Aris duduk santai di ruang kerjanya, menunggu Wira membawakan kopi yang ia pesan. terlalu larut memikirkan masalahya sendiri, laki-laki itu sampai tidak sadar dengan kehadiran Wira yang sudah duduk di sebelahnya.
Meskipun jabatannya hanya sebagai asisten pribadi, Wira sudah dianggap sebagai teman dekat oleh laki-laki itu, umur yang tidak terpaut terlalu jauh membuat keduanya menjadi dekat.
“Bos,” panggil Wira menyadarkan Aris dari lamunannya.
Kepala Aris menoleh, melihat Wira yang sudah menyajikan kopinya di atas meja. Dengan cepat tangannya meraih secangkir kopi hitam yang ia pesan.
“Menurut kamu, apa yang harus saya lakukan?” tanya Aris tiba-tiba, sembari menyeruput kopinya.
Wira diam sejenak, menerka maksud dari pertanyaan yang diajukan oleh bosnya. Beberapa detik berlalu, akhirnya Wira memberanikan diri untuk memberi jawaban.
“Kalau untuk pendapat pribadi saya sih, lebih baik mengikuti perintah ibu Gina,” ungkap Wira pelan, takut menyinggung perasaan Aris.
Aris sama sekali tidak berniat menghakimi jawaban Wira, pria itu hanya sedang memberikan pendapat pribadinya saja.
“Alasannya?” tanya Aris sekali lagi.
Terlihat jelas bahwa Wira sedikit bingung ingin menjawab apa, namun kembali lagi, ini adalah opini pribadinya, tidak akan ada yang salah selagi Wira menjawab dengan kalimat yang tepat.
“Delapan tahun bukan waktu yang cepat, tentunya ada banyak perubahan yang terjadi selama ini. Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa mungkin saja mbak Anya telah berubah, dan lupa dengan janji yang pernah ia ucapkan dulu.”
Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Wira membuat pikiran Aris terbuka, semua akan berubah seiring berjalannya waktu, semakin banyak hal yang tidak ia ketahui tentang kekasihnya sekarang.
Kini Aris dibentangi dengan dua pilihan yang sangat sulit, menunggu Anya kembali entah sampai kapan, atau mengikuti permintaan maminya untuk menikah dengan perempuan yang tidak ia cintai.
Delapan tahun menunggu cukup menandakan bahwa Aris memang orang yang setia, waktu terus berjalan, dan Aris tidak tahu harus menunggu hingga kapan.
“Jadi menurut kamu, saya harus mengikuti perintah mami? Untuk menikah dengan perempuan yang tidak saya cintai?” tanya Aris yang ingin meyakinkan dirinya sendiri.
Tepat sekali, itulah yang Wira pikirkan. Aris adalah laki-laki yang sangat pintar, namun bodoh dalam urusan percintaan.
Aris terlalu mencintai Anya hingga menutup mata dan telinga, ia tidak peduli dengan seberapa banyak orang yang memberitahunya.
“Padahal saya hanya ingin menikah dengan Anya, tapi mami meminta saya untuk menikah secepatnya.” suara Aris terdengar pelan, tersirat kesedihan di dalamnya.
Wira yang sejak tadi menatap lantai, kini memberanikan diri melihat wajah bosnya. Sungguh, Wira sangat kasihan melihat Aris seperti tidak ada tujuan, seolah cintanya memang sudah habis untuk Anya.
Wira tahu betul bagaimana Aris, perbedaannya saat bersama Anya dan saat ditinggal oleh perempuan itu sangat terlihat jelas.
Selama delapan tahun terakhir, tidak pernah sekalipun Wira melihat seulas senyuman di wajah bosnya. Seolah senyuman itu hanya kembali ketika ia berhasil menemukan sosok Anya lagi.
“Mbak Anya juga terlihat seperti tidak menghargai perasaan bos,” ujar Wira tiba-tiba, berhasil membuat Aris mengerutkan keningnya tidak mengerti.
Laki-laki itu masih menatap Wira, menunggu penjelasan dari kalimatnya barusan. “Di jaman serba canggih ini, semuanya bisa dilakukan, termasuk komunikasi jarak jauh. Orang yang sering komunikasi aja bisa selingkuh, apalagi yang tidak pernah komunikasi.”
