Share

Keinginan

Rumah yang dulu begitu sederhana saat ini sudah tampak direnovasi menjadi lebih mewah meski tak merubah tata ruangnya. Ingatan masa lalu Shofi mulai berhamburan saat dirinya begitu bahagia pernah tinggal di rumah itu.

"Ayo, masuk, Dek." Alya lekas menggandeng tangan Shofia untuk masuk ke rumah kemudian segera disambut wanita bergamis hitam dengan senyum yang teduh menatap keduanya.

"Assalamualaikum, Tante Heni," sapa Shofi pada wanita bernama Heni itu.

"Walaikumsalam," jawab Heni dengan senyum mengembang. "Bagaimana kabar kamu, Nak?" tanya Heni yang tak lain ibu dari Alya. Wanita mulia yang pernah ikut merawat Shofi saat masih anak-anak.

"Alhamdulillah baik, Tante," jawabnya setelah mencium punggung tangan Heni.

"Kamu akhirnya kembali, kita semua sangat menanti kehadiran kamu, Shofi," ucap Heni dengan tatapan yang masih sama seperti dulu, masih lembut dan menenangkan.

Seluruh keluarga kemudian masuk ke dalam rumah saling bercengkeramah melepas rindu pada Shofia. Gadis sembilan belas tahun yang memiliki kecantikan yang sungguh menawan itu secara visual terlihat lebih dewasa dari umurnya. Shofi merasa sangat bersyukur saat kembali ke rumah keluarga ini karena masih disambut dengan hangat.

"Dek, mulai sekarang kamu tidurnya di kamar kamu ini, ya." Alya menuju salah satu kamar lalu membuka pintunya.

Shofi yang mengekor di belakang menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar. Ia melihat sekilas dalam kamar yang tak jauh berbeda dengan terakhir ia meninggalkannya. Hanya seprei dan cat temboknya saja yang sudah berubah. Letak perabotan masih di tempat yang sama. Tiba-tiba saja ia teringat pemilik sebenarnya kamar itu.

"Kenapa, Dek?" tanya Alya.

"Kamar ini milik, Kak Rafa, Kak," ucap Shofi. Bayangan pemuda tampan yang ia panggil dengan sebutan 'Kakak' itu kembali melintas di benaknya.

Rafa Ardian Putra yang tak lain adik dari Alya. Sosok pemuda yang memiliki wajah rupawan, berkulit putih, postur tubuh tinggi, tapi tak terlalu berisi dengan rambut pendek yang selalu tersisir rapi itu, masih melekat di ingatan Shofi meski bertahun-tahun tak lagi bertemu.

Alya tersenyum sambil mengajak Shofi masuk ke dalam kamar. "Rafa jarang pulang, Dek. Dia sudah punya rumah sendiri. Kamar ini selalu Kakak bersihin buat kamu nanti kalau pas pulang. Hari ini," ucap Alya dengan senyum meyakinkan.

"Kak Rafa, sudah nikah, Kak?" Shofi lebih terlihat ingin tahu mengenai Rafa.

"Belum, Dek. Kakak kamu itu susah banget disuruh nikah. Padahal sudah sering kakak jodohin sama anak relasinya, Kak Akbar. Tapi nggak ada yang cocok," ujar Alya.

Shofi hanya mengangguk samar, entah kenapa tiba-tiba ia merasa rindu dengan pemuda itu. Entah bagaimana sekarang tampilan dari seorang Rafa Ardian Putra yang dulu selalu melindungi dari orang lain yang mengolok jati dirinya, pemuda yang selalu mengantar jemputnya ke sekolah untuk beberapa waktu, sebelum kemudian pemuda itu pergi dan tak lagi kembali untuk waktu yang lama karena menempuh pendidikan di negeri orang.

"Nanti aku kabarin Kak Rafa kalau kamu sudah pulang, pasti dia seneng," kata Alya. "Kakak tinggal, ya. Kamu bisa istirahat dulu." Alya kemudian berlalu setelah mengusap pucuk kepala Shofia.

Setelah kepergian Alya, Shofi duduk di pinggir ranjang, matanya menyapu seluruh sudut kamar hingga berhenti pada sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding. Ia berdiri lalu menghampiri foto itu.

Bocah kecil dengan senyum merekah dengan bibir belepotan penuh es krim coklat dan mata bening tanpa dosa dan beban, terbingkai di foto itu. Senyumnya tertahan saat melihat dirinya tujuh tahun yang lalu begitu imut, lucu dan menggemaskan.

Cukup lama bernostalgia dengan dirinya sendiri, Shofi kemudian segera mengambil tas yang berisikan baju-bajunya yang tidak terlalu banyak. Matanya melebar saat membuka lemari yang ternyata sudah penuh dengan baju-baju yang tertata rapi. Kemudian ia menutupnya kembali, mengurungkan niatnya untuk menata baju di sana, kemudian ia meletakkan tas di sudut ranjang. Mengambil mukenah dan peralatan mandinya lalu menuju kamar mandi.

