Pagi ini Rafa terlihat sangat buru-buru setelah mendapat telfon dari restoran barunya. Berita tentang kedatangan Tiara di restoran tak terlalu mengejutkan baginya, tapi keadaan wanita itu yang membuat Rafa berlarian panik.
"Nona Tiara tak sengaja terkena pecahan kaca saat pekerja membetulkan jendela. Lengan kirinya sobek dan berdarah."
Laporan dari salah satu pekerja sesaat lalu terus terngiang di telinga Rafa. Jalanan yang ia lalui seolah terasa sangat jauh hingga lama sekali dirinya sampai. Jantungnya terus berdegub dilanda kecemasan. Untuk apa Tiara sampai di restoran?" pertanyaan itu terus berputar di kepalanya sepanjang perjalanan.
Setelah menempuh setengah jam perjalanan, mobil yang dikendarai Rafa sampai di depan bangunan bergaya Eropa dengan warna putih yang mendominasi setiap sisi dinding bangunan. Matanya menatap sekeliling mencoba mencari keberadaan Tiara tapi tak ia temukan. Rafa meneruskan langkah masuk ke d
"Makasih ya, Dek, traktirannya," ucap Rafa setelah menghentikan mobil di halaman rumah Alya.Shofi tersenyum mengangguk. Ia hendak membuka pintu mobil tapi tertahan dengan kalimat Rafa."Terima kasih juga untuk hari ini."Shofi mengernyit tak paham dengan maksud Rafa dan pria itu hanya tersenyum. "Ayo turun," ajaknya pada Shofi.Keduanya berjalan beriringan memasuki rumah. Baru selangkah menapaki teras rumah, Shofi lekas berhenti saat melihat sosok pria yang ia kenali tengah duduk di kursi teras rumah."Pak Nico?" wajah Shofi berubah tegang penuh kecemasan. Ia mundur satu langkah hingga membentur Rafa yang berada di belakangnya saat Nico berdiri lalu hendak menghampiri."Shofia.""Jangan berani Anda menyentuh adikku!" Suara dari laki-laki yang duduk di sebrang Nico terdengar mengancam.Wajah Akbar jelas terlihat tak r
Malam ini suasana restoran cukup ramai pengunjung, membuat semua pegawai tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Disaat semua pegawai adu cepat untuk melayani pesanan para tamu, lain lagi dengan Shofi, gadis itu lebih banyak diam dan terlihat tak fokus. Pertemuannya dengan Nico beberapa jam lalu masih mengusik hati dan pikirannya.Sejak sore Shofi telah mendapat tugas di dapur untuk membantu koki menyiapkan bahan-bahan untuk memasak, dan ia berulang kali melakukan kesalahan. Salah memotong ukuran sayuran, salah mengambil piring dan terakhir gadis itu menumpahkan sebotol minyak goreng."Pak Deni, maafkan saya," ucap Shofi penuh sesal pada Deni, koki di restoran Rafa."Kamu sakit, Shofi?" tanya Deni. Pria paruh baya itu dapat melihat perubahan pada Shofi yang tidak bersemangat seperti biasanya.Shofi dengan cepat menggeleng."Shofi biar ikut nganterin pesanan saja, Pak." Yuli yang baru datang segera menggeser Shofi untuk menggantikan pekerjaanny
Mall terbesar di kota itu menjadi tujuan Rafa untuk mengajak Shofi menuju lantai ke tiga gedung itu. Di mana sebuah toko perlengkapan rumah tangga yang menjadi tujuan Rafa. Rafa mendatangi toko tersebut karena ia memerlukan beberapa perlengkapan makan yang unik untuk kebutuhan restoran. Namun, selain hak tersebut, Rafa juga bertujuan mengajak sang adik untuk berjalan-jalan. Rafa sedikit terganggu dan merasa cemas melihat wajah Shofi yang terus murung beberapa hari terakhir."Kakak sering ke toko ini?" Shofi melempar pertanyaan pada Rafa yang sibuk mengamati beberapa contoh piring saji dengan macam- macam bentuk. Kakak beradik itu tengah berada di lorong yang terdapat rak perabotan di kedua sisinya.Rafa menoleh pada Shofi. "Bagus yang mana, Dek?" Rafa malah menjawab pertanyaan Shofi dengan melempar pertanyaan. Laki-laki itu menunjukkan dua buah piring di tangannya.Shofi mengamati sekilas dua buah piring tersebut. "Yang kanan." Shofi menunjuk piring berbentuk pe
