar pertanyaan pada Rafa. "Terus, mau sampai kapan?" tanyanya.
Rafa mengalihkan pandangan dari ponsel di tangannya lalu menatap Alya. "Biarin ngalir aja lah, Mbak." Jawaban yang selalu sama dan membuat Alya menghela nafas frustasi.
"Ayolah, Dek ... umur kamu sudah nggak muda lagi, hampir kepala tiga," ujar Alya.
"Masih satu tahun lagi," sahut Rafa mengingatkan.
"Kamu mau nunggu yang nggak pasti?" tanya Alya kembali.
Rafa berdecak kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Aku nggak sedang nunggu dia, Mbak."
"Terus alasan kamu nolak mereka itu apa kalau nggak nungguin yang nggak pasti? Mereka semua perempuan baik-baik, anak dari relasinya Mas Akbar yang sudah jelas masa depannya, mereka cantik, berpendidikan juga mapan." Emosi Alya selalu tersulut saat membahas perihal jodoh sang adik.
"Namanya juga nggak cocok." Jawaban enteng dari Rafa membuat Alya memejamkan mata sejenak untuk meredam emosinya. Ia benar-benar harus bersabar menghadapi Rafa yang sangat santai dalam mencari jodohnya.
"Rafa ... kamu lihat Ibu." Ucapan Alya berubah melembut. "Hampir semua keinginannya sudah terpenuhi, cuma satu yang membuat Ibu sering kepikiran, dan akibatnya beliau sering tidak sehat. Ibu cuma pingin lihat kamu segera nikah sama orang yang tepat, Dek. Ibu juga pingin dapat cucu dari kamu," bujuk Alya. Wanita itu menatap ke arah Rafa yang mulai terpengaruh dengan bujukannya, terlihat raut wajah Rafa terlihat berpikir dan cemas.
Sesaat terdiam, Rafa kemudian mengangguk. "Iya, Mbak. Tahun ini aku bakalan nikah."
"Sama siapa?" Alya tampak terkejut.
"Terserah, Mbak, sama Mas Akbar saja, mau pilih wanita yang mana aku nurut saja kali ini."
Bukannya merasa lega, Alya malah semakin sedih mendengar kepasrahan adiknya. Bukan itu jawaban yang ingin ia dengar. Ia berharap, setidaknya Rafa akan menentukan pilihannya sendiri dengan menjalin hubungan serius pada salah satu wanita yang sudah ia kenalkan pada adiknya itu beberapa waktu yang lalu.
"Aku pulang dulu, Mbak." Rafa sudah berdiri dari duduknya hendak melangkah menuju kamar sang Ibu untuk pamit, tapi tertahan saat Alya melarang.
"Nggak usah kemana-mana! Sudah malam, kamu nginep sini aja," ujar Alya. "Kamu bisa tidur di kamar Aska." Tanpa menunggu persetujuan dari Rafa, Alya memilih pergi lebih dulu meninggalkan sang adik.
***
Malam telah berganti pagi. Semua penghuni rumah kembali berkumpul di meja makan untuk sarapan kecuali Rafa yang masih belum terlihat batang hidungnya.
"Biar Shofi ambilin, Tante." Shofi mencegah Heni yang hendak menyendok nasi ke dalam piringnya.
"Terima kasih, ya, Nak," ucap Heni setelah menerima piring dari Shofi. Wanita tua itu meraih jemari Shofi lalu mengusapnya lembut. "Tante senang kamu kembali kerumah ini." Tatapan Heni tampak berbinar menatap Shofia dan berhasil membuat gadis itu canggung.
Interaksi keduanya tak luput dari pandangan Akbar dan Alya yang memilih untuk melempar pandang dalam diam.
Tak lama, Rafa yang sudah terlihat rapi dengan kemeja biru muda yang melekat di tubuhnya segera ikut bergabung di meja makan. Pria itu melempar senyum pada Shofi sebelum kemudian duduk di sebelah gadis itu.
"Mau kemana kamu? Sepagi ini sudah rapi," tanya Alya pada Rafa. Wanita itu tengah sibuk mengambilkan lauk pauk untuk suaminya.
