Share

3. Sadar

Bukan Pahlawan 3

Entah berapa lama aku tertidur, aku terbangun karena mendengar suara-suara di sekelilingku. Aku membuka mataku perlahan dan menyadari kalau saat ini aku aku tengah berada di kamarku di rumah milik Teguh  Adisatya dan suara-suara yang kudengar adalah milik Zayn dan Risya.

Aku tak tahu kapan mereka kapan mereka  memgbawaku ke tempat ini, mungkin saat aku pingsan setelah Bu Teguh membantuku memakai pakaian. Aku menjerit dan pingsan saat aku merasa melihat darah di spreiku padahal mbok Seni sudah menggatinya.

Bu Teguh  telah pamit untuk keluar sebentar tadi karena itu di kamar ini hanya ada kami bertiga.

“Kita harus membawanya ke Puskesmas, Zayn. Kasihan Nana, biar dia  mendapatkan pemeriksaan untuk visum,” suara Risya menyerbu gendang telingaku.

Risya adalah kekasih Zayn yang juga anak kepala Desa di tempat kerjaku.  Mereka sudah lama berpacaran dan rencananya akan menikah satu atau dua tahun lagi menunggu Risya menyelesaikan S2-nya.

Kami cukup akrab meski jarang bertemu karena dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kota Y, tempat dia kuliah, kota yang sama tempat Zayn dulu berkuliah dan merintis usaha di sana.

“Aku sudah menelpon ke Puskesmas, mungkin sebentar lagi sampai,” desah  Zayn.

“Sebenarnya aku dan ibu sudah berniat untuk membawa Ayana ke Puskesmas dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi tapi tadi Ayana menolaknya. Aku dan ibu tidak bisa memaksanya karena kami takut itu akan membuat kondisi dia makin drop kalau sampai teman-temannya tahu dia diperkosa. Kamu tahu sendiri Ayana paling tidak suka mendapat simpati,” desah Zayn.

Ya, Zayn benar. Aku memang tadi menolak keinginan dia untuk membawaku ke Puskesmas karena aku tak mau berita ini tersebar, karena aku tak ingin berita ini tersebar dan membuatku terpuruk. Berapa banyak korban pemerkosaan yang malah dihujat dan dicibir karena malah dia yang dianggap menggoda si pelaku dan berbagai hujatan lainnya.

“Tapi aku juga tak tega melihatnya seperti ini, karena tadi aku menelpon kepala puskesmasnya dan memintanya untuk merahasiakan ini dari karyawan yang lain. Untuk melaporkan kejadian ini pada pihak kepolisian, aku akan menyerahkan sepernuhnya pada Ayana.” imbuh Zayn.

Aku juga menolak saat Zayn berniat untuk melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian karena Ayana tak mau masalah ini berlarut-larut dan membuatnya harus membayangkan kejadian yang bahkan tak dia ingat tetapi meninggalkan bekas luka yang dalam di hatinya.

“Kamu sudah menghubungi keluarganya?” tanya Risya lagi.

“Sudah, ibunya bilang akan datang hari ini, tapi entahlah sampai jam segini dia belum juga datang,” Zayn kembali mendesah.

“Kamu bilang apa yang terjadi pada Nana pada ibunya?” suara Risya kembali terdengar cemas.

Aku menghela nafas panjang berusaha tidak mengeluarkan suara, aku tahu apa yang membuat Risya merasa cemas. Hubunganku dan ibu memang tak sebaik hubunganku dengan keluarga Zayn terutama dengan bu Teguh, ibunya.

“Tidak, aku hanya bilang Ayana mengalami kecelakaan dan memintanya datang ke desa ini,”

Aku merasa lega mendengar ucapan Zayn yang tidak mengatakan kejadian yang aku alami kepada ibu karena kalau dia tahu apa yang terjadi dia akan nyinyir sepanjang jalan atau bahkan tidak mau datang sama sekali untuk sekerdar mengetahui apa yang terjadi.

Zayn dan ayah ibunya termasuk Risya  karena sebentar lagi dia juga akan menjadi anggota keluarga Zayn, sudah sangat paham bagaimana sikap ibuku kepadaku. aku merasa malu memiliki ibu seperti dia karena sikapnya yang egois.

