Share

Bab 4

Ponsel Aris bergetar, laki-laki itu langsung meronggoh saku celananya. Menatap nama di layar beberapa detik, sebelum akhirnya ia menekan tombol hijau, tanda menerima panggilan tersebut.

“Apa yang sedang kau lakukan, lama sekali menjawab panggilan mami.” baru saja menempelkan ponselnya ke telinga, laki-laki itu sudah mendengar ocehan maminya.

“Ada apa mi?” tanya Aris pelan.

“Kenapa kamu bertanya ada apa? Hari ini kamu ada janji temu dengan anak teman papi!” pekik Gina karena Aris melupakan janjinya.

Aris mengela nafas kasar, sungguh ia hampir lupa bahwa ada janji temu malam ini. “Ahh, baiklah,” sahut laki-laki itu secepatnya, Aris buru-buru mematikan sambungan telepon karena tak mau mendengar ocehan marah maminya.

Berkali-kali Aris harus bertemu dengan perempuan-perempuan pilihan maminya, berharap ada satu perempuan yang cocok dengannya sehingga mereka bisa menikah secepatnya.

Namun sayangnya pertemuan itu tidak pernah berlanjut, menurut Aris masih belum ada satu pun perempuan yang bisa membuatnya berpaling dari Anya.

Aris melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kanan, ia harus pergi secepatnya sebelum mami marah karena ia terlambat. “Aku pergi dulu ya, nanti kita bertemu lagi di sini,” ujarnya sambil tersenyum getir.

*

“Masih restoran yang sama?” tanya Aris ketika sudah berpakaian rapi malam ini.

Gina yang sibuk dengan majalah keluaran terbaru tak mau menolehkan kepalanya pada sang anak, wanita itu hanya berdeham sebagai jawaban.

Tak butuh waktu lama untuk Aris sampai di tempat tujuan, laki-laki itu masuk ke salah satu restoran mewah yang sangat terkenal untuk orang-orang berduit sepertinya.

Kali ini pertemuannya dengan seorang perempuan berambut pirang, nampaknya perempuan itu sudah menunggu kehadiran Aris.

Tanpa banyak berbasa-basi, Aris langsung duduk di depan perempuan itu, “Aris?” tanya perempuan itu ragu, tampak terkejut dengan kehadiran Aris yang tiba-tiba.

Aris menganggukkan kepalanya pelan, meskipun tidak tahu siapa nama lawan bicaranya, Aris sama sekali tidak minat untuk bertanya.

“Disa,” ujar perempuan itu memperkenalkan diri.

Tangannya melayang di udara, namun masih tidak ada tanda-tanda bahwa Aris akan menjabat tangannya, hal itu membuat Disa merasa sangat canggung.

“Jadi, apa alasan kamu untuk menikah dengan saya?” tanya Disa memulai percakapan.

Aris diam sejenak, ia bahkan sama sekali tidak berpikir untuk menikah dengan perempuan di hadapannya ini.

Sebelum menjawab, Aris menampilkan senyuman tipis di wajahnya, “Saya tidak ada alasan untuk menikah denganmu,” ujarnya santai.

Kalimat Aris barusan melukai harga diri Disa, senyuman di wajah Disa tiba-tiba luntur setelah jawaban yang diberikan oleh laki-laki itu.

“I don’t really want to get married.”

“Saya di sini karena mami,” lanjutnya lagi.

Perempuan itu terkejut dengan jawaban Aris, ia mengangguk pelan, mencoba memahami jawaban frontal laki-laki itu.

“Haven’t moved on with that girl?” celetukan tiba-tiba dari Disa berhasil mengambil alih atensi Aris sepenuhnya.

“Saya tidak harus menjawab pertanyaan kamu kan?!” melihat dari intonasi suara Aris, sepertinya laki-laki itu tidak senang dengan pertanyaan Disa.

Restoran bernuansa remang-remang semakin meningkatkan rasa canggung di antara dua manusia yang baru pertama kali bertemu ini.

Dari pada mendapatkan jawaban yang membuat sakit hati, mereka berdua lebih memilih untuk menikmati hidangan yang telah disajikan di atas meja.

