Share

Mama

🍂Seburuk apapun ibumu ... tapi ternyata Allah sudah meletakkan surgamu di telapak kakinya. Dan tak ada seorang pun yang dapat mengingkari hal itu.🍂

Suara Adzan subuh baru saja berkumandang bersamaan dengan Shofi yang baru menyelesaikan beberapa persiapan untuk masak sarapan sesaat lagi. Menanak nasi di magic com, mengupas bawang, mencuci gelas kotor bekas semalam yang belum sempat tercuci. Meski telah bertahun-tahun meninggalkan rumah itu, tapi Shofi masih ingat betul letak barang-barang di sana hingga ia tak kebingungan melakukan semua itu. Setelah selesai, ia segera kembali ke kamar untuk menunaikan sholat subuh.

Setelah menyelesaikan sholat subuh, Shofi segera kembali ke dapur. Terlihat Alya sudah berada di sana tengah mencuci sayuran di wastafel.

"Kamu yang mengerjakan ini semua, Dek?" Alya menunjuk magic com dengan tombol Cook yang menyala.

"Iya, Kak. Aku nggak bisa tidur terus cari pekerjaan biar nggak bosen."

Alya meletakkan baskom sayur di meja lalu menatap Shofi dengan pandangan sedih. "Kamu nggak nyaman, ya, pindah ke rumah ini lagi?" tanya Alya.

"Bukan seperti itu, Kak," sahut Shofi. "Aku terbiasa di pesantren jam dua sudah bangun, sudah beraktifitas. Di sini jam dua masih sepi, jadi aku nggak bisa tidur lagi," jawab Shofi lalu melempar senyum yang seketika meredakan kegelisahan dan rasa bersalah dari Alya.

"Kamu bilang, ya, kalau nggak nyaman atau butuh apapun itu."

"Iya, Kak. Aku pasti bilang, kok."

Selanjutnya Alya dan Shofi meneruskan kegiatan memasaknya sambil berbagi cerita. Lebih tepatnya,  Alya yang tampak lebih mendominasi untuk memberi pertanyaan pada Shofi untuk membuat gadis belia itu nyaman dan tak lagi merasa asing.

"Aku dari kemarin nggak lihat Aska, Kak? Sudah sebesar apa sekarang dia?" Pertanyaan pertama dari Shofi yang membuat Alya mematung sejenak.

Alya menoleh pada Shofi yang duduk di kursi dapurnya. Wajahnya kembali terlihat cemas. "Aska sudah kelas lima SD, Dek." Alya menghentikan kalimatnya sejenak, otaknya tengah memilih kata yang tepat untuk mengatakan keberadaan Aska yang adalah putra semata wayangnya. "Aska sedang liburan, Dek."

"Liburan? Sama siapa, Kak?"

Alya kembali terlihat ragu-ragu. "Sama ... sama Mama Tari dan Papa---"

"Aww! Astagfirullahhaladzim!"

"Dek! Kamu nggak apa-apa?" Alya segera menghampiri Shofi yang terlihat menahan sakit saat jari gadis itu tiba-tiba terkena pisau. Alya lekas membawa ke wastafel dan mengguyur jari yang berlumur darah itu dengan air kran.

"Aku nggak apa-apa, Kak. Cuma luka gores saja kok," ujar Shofia pada Alya yang tengah membalut lukanya dengan plester.

"Sakit?"

Pertanyaan dari Alya membuat Shofi segera menggeleng.

"Tapi kamu nangis, Dek." Meski tak terdengar isakan, tapi Alya sejak tadi melihat lelehan bening membasahi pipi mulus gadis itu. Ia bukan tidak tahu jika Shofi tengah bergelut dengan hatinya sendiri saat mendengar nama Tari yang tak lain adalah ibu mertuanya sendiri.

"Aku ke kamar dulu, ya, Kak." Bukannya menjawab, Shofi memilih untuk undur diri. Ia berlari kecil menuju kamarnya.

"Ya Allah, Ya Allah, Astagfirullahhaladzim."

Hanya kata itulah yang terus berulang keluar dari bibir Shofi. Ia menyandarkan tubuhnya di balik pintu kamar. Perasaan rasa bersalah segera mengepung hatinya saat nama wanita mulia yang sempat ia panggil mama itu terdengar. Lestari yang dulu sering ia panggil mama Tari.

