Share

Bukan Orang Ketiga
Bukan Orang Ketiga
Author: SHAL SYALA

Kembali Pulang

Author: SHAL SYALA
last update Last Updated: 2021-07-08 14:41:00

Derap langkah kaki yang terburu-buru dari seorang pria yang memakai stelan jas itu terdengar berisik memasuki rumah bercat putih itu. Langkahnya berhenti tepat di depan kamar utama. Wajah tampan yang selalu datar itu kini terlihat panik saat mencari keberadaan wanita yang sesaat lalu meneteskan air mata akibat ulahnya.

"Dek! Dengarkan, Kakak, dulu. Aku ingin menjelaskan," ucap Rafa sambil terus mengetuk pintu kayu yang menghalanginya masuk ke dalam kamar.

Hatinya bergemuruh oleh rasa bersalah juga ketakutan akan kehilangan gadis belia yang hampir empat bulan menjadi istrinya.

"Shofi ... aku mau---" Rafa segera mengatupkan bibirnya saat pintu kamar terbuka. Rafa semakin tak berdaya saat melihat mata sang istri basah dan sorot mata itu memancarkan luka yang penuh kekecewaan.

"Aku akan mendengarkan," ucap Shofi lirih hampir tak terdengar, sebab ia tengah menekan tangisnya agar tak kembali pecah.

Rafa menelan ludah, manik matanya terus bergerak menatap Shofi yang tengah menunduk. Semua penjelasan yang hendak ia utarakan tertahan di bibir saat lidahnya terasa kelu untuk berucap.

Tak lekas mendengar penjelasan suaminya, Shofi menatap penuh kecewa dan luka pada Rafa. "Kamu nggak bisa jelasin apa-apa?" tanyanya kemudian menghela nafas berat. "Bukan ... kamu bukan tidak bisa menjelaskan, Kak. Hanya saja semua ini memang tidak membutuhkan penjelasan," imbuh Shofi.

Shofi menengadah berusaha menahan air matanya agar tak jatuh, tapi sia-sia ketika ia tak lagi bisa membendung lelehan bening wujud dari sakit hati yang teramat sangat ia rasakan. "Kakak, tentunya masih ingat betul 'kan syarat saat aku menyetujui pernikahan kita dulu?"

"Dek ...."

"Sebelum kita menikah, aku memohon agar jangan pernah menjadikanku orang ketiga jika Kakak masih terikat dalam satu hubungan dengan orang lain," ujar Shofi disusul tangisnya yang kembali pecah. 

Hatinya sangat sakit, hancur, remuk tak kuasa menahan kenyataan jika dirinya telah menjadi orang ketiga yang selama ini ia takuti.

"Shofi, Sayang ... kamu istriku. Dalam hal ini kamu bukan orang ketiga, Dek. Aku mohon mengertilah. Aku seutuhnya hanya milikmu. Kamu tidak pernah merebut aku dari orang lain." Rafa hendak memeluk Shofi, tapi dengan cepat perempuan itu menghindar.

Shofi menunduk tenggelam bersama tangisnya. "Mungkin akan lain ceritanya jika kamu membawa perempuan lain masuk ke dalam rumah tangga kita sebagai orang ketiga. Mungkin aku tidak akan sesakit ini," ujar Shofi. Ia meremas ujung hijab dan menekan dadanya yang terasa begitu sesak. "Tapi, dalam hal ini kamu telah menjadikan aku sebagai orang ketiga dalam hubunganmu dengan orang lain yang belum kamu putuskan, Kak!" pekik Shofi tertahan. Tangisnya sungguh terdengar pilu.

"Aku dan dia telah berakhir sebelum kita menikah, Dek!"

"Tapi kamu telah menyentuhnya, Kak!"

Tak ada kata lagi yang mampu terucap dari bibir sepasang suami istri tersebut. Setitik cairan bening yang jatuh dari pelupuk mata Rafa menggambarkan betapa dirinya begitu terluka dengan prahara yang menimpa rumah tangganya, juga ... air mata sang istri yang terus berjatuhan karena perbuatannya.

