Share

Penghinaan

Rumah megah dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh menyanggah bangunan rumah terlihat sungguh indah dan mewah. Suasana rumah yang Shofi tahu selalu sepi itu kali ini terlihat ramai. Pintu ganda bercat putih yang jarang sekali di buka kali ini terbuka lebar. Tentunya Shofi sadar diri jika hal itu bukan dikhususkan untuk bersiap menyambut kedatangannya.

Shofi berjalan beriringan dengan Alya dengan degub jantung yang tak berirama teratur. Jemarinya meremas gamis yang ia pakai. Shofi merasa takut dan entah apa yang ia takutkan. Jika bisa ia ingin lari menjauh tak ingin menapaki rumah itu.

"Ayo masuk, Dek," ajak Alya. Wanita itu lekas menggandeng Shofi berjalan masuk ke dalam rumah mertuanya.

"Mamiii ...!" Panggilan dari bocah laki-laki yang berlari menuju ke arah Alya menyambut rombongan Alya. Bocah sepuluh tahun itu lekas meloncat ke gendongan sang Papi lalu meraih tubuh Alya kemudian memeluk erat wanita itu.

Beberapa hari berada di rumah sang Oma membuat bocah tampan itu tak segera melepaskan pelukannya pada sang mami. Ia merasa begitu rindu.

"Gendongnya ke Papi, tapi pelukannya buat Mami," celetuk Akbar dan membuat Aska segera melepaskan pelukannya beralih menatap sang Papi.

"Kasian Mami kalau mau gendong aku, Pi. Aku udah gede, berat," ujar Aska dan segera mendapat usapan lembut di pipi dari Alya, sang mami.

Puas memeluk Alya, kini giliran Akbar, Heni juga Rafa yang mendapat pelukan dari Aska. Keluarga itu seolah larut dalam bahagia bertemu Aska kembali hingga sejenak mengabaikan Shofi yang tengah tertegun.

Mata indah itu meredup sayu kala menatap seorang wanita paruh baya bergamis tosca senada dengan yang Shofi pakai tengah berjalan menuju ke arahnya. Shofi merasa jantungnya seolah diremas hebat hingga terasa sesak saat wanita yang dulu sering ia panggil 'Mama Tari' itu semakin mendekat. Tubuh Shofi bergetar menahan takut, rindu dan malu. Air matanya mulai menggenang, tapi tak sampai jatuh.

"Mama Tari," lirih Shofi berucap tanpa melepas sorot matanya pada Tari. Shofi mundur satu langkah saat wanita itu berhenti tepat di hadapannya dengan senyum yang sungguh sangat ia rindukan.

Namun, Fokus Tari bukan pada Shofi, wanita tersebut lekas memeluk Heni, menyambut kedatangan besannya. Kemudian bergantian menyapa Rafa lalu pandangan Tari jatuh pada Shofi. Tari mengembangkan senyum, mencoba mengenali siapa gadis cantik di hadapannya. Wajah Shofi terasa tak asing bagi Tari, tapi ia kesulitan mengenali. Tari pun memilih untuk bertanya.

"Ini siapa, Al? cantik banget," tanya Tari pada Alya.

Pujian itu terdengar begitu tulus, tapi sungguh sangat menyembilu hati Shofi. Betapa tidak, saat Shofi tak lagi dikenali oleh Tari. Mungkinkah wanita itu telah lama melupakan dirinya.

"Ma ...." Panggilan dari Akbar membuat Tari menoleh menanti jawaban. "Dia Shofi, Ma."

Senyum dan binar kebahagiaan yang tergambar di wajah Tari seketika lenyap kala mendengar ucapan Akbar. Tatapannya lekat menatap ke arah Shofi. Memindai kembali wajah Shofi yang berbeda dengan terakhir kali ia melihatnya. Tentunya wajah cantik yang terbingkai hijab pink itu yang membuat gadis itu terlihat berbeda.

"Assalamualaikum, Mama Tari," ucap Shofi dengan nada bergetar. Pandangan Shofi sudah kabur karena air mata yang tiba-tiba menyeruak berdesakan ingin keluar.

Tangan hangat yang selalu membelai pipi Shofi setiap malam dulu, kini terulur dan bergetar mengusap pipi Shofi. "Anakku ... kamu Shofi? Anak Mama?" Air mata Tari tumpah seketika saat Shofi mengangguk.