Disa memberanikan diri untuk menatap wajah tampan dari anak teman papanya, sungguh wajah tampan Aris benar-benar membuat Disa jatuh cinta pada pandangan pertama, namun sikap dan cara bicaranya membuat Disa mengurungkan diri untuk menjadi calon istirnya.

Dari jawaban-jawaban Aris tadi, ia yakin seratus persen bahwa dirinya sudah ditolak mentah-mentah. Padahal Disa sudah memberikan effort yang sangat besar untuk pertemuan ini.

Disa jadi penasaran dengan siapa gadis yang berhasil membuat Aris jatuh cinta sampai seperti ini, rasanya benar-benar tidak ada celah untuk merebut perhatian laki-laki di hadapannya ini.

Merasa sudah cukup dengan pertemuan hari ini, Aris beranjak dari tempat duduknya, menawarkan tumpangan untuk mengantar Disa pulang.

Dengan senang hati Disa menerima tawaran itu, meskipun tidak merasa tertarik dengan perempuan ini, namun sebagai laki-laki Aris merasa bertanggung jawab untuk mengantar Disa pulang dengan keadaan selamat.

Di dalam mobil, keadaannya benar-benar sangat sepi, tidak ada satu pun yang berinisiatif untuk memecahkan keheningan.

“Boleh memutar lagu?” tanya Disa sambil menolehkan pandangannya pada Aris.

Mendapati anggukan sebagai jawaban, Disa tersenyum lebar, tangannya dengan cepat memencet tombol-tombol untuk menghubungkan playlist lagunya.

Meskipun keduanya tidak mengeluarkan suara, namun setidaknya ada suara musik yang menemani perjalanan mereka.

Aris menghentikan mobilnya tepat di depan rumah mewah milik keluarga Disa, “Terima kasih,” ujar Disa sebelum keluar dari mobil.

Sama seperti tadi, Aris tidak melakukan banyak interaksi, laki-laki itu menganggukkan kepalanya tanpa menjawab suara.

Kepergian Aris yang memilih langsung pulang dari pada mampir bertemu orang tuanya membuat Disa merasa sedih, namun sedikit senang karena akhirnya bisa bertemu secara langsung dengan laki-laki tampan yang sejak dulu hanya bisa ia lihat dari foto saja.

*

Gina dan sang suami sudah menunggu kedatangan putra semata wayangnya itu, mendengar suara mobil Aris membuat dua orang itu berpura-pura tidak peduli.

Memasuki area rumahnya, Aris menatap kedua orang tuanya yang sedang duduk di sofa, seolah memang sudah menunggu kepulangannya sejak tadi.

Aris yakin betul pasti maminya ingin bertanya bagaimana pertemuan dirinya dengan Disa, namun wanita itu sangat menanamkan rasa gengsi yang membuatnya tidak mau bertanya lebih dulu.

“Tidak usah berharap banyak, perempuan itu bukan tipe Aris,” ujarnya menatap pada kedua orang tuanya.

Gina kembali memperlihatkan wajahnya yang seolah tidak peduli, padahal dalam hati sudah memaki-maki nama anaknya karena kelewat kesal.

Merasa tidak ada lagi yang perlu ia jelaskan, Aris memilih untuk melangkahkan kakinya menaiki satu per satu anak tangga menuju kamar.

“Mau sampai kapan kita harus menunggu?” keluh Gina pada suaminya.

Tidak tahu harus berbuat apa, Rendi mengelus pundak sang istri, “Sabar ya mi,” ujarnya menenangkan.

“Sabar bagaimana loh maksudnya, punya anak satu bukannya cepet-cepet menikah malah menunggu yang tidak pasti!” ketusnya karena kesal.

"Mami jadi takut nanti anak kita malah melakukan penyimpangan karena tidak kunjung bertemu dengan Anya." Gina terlihat sangat khwatir, terlebih pergaulan jaman sekarang yang membuat Gina semakin takut. 

Rendi merasa salah memberikan jawaban, kini malah dirinya yang kena semprot amukan sang istri,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status