Share

Bab 5

Hingga kini Rania masih berusaha membujuk anaknya untuk keluar dari kamar. Sejak kejadian itu, Aruna terus mengurung dirinya sendiri dalam kesepian.

Rasanya tidak ada tenaga untuk sekedar melihat dunia yang semakin hari semakin membuat dirinya takut.

“Aruna…” panggilan lembut Rania terdengar hingga telinga anak perempuannya.

“Keluar sebentar ya nak, bunda ingin mengajak Aruna jalan-jalan,” lanjutnya dengan suara pelan.

Namun sayangnya Aruna bahkan tidak bertenaga untuk sekedar membuka pintu, tubuhnya masih terduduk di bawah ranjang sambil memeluk lututnya.

Aruna berusaha menyembunyikan isak tangisnya, berharap agar suara tangisan yang keluar dari mulutnya tidak terdengar hingga telinga Rania yang saat ini sangat khwatir dengan keadaan Aruna.

“Maaf, maaf..” bisik Aruna pelan, merasa bersalah karena dirinya semenyedihkan ini.

Kejadian itu benar-benar membuat Aruna sangat terpuruk, kehidupannya berubah drastis dan dirinya sangat menutup diri sekarang.

Seminggu ini yang Aruna lakukan hanyalah merenung di kamar sendirian, memikirkan apa yang sebenarnya kurang dalam dirinya, sehingga Reno tega menghianatinya seperti ini.

“Makanannya bunda letakkan di sini ya, jangan lupa makan biar tidak sakit, bunda dan ayah harus pergi sebentar,” ujar wanita itu dari luar kamar.

Seperti itulah sehari-hari yang terjadi selama Aruna mengurung diri, makanan selalu diantarkan oleh bunda, sambil berharap perempuan itu mau menampakkan diri di depan mereka.

Perempuan itu melangkahkan kakinya menuju jendela, melihat kedua orang tuanya yang hendak keluar entah ke mana.

Aruna benar-benar merasa seperti beban untuk kedua orang tuanya, tidak ada hal yang bisa Aruna lakukan untuk membuat mereka berdua bahagia, selama hidup ini yang Aruna lakukan hanya membuat mereka berdua repot dengan kehadirannya.

“Maaf.” lagi-lagi Aruna berbisik, meminta maaf pada ayah dan bunda karena telah merepotkan hidup mereka.

Aruna tahu, bahwa mereka hanya ingin melihat bagaimana keadaan perempuan ini, namun sayangnya Aruna tidak memiliki keberanian untuk menampilkan hidupnya yang kacau ini.

Selama mengurung diri di kamar, Aruna sama sekali tidak memainkan ponselnya, entah sudah berapa panggilan masuk dari teman-temannya yang ikut khawatir dengan Aruna.

Namun ia tidak begitu peduli, rasanya sudah seperti semua orang telah mengkhianati Aruna, sehingga ia tidak bisa percaya dengan siapapun lagi.

Aruna bahkan berpikir tidak akan pernah mau menikah seumur hidupnya, ini sudah cukup untuk menjadi pertama dan terakhir Aruna merasakan sakit karena cinta.

Ia tidak bisa percaya kepada siapa pun selain dirinya sendiri, karena memang sejatinya tidak ada manusia yang sepenuhnya baik.

Mendengar perutnya yang bersuara, membuat Aruna mau tidak mau harus berjalan menuju pintu. Matanya dimanjakan dengan sepiring makanan lezat yang membuat Aruna mengambilnya dengan cepat.

Berkali-kali Aruna berusaha mengakhiri hidupnya, namun tidak satu kali pun usahanya berhasil. Sepertinya Tuhan memang sengaja meminta Aruna untuk hidup lebih lama, merasakan rasa sakit yang kian membunuhnya perlahan-lahan.

*

Seiring berjalannya waktu, tak kuasa mendengar permohonan-permohonan bunda membuat Aruna akhirnya mau membuka diri untuk orang tuanya.

Perempuan itu duduk di atas sofa ruang tengah, melihat senyuman kedua orang tuanya yang sangat tulus membuat Aruna juga ikut memperlihatkan senyuman manisnya.

