Share

Bukan Orang Ketiga
Bukan Orang Ketiga
Penulis: SHAL SYALA

Kembali Pulang

Derap langkah kaki yang terburu-buru dari seorang pria yang memakai stelan jas itu terdengar berisik memasuki rumah bercat putih itu. Langkahnya berhenti tepat di depan kamar utama. Wajah tampan yang selalu datar itu kini terlihat panik saat mencari keberadaan wanita yang sesaat lalu meneteskan air mata akibat ulahnya.

"Dek! Dengarkan, Kakak, dulu. Aku ingin menjelaskan," ucap Rafa sambil terus mengetuk pintu kayu yang menghalanginya masuk ke dalam kamar.

Hatinya bergemuruh oleh rasa bersalah juga ketakutan akan kehilangan gadis belia yang hampir empat bulan menjadi istrinya.

"Shofi ... aku mau---" Rafa segera mengatupkan bibirnya saat pintu kamar terbuka. Rafa semakin tak berdaya saat melihat mata sang istri basah dan sorot mata itu memancarkan luka yang penuh kekecewaan.

"Aku akan mendengarkan," ucap Shofi lirih hampir tak terdengar, sebab ia tengah menekan tangisnya agar tak kembali pecah.

Rafa menelan ludah, manik matanya terus bergerak menatap Shofi yang tengah menunduk. Semua penjelasan yang hendak ia utarakan tertahan di bibir saat lidahnya terasa kelu untuk berucap.

Tak lekas mendengar penjelasan suaminya, Shofi menatap penuh kecewa dan luka pada Rafa. "Kamu nggak bisa jelasin apa-apa?" tanyanya kemudian menghela nafas berat. "Bukan ... kamu bukan tidak bisa menjelaskan, Kak. Hanya saja semua ini memang tidak membutuhkan penjelasan," imbuh Shofi.

Shofi menengadah berusaha menahan air matanya agar tak jatuh, tapi sia-sia ketika ia tak lagi bisa membendung lelehan bening wujud dari sakit hati yang teramat sangat ia rasakan. "Kakak, tentunya masih ingat betul 'kan syarat saat aku menyetujui pernikahan kita dulu?"

"Dek ...."

"Sebelum kita menikah, aku memohon agar jangan pernah menjadikanku orang ketiga jika Kakak masih terikat dalam satu hubungan dengan orang lain," ujar Shofi disusul tangisnya yang kembali pecah. 

Hatinya sangat sakit, hancur, remuk tak kuasa menahan kenyataan jika dirinya telah menjadi orang ketiga yang selama ini ia takuti.

"Shofi, Sayang ... kamu istriku. Dalam hal ini kamu bukan orang ketiga, Dek. Aku mohon mengertilah. Aku seutuhnya hanya milikmu. Kamu tidak pernah merebut aku dari orang lain." Rafa hendak memeluk Shofi, tapi dengan cepat perempuan itu menghindar.

Shofi menunduk tenggelam bersama tangisnya. "Mungkin akan lain ceritanya jika kamu membawa perempuan lain masuk ke dalam rumah tangga kita sebagai orang ketiga. Mungkin aku tidak akan sesakit ini," ujar Shofi. Ia meremas ujung hijab dan menekan dadanya yang terasa begitu sesak. "Tapi, dalam hal ini kamu telah menjadikan aku sebagai orang ketiga dalam hubunganmu dengan orang lain yang belum kamu putuskan, Kak!" pekik Shofi tertahan. Tangisnya sungguh terdengar pilu.

"Aku dan dia telah berakhir sebelum kita menikah, Dek!"

"Tapi kamu telah menyentuhnya, Kak!"

Tak ada kata lagi yang mampu terucap dari bibir sepasang suami istri tersebut. Setitik cairan bening yang jatuh dari pelupuk mata Rafa menggambarkan betapa dirinya begitu terluka dengan prahara yang menimpa rumah tangganya, juga ... air mata sang istri yang terus berjatuhan karena perbuatannya.

Pernikahan yang awalnya hanya sebuah kesepakatan untuk saling bisa menerima satu sama lain, memupuk harapan agar menjadi rumah tangga yang Sakinah Mawaddah Warahmah, kali ini diterpa badai yang memilukan dengan hadirnya kisah di masa lalu yang harus menjadikan Shofi sebagai orang ketiga di rumah tangganya sendiri.