"Mau ninjau restoran."
Akbar menoleh pada Rafa. "Kenapa? Ada masalah?" tanyanya kemudian.
"Enggak, cuma aku merasa pembangunannya sedikit lambat dari jadwal yang sudah ditentukan."
"Kak Rafa punya restoran?" Pertanyaan Shofi membuat semua mata menatap ke arah gadis itu dan seketika membuatnya menunduk.
"Iya, Dek. Kak Rafa punya beberapa cabang restoran di kota ini," tutur Alya. "Kenapa? Kok, kayak kaget gitu?" tanyanya kemudian.
Shofi menggeleng. "Aku kira Kak Rafa, kerja bareng Kak Akbar."
"Kakak yang nggak mau, Dek," sahut Rafa. "Pekerjaan Kak Akbar bikin pusing," ucap Rafa kembali. Pria itu melempar senyum bercanda pada kakak iparnya.
"Kamu akan menakuti Shofi jika berbicara seperti itu, Raf. Aku menaruh harapan besar pada Shofi perihal perusahaan." Akbar menatap dengan tatapan lembut pada Shofia yang juga menatapnya.
Sedangkan Rafa kini hanya menatap Shofi dengan tatapan yang menelisik. Tak lama ia memusatkan pandangan kembali pada menu di piringnya.
Merasa terlalu jauh untuk menggapai mangkok sayur, ia menoleh pada Shofi yang berada lebih dekat. "Minta tolong, itu, Dek," pintanya pada Shofi.Shofi mengangguk lalu mengambil mangkok sayur. "Lagi?" tanya Shofi setelah menuang sayur pada piring Rafa. Shofi meletakkan kembali mangkuk sayur saat pria itu mengatakan cukup.
Heni yang sejak tadi diam kini mengulas senyum melihat interaksi keduanya."Rafa ... kamu anterin Shofi pergi kuliah," perintahnya dan mendapat anggukan dari pria itu.
Setelah menyelesaikan sarapan, Shofi dan Rafa berpamitan kemudian segera berangkat meninggalkan Alya, Akbar dan Heni yang masih berada di meja makan.
"Shofi umur berapa tahun ini?" Pertanyaan Heni membuat Alya menoleh secepat kilat pada sang Ibu. Wanita itu kemudian menatap sang suami.
"Tahun ini masih sembilan belas tahun, Bu," ucap Akbar.
"Memangnya kenapa, Bu?" Alya mulai curiga.
"Tidak apa-apa." Heni menjawab singkat, tapi senyumnya memiliki makna tersembunyi. Wanita itu lekas berdiri menyudahi sarapnnya. "Aska sudah terlalu lama di rumah Omanya, Ibu kangen. Cepat susul dia untuk pulang," perintah Heni kemudian berlalu meninggalkan anak dan menantunya.
