Share

Cantik dan Berharga

Heningnya malam membuat Shofia masih terjaga. Kejadian sore tadi dan ucapan Akbar masih berputar-putar di kepalanya hingga membuat ia kesulitan untuk memejamkan mata meski jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Ia menyudahi lantunan dzikir yang ia ucapkan, melepas mukenah lalu berjalan membuka jendela kamar. Hembusan udara sepagi ini cukup segar memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak.

Shofi menengadah sambil memejamkan mata. Kemudian tak lama mata terpejam itu terbuka dan bersikap waspada saat mendengar tapak kaki seseorang di sekitar taman sebelah kamarnya.

"Astagfirullahhaladzim!" Shofi memekik pelan, terkejut saat melihat bayangan seseorang yang duduk di gazebo taman.

"Kenapa belum tidur?" Suara berat dari Rafa membuat Shofi menghembuskan nafas lega. Ia pikir Rafa adalah pencuri yang menyelinap masuk ke dalam rumah.

"Baru selesai sholat," jawab Shofi. "Kakak sendiri ngapain di sini jam segini?" tanyanya kemudian.

Rafa memberi isyarat untuk Shofi keluar dari dalam kamar. "Temenin Kakak, Dek," pintanya kemudian.

Shofi pun mengangguk, ia menutup kembali jendela kamarnya lalu keluar kamar melewati pintu belakang. Tak lupa ia mengambil selimut lalu ia berikan pada Rafa saat menyadari jika laki-laki itu hanya mengenakan kaos tipis.

"Kamu saja yang pakai," tolak Rafa, tapi dengan cepat Shofi menolak. Menurutnya, udara di kota terasa lebih hangat sepagi ini karena gadis itu telah terbiasa merasai dinginnya udara di pesantren yang terletak di desa.

Keduanya duduk berdampingan dengan tetap menjaga jarak. Hening menyergap saat tak ada obrolan. Shofi pun tak tahu harus berkata apa. Hingga pergerakan Rafa yang menoleh ke arahnya membuat Shofi juga menoleh.

"Laki-laki tadi cocok loh, Dek, sama kamu," ujar Rafa. "Tampan dan Sholeh sudah cukup memenuhi kriteria jadi calon suami."

"Oh ... jadi benda jatuh di kamar Aska tadi ... Kakak nguping?" tuduh Shofi dengan polosnya hingga membuat Rafa tertawa, menertawai dirinya sendiri. Ia tak membantah dengan tuduhan gadis itu, saat dirinya tak sengaja mendengar, tapi bukannya menjauh malah semakin mencuri dengar obrolan Shofi dan Ikhsan sore tadi. Hingga ia tak hati-hati lalu menyenggol tumpukan buku pelajaran milik Aska.

"Kamu nggak sayang, melepaskan dia?" tanya Rafa kembali dan segera mendapat gelengan dari Shofia. Hal itu membuat Rafa memusatkan pandangannya kembali pada gadis itu dan bertanya "Kenapa?"

"Bukankah Kak Rafa mendengar semua obrolan ku tadi dengan Gus Ikhsan. Aku sudah mengatakan alasannya."

"Aku sependapat dengan Kak Akbar. Aku tidak menyukai alasanmu itu." Nada suara Rafa berubah menjadi serius. Ia menatap lekat pada gadis berkerudung hitam itu dengan tatapan penuh sendu. Entah kenapa ia lebih menyukai Shofi kecil yang tak tahu apa-apa dibanding Shofi saat ini yang membatasi diri karena tahu banyak hal. Jati diri yang dimiliki gadis itu salah satunya. "Berikan alasan lain," pintanya kemudian.

"Gus Ikhsan sangat dikagumi para santriwati di pesantren, semua santriwati ingin beruntung sepertiku saat Gus Ikhsan ternyata memilihku. Aku juga sempat tidak tahu malu lalu memintanya setiap malam dalam doaku." Shofi tersenyum kecil mengingat hal itu.

"Dan Allah mengabulkan itu," tebak Rafa. "Lalu kenapa kamu tolak?"

Shofi tersenyum lalu menggeleng, "Dia tak terlihat dalam sholatku, Kak." Jawaban Shofi membuat Rafa terdiam. Ia mulai menyadari jika gadis dihadapannya ini benar-benar taat pada Sang Pencipta.

Shofi menegakkan punggungnya sambil menghirup udara lalu menghembuskannya pelan. Ia tersenyum menatap Rafa yang sedang tertegun. "Memang kadang yang baik di mata manusia belum tentu baik di mata Allah. Gus Ikhsan melihatku baik, tapi mungkin bagi Allah enggak. Juga ... apa yang terlewatkan dalam hidup kita, maka itu bukanlah takdir kita, dan yang menjadi takdir kita tidak akan pernah terlewatkan."

Lagi-lagi kalimat Shofi berhasil menampar diri Rafa. Sorot matanya mengarah pada paras cantik sang adik yang tengah mengulas senyum. "Umur kamu baru sembilan belas tahun 'kan?" tanya Rafa dan mendapat anggukan sebagai jawaban.

"Tapi kenapa pemikiranmu sungguh sangat dewasa?"

"Aku kira dulu, dewasa itu tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur, tapi setelah aku melalui banyak hal, ternyata dewasa tumbuh berdampingan dengan masalah hidup."

Senyum simpul di bibir gadis itu kemudian menutup perbincangannya dengan sang kakak yang masih tertegun. Entah apa yang tengah di pikirkan lelaki itu. Shofi pun berpamitan masuk ke dalam rumah. Sementara Rafa, laki-laki itu masih duduk termenung di tempatnya sambil memikirkan apa yang di sampaikan Shofi.