Lestari, sosok Ibu yang melebihi kata mulia menurut Shofi. Setelah ribuan sembilu yang terbungkus oleh sebuah penghianatan yang dilakukan oleh Ibu kandungnya pada Lestari, tapi dengan kasih sayang dan keikhlasan wanita mulia itu masih mau merawat dirinya yang membawa kemelut di rumah tangga Lestari. Mencurahi kasih sayang yang bahkan tak pernah ia dapat dari sosok ibu kandungnya sendiri.

Shofi merasa rindu, ingin memeluk wanita itu. Merasakan lagi pelukan hangatnya, mendengarkan senandung merdu yang selalu mengantar ia tidur. Namun, semua itu ia batasi dengan rasa bersalah terhadap apa yang telah ibu kandungnya lalukan pada Lestari.

Mengingat wanita yang telah melahirkannya, Shofi lekas menghapus air matanya lalu menuju tas dan mengambil beberapa potong baju dan segera berganti pakaian.

***

"Pak Cipto yang akan mengantarkan kamu untuk melihat kampus kamu, Dek." Kalimat Akbar memecah keheningan yang sempat menguar di meja makan.

"Iya, Kak. Habis sarapan aku langsung kesana," jawab Shofi. Ia lekas kembali menunduk pada sisa makanan di piring.

Alya tampak melempar pandang pada suaminya yang telah menyelesaikan sarapan. Laki-laki itu mengangguk samar saat mengerti arti tatapan Alya.

"Dek," panggil Akbar. Shofi pun segera menoleh. "Kamu tidak merindukan, Mama Tari?" Akbar melempar pertanyaan yang membuat gadis belia itu menghentikan mulutnya yang tengah mengunyah.

"Mama, ingin sekali ketemu kamu," imbuh Akbar. Sorot mata tajamnya berubah sendu melihat wajah sang adik yang berubah pias.

Shofi masih diam. Entah apa yang akan ia katakan. Ia sangat rindu pada Tari. Namun, rasanya ia masih tak sanggup melihat senyum wanita itu dan malah akan menambah beban hatinya yang sudah sangat berat ia pikul selama ini.

"Minggu depan Kak Nana mau nikah, Dek," sela Alya yang mencoba mencairkan suasana. "Lusa acara pengajian. Kita kesana bareng-bareng, ya?" bujuk Alya.

Mendengar nama 'Nana' membuat tangan Shofi tiba-tiba gemetar. Bukan tanpa alasan, Nana, Kirana Pratama yang tak lain adik kandung dari Akbar adalah gadis yang amat membencinya. Bahkan di masa lalu, Nana tak segan mengeluarkan kata-kata pedas untuk memojokkan dirinya.

"Shofi ... " Panggilan lembut dari Akbar membuat mata yang jauh menerawang masa lalu kembali menatap ke arah Akbar. "Tidak usah takut, Dek. Kamu sama sekali tidak bersalah. Kakak sudah sering mengatakan, kamu tidak bersalah," imbuh Akbar.

Senyum terpaksa lagi-lagi harus Shofi berikan untuk menunjukkan jika dirinya baik-baik saja. "Iya, Kak."

***

Setelah menyelesaikan sarapan, sesuai rencana, Shofi pergi ke kampus yang telah dipilihkan Akbar. Kesan megah dan mewah yang pertama kali terlihat dari bangunan kampus. Shofi tidak turun dari mobil, ia hanya melintasi depan Lobby kampus lalu segera kembali. Tak ada yang perlu ia urusi sebab semua registrasi sudah di selesaikan oleh Akbar.

Mobil yang ia tumpangi kini berhenti di tengah jalan tepat saat lampu merah.

"Pak Cipto, sebelum pulang apa bisa mengantar saya ke suatu tempat?" pintanya pada laki-laki tua yang masih terlihat sehat itu.

Cipto lekas mengangguk. "Baik, Non."

Setelah menyebutkan tempat yang ingin ia tuju, tak lama mobil melewati jalan berpaving yang tak terlalu lebar.

"Berhenti di sini saja, Pak," perintah Shofi. "Saya agak lama, Pak. Bapak bisa pulang lebih dulu."

"Tidak apa, Non. Saya tunggu di sini," tolak Pak Cipto.

Shofi pun turun dari mobil dan mulai menyusuri jalan berpaving yang mulai mengerucut dan hanya bisa di lewati satu orang. Langkahnya semakin pelan sambil matanya mencari nama yang akan ia kunjungi.

Tak lama, senyum sedih terulas di bibir gadis itu kala membaca nama 'Monica Larasati' yang terukir dengan tinta emas di atas nisan yang terbuat dari batu marmer hitam.