Setelah melewati jalanan yang cukup lengang, mobil yang dikendarai Rafa akhirnya berhenti di parkiran kampus. Pria itu menoleh pada gadis yang duduk manis di sebelahnya setelah mematikan mesin mobil."Kenapa?" tanya Rafa saat melihat wajah tak nyaman dari Shofi.Shofi menggeleng lalu membuka sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. Gadis itu tampak heran saat Rafa mengantarnya sampai parkiran, bukankah di gerbang kampus saja sudah cukup. "Makasih, ya, Kak. Aku masuk dulu," ucapnya lalu kemudian turun setelah Rafa mengangguk."Kak Rafa ngapain ikut turun?" tanya Shofi saat pria itu sudah berada di luar mobil lalu menghampiri dirinya."Kakak anterin sampai kelas kamu," jawab Rafa kemudian berjalan mendahului Shofi yang masih tertegun di tempatnya. "Ayo, Dek!" Rafa mengulurkan tangan meski ia tahu jika tak akan mendapat sambutan."Kak ... aku bukan anak kecil lagi. Aku udah gede," ucap Shofi lirih sambil menatap takut ke arah Rafa, tak lama ia mengang
Kedatangan Shofi membuat suasana di ruang tamu menjadi hening. Shofi yang menerima tatapan dari beberapa orang di sana segera menundukkan pandangannya. Ia segera berjalan menghampiri salah satu dari mereka. Wanita paruh baya bergamis hitam dengan hijab coklat yang menutupi kepala hingga dada itu menjadi tujuan Shofi. "Assalamualaikum, Bu Nyai," ucap Shofi lalu mencium punggung tangan Nyai Fatimah beberapa saat, sebelum kemudian ia lepaskan dan segera disambut pelukan erat oleh wanita paruh baya itu. "Umi, kangen kamu, Nak," ucap Nyai Fatimah setelah melepaskan pelukannya. Sorot mata wanita itu benar-benar memancarkan kerinduan meski baru beberapa hari kepergian Shofi dari pesantren. "Kamu sehat-sehat 'kan?" tanyanya memastikan. Shofi mengangguk. "Alhamdulillah, Umi." "Umi ...." Panggilan dari Kyai Sholeh segera mengalihkan pandangan dua perempuan itu. Shofi memberi salam pada Kyai Sholeh, juga Gus Ikhsan yang duduk di sebelah
Heningnya malam membuat Shofia masih terjaga. Kejadian sore tadi dan ucapan Akbar masih berputar-putar di kepalanya hingga membuat ia kesulitan untuk memejamkan mata meski jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Ia menyudahi lantunan dzikir yang ia ucapkan, melepas mukenah lalu berjalan membuka jendela kamar. Hembusan udara sepagi ini cukup segar memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak.Shofi menengadah sambil memejamkan mata. Kemudian tak lama mata terpejam itu terbuka dan bersikap waspada saat mendengar tapak kaki seseorang di sekitar taman sebelah kamarnya."Astagfirullahhaladzim!" Shofi memekik pelan, terkejut saat melihat bayangan seseorang yang duduk di gazebo taman."Kenapa belum tidur?" Suara berat dari Rafa membuat Shofi menghembuskan nafas lega. Ia pikir Rafa adalah pencuri yang menyelinap masuk ke dalam rumah."Baru selesai sholat," jawab Shofi. "Kakak sendiri ngapain di sini jam segini?" tanyanya kemudian.Rafa memberi isyarat
Rumah megah dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh menyanggah bangunan rumah terlihat sungguh indah dan mewah. Suasana rumah yang Shofi tahu selalu sepi itu kali ini terlihat ramai. Pintu ganda bercat putih yang jarang sekali di buka kali ini terbuka lebar. Tentunya Shofi sadar diri jika hal itu bukan dikhususkan untuk bersiap menyambut kedatangannya.Shofi berjalan beriringan dengan Alya dengan degub jantung yang tak berirama teratur. Jemarinya meremas gamis yang ia pakai. Shofi merasa takut dan entah apa yang ia takutkan. Jika bisa ia ingin lari menjauh tak ingin menapaki rumah itu."Ayo masuk, Dek," ajak Alya. Wanita itu lekas menggandeng Shofi berjalan masuk ke dalam rumah mertuanya."Mamiii ...!" Panggilan dari bocah laki-laki yang berlari menuju ke arah Alya menyambut rombongan Alya. Bocah sepuluh tahun itu lekas meloncat ke gendongan sang Papi lalu meraih tubuh Alya kemudian memeluk erat wanita itu.Beberapa hari berada di rumah sang Oma membuat boc