Benda pipih yang sesaat lalu menjadi fokusnya dalam cahaya remang taman, kini terasa bergetar. Foto wanita berambut kecoklatan dengan senyum yang membuat kedua matanya menyipit tergambar di layar. Rafa lekas membuka layar ponselnya.

[Maaf, membuatmu menunggu lama. Aku masih sangat sibuk. Nanti akan aku hubungi lagi. Aku mencintaimu.]

Rafa tersenyum getir usai membaca sepenggal pesan yang berisi hal yang selalu sama. Ia berdiri dari duduknya. Menghembuskan nafas berat lalu menengadah menatap kemerlip bintang di langit. Merasai kegundahan hatinya dalam sebuah penantian yang seperti tak akan pernah berujung.

***

Pagi harinya, susana rumah Alya kembali ramai. Wanita itu terus saja mengomel pada sang suami yang tanpa sengaja membuat kancing baju koko yang sudah disiapkan sejak semalam itu terlepas, dan hal itu membuat Alya sibuk menjahit sepagi ini.

"Makanya kalau bangun itu agak pagi dikit, Mas. Biar apa-apanya nggak buru-buru gini. Kancing sampek lepas! Tiap hari aku ngomel, apa kamu nggak bosen?" omel Alya seraya sibuk dengan jarum dan benang di tangannya.

Akbar yang hanya memakai celana panjang dan kaos dalam itu tersenyum gemas menatap sang istri. "Iya, Sayang. Besok aku bangun sebelum subuh. Pokoknya kamu nggak mancing-mancing saja," goda Akbar dan segera mendapat pukulan di lengan oleh sang istri hingga membuat laki-laki itu kemudian tertawa.

Kedatangan Rafa dengan mata sembab dan rambut acak-acakan membuat Alya kembali mengomel. "Ini juga! Kenapa baru bangun? Sana cepetan mandi!" omelnya kembali.

Rafa tak terusik dengan omelan sang kakak, ia malah kemudian duduk di sebelah Akbar. Terus saja menguap dan mata yang akan terpejam kembali.

"Kamu ngapain duduk di situ?" tanya Alya. "Sana! Buruan mandi. Ntar kita telat loh," omelnya kembali.

"MasyaAllah, Mbak. Masih pagi ini. Ngomel mulu," gerutu Rafa. Tak ingin mendengar ocehan sang kakak yang pasti akan panjang, ia kemudian berdiri dari duduknya lalu menuju kamar mandi.

Usai menyelesaikan mandinya, ia kembali pada Alya dan bertanya baju apa yang akan ia pakai dalam acara yang akan mereka hadiri. Pengajian yang digelar sebelum pernikahan Nana, adik dari Akbar membuat Alya merancang seragam keluarga untuk acara itu.

Setelah mendapat baju koko yang sama dengan milik Akbar, Rafa kemudian kembali masuk ke kemar Aska. Usai bersiap ia segera bergabung dengan Akbar yang duduk sendiri di ruang keluarga.

"Ibu sama Mbak Alya kemana, Mas?" tanya Rafa pada Akbar seraya sibuk memasang jam tangan di tangannya.

"Ibu masih di kamar. Mbak kamu masih bantuin Shofi siap-siap."

Belum sempat menanggapi ucapan kakak iparnya, suara dari salah satu pintu kamar berdecit membuat ke dua lelaki itu menoleh ke arah sumber suara. Akbar sesaat tertegun menatap sang adik yang tampak sungguh cantik dan menawan dengan balutan gamis tosca muda dan sesuatu yang baru pertama kalinya di pakai Shofia. Make up tipis di wajah gadis itu, ia kemudian segera melempar senyum.

Berbeda lagi dengan Rafa, laki-laki itu terdiam, tapi dengan sorot mata yang terus membidik ke arah Shofi, membuat gadis itu salah tingkah dan malu.

"Kedip." Heni yang baru keluar dari kamar segera melambaikan tangan di depan wajah Rafa saat melihat putranya tengah terpesona.

Rafa pun turut salah tingkah menyadari dirinya memang benar tengah terpesona oleh kecantikan Shofi. Ia pun mengusap tengkuknya sambil tersenyum malu.

"Ayo, Mbak, berangkat. Ntar telat ngomel lagi." Rafa lekas berjalan menuju mobil meninggalkan semuanya yang masih berada di ruang tengah.

"Aku malu, Kak," ucap Shofi lirih. "Apa aku aneh pakai make-up gini?" tanyanya ketika merasa tatapan semua orang terlihat seolah menatap dirinya aneh.

Alya tersenyum sambil menggeleng, tangannya kemudian merapikan pasmina yang dikenakan Shofi. "Kamu aslinya sudah cantik, dikasih make-up tipis malah jadi tambah cantik kok, Dek. Kamu yang PD dong," ucap Alya menyemangati.

"Kamu cantik, sungguh cantik," puji Akbar. Laki-laki itu mendekat dan berdiri disamping Alya menatap ke arah Shofi. "Dan harus kamu ingat, Dek. Kamu berharga dan kamu tidak bersalah." Meski terdengar lembut, tapi sorot mata Akbar menunjukkan ketegasan yang harus Shofi ingat.

Suara klakson dari mobil di halaman depan rumah membuat mereka segera menyusul Rafa yang sudah standby di mobil dan bersiap untuk berangkat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status