                                ***

Flashback On

"Aku bukan anak haram! Aku anaknya Mama Monic sama Mama Tari! Aku bukan anak haram!"

Teriakan dari seorang gadis kecil yang masih memakai seragam sekolah dasar itu tak mampu meredakan mereka yang sedang mengolok-oloknya.

"Shofi anak haram! Shofi anak haram!" Beberapa bocah yang juga berseragam sekolah dasar itu kemudian melempar sebuah gumpalan kertas ke arah Shofi hingga tangis gadis itu pecah seketika. Shofi lekas berjongkok lalu menenggelamkan wajahnya diantar lipatan tangan yang bertumpu pada lutut.

"Kabur temen-temen!" Beberapa siswa sekolah dasar nakal itu tiba-tiba berlarian meninggalkan Shofi yang tengah menangis saat melihat seorang pemuda keluar dari mobil lalu berlari menghampiri Shofi.

"Dek ... kamu kenapa nangis?" tanya pemuda itu lalu berjongkok mensejajarkan posisinya dengan Shofia.

Gadis kecil yang memiliki nama Shofia Karina Pratama itu mengangkat wajahnya menatap laki-laki yang ia anggap kakak itu dengan mata yang basah. "Kak ... anak haram itu apa?"

Pertanyaan dari Shofi membuat pemuda itu terkesiap di tempatnya. "Kamu denger dari mana kata-kata itu, Dek?" tanyanya kemudian.

"Temen-temen mengataiku anak haram. Aku nggak tau anak haram itu apa, tapi aku sedih semua temen-temen jadi gak mau temenan sama aku karena mereka bilang aku anak haram," adunya pada pemuda itu.

Tak mendapat jawaban atas pertanyaannya membuat Shofi menepuk lengan pemuda itu. "Kak Rafa! Ayo jawab aku."

***

Flashback Off

"Woooy!"

"Kak Rafa!" sahut Shofi dengan kaget.

Teriakan dari seorang gadis berhijab yang tiba-tiba datang seketika membuyarkan lamunan Shofi yang mengingat masa kecilnya dulu.

"Astagfirullah ... Nimas! kamu ngagetin aja!" keluh Shofi pada Nimas, gadis manis bergigi gingsul yang menjadi teman satu kamar dengannya.

"Siapa Kak Rafa?" tanya Nimas menyelidik.

"Bukan siapa-siapa kok," sangkal Shofi lalu mengalihkan pandangan dengan merapikan selimut di pangkuannya.

"Hayooo ... kamu lagi ngelamunin cowok ya?"

"Enggak kok, aku cuma lagi inget masa kecilku dulu." Shofi berdiri dari duduknya lalu merapikan tempat tidur yang hampir tujuh tahun ia tempati. "Ada apa?" tanyanya kemudian.

"Ya Allah aku sampai lupa," sahut Nimas. "Aku disuruh Bu Nyai ngasih tau kamu kalau keluarga kamu sudah datang. Kamu cepetan siap-siap."

Shofi yang sibuk merapikan tempat tidur seketika menghentikan gerakannya. Ia menoleh pada Nimas yang juga memandangnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Setelah kamu pergi ... aku sama siapa?" tanya Nimas.

Kedua gadis berhijab itu kemudian berpelukan sangat erat, tak mau salah satu dari mereka pergi. Persahabatan yang terjalin selama bertahun-tahun itu membuat keduanya berat untuk berpisah. Nimas harus tetap berada di pesantren meski telah menyelesaikan sekolah umumnya di bangku Madrasah Aliyah, sebab ia masih harus menyelesaikan hafalan Al-Qur'an di pesantren.

Inginnya Shofi pun seperti itu, tak ingin keluar dari pesantren yang telah memberinya banyak ilmu agama hingga dirinya tumbuh menjadi gadis dengan hati yang kuat dengan bekalan keyakinan yang kuat pada Allah, juga tak lagi banyak mengeluh atas kehidupannya. Namun beberapa orang yang telah menganggap ia sebagai keluarga, memaksa dirinya untuk segera menyelesaikan belajar di pesantren dan menempuh pendidikan lebih lanjut di luar pesantren.

"Aku bakalan rindu sama kamu, Ni," ucap Shofi setelah melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata di mata Nimas.

"Sama ... aku juga," kata Nimas. "Kamu hati-hati ya, jangan lupa terus tersenyum dan bersyukur. Kamu harus bahagia, Shof." Nimas kembali memeluk erat Shofi dengan air mata yang kembali tumpah.