Pernikahan yang awalnya hanya sebuah kesepakatan untuk saling bisa menerima satu sama lain, memupuk harapan agar menjadi rumah tangga yang Sakinah Mawaddah Warahmah, kali ini diterpa badai yang memilukan dengan hadirnya kisah di masa lalu yang harus menjadikan Shofi sebagai orang ketiga di rumah tangganya sendiri.

                                ***

Flashback On

"Aku bukan anak haram! Aku anaknya Mama Monic sama Mama Tari! Aku bukan anak haram!"

Teriakan dari seorang gadis kecil yang masih memakai seragam sekolah dasar itu tak mampu meredakan mereka yang sedang mengolok-oloknya.

"Shofi anak haram! Shofi anak haram!" Beberapa bocah yang juga berseragam sekolah dasar itu kemudian melempar sebuah gumpalan kertas ke arah Shofi hingga tangis gadis itu pecah seketika. Shofi lekas berjongkok lalu menenggelamkan wajahnya diantar lipatan tangan yang bertumpu pada lutut.

"Kabur temen-temen!" Beberapa siswa sekolah dasar nakal itu tiba-tiba berlarian meninggalkan Shofi yang tengah menangis saat melihat seorang pemuda keluar dari mobil lalu berlari menghampiri Shofi.

"Dek ... kamu kenapa nangis?" tanya pemuda itu lalu berjongkok mensejajarkan posisinya dengan Shofia.

Gadis kecil yang memiliki nama Shofia Karina Pratama itu mengangkat wajahnya menatap laki-laki yang ia anggap kakak itu dengan mata yang basah. "Kak ... anak haram itu apa?"

Pertanyaan dari Shofi membuat pemuda itu terkesiap di tempatnya. "Kamu denger dari mana kata-kata itu, Dek?" tanyanya kemudian.

"Temen-temen mengataiku anak haram. Aku nggak tau anak haram itu apa, tapi aku sedih semua temen-temen jadi gak mau temenan sama aku karena mereka bilang aku anak haram," adunya pada pemuda itu.

Tak mendapat jawaban atas pertanyaannya membuat Shofi menepuk lengan pemuda itu. "Kak Rafa! Ayo jawab aku."

***

Flashback Off

"Woooy!"

"Kak Rafa!" sahut Shofi dengan kaget.

Teriakan dari seorang gadis berhijab yang tiba-tiba datang seketika membuyarkan lamunan Shofi yang mengingat masa kecilnya dulu.

"Astagfirullah ... Nimas! kamu ngagetin aja!" keluh Shofi pada Nimas, gadis manis bergigi gingsul yang menjadi teman satu kamar dengannya.

"Siapa Kak Rafa?" tanya Nimas menyelidik.

"Bukan siapa-siapa kok," sangkal Shofi lalu mengalihkan pandangan dengan merapikan selimut di pangkuannya.

"Hayooo ... kamu lagi ngelamunin cowok ya?"

"Enggak kok, aku cuma lagi inget masa kecilku dulu." Shofi berdiri dari duduknya lalu merapikan tempat tidur yang hampir tujuh tahun ia tempati. "Ada apa?" tanyanya kemudian.

"Ya Allah aku sampai lupa," sahut Nimas. "Aku disuruh Bu Nyai ngasih tau kamu kalau keluarga kamu sudah datang. Kamu cepetan siap-siap."

Shofi yang sibuk merapikan tempat tidur seketika menghentikan gerakannya. Ia menoleh pada Nimas yang juga memandangnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Setelah kamu pergi ... aku sama siapa?" tanya Nimas.

Kedua gadis berhijab itu kemudian berpelukan sangat erat, tak mau salah satu dari mereka pergi. Persahabatan yang terjalin selama bertahun-tahun itu membuat keduanya berat untuk berpisah. Nimas harus tetap berada di pesantren meski telah menyelesaikan sekolah umumnya di bangku Madrasah Aliyah, sebab ia masih harus menyelesaikan hafalan Al-Qur'an di pesantren.