Meskipun hanya keluar dari kamar saja, namun Rania dan Yuda sudah sangat bersyukur karena akhirnya bisa melihat senyuman anaknya lagi.

Aruna hanya diam saja, tidak tahu harus berbicara seperti apa, berbanding terbalik dengan dirinya dulu yang selalu mengoceh sampai membuat Rania dan Yuda pusing mendengarnya.

Aruna tidak sepenuhnya membuka diri, perempuan itu masih sering melamun dan sibuk dengan isi pikirannya sendiri.

Saat ini Aruna duduk sendirian, menatap keluar tepat di halaman rumahnya, memorinya kembali teringat dengan kenangan saat ia dan Reno menghabiskan waktu bersama di sana.

Rania dan Yuda menatap punggung anaknya dari belakang, ikut merasakan sedih seperti Aruna saat ini.

“Bunda kasihan dengan Aruna yah,” ujar Rania pelan.

Yuda mengangguk paham, hatinya juga tercambuk melihat anaknya yang terlihat tidak bersemangat menjalani hidupnya sendiri.

“Kita hanya bisa berdoa agar Aruna kembali seperti dulu lagi.”

Usaha demi usaha sudah mereka coba untuk membangkitkan semangat Aruna, setidaknya perempuan itu mau keluar rumah untuk menghirup udara segar.

Sayangnya Aruna lebih memilih untuk mengurung diri dari pada bertemu dengan orang-orang. Bahkan kini Aruna bergantung dengan obat-obatan yang diberikan oleh psikiaternya.

Ia butuh obat penenang setiap kali ingatan-ingatan buruk mengacaukan pikirannya, Aruna bahkan tidak bisa menguasai dirinya sendiri, terkadang ia marah dan berteriak-teriak sendiri persis seperti orang gila.

Setiap kali Aruna mengalami hal tersebut, Rania terus menangis memohon agar Aruna menghentikan kegiatan yang menyakiti dirinya sendiri.

Perbuatan Reno dan Laras benar-benar menghancurkan mental Aruna seperti ini, perempuan yang selalu ceria itu kini berubah menjadi anak yang bahkan tidak punya tenaga untuk berdiri sendiri.

Perbuatan mereka berdua tidak akan pernah bisa dilupakan begitu saja dalam hidup Aruna, segala jenis alasan perselingkuhan tetap tidak dibenarkan.

“Bunda benar-benar tidak habis pikir dengan Reno, padahal mereka sudah berhubungan selama bertahun-tahun, teganya dia menghianati Aruna seperti ini.”

“Bunda masih tidak percaya dengan Laras, terlihat sangat polos tapi ternyata busuk seperti itu,” lanjut Rania lagi.

Yuda paham betul bahwa istrinya merasa sangat kesal dengan perbuatan mereka, padahal keluarga mereka selalu baik pada dua orang itu, namun orang jahat memang tidak pandang bulu.

“Mau bagaimana pun, perselingkuhan tetap salah, tidak ada alasan apa pun yang membenarkan perselingkuhan.” ucap Yuda dengan suara beratnya.

“Sebagai orang tua, kita harus selalu mendampingi Aruna agar pelan-pelan bisa kembali seperti dulu,” lanjut Yuda lagi.

Aruna bangkit dari duduknya, ia dengan jelas bisa melihat kedua orang tuanya sedang menatap lembut padanya.

“Aruna ke kamar dulu ya,” ujarnya dengan sorot mata lelah.

Melihat wajah lelah Aruna kembali membuat hati kedua orang tuanya terluka, merasa bahwa mereka tidak berhasil memberikan kasih sayang yang cukup, sehingga rasa luka Aruna jauh lebih besar.

Lagi-lagi Aruna mengunci pintu kamarnya, mengurung diri dalam kesendirian yang entah kapan bisa berakhir. Namun Aruna lupa, bahwa satu-satunya yang dapat membawa Aruna jauh dari kesendirian adalah dirinya sendiri. 

Sehingga kapan pun Aruna merasa siap, ia bisa keluar dari zona kesendirian yang menyedihkan ini. Sayangnya waktu itu bukan sekarang, Aruna masih perlu menenangkan dirinya agar merasa yakin nantinya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status