Kalimat Wira barusan kembali menyadarkan Aris, benar katanya, pasangan LDR saja banyak yang kandas karena kurangnya komunikasi, apalagi yang tidak pernah komunikasi sama sekali.
Jika Anya benar-benar mencintainya, tentu saja perempuan itu pasti berusaha untuk sekedar memberitahu di mana ia tinggal sekarang.
Sepertinya benar kata orang-orang terdekatnya, hanya Aris yang terlalu menginginkan Anya, sedangkan perempuan itu tidak.
Sejak dulu Aris selalu berusaha mencari tahu di mana keberadaan kekasihnya, segala hal telah ia coba lakukan, namun hasilnya masih sama saja, tidak ada satu pun jejak yang ia temukan.
Seolah Anya benar-benar hilang ditelan bumi, tidak ada satu pun petunjuk yang ia dapatkan untuk menemui kekasihnya.
Tak ingin pikirannya terus kacau, Aris memilih untuk pergi. Ucapan Wira berhasil membuat laki-laki itu meragukan perasaan Anya padanya.
“Mau ke mana bos?” tanya Wira cepat, namun Aris sudah lebih dulu pergi, tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Wira.
*
Aris mengendarai mobilnya membelah jalanan, menghampiri satu tempat tujuan yang selalu ia kunjungi untuk menenangkan pikiran.
Aris menghentikan mobilnya saat sudah sampai di tempat tujuan, ada banyak pepohonan yang mengelilingi dirinya saat ini.
Tempat indah yang selalu ia kunjungi bersama Anya beberapa tahun yang lalu, tempatnya masih sama, perasaannya masih sama, namun perempuan yang ia ajak biasanya sedang tidak di sini.
Laki-laki itu memilih duduk di pinggir danau yang tidak begitu luas, kepalanya kembali memutar ingatan beberapa tahun silam.
Saat itu, dirinya dan Anya sedang tertawa bahagia, merayakan anniversary mereka setiap tahunnya dengan kegembiraan.
Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa mereka akan berpisah seperti ini, dan hingga kini Aris masih menunggu di sini.
Kenangan bahagia itu berhasil membuat senyuman di bibir Aris terangkat, lalu kembali sirna ketika ingatan itu menayangkan keinginan maminya agar Aris segera mencari pengganti kekasihnya.
“I miss you, sayang.” desisinya pelan, sadar bahwa Anya tidak akan pernah mendengar ucapannya.
“Katakan apa yang harus aku lakukan sekarang, penantian selama delapan tahun nampaknya akan berakhir sia-sia.”
“Kamu di mana sayang?” tanya Aris sembari menatap langit biru di atasnya.
Sejak kepergian Anya ke luar negeri, harapan Aris masih sama hingga sekarang. Inginnya hanya melihat Anya kembali dalam keadaan baik-baik saja, lalu melanjutkan mimpi untuk hidup bahagia bersama.
Aris masih mendongak menatap langit, netra matanya menangkap dua ekor burung yang terbang bersama, seolah meledek Aris yang masih sendiri sampai saat ini.
Berbicara sendiri sepertinya sudah menjadi kebiasaan untuk laki-laki satu ini, karena biasanya ada Anya yang mendengarkan celotehan panjang lebarnya.
“Anya, mami memintaku untuk menikah secepatnya, ayo pulang, aku menunggu mu di sini,” suara lirih Aris benar-benar terdengar menyedihkan.
Rintikan hujan membuat Aris perlahan bangkit dari duduknya, sepertinya semesta paham, dan ikut merasakan kesedihan yang dialami laki-laki satu ini.