Inginnya Shofi pun seperti itu, tak ingin keluar dari pesantren yang telah memberinya banyak ilmu agama hingga dirinya tumbuh menjadi gadis dengan hati yang kuat dengan bekalan keyakinan yang kuat pada Allah, juga tak lagi banyak mengeluh atas kehidupannya. Namun beberapa orang yang telah menganggap ia sebagai keluarga, memaksa dirinya untuk segera menyelesaikan belajar di pesantren dan menempuh pendidikan lebih lanjut di luar pesantren.

"Aku bakalan rindu sama kamu, Ni," ucap Shofi setelah melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata di mata Nimas.

"Sama ... aku juga," kata Nimas. "Kamu hati-hati ya, jangan lupa terus tersenyum dan bersyukur. Kamu harus bahagia, Shof." Nimas kembali memeluk erat Shofi dengan air mata yang kembali tumpah.

****

Dengan berat hati, Shofi melangkah menuju rumah Kyai yang berada tak jauh dari area kamar santriwati. Kaki yang terbungkus kaos kaki coklat itu kemudian berhenti tepat di pintu gerbang kediaman Kyai Soleh Bachri, pemilik pesantren yang sudah Shofi tempati selama hampir tujuh tahun lamanya.

Matanya menatap haru penuh kerinduan saat menangkap sosok orang yang telah menganggapnya keluarga tengah bercengkeramah di teras masjid bersama Kyai Soleh beserta Bu Nyai Fatimah.

Rindu? Iya! Sangat!

Tapi ia menekan perasaanya agar tak melampaui batas yang akan membuatnya kemudian terlena. Shofi meneruskan langkah dan berhenti di jarak cukup dekat dengan teras Masjid.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Semua tampak kompak menjawab salam Shofi lalu menoleh pada gadis belia itu.

"Kak Akbar ...," sapa Shofi.

Akbar, Reno Akbar Pratama, laki-laki dewasa yang sejak kecil ia panggil Kakak. Laki-laki yang teramat sangat menyayanginya. Jika dulu ia akan menempel kemana-mana pada Akbar, lain halnya sekarang. Ada batasan yang harus ia jaga agar tak menimbulkan dosa saat dirinya ingin berlari memeluk laki-laki itu.

Tak ada buliran bening di mata Akbar meski terlihat jelas jika sorot mata yang biasa tajam itu tampak begitu sendu terbalut rindu. Senyum kerinduan pun tampak terulas di bibir laki-laki itu.

"Walaikumsalam, Dek. Kamu sehat?" tanya Akbar. Nada suaranya begitu bergetar, bukti jika laki-laki itu tampak berusaha menahan gejolak emosi di dalam dadanya.

"Alhamdulillah, Kak," jawab Shofi disertai senyuman. Kemudian ia beralih menatap wanita cantik disebelah Akbar yang tak lain adalah Alya, istri dari Akbar.

Berbeda dengan Akbar, Alya tampak tak bisa menahan emosi, wanita berparas manis itu segera memeluk erat Shofi yang hanya mampu mengulas senyum.

"Kakak kangen kamu, Dek," ujar Alya. Ia menghela tubuh Shofi dan menatap gadis belia itu tengah tersenyum, "kita pulang, ya?" tanyanya sambil mengusap pipi Shofia.

Setelah mengucapkan terima kasih yang teramat besar pada Kyai Soleh beserta istrinya, Akbar beserta Alya dan Shofi segera pamit undur diri. Tampak Bu Nyai Fatimah mengantar Shofia menuju mobil sambil menggandeng lengan gadis cantik itu.

"Nak, kapan pun kamu ingin berkunjung kesini, jangan merasa sungkan, ya? Umi senang kalau Shofi mau sering-sering main ke rumah Umi," tutur Bu Nyai Fatimah.