Suasana dalam kamar hotel yang mewah itu terasa sunyi, tapi sungguh menegangkan kala para penghuninya tenggelam dengan amarah yang membelenggu diri mereka masing masing.Sorot mata tajam dari Tiara terus membidik ke arah sang kekasih. Dadanya masih naik turun setelah mengeluarkan segala kemarahan dan rasa cemburunya.Sedang Rafa, laki-laki itu terlihat sedang mengalihkan perhatian dengan memilih mengutak-atik ponsel. Ia hanya berusaha meredam amarah usai pertengkarannya dengan Tiara. Ia tak ingin lepas kendali menghadapi kemarahan wanita itu atas tuduhan yang dilayangkan untuknya."Kamu mau bilang sendiri siapa wanita itu atau aku akan cari tahu sendiri?" desis Tiara.Tak mendapat jawaban dari Rafa dan merasa diabaikan oleh laki-laki itu, Tiara segera menghampiri Rafa kemudian merampas ponsel di tangan sang kekasih lalu tak segan untuk melempar be
Rintik hujan turun di kawasan restoran mengiringi langkah Rafa yang baru saja datang. Memasuki restoran, tak ada senyum simpul yang terulas di bibirnya untuk membalas sapaan dari semua pegawai seperti biasanya, hanya wajah datar yang ia suguhkan. Rafa lekas memasuki ruang kerjanya. Beberapa tumpukan map di meja kerja menyambut dan semakin membuat dirinya pusing. Rafa berdiri di samping jendela, bersedekap sambil menatap ke arah jendela yang menyuguhkan pemandangan kota. Hati dan pikirannya berkecamuk. Ada rasa marah dan lelah teramat sangat atas hubungannya dengan Tiara. Rafa berfikir dirinya kali ini harus segera mengambil tindakan agar tak terus terjebak dalam hubungan tanpa tujuan. Rafa segera menghampiri meja kerjanya lalu mengambil paperbag bertuliskan merk sebuah ponsel. Ia lekas mengoperasikan ponsel barunya lalu menyelipkan simca
Malam semakin larut. Rintik hujan sejak sore lalu terus mengguyur seolah turut menangisi kesedihan gadis malang yang terbaring di ranjang kamar rumah sakit. Suasana dalam ruang rawat gadis itu begitu sunyi hingga suara helaan nafas dari orang yang berjaga di sana cukup jelas terdengar.Akbar yang tak beranjak sedikitpun dari ranjang Shofi dan terus menatap sedih pada sang adik yang baru bisa terlelap dengan tenang. Shofi tak lagi histeris saat bayangan kejadian mengerikan itu terlintas di benaknya. Ia hanya menangis sesenggukan dalam pelukan Akbar jika kembali dihantui kejadian mengerikan itu. Pelukan dari Akbar benar-benar memberikan ketenangan untuk Shofi.Akbar mengusap dengan sayang kepala Shofi yang terbungkus hijab instan berwarna baby blue itu. Ingatannya menerawang pada beberapa tahun yang lalu saat mengingat Shofi kecil. Hati Akbar gerimis saat teringat jika hidup Shofi sejak kecil selalu berteman dengan kesedihan. Dan kali ini ia gagal menjaga Shofi dan malah
"Mas ... Mbak!"Akbar dan Alya menghentikan langkah lalu berbalik menatap Rafa."Jika hanya pernikahan yang dapat menyelamatkan Shofi ... izinkan aku untuk menikahinya," ucap Rafa penuh kesungguhan.Akbar yang terkejut mendengar hal tersebut segera memasang wajah tenang meski dadanya bergemuruh. Ia menangkap sebuah jalan keluar dari pernyataan Rafa. Berkebalikan dengan Akbar, Alya tak menutupi keterkejutannya. Terperangah hingga tanpa sadar mulutnya menganga."Kau mulai melihat Shofi bukan sebagai Adikmu? Sejak kapan?" tanya Akbar. "Kau mencintainya?"Pertanyaan Akbar sedikit membuat Rafa terkesiap, tapi dengan cepat ia menguasai diri. "Masih jauh untuk merasakan hal itu, tapi aku selalu tidak bisa melihatnya menangis dan aku selalu ingin melindunginya.""Aku yakin putra Kyai Sholeh juga sanggup melindungi Shofi. Dia bahkan berulang kali meminta Shofi untuk menjadi istrinya," tutur Akbar. Ia menatap penuh
"Aku ... aku setuju untuk menikah dengan Kak Rafa."Hening. Semua terpaku di tempatnya, masih berusaha mencerna apa yang sudah Shofi sampaikan. Hal itulah yang ditunggu oleh semua, tapi kenapa sulit sekali untuk menunjukkan kelegaan."Alhamdulillah." Hingga ucapan Heni memecah keheningan yang menguar. Wanita itu menunduk sambil mengusap air mata bahagia yang menyeruak dan jatuh begitu saja tanpa bisa ditahan. Keinginannya untuk menjadikan Shofi menantu sebentar lagi terwujud.Alya dan Akbar saling pandang lalu melempar senyum sebelum kemudian menoleh pada Shofi."Semoga ini menjadi awal kebahagiaan kamu, Dek." Alya berdiri dari duduknya lalu memeluk Shofi yang hanya mampu mengulas senyum lemah.Sedangkan Rafa, laki-laki itu masih tak bisa berkomentar, tapi terus memindai Shofi yang menghindari tatapannya."Tapi sebelum itu ... aku ingin memastikan sesuatu, Kak," ujar Shofi. Ia memberanikan diri menatap Raf