Share

Bab 3

Aris duduk santai di ruang kerjanya, menunggu Wira membawakan kopi yang ia pesan. terlalu larut memikirkan masalahya sendiri, laki-laki itu sampai tidak sadar dengan kehadiran Wira yang sudah duduk di sebelahnya.

Meskipun jabatannya hanya sebagai asisten pribadi, Wira sudah dianggap sebagai teman dekat oleh laki-laki itu, umur yang tidak terpaut terlalu jauh membuat keduanya menjadi dekat.

“Bos,” panggil Wira menyadarkan Aris dari lamunannya.

Kepala Aris menoleh, melihat Wira yang sudah menyajikan kopinya di atas meja. Dengan cepat tangannya meraih secangkir kopi hitam yang ia pesan.

“Menurut kamu, apa yang harus saya lakukan?” tanya Aris tiba-tiba, sembari menyeruput kopinya.

Wira diam sejenak, menerka maksud dari pertanyaan yang diajukan oleh bosnya. Beberapa detik berlalu, akhirnya Wira memberanikan diri untuk memberi jawaban.

“Kalau untuk pendapat pribadi saya sih, lebih baik mengikuti perintah ibu Gina,” ungkap Wira pelan, takut menyinggung perasaan Aris.

Aris sama sekali tidak berniat menghakimi jawaban Wira, pria itu hanya sedang memberikan pendapat pribadinya saja.

“Alasannya?” tanya Aris sekali lagi.

Terlihat jelas bahwa Wira sedikit bingung ingin menjawab apa, namun kembali lagi, ini adalah opini pribadinya, tidak akan ada yang salah selagi Wira menjawab dengan kalimat yang tepat.

“Delapan tahun bukan waktu yang cepat, tentunya ada banyak perubahan yang terjadi selama ini. Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa mungkin saja mbak Anya telah berubah, dan lupa dengan janji yang pernah ia ucapkan dulu.”

Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Wira membuat pikiran Aris terbuka, semua akan berubah seiring berjalannya waktu, semakin banyak hal yang tidak ia ketahui tentang kekasihnya sekarang.

Kini Aris dibentangi dengan dua pilihan yang sangat sulit, menunggu Anya kembali entah sampai kapan, atau mengikuti permintaan maminya untuk menikah dengan perempuan yang tidak ia cintai.

Delapan tahun menunggu cukup menandakan bahwa Aris memang orang yang setia, waktu terus berjalan, dan Aris tidak tahu harus menunggu hingga kapan.

“Jadi menurut kamu, saya harus mengikuti perintah mami? Untuk menikah dengan perempuan yang tidak saya cintai?” tanya Aris yang ingin meyakinkan dirinya sendiri.

Tepat sekali, itulah yang Wira pikirkan. Aris adalah laki-laki yang sangat pintar, namun bodoh dalam urusan percintaan.

Aris terlalu mencintai Anya hingga menutup mata dan telinga, ia tidak peduli dengan seberapa banyak orang yang memberitahunya.

“Padahal saya hanya ingin menikah dengan Anya, tapi mami meminta saya untuk menikah secepatnya.” suara Aris terdengar pelan, tersirat kesedihan di dalamnya.

Wira yang sejak tadi menatap lantai, kini memberanikan diri melihat wajah bosnya. Sungguh, Wira sangat kasihan melihat Aris seperti tidak ada tujuan, seolah cintanya memang sudah habis untuk Anya.

Wira tahu betul bagaimana Aris, perbedaannya saat bersama Anya dan saat ditinggal oleh perempuan itu sangat terlihat jelas.

Selama delapan tahun terakhir, tidak pernah sekalipun Wira melihat seulas senyuman di wajah bosnya. Seolah senyuman itu hanya kembali ketika ia berhasil menemukan sosok Anya lagi.

“Mbak Anya juga terlihat seperti tidak menghargai perasaan bos,” ujar Wira tiba-tiba, berhasil membuat Aris mengerutkan keningnya tidak mengerti.