Ibu meninggalkan ayahku saat aku masih balita  karena tergoda mantan pacarnya yang tidak rela melihatnya bersama ayah. Ibu dan ayah menikah karena dijodohkan oleh orang tua mereka. Ayah sangat mencintai ibu karena itu dia menyambut baik perjodohan itu sedang ibu meski di awal menolak keras perjodohan itu tetapi akhirnya cinta ayah yang begitu besar mampu meluluhkannya. Sayangnya kehadiran mantan pacar ibu membuat perempuan itu tega meninggalkan kami.

“Tunangannya?”

“Aku baru mempertimbangkannya, aku takut Ayana tidak setuju kalau Rizwan sampai mengetahui masalah ini,” suara Zayn terdengar berat.

“Tapi menurutku Rizwan perlu tahu masalah ini, bagaimanapun, ini menyangkut masa depan mereka,”

“Ayana sangat mencintai Rizwan, aku takut Rizwan tidak menerima kejadian ini dan memutuskan Ay..yana,” suara Zayn terdengar begitu muram.

Aku menggigit bibir bawahku sampai berdarah, kedua orang itu tidak mengetahui apa yang kulakukan karena aku memunggungi mereka. Mereka mungkin juga tidak tahu kalau aku sudah bangun dan mendengarkan mereka.

Aku mendengar keduanya sama-sama mendesah memikirkan apa yang harus aku lakukan.

“Aku sungguh menyesalkan kejadian ini, aku tak tahu bajingan mana yang tega melakukan hal ini pada Nana. padahal pernikahan Nana kurang tiga bulan lagi,” ada kesedihan dalam nada suara Risya membuat dadaku terasa sakit.

Aku menggigit bibir bawahku hingga terasa nyeri. Tiga bulan lagi aku akan menikah dengan Rizwan, aku dan Rizwan sudah berpacaran sejak aku masih tingkat dua di sebuah akademi kebidanan. Kami saling mencintai dan kami merasa tak ada yang perlu ditunda. Usiaku saat ini dua puluh empat tahun dan Rizwan dua puluh delapan tahun, kami juga sudah sama-sama bekerja dan baik orang tuaku maupun orang tua Rizwan juga sudah setuju.

Dua bulan yang lalu Rizwan  melamarku di rumah ibuku karena hanya dia orang tua yang aku punya, karena ayahku sudah meningggal dalam sebuah kecelakaana lalu lintas beberapa bulan setelah aku bertugas di desa ini. Saat Rizwan melamarku, keluarga Zayn dan keluarga Risya juga ikut datang ke acara itu karena kedua keluarga itu sudah menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka.

“Nana sudah bangun belum, Zayn? Kasihan dia belum makan dari pagi,” suara bu Teguh meningkahi suara mereka bersamaan dengan suara pintu yang terbuka.

“Belum, Bu,” balas Zayn.

“Risya? Kamu sudah lama di sini?” suara Bu Teguh terdengar kaget melihat kekeradaan Risya di kamar yang kutempati.

“Baru saja, Bu. Baru sepuluh menitan di sini, tadi ada bilang kalau Nana sakit dan dibawa ke siini, saya tidak tahu kalau ternyata Nana…,” Risya tidak mampu melanjutkan ucapannya dan malah menangis.

“Iya, ibu juga tidak mengira, karena itu tadi langsung ibu bawa ke sini agar bisa merawatnya. Ibu takut  kalau Nana trauma kalau tetap berada di PKD,” desah Bu Teguh prihatin.

“Iya, Bu. Memang sebaiknya Nana di sini dulu,” sahut Risya dengan nada prihatin.

“Berikan ini padanya kalau dia sudah bangun, ibu ke depan dulu karena ada tamu,”

“Baik, Bu,” itu suara Zayn, ternyata dia masih ada di tempat ini.

Terdengar suara pintu di tutup, aku membuka mata dan mataku langsung bertemu dengan tatapan Zayn yang penuh kesedihan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status