Ponsel Aris bergetar, laki-laki itu langsung meronggoh saku celananya. Menatap nama di layar beberapa detik, sebelum akhirnya ia menekan tombol hijau, tanda menerima panggilan tersebut.“Apa yang sedang kau lakukan, lama sekali menjawab panggilan mami.” baru saja menempelkan ponselnya ke telinga, laki-laki itu sudah mendengar ocehan maminya.“Ada apa mi?” tanya Aris pelan.“Kenapa kamu bertanya ada apa? Hari ini kamu ada janji temu dengan anak teman papi!” pekik Gina karena Aris melupakan janjinya.Aris mengela nafas kasar, sungguh ia hampir lupa bahwa ada janji temu malam ini. “Ahh, baiklah,” sahut laki-laki itu secepatnya, Aris buru-buru mematikan sambungan telepon karena tak mau mendengar ocehan marah maminya.Berkali-kali Aris harus bertemu dengan perempuan-perempuan pilihan maminya, berharap ada satu perempuan yang cocok dengannya sehingga mereka bisa menikah secepatnya.Namun sayangnya pertemuan itu tidak pernah berlanjut, menurut Aris masih belum ada satu pun perempuan yang bis
Hingga kini Rania masih berusaha membujuk anaknya untuk keluar dari kamar. Sejak kejadian itu, Aruna terus mengurung dirinya sendiri dalam kesepian.Rasanya tidak ada tenaga untuk sekedar melihat dunia yang semakin hari semakin membuat dirinya takut.“Aruna…” panggilan lembut Rania terdengar hingga telinga anak perempuannya.“Keluar sebentar ya nak, bunda ingin mengajak Aruna jalan-jalan,” lanjutnya dengan suara pelan.Namun sayangnya Aruna bahkan tidak bertenaga untuk sekedar membuka pintu, tubuhnya masih terduduk di bawah ranjang sambil memeluk lututnya.Aruna berusaha menyembunyikan isak tangisnya, berharap agar suara tangisan yang keluar dari mulutnya tidak terdengar hingga telinga Rania yang saat ini sangat khwatir dengan keadaan Aruna.“Maaf, maaf..” bisik Aruna pelan, merasa bersalah karena dirinya semenyedihkan ini.Kejadian itu benar-benar membuat Aruna sangat terpuruk, kehidupannya berubah drastis dan dirinya sangat menutup diri sekarang.Seminggu ini yang Aruna lakukan hany
Aris duduk di salah satu sofa panjang seorang diri, sebelum akhirnya beberapa gadis dengan pakaian super seksi mendekat ke arahnya.Laki-laki itu meneguk segelas wine yang ada di atas meja, tidak peduli dengan sentuhan-sentuhan panas oleh perempuan-perempuan yang kini sudah duduk di sebelahnya.Aris sungguh menikmati alunan musik sembari terus meneguk wine yang dituangkan untuknya, kali ini laki-laki itu memilih untuk menikmati malam minggunya di sebuah club mewah.Matanya menatap pada sekumpulan orang yang menggoyangkan pinggulnya sembari menikmati alunan musik yang semakin keras.Sudah tiga jam sejak kedatangannya ke club ini, namun pikirannya masih tidak tenang, bahkan saat ini terasa lebih kacau.Aris melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu dini hari, namun rasanya ia masih ingin duduk di sini.Ponselnya terus bergetar, tanda panggilan masuk dari Wira yang ia minta untuk datang menjemputnya.Aris meraih ponselnya yang ada di atas meja, la
“Tidur di mana kamu semalam? Kenapa tidak pulang?” tanya Gina yang sudah menyilangkan tangannya di depan dada. Baru saja Aris menginjakkan kaki di lantai rumahnya, suara cempreng Gina sudah menggelegar di sekitar area rumah. “Aris tidur di apartemen,” sahut laki-laki itu malas. “Kenapa tidak pulang?” tanya Gina lagi. Aris terdiam sejenak, tidak mungkin ia mengakui bahwa dirinya mabuk semalam. Ia memikirkan alasan yang tepat agar sang mami tidak memarahinya. “Ehm, kemarin Aris nyelesaiin semua kerjaan supaya tidak terlalu menumpuk, lalu pulang ke apartemen karena merasa sangat ngantuk, Aris tidak bisa memaksakan keadaan untuk pulang ke rumah, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi sekarang ini banyak kasus kecelakaan akibat pengendara mengantuk di jalan kan,” ujarnya mencari alasan untuk menutupi kebohongannya. “Beneran kamu?” intrupsi wanita itu mengintimidasi. “Jangan bohong ya sama mami!” lanjutnya dengan mata mendelik tajam pada sang anak. “Kalau Aris sampai m