Tari segera memeluk Shofi dengan erat dengan tangis yang tersedu-sedu. "Kamu pulang, Nak? Akhirnya kamu pulang. Mama sangat rindu," ucap Tari di sela tangisnya. Ia melepas sejenak pelukannya lalu berganti memandangi raut wajah Shofi yang juga berurai air mata, kemudian memeluk gadis itu kembali dengan erat seolah tak ingin kehilangan Shofi kembali.

Rasa sayangnya pada Shofi tulus sejak gadis itu masih kecil. Meski ibu dari Shofi pernah merebut suaminya, tapi Tari sama sekali tak pernah membenci gadis itu. Dan malah semakin mencintai Shofi saat ternyata gadis itu bukan darah daging dari suaminya. Kelicikan ibu kandung Shofi telah memalsukan jati diri gadis tersebut hingga akhirnya terungkap. Tari merasa nasib Shofi sungguh malang karena harus terlahir dari hubungan rumit dan salah.

Pertemuan pertama setelah bertahun-tahun yang lebih banyak terwakilkan oleh air mata kerinduan itu terasa begitu emosional. Shofi hanyut dan tenggelam oleh hangatnya pelukan Tari yang sangat ia rindukan. Matanya terpejam menikmati aroma yang menguar dari tubuh wanita itu yang sungguh menenangkan jiwa. Hingga ia kemudian membuka mata. Tubuhnya tiba-tiba menegang saat melihat pria berbaju koko putih tengah berdiri menatap ke arahnya.

Merasakan pergerakan Shofi, Tari segera menghela tubuh gadis itu. Ia menatap wajah cantik itu yang berubah panik, sorot mata Shofi menyimpan ketakutan. "Kenapa, Sayang?" tanya Tari.

Tak mendapat jawaban dari Shofi, Tari lekas mengikuti sorot mata gadis itu hingga akhirnya Tari melihat suaminya yang juga menatap ke arahnya. Tari kembali menatap ke arah Shofi.

"Nggak apa-apa, Sayang. Kita sapa Papa dulu." Tari meggandeng lengan Shofi kemudian berjalan menuju ke arah sang suami, Pratama Hendarsyah.

"Pa!" Panggilan dari Tari tak mendapat respon dari laki-laki yang biasa dipanggil Tama itu. Tama malah memilih berlalu menaiki tangga, sengaja menghindari pertemuannya dengan Shofi. Bagaimana pun, kehadiran Shofi masih mengingatkannya dengan kejahatan Monic, ibu dari gadis itu di masa lalu terhadap dirinya.

***

Acara pengajian yang digelar keluarga Tari dan Tama akhirnya selesai. Semua tamu undangan yang terdiri dari ibu-ibu pengajian sudah undur diri dan hanya menyisakan beberapa sanak saudara dan keluarga inti yang kini berada di ruang tengah.

Tari tampak sungguh bahagia, ia terus menempel pada Shofi. Wanita itu terus mengajukan banyak pertanyaan pada Shofi. Mengabaikan sekitar yang kini tengah memandang ke arah mereka dengan tatapan haru.

"Shofi sudah nggak balik lagi ke pesantren 'kan, Sayang?" tanya Tari.

"Kak Akbar, maunya Shofi kuliah di sini, Ma." Jawaban Shofi membuat Tari semakin melebarkan senyum.

"Mama juga seneng kalau Shofi tinggal di sini terus. Biar Mama bisa dekat kamu terus, Nak," ucap Tari. Wanita itu terus menggenggam jemari Shofi, benar-benar tak ingin lagi jauh dari gadis itu.

"Mama!"

Semua yang ada di sana segera melihat ke arah tangga saat mendengar panggilan itu. Terlihat wanita muda nan cantik dengan balutan kaftan berwana baby pink yang membungkus tubuhnya berjalan mendekat ke arah Tari. Diikuti laki-laki berbaju koko yang tak lain calon suami dari wanita itu.

"Itu Kak Nana sama Kak Andra, Sayang," ujar Tari pada Shofi. Wanita itu lekas berdiri lalu menghampiri Nana. "Na, Shofi datang, Sayang. Adik kamu sudah pulang." Tari menuntun Nana menuju ke arah Shofi.

Tak ada ekspresi di wajah cantik Nana, tapi Shofi dapat melihat jelas jika sorot mata tajam itu masih menggambarkan kebencian terhadap dirinya. Shofi lekas memberikan senyum terbaik lalu mengulurkan tangan memberi salam, tapi tak mendapat sambutan.