"Insyallah, Bu Nyai."

"Umi, Nak. Panggil Umi saja."

Shofi tersenyum segan dengan permintaan wanita itu. "Iya, U--umi."

"Gus Ikhsan titip salam buat Shofi." Sorot mata Bu Nyai Fatimah menatap penuh harap pada Shofia. Berharap gadis cantik di hadapannya itu mau mempertimbangkan kembali keinginan putranya untuk melakukan khitbah.

"Wa'laikumsalam," jawab Shofi. "Sampaikan maaf saya untuk Gus Ikhsan, Umi. Semoga Gus Ikhsan menemukan calon istri yang lebih baik dari saya. Saya hanya tidak ingin mempermalukan keluarga Umi dan Pak Kyai," ujarnya kembali.

Bu Nyai Fatimah hanya menghela nafas, mengangguk meski berat. Lebih memilih menghargai keputusan santriwatinya itu. Setelah berpamitan kembali, Shofi beserta keluarga Akbar perlahan meninggalkan area pesantren.

Shofi sempat menoleh ke arah pesantren saat mobil bergerak menjauh, menatap kembali tempat yang membuatnya tumbuh lebih baik tanpa mendapat perlakuan berbeda dari sekitar. Sungguh berat dirinya harus pergi, tapi kehidupan yang dulu sempat ia tinggalkan karena ketidakmampuan dalam menghadapi kenyataan hidup yang memperlakukan dirinya berbeda, kini mengharuskannya untuk kembali pulang.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Orang Ketiga   Anugerah di Akhir

    Maaf untuk kali ini aku lama sekali Up nya. Seminggu terakhir aku sedang berduka jadi benar-benar nggak bisa nulis. Dan Alhamdulillah, hari ini bisa menyelesaikan bab terakhir dari kisah Rafa dan Shofi ini. Semoga kalian suka😘🤗***Kini Shofi disibukkan menjadi seorang mama muda yang merawat putri semata wayangnya yang kini telah menginjak usia delapan bulan. Nia tumbuh menjadi balita yang cantik, semakin hari wajah Nia bukan mirip kedua orang tuanya tapi lebih mirip pada almarhum neneknya---Monica Larasati. Tingkah balita itu sangat aktif, Nia sudah bisa berdiri sendiri meski belum berani melangkah terlalu jauh, lebih gesit ketika merangkak kesana kemari dan sudah mulai tidak mau digendong. Apalagi jika bermain dengan Rafa, balita itu pasti sering tertawa dan berceloteh sekenanya.Meski Nia sangat aktif, Shofi masih bisa membagi waktu untuk terus mengikuti kelas desain yang semakin ia tekuni. Mesin jahit yang sempat terabaikan beberapa bulan

  • Bukan Orang Ketiga   Bahagia

    Langit biru membentang indah tanpa onggokan awan putih sedikitpun di atas sana. Udara dingin sisa semalam telah berubah menghangat terkena terpaan sinar mentari pagi menyambut para tamu yang mulai berdatangan di kediaman Rafa dan Shofi. Sepasang orang tua baru itu tengah menggelar acara Aqiqah untuk sang putri yang hari ini genap berumur 40 hari.Suasana bahagia sungguh terasa sejak memasuki halaman rumah mewah tersebut. Apalagi di ruang tengah di mana Shofi bersama Alya dan Heni terus menyunggingkan senyum menikmati keindahan dan kecantikan dua malaikat kecil yang berada di box bayi yang tengah tertidur pulas.“Ellea sangat sehat, ya, Kak. Pipinya gembul banget,” puji Shofi pada bayi Alya. Ia masih terpaku memandangi Ellea yang baru berumur 1 bulan, tapi pipinya sudah mulai meluber. Benar-benar menggemaskan.“Dedek Nia nanti juga bakalan nyusul gendut kaya Kakak Ellea ya, Nak.” Alya mengusap lemb