Perjalanan hidup Aruna perlahan-lahan mulai kembali seperti dulu, meski pun masih belum seutuhnya. Namun kini Aruna akhirnya mau pergi ke luar rumah, tetapi obat penenangnya masih perlu ia bawa ke mana pun ia pergi. Namun sayangnya senyuman Aruna kembali luntur kala mendengar kabar kurang enak tentang keuangan keluarganya. Perusahaan sang ayah mengalami penurunan drastis yang mengakibtkan menumpuknya hutang di berbagai tempat. Alasannya adalah karena salah satu karyawan yang paling dipercaya oleh Yuda membawa kabur uang dengan jumlah yang sangat besar, sekitar lebih dari 50 milyar. Ayahnya terduduk lemas, pikirannya kacau karena tidak tahu harus berbuat apa, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa ia temukan secepatnya. Lagi-lagi kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun disalah gunakan begitu saja, orang itu berhasil membuat keluarga Aruna menjadi kacau. Rania tidak henti-hentinya meneteskan air mata, masih merasa sangat shock sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. "Apa
Rania sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan sang sahabat, wajah pucatnya ia tutupi dengan polesan bedak sehingga terlihat jauh lebih baik. "Bunda," panggil Yuda pelan, kantung matanya yang menghitam benar-benar terlihat sangat jelas. Wajar saja, pria itu tidak bisa tidur tenang semalaman. Dengan senyuman tipis, Rania menghampiri suaminya, mengerahkan segala kekuatannya berharap mereka semua dapat bertahan disegala terjangan masalah. "Bunda pergi dulu ya yah," ujarnya dengan suara lembut. Tanpa banyak basa-basi, Yuda memeluk erat tubuh istrinya, merasa sangat bersalah karena merepotkan wanitanya. "Maaf," bisik pria itu merasa sangat-sangat bersalah. Saat ini Rania akan bertemu dengan sahabat lamanya, permasalahan seperti ini tentu saja tidak bisa ia bereskan sendiri tanpa bantuan orang lain. Bagaimana pun caranya, mereka harus segera mendapatkan pinjamanan agar terbebas dari panggilan-panggilan bank yang hendak menyita segala fasilitas yang mereka punya. Dari dalam kamar, Aru
Dua wanita itu masih membahas perihal anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Mereka berdua kembali melayangkan ingatan pada momen masa lalu. Gina mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto Aruna saat kecil yang masih ia simpan. Membandingkannya dengan foto Aruna sekarang, "Gadis ini benar-benar tumbuh dengan penuh kasih, dia sangat manis dan cantik, persis seperti bundanya!" puji Gina serius. "Aris juga tumbuh dengan baik, wajah tampannya berhasil mengalahkan suamimu!" kata Rania membalas. Membahas Aris, membuat Gina menekuk wajahnya. Hanya dengan mendengar nama anaknya saja, wanita itu sudah kesal. "Jangan bahas dia! aku sedang kesal dengan anak itu," ujar Gina."Loh kenapa?" tanya Rania penasaran. Gina terdiam sejenak, ia sedang menyusun kalimat yang dapat memberikan alasan kenapa dirinya kesal dengan Aris. "Kamu tahu sendiri kan, sejak dulu aku selalu berharap bisa melihat putraku menikah secepatnya, Tapi anak itu malah memilih untuk menunggu kekasihnya," ujar Gina malas. "Loh
Sejak kepulangannya dari bertemu Rania, kini Gina dan sang suami sedang membahas masalah tersebuh hingga tengah malam. "Mami kasihan dengan mereka, sebagai seorang sahabat mami merasa punya kewajiban untuk menolongnya," ujar wanita itu pada suaminya. "Bagaimana keadaan Aruna?" tanya pria itu membuka suara. Gina tidak merasa yakin, namun karena Rania tadi mengatakan bahwa keadaan putrinya sudah semakin membaik sekarang, hanya saja Aruna masih memerlukan bantuan obat-obatan dari psikiaternya. Entah dari mana, Rendi dengan wajah polosnya kembali bersuara yang berhasil membuat Gina menganga saat mendengarnya. "Bagaimana jika kita jodohkan saja anak kita dengan Aruna?" ujarnya dengan santai. Menurut pikirannya, karena keluarga mereka sudah dekat sejak dulu, jadi tidak ada salahnya untuk mempererat hubungan mereka dengan menjadi besan. "Kita juga bisa membantu perusahaan Yuda agar semakin berkembang, win-win solution." katanya enteng. Apa yang dikatakan oleh suaminya, membuat Gina i