Tuk!Suara gelas yang diletakkan kasar oleh Rafa di atas meja makan sedikit mengagetkan Shofi. Gadis itu hanya menunduk takut dengan kemarahan Rafa. Selama perjalanan pulang dari rumah Tari hingga memasuki rumah Alya, Rafa hanya diam dengan sorot mata menajam. Hal itu semakin membuat Shofi ketakutan dan merasa bersalah. Menyesali kenapa dirinya harus kembali ke keluarga ini. Baru beberapa hari saja ia sudah membuat keributan seperti tadi.Rafa mengambil gelas kosong yang lain lalu mengisinya dengan air putih. Ia sodorkan ke hadapan Shofia. "Minum dulu, Dek," kata Rafa."Maafkan aku, Kak."Wajah Rafa seketika melembut mendengar ucapan Shofi, ia baru menyadari jika adiknya ketakutan. "Maaf untuk apa?" tanyanya lembut."Kehadiranku malah menimbulkan keributan buat keluarga ini," ujar Shofi dengan nada bergetar. Shofi memberanikan diri menatap Rafa yang terdiam.Kini Rafa beralih menatap Shofi. "Bukan itu yang ingin Kakak dengar dari ka
Di salah satu kursi pengunjung yang terdapat di restoran itu terlihat kakak beradik yang tak memiliki ikatan darah itu duduk bersebrangan. Manik mata indah berhias bulu lentik itu terus bergerak ke sana kemari mengikuti pergerakan pada waiters yang berlalu-lalang melayani para pengunjung restoran yang cukup ramai sore ini.Sedang sorot mata lembut dari Rafa terus membidik ke arah sang adik. Rafa bersedekap sambil mengulas senyum melihat begitu besar tekad Shofi.Shofi yang baru menyadari tatapan Rafa kini beralih menatap Rafa dengan sungguh-sungguh. "Aku bisa, kok, seperti mereka," kata Shofi sambil menunjuk ke arah para waiters."Alasan kamu buat kerja itu apa, Dek? Kamu punya segalanya. Tinggal minta ke Kak---""Enggak! Enggak!" sahut Shofi. "Aku mohon jangan bilang apapun tentang masalah ini sama Kak Akbar atau Kak Alya," pintanya."Apapun yang kamu lakukan Kak Akbar akan tahu.""Setidaknya kali ini, Kak Rafa mau membant
Heningnya malam di kediaman Alya terusik oleh deru mobil yang baru saja masuk dan berhenti di halaman rumah. Shofi yang berada dalam mobil itu hendak turun, tapi tertahan saat menoleh pada Rafa yang diam dengan tatapan kosong ke depan. Shofi sendiri enggan bertanya meski selama perjalanan laki-laki itu tiba-tiba berubah diam seribu bahasa."Kakak nggak turun?" tanya Shofi dengan hati-hati."Kakak masih ada urusan di luar, Dek. Kamu masuk gih. Kunci semua pintunya."Shofi melirik ke arah jarum jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Kakak nggak pulang?" tanyanya lagi. Entah kenapa tiba-tiba Shofi merasa cemas dengan kediaman Rafa.Rafa terlihat ragu untuk menjawab. Ia hanya menatap Shofi dengan tatapan kosong."Aku turun dulu, Kak. Assalamualaikum." Shofi memilih untuk pamit saat sang kakak sepertinya tak berniat memberi jawaban. Ia lalu segera turun dari mobil dan lekas masuk ke dalam rumah. Setelah memasuki rumah, Sh
"Tante boleh minta tolong satu hal, Nak?"Shofi mengangguk. "Boleh, Tante. Mau minta tolong apa?"Heni menggeser duduknya untuk lebih mendekat pada Shofi. Sorot mata renta itu penuh pengharapan. "Tante minta tolong buat kamu ... kamu bisa menyayangi Kak Rafa," pinta Heni. "Kamu bisa 'kan, Sayang?"Shofi terdiam sesaat mencerna permintaan dari Heni yang terasa janggal menurutnya. Namun, Shofi pun memilih mengangguk. "Iya, Tante. Selama ini Shofi menyayangi Kak Rafa ... sama seperti Shofi menyayangi Kak Akbar."Sorot mata dan senyum Heni yang penuh harapan itu hilang seketika mendengar jawaban Shofi. Remasan Heni di tangan Shofi melemah dengan segala kekecewaan. Bukan! Bukan itu yang ingin Heni inginkan. Wanita itu segera melepaskan tangannya pada tangan Shofi. Membuang muka menghindari tatapan Shofi yang terlihat bingung dengan perubahan sikapnya."Tante?" Shofi tampak cemas saat melihat wajah Heni tiba-tiba sangat pucat seolah tak ada aliran darah