  • Bukan Orang Ketiga   Kamila Aghnia

    Semilir angin yang berembus menerbangkan gaun putih gading yang tengah dikenakan wanita cantik dengan perut buncit yang baru saja turun dari mobil bersama laki-laki yang menggunakan setelan jas berwarna senada. Keduanya hendak menghadiri sebuah acara pernikahan. Suasana mewah dan hangat langsung terasa ketika keduanya memasuki tempat acara ketika langsung disambut oleh suguhan tata ruang yang penuh dengan bunga-bunga beraneka rupa yang di dominasi warna putih. Bibir kedunya mengulas senyum ketika melihat sepasang pengantin yang berada di atas pelaminan melambaikan tangan padanya.“Kak Susan cantik banget, ya, Kak,” puji Shofi pada sang pengantin wanita. Ia melambaikan tangan pada Susan.Rafa hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Shofi. Ia menoleh sekilas pada Susan di atas pelaminan lalu kembali menatap sang istri, tangannya terulur mengusap perut buncit Shofia yang sebentar lagi akan segera melahirkan. “Istriku p

  • Bukan Orang Ketiga   Kelahiran dan Kehilangan

    Rintihan dan desahan yang keluar dari mulut wanita yang tengah merasakan sakit di perut dan pinggangnya itu terdengar sungguh pilu dan menyayat hati. Sudah hampir satu jam Alya berada di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Air matanya terus merembes keluar merasakan desakan hebat di punggungnya seolah tulang-tulangnya patah.Sedangkan Rafa yang sejak tadi berada di samping kakaknya tersebut berulang kali menyeka keningnya yang terus berembun. Pertama kalinya ia menunggui seorang yang akan melahirkan dan itu adalah kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan dirinya berada di ruangan yang mencekam baginya saat ini, karena ia sedang menggantikan tugas Akbar yang masih dalam perjalanan usai melakukan business trip di luar negeri. Melihat kondisi sang kakak, Rafa merasa tubuhnya tercabik dan ikut merasakan perih ketika mendengar rintihan Alya yang kesakitan."Dek, telfon Mas Akbar lagi. Sudah sampai mana? Mbak nggak kuat ini," pinta Alya dengan terbata. Wanita i

  • Bukan Orang Ketiga   Memaafkan

    "Bagaimana Adik saya dan kandungannya, Dok?" tanya Akbar. Laki-laki itu menghadang langkah Dokter Anggun yang baru saja menutup pintu kamar Shofi.Akbar yang mendapat kabar dari Alya segera menuju rumah Rafa sebab Shofi menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Wanita itu terus menangis sambil menahan sakit di perut dan enggan bertemu banyak orang."Bu Shofi mengalami syok, Pak. Tekanan darahnya langsung turun bersamaan kram di perutnya disertai gerakan janin yang kuat. Untuk itu beliau mengalami sakit yang hebat di perutnya," tutur Dokter Anggun."Lalu bagaimana dengan janinnya, Dok?" tanya Alya yang tak kalah khawatir."Detak jantungnya normal, Bu. Namun, sebaiknya Bu Shofi segera dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya harus melakukan USG pada janinnya. Saya juga sudah berpesan pada Pak Rafa untuk lebih menjaga Bu Shofi, jika melihat reaksi Bu Shofi barusan, sepertinya beliau punya satu trauma terhadap sesuatu. Bu Sho