"Assalamualaikum, Mama," sapanya. Jemari lentik Shofi mengusap dengan lembut nisan sang Mama. "Maafkan Shofi, Ma ... lama tidak berkunjung."

Tangannya kemudian menengadah lalu bibirnya mengucapkan doa. Air mata yang jarang sekali ia keluarkan kali ini merembes di sudut matanya dan mulai menganak sungai di pipi kala teringat Almarhum ibu kandungnya, Monica Larasati. Hampir enam tahun wanita itu meninggalkan dirinya sendiri di dunia ini dengan goresan luka yang teramat pedih.

Air mata Shofi semakin berdesakan keluar kala mengingat pertemuan terakhirnya dengan sang Mama.

***

Flashback On

Mobil yang tengah di tumpangi Shofia melesat dengan kencang dari pesantren tempatnya berada menuju rumah sakit di mana sang Mama dikabarkan tiba-tiba tak sadarkan diri. Tangan Shofi saling meremas dengan jantung yang berdebar saat ia hanya bisa menerka-nerka kondisi sang mama.

Setibanya di rumah sakit, ia tak bisa langsung menemui Monic, sebab ia harus melewati beberapa pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang berjaga di sekitar ruangan Monic. Kasus penipuan dan penggelapan dana yang dilakukan Monic membuat wanita itu mendapat penjagaan ketat meski tengah sakit karena statusnya masih sebagai tahanan.

Setelah pemeriksaan selesai dan benar dipastikan jika Shofi adalah keluarga dari Monic, polisi akhirnya mengijinkan Shofi masuk dalam ruangan dan bertemu.

Langkah yang tergesa itu kemudian berhenti, satu langkah di depan ranjang. Lututnya bergetar tak bisa meneruskan langkah untuk menghampiri Monic yang tak berdaya di atas ranjang. Tubuh wanita itu kurus, kulitnya yang biasa putih kini pucat melekat pada tulang. Wajah yang biasanya sungguh cantik meski tak ber make-up kali ini terlihat mengerikan dengan mata yang cekung menghitam. Shofi menggigit bibir bawahnya meredakan semua rasa yang bergejolak dalam dada saat melihat tepat di dada Monic bengkak disertai darah segar merembes yang menguarkan bau menyengat.

Menyadari kehadiran Shofi, Monic menoleh lalu berucap lirih, "Anakku ...."

"Mama ...!" tak kuat menahan kesedihan Shofi segera berlari lalu merengkuh sang Mama. "Mama kenapa? Jangan tinggalin Shofi, Ma," ucapnya di sela tangis yang pecah.

"Saakiit ...." Rintihan tertahan dari Monic membuat Shofi segera memberi jarak. Matanya awas menatap dada sang Mama yang tak sengaja tersenggol tubuhnya. Shofi hendak memanggil dokter, tapi ditahan oleh Monic.

"Dengarkan Mama, Nak," ucap Monic dengan terbata. "Tumbuhlah menjadi wanita yang kuat ... dunia ini kejam. Mama mohon padamu." Monic menghela nafas berat meredakan sakit yang teramat menyiksa di sekujur tubuh yang berpusat di dadanya, "hiduplah dalam kebahagiaan yang kamu ciptakan sendiri, tanpa mengambil dan merusak kebahagiaan orang lain. Jangan pernah mengambil yang bukan hak kamu ... apapun itu," pinta Monic. Tangan wanita itu bergetar terulur berusaha menyentuh pipi Shofi yang basah karena air mata.

Shofi lekas mengangguk cepat lalu menggenggam jemari Monic. "Mama jangan tinggalin Shofi ya, Ma," pintanya dengan isakan tangis yang terdengar memilukan.

Monic tersenyum getir sambil memejamkan mata sejenak lalu terbuka kembali. "Maafkan Mama yang tidak bisa jadi orang tua dan panutan yang baik untuk kamu. Juga ... sampaikan maaf Mama pada Mama Tari. Mohonkan ampunan untuk Mama pada Mama Tari, Nak." Kalimat terakhir yang diucapkan Monic hampir tak terdengar bersamaan wanita itu memejamkan mata. Helaan nafas berat berulang dilakukan Monic hingga dada yang naik turun itu kemudian tak lagi bergerak.

"Mama! Jangan tinggali Shofi, Ma!"

"Innalillahi wainnailaihi rojiun."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status