****

Dengan berat hati, Shofi melangkah menuju rumah Kyai yang berada tak jauh dari area kamar santriwati. Kaki yang terbungkus kaos kaki coklat itu kemudian berhenti tepat di pintu gerbang kediaman Kyai Soleh Bachri, pemilik pesantren yang sudah Shofi tempati selama hampir tujuh tahun lamanya.

Matanya menatap haru penuh kerinduan saat menangkap sosok orang yang telah menganggapnya keluarga tengah bercengkeramah di teras masjid bersama Kyai Soleh beserta Bu Nyai Fatimah.

Rindu? Iya! Sangat!

Tapi ia menekan perasaanya agar tak melampaui batas yang akan membuatnya kemudian terlena. Shofi meneruskan langkah dan berhenti di jarak cukup dekat dengan teras Masjid.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Semua tampak kompak menjawab salam Shofi lalu menoleh pada gadis belia itu.

"Kak Akbar ...," sapa Shofi.

Akbar, Reno Akbar Pratama, laki-laki dewasa yang sejak kecil ia panggil Kakak. Laki-laki yang teramat sangat menyayanginya. Jika dulu ia akan menempel kemana-mana pada Akbar, lain halnya sekarang. Ada batasan yang harus ia jaga agar tak menimbulkan dosa saat dirinya ingin berlari memeluk laki-laki itu.

Tak ada buliran bening di mata Akbar meski terlihat jelas jika sorot mata yang biasa tajam itu tampak begitu sendu terbalut rindu. Senyum kerinduan pun tampak terulas di bibir laki-laki itu.

"Walaikumsalam, Dek. Kamu sehat?" tanya Akbar. Nada suaranya begitu bergetar, bukti jika laki-laki itu tampak berusaha menahan gejolak emosi di dalam dadanya.

"Alhamdulillah, Kak," jawab Shofi disertai senyuman. Kemudian ia beralih menatap wanita cantik disebelah Akbar yang tak lain adalah Alya, istri dari Akbar.

Berbeda dengan Akbar, Alya tampak tak bisa menahan emosi, wanita berparas manis itu segera memeluk erat Shofi yang hanya mampu mengulas senyum.

"Kakak kangen kamu, Dek," ujar Alya. Ia menghela tubuh Shofi dan menatap gadis belia itu tengah tersenyum, "kita pulang, ya?" tanyanya sambil mengusap pipi Shofia.

Setelah mengucapkan terima kasih yang teramat besar pada Kyai Soleh beserta istrinya, Akbar beserta Alya dan Shofi segera pamit undur diri. Tampak Bu Nyai Fatimah mengantar Shofia menuju mobil sambil menggandeng lengan gadis cantik itu.

"Nak, kapan pun kamu ingin berkunjung kesini, jangan merasa sungkan, ya? Umi senang kalau Shofi mau sering-sering main ke rumah Umi," tutur Bu Nyai Fatimah.

"Insyallah, Bu Nyai."

"Umi, Nak. Panggil Umi saja."

Shofi tersenyum segan dengan permintaan wanita itu. "Iya, U--umi."

"Gus Ikhsan titip salam buat Shofi." Sorot mata Bu Nyai Fatimah menatap penuh harap pada Shofia. Berharap gadis cantik di hadapannya itu mau mempertimbangkan kembali keinginan putranya untuk melakukan khitbah.

"Wa'laikumsalam," jawab Shofi. "Sampaikan maaf saya untuk Gus Ikhsan, Umi. Semoga Gus Ikhsan menemukan calon istri yang lebih baik dari saya. Saya hanya tidak ingin mempermalukan keluarga Umi dan Pak Kyai," ujarnya kembali.

Bu Nyai Fatimah hanya menghela nafas, mengangguk meski berat. Lebih memilih menghargai keputusan santriwatinya itu. Setelah berpamitan kembali, Shofi beserta keluarga Akbar perlahan meninggalkan area pesantren.

Shofi sempat menoleh ke arah pesantren saat mobil bergerak menjauh, menatap kembali tempat yang membuatnya tumbuh lebih baik tanpa mendapat perlakuan berbeda dari sekitar. Sungguh berat dirinya harus pergi, tapi kehidupan yang dulu sempat ia tinggalkan karena ketidakmampuan dalam menghadapi kenyataan hidup yang memperlakukan dirinya berbeda, kini mengharuskannya untuk kembali pulang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status