  • Bukan Orang Ketiga   Kabar Mengejutkan

    Malam semakin larut, udara semakin dingin menyelimuti bumi mengajak semua manusia untuk beristirahat dalam mimpi yang indah.Tak terkecuali Shofi, wanita itu tampak begitu lelap dalam tidurnya. Usapan di kepala yang diberikan sang suami membuat wanita itu terlihat semakin nyaman dan pulas. Rafa memang masih terjaga sebab dirinya tengah memikirkan kabar yang disampaikan Akbar sesaat lalu."Nico dan David tertangkap di pelabuhan sebelum melarikan diri. Polisi sudah lama mengincarnya dengan kasus pencucian uang dan aku juga telah membuat laporan perihal penyalahgunaan kepemilikan aset milik almarhum Ibunya Shofi," tutur Akbar. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan Rafa di depannya."Katamu kau mengajukan dua kasus, Mas? lalu satu lagi kasus apa?" Rafa tampak menatap dalam pada Akbar. "Jangan bilang kau melaporkan tentang kejadian dulu," tebak Rafa."Itu rahasia yang tidak mungkin aku buka lagi. Kau pikir aku secerobo

  • Bukan Orang Ketiga   Bersyukur

    Semilir angin pagi yang berembus menggoyangkan helaian daun tanaman palm yang berjejer rapi di halaman rumah Akbar. Beberapa mobil mewah juga turut berjajar rapi harus terparkir di sepanjang jalan perumahan sebab halaman rumah yang besar itu sudah dipenuhi oleh tenda berwarna putih yang mewah dan indah. Beberapa security dan pengawal berbaju serba hitam tampak mengawasi sekitar agar acara majikannya tersebut berjalan lancar tanpa gangguan. Para tamu undangan juga yang mulai datang tampak menggunakan busana muslim senada berwarna serba putih mulai memenuhi kursi tamu yang sudah disediakan.Tujuh bulan bagi Shofi dan selisih satu bulan bagi Alya memasuki usia kehamilannya, untuk itu Akbar dan Rafa sengaja menggelar acara pengajian yang cukup besar. Sebagai wujud rasa syukur akan datangnya dua malaikat kecil dalam keluarganya. Kedua laki-laki itu mengundang seluruh saudara, kerabat, tetangga, beberapa kolega dan banyak anak yatim yang juga sudah berkumpul sejak pagi.

  • Bukan Orang Ketiga   Takdir Keikhlasan

    "Jangan lari, Dek!"Entah sudah keberapa kalinya Rafa mengucapkan kalimat peringatan tersebut pada Shofi sejak keduanya menapaki lantai bandara. Tangisan Shofi sesaat lalu akhirnya meluluhkan Rafa. Mau tak mau ia memilih menuruti sang istri untuk mengejar Tiara. Namun, sebelumnya Rafa telah memastikan jika Shofi tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengguncang kembali rumah tangganya atau kembali lari dari dirinya. Tanpa pikir panjang Shofi mengiyakan.Shofi yang merasa panik karena takut melewatkan Tiara sebelum menyampaikan sesuatu terlihat tak sabar. Ia bahkan terus berlari kecil dengan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Tiara di antara banyaknya pengunjung di bandara.Rafa segera mencekal tangan Shofi untuk menghentikan langkah wanita tersebut. "Kalau kamu nggak nurut, Kakak bakalan gendong kamu biar nggak lari lagi." Ancaman Rafa berhasil membuat Shofi berhenti dan menatap takut padanya.

  • Bukan Orang Ketiga   Merasa Beruntung

    Beberapa hari sejak kedatangan Rafa di vila, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa pulang kembali istri kecil yang amat ia cintai tersebut. Rafa membawa Shofi menuju rumah Alya terlebih dahulu, sebab Heni begitu menunggu kedatangan Shofi. Wanita itu sangat bahagia juga sangat khawatir dengan kehamilan menantunya. Begitu juga dengan Shofi yang sangat merasa bersalah pada mertuanya tersebut."Maafkan Shofi, ya, Bu? Maaf telah membuat Ibu sakit karena memikirkan rumah tangga Shofi," ucap Shofi penuh rasa bersalah. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi tak sampai menangis.Heni segera membawa sang menantu dalam pelukan. "Enggak, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Malah Ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak pergi dari Rafa. Terima kasih, Nak."Heni kemudian menghela tubuh Shofi. Ia pandangi wajah cantik sang menantu yang tampak lebih berisi tersebut. "Mau 'kan janji sa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status