"Kenapa kamu harus kembali?!" Nana berucap lirih, tapi menghujam tepat di hati Shofia.

"Nana!" Akbar dan Tari bersamaan menegur Nana yang sudah keterlaluan.

Nana melirik malas ke arah Akbar yang sudah tersulut emosinya. "Belum apa-apa, kamu akan kembali merebut Kakak juga Mamaku!" Nana kembali manatap tajam pada Shofi yang mematung di tempatnya. Tanpa peduli lagi, Nana beranjak meninggalkan ruang tengah lalu berlalu menaiki tangga.

"Dek ...." Akbar mendekat ke arah Shofi.

Shofi menghirup udara dalam-dalam meredakan sesak di dadanya. "Aku permisi mau ke kamar mandi ya, Kak, Ma." Shofi lekas berlalu meninggalkan semua. Ia berusaha untuk tak menangis di hadapan semua orang.

Suasana tiba-tiba terasa begitu tegang di rumah Tari. Sedang Shofi, gadis itu menahan isak tangis di kamar mandi agar tak sampai pecah. Tak berlama-lama ia segera mengambil air wudhuu untuk meredakan segala apa yang bergejolak di dalam hati. Setelahnya is segera keluar dari kamar dan hendak kembali.

Saat membuka pintu kamar mandi, langkah Shofi terhenti ketika melihat Rafa yang berdiri di depannya.

Sorot mata yang biasa lembut itu kini terlihat menahan marah membuat Shofi kembali takut. Mungkinkah Rafa juga sedang marah pada dirinya karena membuat keluarga malu dengan kehadirannya di rumah Tari.

"Kita sebaiknya pulang, Dek." Ajak Rafa lalu berbalik meninggalkan Shofi. Bukan marah, tapi Rafa sungguh tak tega melihat mata indah milik adiknya itu basah, dan itu air mata.

"Kak, kamu marah sama aku?" Pertanyaan dari Shofi menghentikan langkah Rafa. Laki-laki itu berbalik menatap Shofi.

"Marah untuk apa?" Rafa menjawab dengan balik melemparkan pertanyaan, dan Shofi hanya diam tak bisa memberi jawaban.

"Aku tunggu di mobil!" ucap Rafa kemudian meneruskan langkahnya kembali.

Sebelum mengikuti Rafa, Shofi berbelok menuju arah dapur saat merasa tenggorokannya sangat haus. Di dapur ia tak sengaja bertemu dengan Andra, calon suami dari Nana. Laki-laki itu seperti tengah meracik kopi. Melihat hal itu, Shofi hendak mengurungkan niat untuk mengambil air minum, tapi tertahan saat Andra memanggil.

"Dek!"

"Iya." Shofi berbalik menatap Andra.

"Kamu Shofi---Adeknya Nana---yang ada di pesantren itu 'kan?" tanya Andra. Laki-laki itu kemudian mendekat sambil membawa cangkir di tangannya.

"Aku Andra, Dek. Calon suaminya Kakak kamu." Andra memperkenalkan diri lalu mengulurkan tangan.

Shofi mengangguk sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. "Iya, Kak. Aku--"

"Jangan dekat-dekat dia!"

Andra dan Shofi segera menoleh ke arah Nana yang tiba-tiba datang dan terlihat marah, wajahnya merah padam. Nana berjalan cepat lalu menepis tangan Andra yang masih menggantung di udara.

"Kamu ngapain mau kenalan sama dia?!" tanya Nana dengan suara yang meninggi. Wanita itu melempar tatapan tajam pada Shofi yang terlihat ketakutan.

"Sayang, kamu ini kenapa? Aku cuma kenalan sama Shofi. Dia 'kan, Adek, kamu juga." Andra mencoba menenangkan Nana.

"Enggak! Dia bukan Adikku!" Nana kembali berteriak. Matanyaterus memindai diri Shofi dari atas hingga e bawah. Selain dendam masa lalunya, Nana juga tak suka melihat kecantikan yang dimiliki Shofia. "Oke, Sayang, kamu sebaiknya harus tahu siapa dia agar kamu lebih berhati-hati. Jangan sampai kamu tertipu," ucapnya pada Andra.

"Maksud kamu apa, Sayang?"

"Kamu tahu peribahasa jika buah jatuh pasti tak akan jauh dari pohonnya bukan? Sama seperti dia, dia sama seperti ibunya yang menjebak banyak lelaki dengan kecantikan yang dimiliki."