Laki-laki itu masih menatap Wira, menunggu penjelasan dari kalimatnya barusan. “Di jaman serba canggih ini, semuanya bisa dilakukan, termasuk komunikasi jarak jauh. Orang yang sering komunikasi aja bisa selingkuh, apalagi yang tidak pernah komunikasi.”

Kalimat Wira barusan kembali menyadarkan Aris, benar katanya, pasangan LDR saja banyak yang kandas karena kurangnya komunikasi, apalagi yang tidak pernah komunikasi sama sekali.

Jika Anya benar-benar mencintainya, tentu saja perempuan itu pasti berusaha untuk sekedar memberitahu di mana ia tinggal sekarang.

Sepertinya benar kata orang-orang terdekatnya, hanya Aris yang terlalu menginginkan Anya, sedangkan perempuan itu tidak.

Sejak dulu Aris selalu berusaha mencari tahu di mana keberadaan kekasihnya, segala hal telah ia coba lakukan, namun hasilnya masih sama saja, tidak ada satu pun jejak yang ia temukan.

Seolah Anya benar-benar hilang ditelan bumi, tidak ada satu pun petunjuk yang ia dapatkan untuk menemui kekasihnya.

Tak ingin pikirannya terus kacau, Aris memilih untuk pergi. Ucapan Wira berhasil membuat laki-laki itu meragukan perasaan Anya padanya.

“Mau ke mana bos?” tanya Wira cepat, namun Aris sudah lebih dulu pergi, tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Wira.

*

Aris mengendarai mobilnya membelah jalanan, menghampiri satu tempat tujuan yang selalu ia kunjungi untuk menenangkan pikiran.

Aris menghentikan mobilnya saat sudah sampai di tempat tujuan, ada banyak pepohonan yang mengelilingi dirinya saat ini.

Tempat indah yang selalu ia kunjungi bersama Anya beberapa tahun yang lalu, tempatnya masih sama, perasaannya masih sama, namun perempuan yang ia ajak biasanya sedang tidak di sini.

Laki-laki itu memilih duduk di pinggir danau yang tidak begitu luas, kepalanya kembali memutar ingatan beberapa tahun silam.

Saat itu, dirinya dan Anya sedang tertawa bahagia, merayakan anniversary mereka setiap tahunnya dengan kegembiraan.

Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa mereka akan berpisah seperti ini, dan hingga kini Aris masih menunggu di sini.

Kenangan bahagia itu berhasil membuat senyuman di bibir Aris terangkat, lalu kembali sirna ketika ingatan itu menayangkan keinginan maminya agar Aris segera mencari pengganti kekasihnya.

“I miss you, sayang.” desisinya pelan, sadar bahwa Anya tidak akan pernah mendengar ucapannya.

“Katakan apa yang harus aku lakukan sekarang, penantian selama delapan tahun nampaknya akan berakhir sia-sia.”

“Kamu di mana sayang?” tanya Aris sembari menatap langit biru di atasnya.

Sejak kepergian Anya ke luar negeri, harapan Aris masih sama hingga sekarang. Inginnya hanya melihat Anya kembali dalam keadaan baik-baik saja, lalu melanjutkan mimpi untuk hidup bahagia bersama.

Aris masih mendongak menatap langit, netra matanya menangkap dua ekor burung yang terbang bersama, seolah meledek Aris yang masih sendiri sampai saat ini.

Berbicara sendiri sepertinya sudah menjadi kebiasaan untuk laki-laki satu ini, karena biasanya ada Anya yang mendengarkan celotehan panjang lebarnya.

“Anya, mami memintaku untuk menikah secepatnya, ayo pulang, aku menunggu mu di sini,” suara lirih Aris benar-benar terdengar menyedihkan.

Rintikan hujan membuat Aris perlahan bangkit dari duduknya, sepertinya semesta paham, dan ikut merasakan kesedihan yang dialami laki-laki satu ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status