***

Suasana malam kali ini terasa begitu ramai dan menyenangkan di kediaman Alya dan Akbar. Kembalinya Shofi membuat semua tampak bahagia. Dan yang paling terlihat bahagia adalah Akbar, laki-laki itu jarang menunjukkan senyum dan hanya wajah dingin yang selalu ditampilkan, tapi kali ini senyum berulang kali tersungging di bibir Akbar kala menatap Shofi.

“Ayo, Dek, tambah lagi dong ikannya,” pinta Alya.

"Sudah, Kak. Ini sudah cukup," tolak Shofi dengan sopan.

Heni terus tersenyum memandang Shofi. Rona bahagia terpancar di wajah wanita tua itu. Matanya yang selalu sendu termakan usia itu kali ini tampak berbinar. "Shofi ... kamu sungguh cantik, Nak," pujinya tiba-tiba dan membuat Shofi hanya tersenyum lalu menundukkan pandangannya.

Alya dan Akbar saling pandang mendengar pujian Heni. Keduanya seolah mempunyai dugaan yang sama, tapi memilih untuk diam.

"Oh, iya, Dek. Kakak, sudah memilihkan kamu untuk kuliah di kampus terbaik di kota ini. Biar kamu bisa belajar dengan baik di sana," tutur Akbar.

Shofi tak memberi tanggapan dan sesaat hanya diam, tak urung ia pun tersenyum mengangguk. "Aku ikut apa kata Kak Akbar saja," ucapnya.

"Kakak, memberi kamu pilihan untuk jurusan yang akan kamu pilih. Tapi, saran Kakak lebih baik kamu ambil jurusan Managemen Business."

"Mas ...." Alya tampak tak setuju dengan ucapan Akbar saat melihat raut wajah Shofi yang terlihat tak nyaman.

Akbar menoleh pada sang istri, ia memberi isyarat mengerti lalu menoleh kembali pada Shofi menanti jawaban gadis itu.

"Aku setuju, Kak. Aku ikut saran dari Kak Akbar."

...***...

Malam semakin larut dan seluruh penghuni rumah juga sudah memasuki kamar masing-masing. Suasana yang hening membuat Shofi tak bisa memejamkan mata. Jika di pesantren, hampir dua puluh empat jam selalu terdengar samar-samar para santriwati mengalunkan ayat-ayat suci Al Qur'an, hal itu seolah menjadi musik penghantar tidurnya. Dan kali ini keheningan membuatnya sulit terpejam.

Shofi pun memilih untuk mengambil air wudhu untuk sholat malam, ia keluar dari kamar karena tak ada kamar mandi di dalam kamarnya. Ia melewati salah satu kamar yang ia tahu adalah kamar Alya dan Akbar. Sayup-sayup terdengar percakapan sepasang suami istri itu. Bukan berniat menguping, hanya saja saat namanya disebut, ia menghentikan langkah.

"Kamu kenapa nggak ngasih pilihan Shofi untuk memilih sih, Mas?" tanya Alya. "Aku tahu dia terpaksa menyetujui tentang jurusan yang kamu ambil sepihak itu."

"Aku tidak memaksanya, Sayang. Di awal aku sudah memberinya pilihan, tapi Shofi dengan cepat menyetujui saran dariku. Salahku dimana?" tanya Akbar.

"Itu bukan pilihan ... aku melihat Shofi terpaksa menyetujui itu. Aku hanya tidak ingin memaksa dia lagi. Cukup kemarin kita memaksa dia untuk pulang. Dan sampai saat ini aku masih merasa bersalah untuk hal itu," sesal Alya. Wanita itu kemudian naik keatas ranjang seusai merapikan diri di depan meja rias.

"Aku harus menjadikannya orang besar agar tak selalu mendapat hinaan dari orang lain. Kelak, dia harus bisa memimpin perusahaan yang sudah menjadi haknya. Dengan seperti itu, aku bisa menunjukkan pada dunia bahwa Adikku orang yang hebat dan tak ada satu orang pun yang boleh menghina atau memandangnya sebelah mata lagi."

Diluar kamar, Shofi masih berdiam diri. Percakapan sepasang suami istri itu membuat hatinya gerimis. Ia pun melanjutkan kembali langkah menuju kamar mandi, mengambil wudhu lalu melaksanakan sholat malam dilanjutkan dengan Dzikir. Memohon ampunan atas segala dosa dosanya dan kedua orang tuanya. Memohon kekuatan untuk segala yang menyesakkan hatinya.

"Ya Allah, jagalah hati, ucapan dan sikap hamba agar tak melukai orang lain. Aamiin." Sepenggal doa itu menutup munajatnya pada Sang Khalik.

Tanpa melepas mukenah, Shofi mengambil tas lalu mengambil sebuah buku tebal di dalamnya. Gambar desain-desain baju muslim terdapat di buku itu. Ingatannya mengulang kembali perbincangan kedua kakaknya sesaat lalu. Jika merelakan apa yang ia inginkan membuat kakaknya bahagia, meski berat tapi ia bertekad akan melakukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status