"Nana, Sayang. Sudah-sudah jangan bicara yang tidak-tidak, ayo kita ke depan," ucap Andra yang tak ingin ada pertengkaran. Ia mencoba menuntun Nana untuk pergi dari sana.

Nana menepis tangan Andra dan malah kembali menatap Shofi. "Dia bukan Adikku, dan dia juga bukan bagian dari keluarga ini! Dia hanya anak dari seorang wanita jahat yang telah menghancurkan keluargaku. Merebut Papaku, merebut kasih sayang Mama juga Kakakku. Dan dia juga hanya anak haram hasil--"

PLAKK!

Tamparan keras yang mendarat di pipi Nana seketika membuat Andra, Nana terlebih Shofi begitu terkejut. Suasana berubah hening seketika dengan ketegangan yang tercipta. Rasa sakit yang Nana rasakan membuat air matanya jatuh begitu saja. Suasana semakin mencekam saat Nana menyadari siapa yang telah berani melayangkan tamparan padanya.

Sorot mata tajam itu kini terus membidik ke arah Nana hingga membuat tubuhnya bergetar dilanda ketakutan. Seumur hidup baru kali ini ia mendapati sang Papa terlihat murka.

"Papa memberimu pendidikan tinggi hingga kamu menjadi wanita terhormat seperti sekarang, tapi Papa tidak menyangka jika kamu sanggup mengeluarkan kata-kata tak pantas seperti itu!" ucap Tama dengan terus menatap tajam pada Nana.

"Pa ... Papa nampar aku cuma karena dia?" tabya Nana lirih. Di sela wajah terkejut menahan sakit, terlukis jelas kekecewaan yang teramat dalam pada wajah Nana.

"Kamu pantas mendapatkannya," jawab Tama. "Jangan bicara serendah itu lagi! sama saja kau merendahkan dirimu sendiri!" imbuh Tama lalu menoleh pada Andra. "Pikirkan kembali untuk menjadikan Nana istri jika dia tidak bisa mengontrol bicaranya!"

Andra hanya mengangguk ragu, lebih tepatnya laki-laki itu masih sangat terkejut saat tak bisa melindungi Nana dari tamparan Tama. Andra masih menatap kepergian Tama yang menghilang di balik pintu.

Kalimat Tama untuk Andra membuat Nana kembali menatap penuh kebencian pada Shofi yang berdiri menunduk tak bisa berbuat apa-apa. Takut yang berselimut rasa bersalah kini mendera diri Shofi. Kedatangannya di rumah Tari ternyata menjadi kesalahan besar. Ia terlalu percaya diri jika dirinya akan kembali diterima di sana, terutama Nana. Ia salah telah datang, ia salah.

"Aku sangat membencimu! Aku benci dirimu, aku benci Ibumu!" Nana terus berteriak meluapkan kekesalannya, bahkan Andra yang berusaha menenangkan calon istrinya tersebut terlihat kualahan.

Shofi yang hanya bisa menangis seketika tersentak kaget saat sebuah lengan kokoh melingkari pundaknya. "Kau sungguh keterlaluan, Na!" cetus Rafa penuh peringatan.

Rafa mengeratkan rangkulan di pundak Shofi. "Kita pulang, Dek!"

Rafa yang sejak tadi menyaksikan penghinaan yang dilontarkan Nana untuk Shofi hanya bisa menahan amarah saat dirinya hendak menegur Nana dan terhalang oleh Tama.

"Tapi, aku belum pamit---" Shofi segera mengatupkan bibirnya saat mendapat sorot mata tajam milik Rafa. Ia pun tak bisa melawan saat Rafa merangkulnya sangat erat keluar dari rumah itu.

Saat Rafa dan Shofi sudah memasuki mobil, Akbar dan Alya yang tak tahu mengenai kejadian barusan tampak panik lalu menghampiri mobil Rafa. Sepasang suami istri itu bertambah panik saat melihat bekas air mata di wajah Shofi. Rafa yang marah tak memperdulikan keduanya meski berulang kali baik Alya maupun Akbar bertanya kenapa?

"Rafa!" sentak Alya.

"Jangan lagi mengajak Shofi menginjakkan kaki di rumah ini!"

Setelah mengucapkan kalimat peringatan itu pada Alya, Rafa segera membawa mobil keluar dari halaman rumah meninggalkan Akbar dan Alya yang masih bingung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status